ANALISIS DAN PROYEKSI
3) Perlindungan dan Pengamanan Hutan
Memperhatikan kondisi geografis kawasan hutan di wilayah KPHP Model Toili Baturube (Unit XIX) yang membentang dari daerah pegunungan sampai ke daerah pesisir (kawasan mangrove) yang terdiri atas kelompok hutan di kawasan HL, HPT dan HP, serta lokasinya dilintasi jalan raya dalam menghubungkan lokasi-lokasi pemukiman di bagian Barat KPH yaitu Desa Winangbino, Lijo, Sea, Salubiro, Rombi dan Lemowalia. Kehadiran desa-desa tersebut yang sebagian penduduknya berpendidikan tidak tamat/tamat SD, menjadikan sistem perlindungan dan pengamanan hutan lebih kompleks.
Kompleksnya sistem perlindungan dan pengamanan hutan di wilayah KPHP Model Toili Baturube (Unit XIX), juga akan dipengaruhi oleh keberadaan masyarakat KAT Wana yang telah lama dan secara turun-temurun menggantungkan hidupnya dari hasil hutan (getah damar, madu hutan, buah/biji) serta pola berlandang secara berpindah dengan pemukiman terpencar. Selain itu, di wilayah pesisir yang memanjang dari Kota Luwuk (ibu kota Kabupaten Banggai) sampai di wilayah Kecamatan Bungku Utara
Kabupaten Morowali Utara yang umumnya dimukimi oleh penduduk asli dan pendatang (dominan penduduk transmigrasi), juga akan mempengaruhi kondisi potensi dalam pengelolaan hutan di wilayah KPH ini.
Dominasi pengaruh bagi perlidungan dan pengamanan hutan di wilayah pesisir antara lain disebabkan oleh semakin berkembangnya kegiatan usaha industri hasil hutan dan perkebunan dari tahun ke tahun, demikian pula industri migas, jasa dan perdagangan. Selain itu, di dalam wilayah KPH telah ada kegiatan PETI khususnya di daerah hilir dan hulu sungai Dongin dan Mantawa Kecamatan Toili Barat.
Hutan mangrove yang berada di wilayah pantai Kecamatan Toili Barat sampai Kecamatan Toili tersisa 15 ha yang masih bervegetasi mangrove primer dan 717 ha berupa mangrove sekunder dan mangrove rusak/kritis. Umumnya mangrove yang rusak telah dimanfaatkan masyarakat seperti pemukiman, pertanian, pertambakan dan dermaga. Mangrove yang berada di muara sungai terancam rusak dan mati sebagai akibat besarnya sedimentasi lumpur yang masuk di muara sungai.
Memperhatikan kondisi tersebut, Pengelola KPH dalam menyikapi setiap permasalahan tidak seharusnya dilakukan represif, melainkan dilakukan dengan cara membangun kemitraan dengan komunitas perambah dalam menemukan solusi terbaik, namun setiap solusi harus berada dalam koridor hukum perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, kegiatan perlindungan hutan di wilayah KPHP Model Toili Baturube (Unit XIX) dapat disikapi dengan cara :
a) Sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan;
b) Mendorong peningkatan produktivitas masyarakat;
c) Memfasilitasi terbentuknya kelembagaan masyarakat tani hutan;
d) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan; e) Melakukan kerjasama dengan pemegang hak atau izin, di dalam dan
sekitar wilayah KPH;
f) Meningkatkan efektifitas koordinasi kegiatan perlindungan hutan; g) Mendorong terciptanya mata pencaharian alternatif bagi masyarakat; h) Meningkatkan efektifitas pelaporan terjadinya gangguan keamanan
hutan;
i) Mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap gangguan keamanan hutan.
Sesuai peraturan perundang-undangan, tampaknya kegiatan illegal logging (”pencurian kayu”) harus diberantas secara tuntas, namun aktifitas seperti pemanfaatan kawasan hutan untuk budidaya tanaman pertanian, pemukiman, pengumpulan rotan dan getah damar oleh sekelompok masyarakat masih memungkinkan untuk dibina menjadi pemanfaat hasil hutan dan pelestari kawasan hutan. Artinya dalam analisis SWOT, kendala dan ancaman yang ada, dirubah menjadi kekuatan dan peluang dalam membangun KPHP Model Toili Baturube (Unit XIX).
d. Arahan Pembangunan Jangka Panjang KPH
Mengacu pada uraian sebelumnya, arahan pembangunan jangka panjang KPHP Model Toili Baturube (Unit XIX) dirumuskan :
Arahan Perlindungan Hutan
1) Pembinaan areal hutan di daerah morfologi hulu ke dalam blok-blok perlindungan hutan bagi keperluan perlindungan tata air dan habitat flora dan fauna, serta pembinaan hutan alam di kawasan hutan lindung ke dalam blok-blok inti. Di wilayah pesisir berekosistem mangrove, diarahkan pada penyelamatan hutan mangrove dari kerusakan.
2) Penerapan PIPPIB (moratorium hutan) di kawasan hutan lindung dan hutan produksi secara konsisten.
3) Pengadaan sarana dan prasarana serta SDM perlindungan hutan yang memadai sesuai kebutuhan kawasan.
4) Pembinaan masyarakat adat suku Wana berbasis ekonomi produktif dengan tetap memperhatikan kearifan lokalnya.
5) Peningkatan/penyelenggaraan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan hukum dan kehutanan secara terprogram.
Arahan Rehabilitasi Hutan
Percepatan rehabilitasi lahan kritis di wilayah KPH dilaksanakan melalui kegiatan reboisasi hutan dan lahan serta pengkayaan tanaman hutan.
Arahan Pemanfaatan Hutan
1) Pembangunan dan pengembangan hutan tanaman/hutan tanaman industri (HT/HTI).
2) Pemanfaatan hasil hutan kayu alam dengan pendekatan Restorasi Eksositem dalam Hutan Alam (RE) serta pembinaan IUPHHK-HA pasca PIPPIB.
3) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (rotan, dan lain-lain) dan jasa lingkungan seperti karbon dan jasa wisata.
Arahan Pemberdayaan Masyarakat
1) Pembangunan dan pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) 2) Pembangunan dan pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm). 3) Penyelenggaraan Hutan Desa
4) Pemanfaatan terbatas hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan di Hutan Lindung (HL), seperti usaha pemungutan rotan, getah damar, buah/biji, lebah madu. Selain itu, dikembangkan pula usaha pemanfaatan jasa lingkungan seperti jasa aliran air, jasa wisata alam, jasa RAP-PAN Karbon.
5) Pelestarian ekosistem mangrove secara terpadu dengan memposisikan masyarakat pesisir setempat menjadi pelestari mangrove.
Untuk mewujudkan program/rencana kegiatan yang telah dirumuskan maka diperlukan beberapa program pendukung dan penunjang dinilai penting dilakukan adalah :
1) Penguatan organisasi/kelembagaan KPH berbasis PPK-BLUD.
2) Penguatan kapasitas kelembagaan KPH serta peningkatan kapasitas SDM, termasuk pemantapan organisasi, sarana prasarana dan fasilitas penunjang.
3) Penyenggaraan sistem koodinasi dan sinkronisasi yang baik antar pemegang izin di wilayah KPH.
4) Penyelenggaraan sistem koordinasi dan sinergisitas antara KPH dengan instansi dan stakeholder terkait dalam pembangunan KPH.
5) Penyediaan pendanaan kegiatan yang memadai sesuai kebutuhan.
6) Pengembangan database sampai dengan terbangunnya sistem informasi kehutanan KPH.
7) Pengembangan investasi dan rasionalisasi wilayah kelola serta review rencana pengelolaan KPH minimal 5 tahun sekali.
8) Penyelenggaraan pembinaan, pengawasan dan pengendalian yang baik dan terukur sesuai peraturan perundang-undangan.
9) Pemantauan dan evaluasi yang beretika, serta sistem pelaporan yang baik.
10) Pembuatan dan pelaksanaan standar operasi dan prosedur (SOP) KPHP Model Toili Baturube (Unit XIX) menuju pengelolaan KPH berbasis kinerja dalam pengelolaan hutan yang mandiri.