• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyadari pentingnya peran pekeja/buruh dalam keberhasilan suatu industri maka harus diperhatikan juga keselamatan, kesehatan serta kesejahteraan pekerja sehingga perlu adanya upaya peningkatan perlindungan pekerja. Perlindungan hukum ketenagakerjaan adalah keseluruhan norma-norma hukum publik yang tertuju pada pengaturan keadaan perburuhan di perusahaan. Pengaturan ini beraspek materil dan in materil (Mustari, 2013: 35). Tujuannya adalah untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.

Seperti dalam Pasal 24 D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap

orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan

layak dalam hubungan kerja”.

Secara yuridis pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, memberikan perlindungan bagi tenaga kerja yang mencakup orang yang belum bekerja, yaitu orang yang tidak terikat dalam hubungan kerja (pekerja/buruh), karena orang yang terikat dalam suatu hubungan kerja juga berhak untuk

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau yang lebih disukai oleh pekerja/buruh. Sedangkan Pasal 6 ini merupakan perlindungan bagi pekerja/buruh (orang yang sedang dalam ikatan hubungan kerja) saja. Selain itu, perbedaan Pasal 5 dan Pasal 6 adalah mengenai subyek pelakunya. Pasal 5 berlaku bagi siapa saja, dalam arti tidak terbatas bagi pengusaha tertentu saja, melainkan mencakup pengertian pengusaha secara umum, artinya bisa pengusaha atau siapa saja, misalkan perusahaan A, perusahaan B atau perusahaan C dan sebagainya, termasuk juga perusahaan penempatan tenaga kerja, tetapi dalam Pasal 6 subyek pelakunya adalah terbatas bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh tersebut (Hardijan Rusli, 2011: 8).

Menurut Soepomo perlindungan pekerja dibagi menjadi tiga macam, yaitu : 1. Perlindungan Ekonomis

Perlindungan pekerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila pekerja tidak mampu bekerja diluar kehendaknya.

2. Perlindungan Sosial

Perlindungan pekerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.

3. Perlindungan Teknis

Perlindungan pekerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja (Khakim Abdul, 2003: 61-62).

Adapun bentuk perlindungan hukum menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan meliputi:

1. Perlindungan atas hak-hak dalam hubungan kerja.

3. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

4. Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak dan penyandang cacat.

5. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan dan jaminan sosial tenaga kerja. 6. Perlindungan atas hak pemutusan hubungan tenaga kerja.

Perlindungan pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis secara sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja itu (Zaeni Asyahdie, 2007: 78). Menurut Zainal Asikin (1993: 5) menyebutkan perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengahruskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis.

Perlindungan tenaga kerja dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu (Zainal Asikin, 2002: 76-79):

1. Perlindungan secara Ekonomis atau Jaminan Sosial

Yaitu perlindungan pekerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak bekerja diluar kehendaknya.Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat.Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang

atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang alami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa jaminan sosial tenaga kerja adalah merupakan perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang (jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan tabungan hari tua) dan pelayanan kesehatan yakni jaminan pemeliharaan kesehatan.Merupakan hak setiap warga tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban dari majikan.Pada hakikatnya program jaminan sosial tenaga kerja dimaksud untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga yang sebagian hilang. Disamping itu program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek antara lain: a) Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup

minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya

b) Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja mendidk kemandirian pekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasihan orang lain jika dalam hubungan kerja terjadi resiko-resiko seperti kecelakaan kerja, sakit, hari tua dan lainnya.

2. Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja

Yakni perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Kesehatan kerja sebagaimana telah dikemukakan diatas termasuk jenis perlindungan sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan yang bermaksud

memperlakukan pekerja/buruh “semaunya” tanpa memperhatikan norma -norma yang berlaku, dengan tidak memandang pekerja/buruh sebagai makhluk tuhan yang mempunyai hak asasi. Karena sifatnya yang hendak

mengadakan ”pembatasan” ketentuan-ketentuan perlindungan sosial dalam

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Bab X

Pasal 68 dan seterusnya bersifat ”memaksa”, bukan mengatur. Akibat adanya

sifat memaksa dalam ketentuan perlindunga sosial Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ini, pembentuk Undang-undang memandang perlu untuk menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial ini

merupakan ”hukum umum” (Publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana. Hal

ini disebabkan beberapa alasan berikut:

a) Aturan-aturan yang termuat di dalamnya bukan bermaksud melindungi kepentingan seorang saja, melainkan bersifat aturan bermasyarakat. b) Pekerja/buruhIndonesia umumnya belum mempunyai pengertian atau

kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.

Oleh karena itu kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh melakukan

pekerjaannya. Adanya penekanan ”dalam suatu hubungan kerja”

menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melakukan hubungan kerja dengan pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial sebagaimana ditentukan dalam Bab X Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

3. Perlindungan Teknis atau Keselamatan Kerja

Yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan. Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis, yaitu perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Berbeda dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk kepentingan pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah. a) Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga pekerja/buruh dapat memusatkan perhatian pada pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.

b) Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial.

c) Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya peraturan keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah untuk mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.

Selain perlindungan terhadap pekerjanya, terdapat norma perlindungan lain terhadap pekerja yaitu:

1. Norma Kesehatan Kerja dan Heigiene Kesehatan Perusahaan

Meliputi pemeliharaan dan mempertnggi derajat kesehatan pekerja, dilakukan dengan mengatur pemberian obat-obatan, perawatan pekerja yang sakit, mengatur persediaan tempat, cara dan syarat kerja yang memenuhi heigiene

kesehatan perusahaan dan kesehatan pekerja untuk mencegah penyakit, baik sebagai akibat bekerja atau penyakit umum serta menetapkan syarat kesehatan bagi perumahan pekerja.

2. Norma Kerja

Meliputi perlindungan terhadap pekerja yang bertalian dengan waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, pekerja wanita, anak, kesusilaan ibadah menurut agama keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah, kewajiban sosial kemasyarakatan dan sebagainya guna memelihara kegairahan dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral.

3. Kepada pekerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita penyakit kuman akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerja, ahli warisnya berhak mendapat ganti kerugian.

Menurut Adrian Sutedi (2009: 13) hanya ada 2 (dua) cara melindungi pekerja/ buruh yakni pertama melalui Undang-undang perburuhan, karena dengan Undang-undang berarti ada jaminan negara yang memberikan pekerjaan yang layak, melindunginya di tempat kerja (kesehatan, keselamatan kerja, dan upah layak) sampai dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun. Kedua, melalui serikat pekerja/serikat buruh, karena melalui serikat pekerja/serikat buruh pekerja/buruh dapat menyampaikan aspirasinya, berunding untuk menuntut hak-hak yang semestinya mereka terima.Serikat pekerja/serikat buruh juga dapat mewakili pekerja/buruh dalam membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang mengatur hak-hak dan kewajiban pekerja/buruh dengan pengusaha melalui suatu kesepakatan umum yang menjadi pedoman dalam hubungan industrial.

Jaminan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh ada beberapa Pasal dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang perlu diperhatikan seperti:

1. Penyandang Cacat (Pasal 67)

1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. 2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pekerja Anak (Pasal 68, 69 dan 72)

a. Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68) b. Pasal 69

1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.

2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a) Izin tertulis dari orang tua atau wali

b) Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali c) Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam

d) Dilakukan pada siang hari dan tidak menganggu waktu sekolah e) Keselamatan dan kesehatan kerja

f) Adanya hubungan kerja yang jelas; dan

g) Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berbeda.

h) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. c. Pasal 72

Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.

3. Pekerja/buruh Perempuan

Mengenai pekerja/buruh perempuan diatur dalam Pasal 76 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, sebagai berikut:

1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang

menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00

3) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00

4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagi pekerja/buruh perempuan ada hak-hak yang berbeda dengan laki-laki yakni diatur dalam Pasal 81-83:

a. Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid (Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003)

b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama

c. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003)

d. Pekerja/buruh yang mengalami keguguran berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003)

e. Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja (Pasal 83 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).

4. Waktu Kerja

Dalam aturan tentang Ketenagakerjaan maka waktu kerja merupakan masalah penting karena berhubungan dengan efisiensi kerja maupun kemampuan tenaga kerja. Oleh karena itu, setiap pengusaha wajib melaksanakan

ketentuan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang memberikan rincian waktu kerja meliputi:

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Apabila pengusaha mempekerjakan melebihi waktu kerja harus membayar atas lembur, maka wajib bagi pengusaha memliki persetujuan dari pekerja/buruh dan waktu lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam waktu 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam waktu 1 (satu) minggu.

Selain membayar uang lembur, maka pengusaha wajib memberikan waktu istirahat kepada pekerja/buruh. Waktu istirahat sebagaimana diatur dalam Pasal 79 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pekerja/buruh berhak menolak pekerjaan pada saat hari-hari libur. Sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Akan tetapi apabila pengusaha terpaksa mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi karena sesuatu kepentingan dari jenis dan sifat pekerjaan harus dijalankan dan dilaksanakan secara terus-menerus atau keadaan karena

kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh maka bekerja pada hari libur harus dibayar sesuai dengan aturan pembayaran lembur upah kerja. Hal

ini diatur dalam Pasal 85 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Pengusaha

dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara

pekerja/buruh dengan pengusaha”. E. Tinjauan Pekerja Harian Lepas

1. Pengertian Pekerja Harian Lepas

Pada dasarnya peraturan perundang-undangan dalam bidang ketenagakerjaan berlaku terhadap semua pekerja tanpa membedakan status baik itu pekerja tetap ataupun pekerja harian lepas.Kenyataannya indutri-industri masih banyak memperkerjakan pekerja harian lepas.Pekerja harian lepas masih belum mendapatkan perlindungan sesuai haknya sehingga perlu adanya suatu peraturan yang mengatur tentang pekerja harian lepas.

Pekerja/buruh harian lepas adalah pekerja/buruh yang diikat dengan hubungan kerja dari hari ke hari dan menerima penerimaan upah sesuai dengan banyaknya hari kerja atau jam kerja atau banyak barang atau jenis pekerjaan yang disediakan. Disebut pekerja/buruh harian lepas karena pekerja/buruh yang bersangkutan tidak ada kewajiban untuk masuk kerja dan tidak mempunyai hak yang sama seperti pekerja/buruh tetap. Umumnya pekerja/buruh adalah pekerja/buruh yang mengerjakan pekerjaan yang sifatnya tidak terus-menerus tetapi bersifat musiman.

Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasal 12 menjelaskan tentang pekerja harian lepas yaitu:

a. Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.

b. Perjanjiankerjaharianlepassebagaimanadimaksuddalamayat (1) dapat dibuat berupa daftar pekerja/ buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat: 1) Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.

2) Nama/alamat pekerja/buruh. 3) Jenispekerjaan yang dilakukan.

4) Besarnyaupahdan/atauimbalanlainnya.

c. Daftarpekerja/buruhsebagaimanadimaksuddalamayat (2) disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga kerjaan setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak memperkerjakan pekerja/buruh.

Tenaga kerja harian lepas merupakan buruh yang diikat dengan hubungan kerja dari hari ke hari dan menerima upah sesuai dengan banyaknya hari kerja, atau jam kerja atau banyak barang atau jenis pekerjaan yang disediakan.

2. Sumber Hukum Pekerja Harian Lepas

Aturan tentang tenaga kerja harian lepas ada dalam Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasal 10 yaitu:

a. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah daam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.

b. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.

c. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.

Ketentuan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari Pasal 56 sampai dengan Pasal 59 yang mana dibagian akhir dari Pasal 59 yakni

pada ayat (8) disebutkan bahwa : “Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal

ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri”. Ketentuan inilah

yang mendasari terbitnya Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Selanjutnya terkait dengan hak mendapatkan jaminn sosial bagi semua pekerja/buruh termasuk pekerja harian lepas diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dimana terkait tentang ketenagakerjaan ada dalam Pasal 15 yang menyebutkan bahwa: a. Pemberi kerja bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya

sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.

b. Pemberi kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.

c. Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

3. Perlindungan terhadap tenaga kerja harian lepas

Banyak sekali peraturan perundang-undangan yang melindungi seorang tenaga kerja.Seperti yang diketahui bahwa tujuan hukum ketenagakerjaan adalah melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan yang diselenggarakan dengan jalan melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan majikan (Imam Soepomo, 1974: 1).

Pada dasarnya peraturan perundang-undangan tentang Ketenagakerjaan berlaku untuk semua pekerja tanpa membedakan statusnya baik sebagai pekerja tetap maupun pekerja harian lepas.Namun pada kenyataannya masih banyak pekerja harian lepas yang masih belum mendapatkan perlindungan sebagaimana mestinya maka dari itu perlu adanya suatu peraturan yang memberikan perlindungan bagi pekerja harian lepas.

Pelaksanaan perlindungan pekerja harian lepas seharusnya sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Ketentuan yang mendasari terbentuknya Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 yakni Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 56 sampai dengan Pasal 59, yang

mana di bagian akhir dalam Pasal 59 ayat (8) disebutkan bahwa “Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dalam Keputusan

Menteri”.

Perjanjian pekerja harian lepas diatur dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 12 Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Ada beberapa ketentuan umum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu :

a. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.

b. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.

c. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Sebelum adanya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sudah ada aturan yang mengatur tentang jaminan sosial terhadap pekerja harian lepas yaitu Keputusan Menteri Nomor 150 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Tertentu

Pasal 2 ayat (1) “Setiap pengusaha yang memperkerjakan tenaga kerja harian

lepas, borongan dan perjanjian kerja waktu tertentu wajib mengikutsertakan

Sama halnya setelah terbitnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam Pasal 15 ayat (1)

disebutkan bahwa “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya

dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti”. Jika pemberi kerja

selain penyelenggara negara tidak melaksanakan ketentuan tersebut maka akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dapat berupa:

a. Teguran tertulis b. Denda; dan/atau

c. Tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.

Dokumen terkait