• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Penyelesaian Sengketa Bidang Ketenagakerjaan

Perselisihan atau disebut pula sengketa atau dalam bahasa Inggris disebut dengan conflict atau dispute merupakan suatu akibat yang terjadi dari hubungan antar manusia.Menurut Ronny Hanitijo Soemitro dalam Lalu Husni (1984: 22) yang dimaksud dengan konflik adalah situasi atau keadaan dimana dua atau lebih pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya masing-masing. Sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lain, maka merupakan suatu hal yang wajar jika dalam interaksi tersebut terjadi perbedaan paham yang mengakibatkan konflik antara satu dengan yang lain. Demikian halnya dalam bidang

perburuhan/ketenagakerjaan, meskipun para pihak yang terlibat di dalamnya sudah diikat dengan perjanjian kerja namun terjadi konflik tetap tidak dapat dihindari.

Sebelum Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial lahir, istilah penyelesaian perselisihan hubungan industrial dikenal dengan nama penyelesaian perselisihan perburuhan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mendefiniskan perselisihan hubungan industrial adalah sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan. Selain ada Undang-undang tersendiri yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan pun sudah menjelaskan tentang pengertian perselisihan hubungan industrial yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (22) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dilihat dari sudut subjek hukumnya terdapat 2 (dua) jenis perselisihan hubungan industrial, yaitu:

1) Perselisihan hubungan industrial yang subjek hukumnya pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh

a. Perselisihan Hak

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menegaskan bahwa perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Undang-undang, Perancangan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama. Menurut Sehat Damanik (2006: 21) perselisihan hak bersifat normatif karena yang diperselisihkan mengenai hal-hal yang telah ada pengaturannya atau dasar hukumnya.Jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 1 formalitas perselisihan hak adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan, karena tidak dipenuhinya hak.Subjek hukumnya adalah pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh.

b. Perselisihan Kepentingan (belangengeschil)

Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja dalam Perancangan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama (Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).

c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan

kerja yang dilakukan salah satu pihak. Hal-hal yang lebih rinci tentang pemutusan hubungan kerja diatur dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 172 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2) Perselisihan hubungan industrial yang subjek hukumnya serikat pekerja/buruh

dengan serikat pekerja/buruh lain dalam satu perusahaan

a. Perselisihan antara Serikat Pekerja/Buruh dalam Satu Perusahaan

Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatan.

Bilamana terjadi perselisihan perburuhan, maka serikat buruh dan majikan mencari penyelesaian perselisihan itu secara damai dengan jalan perundingan.Persetujuan yang dicapai melalui perundingan itu dapat disusun menjadi perjanjian perburuhan menurut ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang perjanjian perburuhan. Jika dalam perundingan itu oleh pihak-pihak yang berselisih sendiri tidak dapat diperoleh penyelesaian, maka ada 2 alternatif yang dapat ditempuh yakni:

1) Menyerahkan perselisihan itu secara sukarela pada seorang juru atau dewan pemisah. Penyelesaian seperti ini disebut juga dengan penyelesaian sukarela

Penyelesaian sukarela dilakukan oleh juru atau dewan pemisah sebagai arbitrase. Penyerahan perselisihan kepada juru pemisah atau dewan pemisah harus dilakukan dengan surat perjanjian antara kedua belah pihak. Dalam surat perjanjian itu diterangkan mengenai:

a. Pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang akan diserahkan kepada dewan pemisah untuk diselesaikan.

b. Nama pengurus atau wakil serikat buruh dan majikan serta tempat kedudukan mereka.

c. Siapa yang ditunjuk menjadi juru pemisah atau dewan pemisah dan tempat tinggalnya.

d. Bahwa kedua belah pihak akan tunduk kepada putusan yang akan diambil oleh juru pemisah atau dewan pemisah.

e. Hal-hal yang perlu untuk melancarkan pemisahan.

Penunjukan juru pemisah atau pembentukan dewan pemisah demikian pula mengenai tata cara pemisahan terserah sepenuhnya kepada persetujuan kedua belah pihak. Terhadap putusan juru atau dewan pemisah tidak dapat dimintakan pemeriksaan ulangan. Putusan juru atau dewan pemisah dapat dimintakan pengesahan dari panitia pusat dan panitia pusat ini harus memberikan pengesahannya kecuali:

a) Jika ternyata putusan itu melampaui kekuasaan juru atau dewan pemisah. b) Di dalamnya terdapat hal-hal yang menunjukan itikad buruk.

c) Di dalamnya terdapat hal-hal yang bertentangan dengan Undang-undang, ketertiban umum atau dengan tata susila.

2) Menyerahkan perselisihan itu kepada pegawai perantara Dinas Tenaga Kerja. Penyelesaian seperti ini disebut Penyelesaian Wajib (Compulsory arbitration).

Penyelesaian perselisihan secara wajib yakni penyelesaian yang dilakukan melalui pegawai perantara dan institusi yang berwenang untuk menyelesaiakan perselisihan perburuhan, karena itu disebut dengan istilah penyelesaian wajib.

Perselisihan perburuhan yang tidak dapat diselesaikan dengan perundingan dan oleh pihak yang berselisih tidak menyerahkannya kepada juru atau dewan pemisah, maka para pihak atau salah satu dari mereka memberitahukan dengan surat kepada pegawai perantara Kantor Dinas Tenaga Kerja setempat. Pemberitahuan ini sekaligus permintaan kepada pegawai perantara Kantor Dinas Tenaga Kerja untuk memberikan perantaraan terhadap perselisihan perburuhan yang terjadi (Lula Husni, 119-122: 2003).

Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: a. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan atau Non Litigasi

Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dilakukan untuk menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah mufakat dan hasil penyelesaian konflik atau sengketa secara kekeluargaan. Menurut Tim Badan Pembinaan Hukum (2010: 49) bentuk-bentuk penyelesaian sengketa melalui jalur Non-Litigasi, sebagai berikut:

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, pengertian perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Upaya perundingan bipartit diatur dalam Pasal 3 sampai Pasal 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam menyelesaiakan perselisihan hubungan industrial diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Undang-undang telah menentukan secara tegas bahwa setiap perselisihan terjadi (perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dan perselisihan antar serikat pekerja) antar pekerja dan pengusaha wajib hukumnya untuk diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang berselisih, yaitu secara bipartit sebelum menempuh jalur penyelesaian yang lainnya sebab tanpa adanya campur tangan dari pihak yang lain sehingga dapat hasil yang menguntungkan kedua belah pihak (Ugo dan Pujiyo, 2011: 54). Penyelesaian melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan dan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan, tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit tersebut dianggap gagal.

Jika perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipartit telah dilakukan (Zaeni Asyahdie, 2008: 159-160). Apabila perundingan dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian bersama tersebut mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian bersama tersebut, sebagaimana ketentuan Pasal 1385 KUHPerdata akan mengikat para pihak sebagai Undang-undang.

Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial perjanjian bersama pun menjadi wajib hukumnya untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Namun, apabila perjanjian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.

2) Mediasi

Sesuai ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, apabila tidak terjadi kesepakatan antara para pihak bersengketa, sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan para pihak sebelum perkara sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial dapat digunakan Lembaga Mediasi. Perkara yang

ditangani lembaga mediasi adalah perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja atau serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Mediator dalam rangka penyelesaian perkara melakukan mediasi atau menjadi juru damai yang dapat menjadi penengah dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial tersebut. Mediator harus menyelesaiakan tugasnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan.Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut maka dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan Mediator tersebut.Selanjutnya perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Namun, jika tidak terjadi kesepakatan maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis, selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak menerima anjuran tersebut para pihak harus memberikan jawaban apakah menyetujui atau menolak anjuran yang dibuat mediator. Apabila anjuran tersebut disetujui, maka dalam waktu 3 (tiga) hari sejak disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran, apabila perjanjian ditolak maka dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri.

3) Konsiliasi

Konsiliasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.Konsiliator menjalankan tugasnya setelah para pihak mengajukan permintaan tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati olehpara pihak yang berselisih.Jika terjadi kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator.

Namun, jika upaya musyawarah yang ditengahi oleh konsiliator gagal menghasilkan mufakat, maka konsiliator membuat anjuran tertulis.Apabila anjuran tertulis konsiliator tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka perselisihan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 24 ayat (1).Penegasan di dalam Pasal ini menunjukan bahwa tidak mungkin perselisihan hubungan industrial langsung diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Salah satunya harus melewati proses penyelesaian konsiliasi.

4) Arbitrase

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memberi peluang pada para pihak untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui lembaga arbitrase.Perkara yang ditangani lembaga arbitrase adalah sengketa perihal

perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dan pengusaha di dalam suatu perusahaan. Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial.

Apabila untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut Arbitrase dapat mencapai kesepakatan, maka Arbiter harus membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter.Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan di Pengadilan, dan dapat pula dieksekusi oleh Pengadilan sebagaimana lazimnya mengeksekusi suatu putusan. Putusan Kesepakatan Arbitrase tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial.Terhadap putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum, tidak dapat dimajukan lagi. Karenanya terhadap sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.

b. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan atau Litigasi

Penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan suatu proses gugatan, suatu sengketa diritualisasikan yang menggantikan sengketa sesungguhnya, yaitu para pihak dengan memberikan kepada seseorang pengambil keputusan

dua pilihan yang bertentangan (Salim, 2003: 141). Untuk mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan di undangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai wadah peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan umum.

Dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatakan Pengadilan hubungan industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan: a) Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.

b) Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan. c) Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja. d) Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Lula Husni. 2004: 47).

Perselisihan hubungan industrial bisa diantisipasi apabila pekerja/buruh dan pengusaha melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan aturan yang berlaku.Namun, dari sisi aturan sering sekali menimbulkan permasalahan yang krusial bagi pekerja/buruh ataupun pengusaha.Ketika masalah diselesaiakan oleh lembaga peradilan pun, terkadang masih ada ketidakpuasan bagi salah satu pihak.Penyelesaian perselisihan hak yang terjadi dapat dilakukan melalui lembaga pengadilan hubungan industrial jika melalui lembaga-lembaga yang ada tidak berhasil. Hal ini ditegaskan bahwa jika penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak didahului penyelesaiannya melalui lembaga non litigasi maka pengajuan gugatan tidak

akan diperiksa oleh Pengadilan Hubungan Industrial, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 83 ayat (1) menyebutkan bahwa pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui lembaga mediasi atau konsiliasi, maka Hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada Penggugat (Sehat Damanik, 2006: 24).

Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak dikenal upaya hukum banding, tetapi mengenal upaya hukum kasasi.Jika Pengadilan Hubungan Industrial memutus perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka pihak yang tidak puas atas putusan tersebut dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Dokumen terkait