• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Nasabah yang Menjadi Korban Kejahatan Perbankan Konvensional Berbasis Teknologi Informasi oleh Bank

PENANGANAN KEJAHATAN PERBANKAN KONVENSIONAL BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI OLEH OTORITAS JASA

A. Perlindungan Nasabah yang Menjadi Korban Kejahatan Perbankan Konvensional Berbasis Teknologi Informasi oleh Bank

Dasar hukum hubungan bank dengan nasabah penyimpan dana dapat dilihat dalam literatur hukum perbankan (banking law) yang dikemukakan oleh Remy Sjahdeini, bahwa sekalipun dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengatur lembaga khusus tentang simpanan nasabah penyimpan kepada bank (giro, deposito, atau tabungan) atau yang khusus mengatur hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana.142 Secara umum hubungan hukum mereka sebagai perjanjian pinjam-meminjam, atau lebih spesifik sebagai perjanjian peminjaman uang.143 Karena hal tersebut merupakan perjanjian pinjam-meminjam, sesuai dengan ketentuan Pasal 1755 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dana yang disimpan oleh nasabah dianggap sebagai milik bank selama dalam penyimpanan bank. Dengan kata lain, sebelum ditagih oleh nasabah, pihak bank dapat menggunakan dana tersebut untuk kepentingannya seperti layaknya

142

Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,Penerbit: Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 154.

143 Ibid.

seorang pemilik. Apakah untuk disalurkan sebagai kredit ataupun untuk investasi dan biaya-biaya bank.144

Dengan demikian, dapat diketahui hubungan antar bank dengan nasabah berdasarkan perjanjian. Arti perjanjian di sini adalah suatu peristiwa antara seseorang berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu. Perjanjian itu berbentuk suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji/kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.145

Akibat hukum dari peristiwa tersebut para pihak ialah nasabah penyimpan dana dan bank mempunyai hak dan kewajiban. Nasabah menjadi korban kejahatan carding yaitu atas hilangnya atau dicurinya rekening yang disimpan pada perusahaan perbankan. Maka dalam hal ini adapun hak- hak dan kewajiban nasabah, antara lain:146

1. Nasabah berhak mendapatkan perlindungan atas tabungan atau rekening yang disimpan pada suatu bank. Berdasarkan Pasal 29 ayat (3) Undang- undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen). Berdasarkan prinsip kehati- hatian.

2. Nasabah berhak mendapatkan inforasi yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.

3. Nasabah berhak mendapatkan ganti kerugian atas dana atau rekening yang hilang atau dicuri dari bank pemegang hak simpanan. Selain itu juga

144 Ibid. 145

R. Subekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Penerbit: Alumni, Bandung, 1976, hal. 1.

perlindungan hukum yang diterima nasabah penyimpan dana terhadap segala resiko kerugian yang timbul dari suatu kebijaksanaan atau timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum.

Sedangkan kewajiban nasabah adalah :

1. Nasabah berkewajiban aktif memberitahukan informasi atas kejanggalan atau kerugian yang dideritanya kepada pihak bank, sehingga dapat di proses lebih lanjut.

2. Nasabah juga berkewajiban memberikan keterangan dalam proses peradilan sebagai saksi apabila terjadi masalah hukum,dalam hal ini adanya kejahatan percurian rekening (carding) dari bank yang bersangkutan.

Perlindungan hukum pada korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Oleh karena itu, masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius.147

Perlindungan hukum pada korban kejahatan tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia atau kepentingan hukum seseorang yang sudah seharusnya perlu mendapatkan perhatian serius dan penting adanya perluasan bentuk perlindungannya, mengingat dewasa ini bentuk kejahatan dan korbannya begitu kompleks seiring dengan majunya peradaban.148 Bentuk kejahatan baru yang seringkali disebut dengan istilah white collar crime, mempunyai modus operandi yang sangat susah dalam pengungkapan kasusnya,

147 Ibid. 148 Ibid.

karena dilakukan secara profesional di bidangnya dan juga seringkali melibatkan kekuasaan (power). Korban kejahatan perbankan sulit untuk diketahui atau korban baru nampak pada waktu yang cukup lama setelah terjadinya kejahatan dan lebih parah lagi kadang korban tidak mengetahui kalau dirinya telah menjadi korban dari suatu perbuatan tertentu.149

Kepercayaan merupakan inti dari perbankan sehingga sebuah bank harus mampu menjaga kepercayaan dari para nasabahnya. Hukum sebagai alat rekayasa social (Law as a tool of social engineering) terlihat aktualisasinya di sini. Di tataran undang-undang maupun PBI terdapat pengaturan dalam rangka untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada perbankan dan sekaligus dapat memberikan perlindungan hukum bagi nasabah.150

Dalam memberikan perlindungan hukum khususnya bagi nasabah deposan, UU Perbankan mengamanatkan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mewajibkan setiap bank untuk menjamin dana masyarakat yang disimpan dalam bank yang bersangkutan.151 Amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dimaksud telah direalisasikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Adapun yang menjadi fungsi dari lembaga ini adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabiltas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.152

149Mahesa Jati Kusuma, Op. Cit, Hlm. 15. 150

Ibid 151

Republik Indonesia, (Perbankan), Op. Cit, Pasal 37 B ayat 1 dan 2.

152Republik Indonesia, (Lembaga Penjamin Simpanan) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004, Pasal 4.

Perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di bidang perbankan, khususnya dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Hal ini telah diatur melalui PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Setelah menerima pengaduan Konsumen, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melakukan: 153

a. Pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar, dan obyektif; b. Melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan; dan

c. Menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi (redress/remedy) atau perbaikan produk dan atau layanan, jika pengaduan Konsumen benar.

Dalam Pasal 1 angka 4 PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, Pengaduan didefinisikan sebagai ungkapan ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank. Sesuai dengan Pasal 2 PBI No. 7/7/PBI/2005, maka bank wajib menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis tentang penerimaan pengaduan, penangangan dan penyelesaian pengaduan, serta pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan.

Ketentuan mengenai kebijakan dan prosedur tertulis dimaksud diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 7/24/DPNP tertanggal 18 Juli 2005, antara lain sebagai berikut:

a) Kewajiban Bank untuk menyelesaikan Pengaduan mencakup kewajiban menyelesaikan Pengaduan yang diajukan secara lisan dan atau tertulis oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah, termasuk yang diajukan oleh suatu

153Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Pasal 38.

lembaga, badan hukum, dan atau bank lain yang menjadi Nasabah Bank tersebut.

b) Setiap Nasabah, termasuk walk-in customer, memiliki hak untuk mengajukan pengaduan.

c) Pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh Perwakilan Nasabah yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah berdasarkan surat kuasa khusus dari Nasabah.

Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam hal ini bank wajib bertanggung jawab atas kerugian Konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, pengurus, pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.154 Dalam Pasal 10 PBI No. 7/7/PBI/2005 disebutkan bahwa bank wajib menyelesaikan Pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal penerimaan Pengaduan tertulis, kecuali terdapat kondisi tertentu yang menyebabkan bank dapat memperpanjang jangka waktu. yaitu:

a) Kantor Bank yang menerima Pengaduan tidak sama dengan Kantor Bank tempat terjadinya permasalahan yang diadukan dan terdapat kendala komunikasi diantara kedua Kantor Bank tersebut;

b) Transaksi Keuangan yang diadukan oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-dokumen Bank;

154 Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Pasal 29.

c) Terdapat hal-hal lain yang berada diluar kendali bank, seperti adanya keterlibatan pihak ketiga diluar Bank dalam Transaksi Keuangan yang dilakukan Nasabah.

Mengingat penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tertanggal 20 Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah tidak selalu dapat memuaskan nasabah dan apabila tidak segera ditangani dapat mempengaruhi reputasi bank, mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan merugikan hak-hak nasabah, maka perlu dibentuk lembaga Mediasi yang khusus menangani sengketa perbankan.

Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.155Adapun yang menjadi penyelenggara Mediasi Perbankan sebagaimana telah disebut dalam ketentuan Peraturan BI, yakni:156

a) Lembaga Mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan b) Lembaga ini saat ini belum terbentuk, (akan dibentuk selambat-lambatnya 31

Des 2007), sehingga fungsi Mediasi Perbankan untuk sementara dilaksanaan oleh BI.

Proses beracara dalam Mediasi Perbankan secara teknis diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, yaitu sebagai berikut:

155Republik Indonesia, PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, Pasal 1 ayat 5. 156Republik Indonesia, PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, Pasal 3.

a) Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi perbankan kepada BI dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah.

b) Dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan penyelesaian Sengketa kepada BI, Bank wajib memenuhi panggilan BI.

Syarat-syarat Pengajuan Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Perbankan yakni :157

a) Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai;

b) Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah kepada Bank;

c) Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;

d) Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa keperdataan;

e) Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh BI; dan

f) Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah.

Pemaparan di atas merupakan sebagian dari peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sarana perlindungan bagi nasabah selaku konsumen di bidang perbankan. Demi optimalnya peraturan perundang-undang dimaksud, maka diperlukan adanya kerja sama antar stake holder terkait, yaitu

pihak bank, nasabah, pemerintah, dan lembaga penyelesaian sengketa sesuai dengan kapasitas dan kewenangan masing-masing.

B. Penanganan Kejahatan Perbankan Konvensional Berbasis Teknologi