• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum kepada Nasabah dari Otoritas Jasa Keuangan

PENANGANAN KEJAHATAN PERBANKAN KONVENSIONAL BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI OLEH OTORITAS JASA

C. Perlindungan Hukum kepada Nasabah dari Otoritas Jasa Keuangan

Di Indonesia, kasus-kasus kejahatan ciber terkait perbankan memang makin mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dihimpun Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, tingkat kejahatan siber di Indonesia sepanjang 2014 berjumlah 785 kasus. Dari jumlah tersebut, 404 kasus diantaranya terdiri dari kasus kejahatan berkedok penipuan online. Sementara, kasus kejahatan cyber dilaporkan cenderung mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun belakangan ini. Pada tahun 2008 (67 kasus), tahun 2009 (117 kasus), tahun 2010 (345 kasus), tahun 2011 (625 kasus), tahun 2012 (569 kasus) dan pada 2013 (584 kasus).175

Asas kepentingan umum dalam UU OJK merupakan asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal

173Ibid,. Bab III, Pasal 46 ayat 1. 174

Ibid,. Bab III, Pasal 46 ayat 2. 175

Edy Susanto, “OJK Wajib Jamin Keamanan Sistem Perbankan”, http://www.gresnews.com/berita/ekonomi/160287-kelemahan-hukum-kejahatan-perbankan/1/ , (diakses pada 11 Oktober 2016 pukul 20.00 WIB).

di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.176

Konsumen dalam hal ini dibatasi dalam lingkup konsumen perbankan. Konsumen bank atau nasabah tidak lain adalah setiap orang yang terikat dengan penyedia jasa perbankan. Dalam kondisi ini bank berhadapan dengan masyarakat konsumen yang berarti bank harus melayani nasabah berdasarkan prinsip kehati-hatian.177

Perlindungan konsumen dalam UU OJK merupakan tuntutan hukum untuk melindungi pihak yang lemah dari kesewenangan pihak kuat (pengusaha).178 UU OJK berfungsi sebagai protektif dari kesewenang-wenangan pengusaha terhadap konsumen khususnya nasabah bank. Peranan OJK dalam memberikan perlindungan konsumen menurut ketentuan Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 UU OJK dapat ditempuh langkah pencegahan dan pemberantasan. Dalam rangka untuk perlindungan konsumen dan masyarakat menurut Pasal 28 UU OJK diberikan kewenangan bagi OJK melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat. Langkah preemtif dengan melakukan pemberian informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya.179 Melalui upaya ini informasi akan hak-hak konsumen dapat diperoleh konsumen sehingga diketahui apa saja yang menjadi hak-hak nasabah bank. Upaya ini dapat dilakukan melalui peringatan baik secara lisan

176

Republik Indonesia, Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 1 angka 15.

177 Yusuf Shafi, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003), hlm. 41-42.

178

Erman Radjagukguk, Peranan Hukum di Indonesia : Menjaga Persatuan, Memulihkan

Ekonomi dan Memperluas Sosial” (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hlm. 35. 179 Ibid.

maupun tertulis bahkan bila perlu memberikan sanksi administrasi berupa penghentian kegiatan bank tertentu yang bersangkutan.180

Tindakan lain dalam perlindungan kepada konsumen dilakukan upaya-upaya menampung aspirasi dari para konsumen. OJK melakukan pelayanan pengaduan konsumen dengan menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan oleh bank termasuk membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan. 181 Namun ketentuan memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 huruf c UU OJK tampaknya dapat berpotensi menimbulkan multi tafsir bagi konsumen yang dirugikan.182

Ketentuan memfasilitasi ini bisa ditafsirkan bermacam-macam. Tafsiran pertama misalnya ditafsirkan dalam aspek finansial sedangkan tafsiran lain misalnya dapat diartikan hanya sebatas fasilitas sarana dan prasarana. Bank memerlukan dana dari masyarakat untuk disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dalan lain-lain, maka wajar bagi bank harus mampu menciptakan kondisi yang nyaman bagi nasabah dan memberikan hak-haknya sesuai ketentuan yang berlaku. Konsumen yang beritikad berhak mendapatkan perlindungan hukum sedangkan bagi manajemen bank berkewajiban menampung aspirasi nasabah, menyelesaikan sengketa konsumen secara bersama-sama baik di luar maupun di dalam pengadilan.183

180Ibid. 181 Ibid. 182 Ibid. hlm 36.

183 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003), hlm. 33.

Klausula baku cenderung menimbulkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara nasabah dengan bank. Klausula baku dalam perjanjian-perjanjian bank bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang menghendaki para pihak menentukan sendiri isi dari perjanjian.184 Tindakan pemberantasan (refresif) dalam Pasal 30 UU OJK dapat dilakukan oleh OJK melalui proses pembelaan hukum dengan mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada nasabah bank.185

OJK dapat memberikan pembelaan hukum untuk mendampingi konsumen dalam proses hukum. Mendampingi konsumen tidak mesti harus menjadi kuasa bagi konsumen tetapi dapat berupa rekomendasi atau berdasarkan tindakan-tindakan lain menurut penilaian OJK berdasarkan ketentuan yang berlaku.Pengajuan gugatan dilakukan berdasarkan penilaian OJK bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh pihak bank terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perbankan mengakibatkan kerugian materi bagi konsumen atau OJK itu sendiri.186

Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian Konsumen dan masyarakat, yang meliputi:187 184 Ibid. 185 Ibid. 186Ibid.hlm.34.

1. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;

2. Meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan

3. Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

OJK melakukan pelayanan pengaduan Konsumen yang meliputi:188

1. Menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan;

2. Membuat mekanisme pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan; dan

3. Memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan pembelaan hukum, yang meliputi:189

1. Memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud;

2. Mengajukan gugatan:

a. Untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah

188Ibid, Pasal 29. 189Ibid, Pasal 30

penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik; dan/atau

b. Untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang undangan di sektor jasa keuangan. Ganti kerugian hanya digunakan untuk pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.

Terkait dengan pengawasan kepatuhan pelaku usaha jasa keuangan dalam perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, OJK melakukan pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan perlindungan Konsumen.190 Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan secara langsung maupun tidak langsung.191

Dalam rangka pelaksanaan pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, OJK berwenang meminta data dan informasi dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan perlindungan Konsumen. 192 Permintaan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.193

190Republik Indonesia, (Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan), Op. Cit, Bab V, Pasal 51 ayat 1.

191Ibid, Bab V, Pasal 51ayat 2. 192Ibid, Bab V, Pasal 52 ayat (1). 193

Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar ketentuan dalam Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa:194 1. Peringatan tertulis;

2. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; 3. Pembatasan kegiatan usaha;

4. Pembekuan kegiatan usaha; dan 5. Pencabutan izin kegiatan usaha.

Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. 195 Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, atau huruf e.196

Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk setiap sektor jasa keuangan.197 OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat.198

194Ibid. Bab VI, Pasal 53 ayat (1). 195Ibid, Bab VI, Pasal 53 ayat (2). 196Ibid, Bab VI, Pasal 53 ayat 3. 197

Ibid, Bab VI, Pasal 53 ayat 4. 198Ibid, Bab VI, Pasal 53 ayat 5.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian bab-bab di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. OJK sebagai Lembaga Pengawas Jasa Keuangan lahir dari amanat Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut UU tentang BI), yang dalam Pasal 34 diamanatkan bahwa wewenang pengawasan terhadap bank dari BI sebagai pengawas sektor perbankan dialihkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dalam rangka pengawasan bank tersebut, OJK melakukan microprudential sesuai dengan tugas dan kewenangannya dan secara terperinci tugas dan pengawasan tersebut telah ditentukan oleh pasal 9 UU OJK.

2. Semakin berkembang teknologi informasi maka semakin kompleks pula permasalahan dalam perbankan. Ada banyak bentuk kejahatan perbankan konvensional berbasis teknologi informasi yang terjadi di perbankan, misalnya saja hacking, cracking, carding, probe, scan, account compromise, root compromise, denial of service, dan lain-lain yang diperkirakan juga telah berkembang pesat dengan berbagai macam modus operandi. Dan kejahatan perbankan berbasis teknologi informasi ini mempunyai cirri khas

yang membedakan dengan kejahatan perbankan yang umum, misalnya kejahatan ini menggunakan teknologi, memanipulasi teknologi, dan dilakukan oleh orang-orang professional di bidangnya.

3. Penanganan kejahatan perbankan konvensional berbasis teknologi informasi oleh OJK ditunjukkan dengan peranan OJK dalam perlindungan konsumen, yaitu dengan melakukan upaya-upaya menampung aspirasi dari para konsumen dan menyediakan perangkat pengaduan konsumen. Perlindungan konsumen dilakukan secara preemtif dengan memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya. Perlindungan konsumen melalui langkah preventif yakni meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya jika kegiatan tersebut diduga berpotensi merugikan masyarakat atau memberikan peringatan baik secara lisan maupun tertulis bahkan bila perlu memberikan sanksi administrasi berupa penghentian kegiatan usaha bank. Perlindungan konsumen dilakukan melalui upaya penindakan (refresif) terhadap pelaku dengan menempuh proses hukum.

B. Saran

1. BI dan OJK hendaknya menetapkan standar teknologi pengamanan yang seragam untuk semua perbankan. Saat ini teknologi pengamanan dana nasabah untuk setiap bank masih berbeda-beda serta melakukan audit secara teratur setahun sekali terhadap bank-bank umum khususnya di cabang-cabang. Pihak bank juga harus melakukan audit intern secara rutin setahun sekali.

2. OJK harus memperbanyak penyidik dan meningkatkan kualitas pengawasan dan penindakan kejahatan perbankan berbasis teknologi. Hal ini dikarenakan penyidik OJK masih terlalu sedikit dalam menangani kejahatan perbankan berbasis teknologi.

3. OJK, BI, pemerintah, dan DPR harus merevisi UU Perbankan dengan menekankan pada antisipasi kejahatan Perbankan berbasis teknologi informasi untuk mengoptimalkan perlindungan konsumen. Selain itu, diperlukan sinkronisasi peraturan yang berkaitan dengan perbankan dan informasi, dan transmisi elektronik serta mengatur hubungan antara penegak hukum khususnya kepolisian untuk mendukung pemberantasan tindak pidana perbankan berbasis teknologi.

BAB II

PENGAWASAN KEGIATAN PERBANKAN KONVENSIONAL