• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum - SUFI NUR ABIDAH BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum - SUFI NUR ABIDAH BAB II"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum dalam bahasa Inggris disebut legal protection,

sedangkan dalam bahasa Belanda disebut Rechtsbechermin. Harjono (2008: 357) memberikan pengertian perlindungan hukum sebagai perlindungan dengan

menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum,

ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu

dengan menjadikan kepentingan yang dilindungi tersebut dalam sebuah hak hukum.

Perlindungan hukum adalah upaya melindungi kepentingan seseorang

dengan cara memberikan suatu kekuasaan kepada orang tersebut untuk

melakukan tindakan yang dapat memenuhi kepentingannya (Satjipto Rahardjo,

2003: 121). Muchsin (2003: 14) berpendapat bahwa perlindungan hukum

merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan

nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam

menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.

Menurut Philipus M. Hadjon (1994: 2), perlindungan hukum adalah

sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal

dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan

perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan

tidak terpenuhinya hak-hak tersebut. Philipus M. Hadjon juga mengatakan

(2)

1. Perlindungan hukum preventif

Bahwa hukum mencegah terjadinya sengketa. Fungsi ini dituangkan dalam

bentuk peraturan-peraturan pencegahan yang pada dasarnya merupakan

patokan bagi setiap tindakan yang akan dilakukan masyarakat, meliputi

seluruh aspek tindakan manusia.

2. Perlindungan hukum represif

Perlindungan hukum represif bersifat penanggulangan atau pemulihan

keadaan sebagai akibat tindakan terdahulu yang berfungsi untuk

menyelesaiakan apabila terjadi sengketa (Philipus M. Hadjon, 1987: 2).

Untuk menjalankan perlindungan hukum yang represif bagi rakyat Indonesia,

terdapat berbagai badan yang secara parsial mengurusnya. Badan-badan

tersebut selanjutnya dikelompokan menjadi 2 bagian, yaitu:

a. Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum

b. Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi.

Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah

yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan

banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa

dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Sehingga, instansi

pemerintah yang berwenang untuk mengubah bahkan dapat membatalkan

tindakan pemerintah tersebut.

Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi

masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai

(3)

(Setiono, 2004: 3). Bambang Sunggono (2003: 26-27) menjelaskan bahwa

perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek

hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun

yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah

untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar dan

bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang

berlaku. Dengan demikian, suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai

perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut (Dinni

Harina Simanjuntak, 2011):

1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya

2. Jaminan kepastian hukum

3. Berkaitan dengan hak-hak warga negara

4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.

B. Tentang Perlindungan Hukum dalam Perspektif Ketenagakerjaan

1. Pengertian Tenaga Kerja/Pekerja

Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan,

selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman

penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama

(sebelum Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

menggunakan istilah buruh. Pada zaman Belanda yang dimaksudkan dengan

(4)

pekerjaan kasar, orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”.

Sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta

disebut sebagai karyawan/pegawai (White Collar). Pembedaan yang membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh

pemerintah Belanda tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah

orang-orang pribumi (Lalu Husni, 2003: 33).

Setelah merdeka kita tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus

dan buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja disektor swasta baik pada

orang maupun badan hukum disebut buruh.Saat ini istilah buruh diganti

dengan pekerja karena buruh dianggap kurang sesuai dengan perkembangan

sekarang. Yang mana pekerja merupakan sumber daya manusia yang memiliki

potensi, kemampuan yang tepat guna, berpribadi dalam kategori tertentu

untuk bekerja dan berperan serta dalam pembangunan, sehingga berhasil guna

bagi dirinya dan masyarakat secara keseluruhan (Hamalik, 2000: 7).

Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan Bab I Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa tenaga kerja adalah

setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang

atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

Kemudian Pasal 1 ayat (3) memberikan arti secara normatif mengenai

pekerja/buruh yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain. Singkatnya, setiap orang yang bekerja dengan

menerima upah dan imbalan dalam bentuk lain. Dalam definisi ini terdapat

(5)

Pengertian tenaga kerja ini lebih luas dari pengertian pekerja/buruh

karena pengertian tenaga kerja mencakup pekerja/buruh, yaitu tenaga kerja

yang sedang terikat dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum

bekerja. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima

upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi,pekerja/buruh adalah tenaga kerja

yang sedang dalam ikatan hubungan kerja (Hardijan Rusli, 2003: 13).

Selanjutnya Pasal 1 huruf (c) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981

tentang Perlindungan upah menentukan bahwa buruh adalah tenaga kerja

yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah. Demikian juga Pasal 1

huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor

Ketenagakerjaan di Perusahaan, menyatakan bahwa buruh adalah tenaga kerja

yang menerima upah. Oleh karena itu, ruang lingkup pekerja/buruh sangat

luas, yakni dapat meliputi mulai pembantu rumah tangga, tukang becak

sampai pimpinan perusahaan yang menerima upah sebagai imbalan

prestasinya dari majikan (Darwan Prist, 2000: 21).

Menurut Sendjun H. Manullang (2001: 3-5) mengemukakan bahwa

"Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik

di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi, pengertian tenaga kerja

meliputi tenaga kerja yang bekerja di dalam dan di luarhubungan kerja

dengan alat produksi utamanya dalam proses produksi adalahtenaganya

sendiri, baik fisik maupun pikiran”.

Payaman Simanjuntak dalam R. Joni Bambang (2013: 47) menjelaskan

(6)

kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Pengertian

tenaga kerja dan bukan tenaga kerja menurutnya ditentukan oleh umur/usia.

Tenaga kerja (manpower) terdiri atas dua macam yakni:

a. Angkatan kerja (labour force) yang terdiri atas golongan yang bekerja dan golongan penganggur atau sedang mencari pekerjaan.

b. Angkatan yang bukan angkatan kerja yang terdiri atas golongan yang

bersekolah, golongan yang mengurus rumah tangga, dan golongan lain

atau menerima penghasilan dari pihak lain, seperti pensiunan dll.

Jadi yang disebut tenaga kerja adalah individu yang sedang mencari

pekerjaan atau sedang melakukan pekerjaan yang menghasilkan barang atau

jasa yang sudah memenuhi persyaratan ataupun batasan usia yang telah

ditentukan Undang-undang yang bertujuan untuk memperoleh hasil atau upah

untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

2. Klasifikasi Tenaga Kerja

Klasifikasi tenaga kerja adalah pengelompokan akan ketenagakerjaan

yang sudah tersusun berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan yaitu:

a. Berdasarkan penduduknya

1) Tenaga kerja adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat

bekerja dan sanggup bekerja jika tidak ada permintaan kerja. Menurut

Undang-undang Tenaga Kerja, mereka yang dikelompokkan sebagai

tenaga kerja yaitu mereka yang berusia antara 15 tahun sampai dengan

64 tahun.

2) Bukan tenaga kerja adalah mereka yang dianggap tidak mampu dan

(7)

Undang-mereka adalah penduduk di luar usia, yaitu Undang-mereka yang berusia di

bawah 15 tahun dan berusia di atas 64 tahun. Contoh kelompok ini

adalah para pensiunan, para lansia (lanjut usia) dan anak-anak.

b. Berdasarkan batas kerja

1) Angkatan kerja adalah penduduk uisa produktif yang berusia 15-64

tahun yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja,

maupun yang sedang aktif mencari pekerjaan.

2) Bukan angkatan kerja adalah mereka yang berumur 10 tahun ke atas

yang kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan

sebagainya. Misalnya seperti anak sekolah dan mahasiswa, para ibu

rumah tangga, dan orang cacat, dan para pengangguran.

c. Berdasarkan kualitasnya

1) Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memiliki suatu keahlian

atau kemahiran dalam bidang tertentu dengan cara sekolah atau

pendidikan formal dan non formal. Contoh: pengacara, dokter, guru dan

lain-lain.

2) Tenaga kerja terlatih adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian dalam

bidang tertentu dengan melalui pengalaman kerja. Seperti apoteker, ahli

bedah, mekanik, dan lain-lain.

3) Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih adalah tenaga kerja kasar

yang hanya mengandalkan tenaga saja. Misalnya: tukang bangunan,

buruh angkut, pembantu rumah tangga, dan lain-lain (Agus Dwiyanto,

(8)

3. Bentuk Tenaga Kerja/Pekerja

Menurut Adrian Sutedi (2009: 48), berdasarkan bentuknya pekerja

dibagi menjadi 4 (empat) yaitu:

a. Pekerja dengan Waktu Tertentu (PWT)

Pekerja Waktu Tertentu (PWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja

dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu

tertentu, biasanya masyarakat menyebutnya sebagai pekerja kontrak.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi No.Kep 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, menyatakan bahwa Pekerja Waktu

Tertentu merupakan pekerja yang melakukan pekerjaan yang bersifat

sementara. Perjanjian kerja ini hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu

paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling

lama 1 (satu) tahun.

b. Pekerja dengan Waktu Tidak Tertentu (PWTT)

Pekerja Waktu Tidak Tertentu (PWTT) adalah perjanjian kerja antara

pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang

bersifat tetap.Pada Pekerja Waktu Tidak Tertentu ini dapat disyaratkan

adanya masa percobaan maksimal 3 (tiga) bulan.Pekerja yang

dipekerjakan dalam masa percobaan upahnya harus tetap sesuai dengan

standar upah minimum yang berlaku. Apabila perjanjian Pekerja Waktu

Tidak Tertentu dibuat secara lisan maka pengusaha wajib membuat surat

(9)

c. Pekerja Harian Lepas

Pekerja harian lepas merupakan pekerja yang bekerja pada suatu perusahaan

dimana waktu dari pekerjaan mereka tidak ditentukan secara pasti. Bentuk

dari perjanjian yang diberikan setiap perusahaan kepada pekerja harian

lepas adalah perjanjian secara lisan. Untuk pekerjaan yang berubah-ubah

dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada

kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian ini sebagai salah satu

bentuk terpendek dari perjanjian kerja waktu tertentu. Hubungan kerja

dengan membuat perjanjian ini dapat dilakukan dengan ketentuan, pekerja

bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan. Apabila

pekerja telah bekerja selama 21 (dua puluh satu) hari atau lebih, selama 3

(tiga) bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian lepas

harus berubah menjadi perjanjian kerja waktu tertentu.

d. Outsourcing merupakan bentuk pekerjaan dimana para pengusaha mengambil pekerja dari perusahaan yang membentuk pekerja tersebut,

dan pengusaha yang bersangkutan membayar upah pekerja kepada

perusahaan tersebut. Dengan kata lain bahwa, perusahaan yang

membentuk pekerja tersebut yang membayar upah. Berdasarkan hukum

ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat

menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya

melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja

(10)

4. Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja/Pekerja

Hak-hak dan kewajiban para tenaga kerja yang terdapat dalam

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan antara lain:

a. Hak-hak Pekerja

1) Pasal 5 Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa

diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.

2) Pasal 6 Setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa

diskriminasi dari pengusaha.

3) Pasal 11 Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau

meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai

dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.

4) Pasal 12 ayat (3) Setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk

mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.

5) Pasal 18 ayat (1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan

kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang

diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan

kerja swasta atau pelatihan ditempat kerja.

6) Pasal 23 Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan

berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan

atau lembaga sertifikasi.

7) Pasal 31 Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang

sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan

(11)

8) Pasal 67 Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang

cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat

kecacatannya.

9) Pasal 78 ayat (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi

waktu kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (1) wajib

membayar upah kerja lembur.

10) Pasal 79 ayat (1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti

kepada pekerja.

11) Pasal 80 Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya

kepada pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh

agamanya.

12) Pasal 82 Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5

(satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu

setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter

kandungan atau bidan.

13) Pasal 84 Setiap pekerja yang menggunakan hak waktu istirahat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c dan d, Pasal

80 dan Pasal 82 berhak mendapatkan upah penuh.

14) Pasal 85 ayat (1) Pekerja tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.

15) Pasal 86 ayat (1) Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh

perlindungan atas:

a) Keselamatan dan kesehatan kerja

(12)

c) Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta

nilai-nilai agama.

16) Pasal 88 Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang

memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

17) Pasal 90 Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah

minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.

18) Pasal 99 ayat (1) Setiap pekerja dan keluarganya berhak untuk

memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.

19) Pasal 104 ayat (1) Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi

anggota serikat pekerja.

20) Pasal 137 Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja dan serikat pekerja

dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya

perundingan.

21) Pasal 156 ayat (1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,

pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan uang penghargaan

masa kerja sertauang pengganti hak yang seharusnya diterima.

b. Kewajiban Tenaga Kerja/Pekerja

1) Pasal 102 ayat (2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja

dan serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai

dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,

menyalurkan aspirasi secara demokrasi, mengembangkan keterampilan

dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan

(13)

2) Pasal 126 ayat (1) Pengusaha, serikat pekerja dan pekerja wajib

melaksanakanketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

Pengusaha dan serikat pekerjawajib memberitahukan isi perjanjian

kerja bersama atau perubahannya kepadaseluruh pekerja.

3) Pasal 136 ayat (1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial

wajibdilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja

secara musyawarahuntuk mufakat.

4) Pasal 140 ayat (1) Sekurang kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja

sebelummogok kerja dilaksanakan, pekerja dan serikat pekerja wajib

memberitahukansecara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang

bertanggung jawab dibidangketenagakerjaan setempat.

5. Tentang Hukum Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan adalah semua hal yang berhubungan dengan tenaga

kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja, pengertian ini ada

dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Definisi Hukum Perburuhan menurut para ahli hukum

antara lain sebagai berikut (Karta Sapoetra, dkk, 1994: 15):

a. Menurut Molenaar, hukum perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku,

yang pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha,

antara tenaga kerja dan tenaga kerja.

b. Mok mengatakan bahwa hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan

dengan pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan

(14)

c. Menurut Soetikno Hukum Ketenagakerjaan adalah keseluruhan

peraturan-peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang

secara pribadi ditempatkan di bawah perintah atau pimpinan orang lain dan

mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut

dengan hubungan kerja tersebut.

d. M.G Levenbach, hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan

dengan hubungan kerja, yakni pekerja di bawah pimpinan dan dengan

keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan

kerja itu.

e. Menurut Syahrani Hukum Perburuhan adalah keseluruhan peraturan

hukum yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu hubungan

antara buruh dan majikan dengan perintah (penguasa).

Dari beberapa definisi para ahli, hukum ketenagakerjaan memiliki

unsur-unsur sebagai berikut:

a. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis

b. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan

pengusaha/majikan

c. Adanya orang pekerja pada dan di bawah orang lain, dengan mendapatkan

upah sebagai balas jasa

d. Mengatur perlindungan pekerja/buruh, meliputi masalah sakit, haid, hamil,

melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/buruh dan sebagainya

(15)

6. Tujuan Hukum Ketenagakerjaan

Menurut Manulang (1995: 2) bahwa tujuan hukum ketenagakerjaan

adalah:

a. Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang

ketenagakerjaan.

Artinya bahwa hukum ketenagakerjaan harus menjaga ketertiban, keamanan,

dan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dalam proses produksi, untuk

dapat mencapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha.

b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari

pengusaha.

Dilatarbelakangi adanya pengalaman selama ini yang kerap kali terjadi

kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja/buruh.Untuk itu

diperlukan suatu perlindungan hukum secara komprehensif dan konkret

dari pemerintah.

Dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa

pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk:

a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan

manusiawi.

b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja

yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.

c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan

kesejahteraan; dan

(16)

Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja dimaksudkan untuk

dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja

Indonesia.Selanjutnya, tenaga kerja Indonesia diharapkan dapat berpartisipasi

secara optimal dalam pembangunan nasional, tetapi dengan tetap menjunjung

nila-nilai kemanusiaannya.Dengan demikian, tujuan pembangunan

ketenagakerjaan adalah menjadikan tenaga kerja Indonesia sebagai subjek

pembangunan, bukan sebaliknya menjadi objek pembangunan.

7. Sumber Hukum Ketenagakerjaan

a. Undang-undang

Dipandang dari sudut kekuatan hukum, Undang-undang adalah sumber

hukum yang terpenting dan terutama.Undang-undang adalah peraturan

yang ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat. Undang-undang dan peraturan lain yang dipergunakan sebagai

pedoman dalam hukum ketenagakerjaan antara lain:

1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengawasan

Ketenagakerjaan Dalam Industri dan Perdagangan

3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial

4) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional

5) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara

(17)

b. Peraturan lain

Peraturan lainnya ini kedudukannya adalah lebih rendah dari

undang dan pada umumnya merupakan peraturan pelaksanaan

Undang-undang. Peraturan lain meliputi peraturan pemerintah yang dibuat oleh

Pemerintah (Presiden), Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan

Menteri dan Keputusan Menteri serta Peraturan/Keputusan Instansi lain

yang berkaitan dengan ketenagakerjaan untuk melaksanakan suatu

undang-undang, oleh karena itu isi dari Peraturan Pemerintah itu tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

c. Kebiasaan

Kebiasaan dalam hal ini adalah kebiasaan yang terjadi antara pekerja dan

pemberi kerja yang dilakukan berulang-ulang dan diterima masyarakat

(para pihak baik pekerja maupun pemberi kerja). Contoh: Perekrutan

Pegawai tanpa pelatihan terstruktur (industri kecil dan menengah).

d. Yurisprudensi

Semenjak diberlakukannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap (in kracht) akan menjadi dasar hukum bagi hakim

untuk memutus perkara serupa.

e. Traktat

Terkait dengan masalah ketenagakerjaan, perjanjian merupakan sumber

hukum tenaga kerja ialah perjanjian kerja.Perjanjian kerja mempunyai sifat

kekuatan hukum mengikat dan berlaku seperti Undang-undang pada pihak

(18)

C. Teori Keadilan dan Teori Kesejahteraan Terkait Perlindungan Pekerja

1. Teori Keadilan

Istilah keadilan (Iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti tidak berat

sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak

sewenang-wenang. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa

pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenaan dengan sikap dan

tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi sebuah tuntutan agar

orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya,

perlakuan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih, melainkan semua

orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya.

Teori Keadilan menurut Gustav Radbruch (1878-1949) dapat dibedakan

menjadi tiga aspek yaitu:

1. Keadilan dalam arti sempit.

Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.

2. Tujuan keadilan atau finalitas.

Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan

tujuan yang hendak dicapai.

3. Kepastian hukum atau legalitas.

Aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang

harus ditaati (Theo Huijbers, 1982: 52).

Landasan pemikiran Gustav Radbruch adalah nilai keadilan sebagai

mahkota dari setiap tata hukum. Radbruch sebagai eksponen Neo-Kantian

(19)

antara Sein dan Sollen, antara ‘materi’ dan bentuk. Jika, Stammler, John

Austin dan Hans Kelsen terperangkap dalam dualism itu, dimana yang

dipentingkan dalam hukum hanyalah dimensi formal atau bentuknya, maka

Radbruch tidak mau ‘terjebak’ dalam hal yang sama. Radbruch memandang

bahwa Sein dan Sollen, “materi” dan “bentuk”, sebagai dua sisi dari satu mata

uang. “Materi” mengisi “bentuk” dan “bentuk” melindungi “materi”.

Demikian makna dari frase yang tepat untuk melukiskan teori Redbruch

tentang hukum dan keadilan. Nilai keadilan adalah “materi” yang harus

menjadi isi aturan hukum, sedangkan aturan hukum adalah “bentuk” yang

harus melindungi nilai keadilan (Bernard L Tanya, 2013: 129).

Memperhatikan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa Radbruch

mengkombinasikan antara pendekatan empiris dengan pendekatan normatif.

Radbruch memahami hukum sebagai ilmu kultur empiris dan normatif.

Dengan kata lain, Radbruch memandang hukum selalu mengacu pada

nilai-nilai keadilan dan kepastian. Pandangan keadilan Radbruch ini tidak dapat

dipisahkan dari konsep Aristoteles yang membedakan antara keadilan

distributif dan keadilan komutatif.Keadilan distributif mempersoalkan

bagaimana negara atau masyarakat membagi atau menebar keadilan kepada

orang-orang sesuai dengan kedudukannya. Sedangkan keadilan komutatif

mengandung pengertian tidak membedakan posisi atau kedudukan

(20)

Bagi filosof seperti Aristoteles, keadilan merupakan nilai kebajikan yang

tertinggi. Sementara bagi Plato keadilan merupakan “justice is the suprime

virtue which harmonize all other virtues”. Ini berarti bahwa keadilan sebagai

suatu kebajikan individual (individual virtue). Karena itu dalam Institute of Justinian, keadilan merupakan tujuan yang kontinyu dan konstan untuk memberikan kepada setiap orang haknya (Roscoe Pound, 1952: 3).

Apabila disarikan pandangan para ahli tentang keadilan tadi, maka

konsep keadilan yang tepat adalah keadilan yang berdasarkan Pancasila, yaitu

Sila Kelima, yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Hakikatnya konsep ini, bukan saja relevan dengan teori kesejahteraan yang

dianut Indonesia, serta landasan hukum pembangunan ekonomi nasional,

yaitu ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun keadilan ini menjadi ruh

atau landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif.

John Rawls (1921-2002) adalah seorang pemikir yang memiliki pengaruh

sangat besar dibidang filsafat politik dan filsafat moral. Melalui

gagasan-gagasan yang dituangkan di dalam a theory of justice (1971).A theory oh justice adalah sebuah karya filsafat politik dan filsafat moral yang kuat, mendalam, subtil, luas dan sistematik. Merumuskan prinsip-prinsip yang

mengatur distribusi hak dan kewajiban diantara segenap anggota suatu

masyarakat. Penekanan terhadap masalah hak dan kewajiban, yang didasarkan

pada suatu konsep keadilan bagi suatu kerja sama sosial, menunjukan bahwa

teori keadilan Rawls memusatkan perhatian pada bagaimana mendistribusikan

(21)

orang berpeluang memperoleh manfaat darinya secara nyata, serta menanggung

beban yang sama. Karenanya, agar menjamin distribusi hak dan kewajiban

yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan pentingnya kesepakatan

yang fair diantara semua anggota masyarakat. Hanya kesepakatan fair yang

mampu mendorong kerja sama sosial (Rawls, 1971: 4-5).

Dalam kondisi awal (posisi asli) sebagaimana dijelaskan diatas, Rawls

percaya bahwa semua pihak akan bersikap rasional, dan sebagai person yang

rasional, semua pihak akan lebih suka memilih prinsip keadilan yang

ditawarkan daripada prinsip manfaat (utilitarianisme). Semua nilai-nilai sosial, kebebasan, kesempatan, pendapatan, dan kekayaan dan basis harga diri

harus didistribusikan secara sama. Suatu distribusi yang tidak sama atas

nilai-nilai sosial tersebut hanya diperbolehkan apabila hal itu memang

menguntungkan orang-orang yang paling tidak beruntung (Rawls, 1971: 62).

Bertolak belakang dari prinsip umum diatas, Rawls merumuskan kedua

prinsip keadilan sebagai berikut:

a. Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang

paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang

b. Ketidaksamaan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga;

1) Diharapkan memberi keuntungan bagi orang-orang yang paling tidak

beruntung

2) Semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang

(22)

2. Teori Kesejahteraan

Teori Negara Kesejahteraan menurut Watts, Dalton dan Smith bahwa

ide dasar Negara kesejahteraan sebenarnya sudah ada sejak abad ke-18,

ketika Jeremy Bentham (1748-1832) memandang bahwa pemerintah

mempunyai tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (welfare) of the greatest sumber of their citizens.Artinya, pemerintah berkewajiban membuat bahagia sebanyak mungkin warganya (Bessant et al,

2006: 11).

Senadadengan Bentham, Thoenes juga mengemukakan bahwa Welfare State merupakan “a form of society characterizedby a system of democratic government-sponsored welfare placed on a new footing and offering a guarantee of collective social care to its citizens, concurrently”. Artinya,

bahwa pemerintah memberikan jaminan pelayanan sosial kepada warganya

(Ade Komarudin, 2014: 8).

Edi Suharto (2006: 3-4) mengatakan, konsep negara kesejahteraan

adalah dalam rangka memberikan peran lebih besar kepada negara dalam

penyelenggaraan sistem jaminan sosial (social security) secara terencana. Setidaknya ada 4 (empat) pengertian mengenai konsep kesejahteraan yang

dikemukakan, yaitu sebagai kondisi sejahtera, pelayanan sosial, tunjangan

sosial, dan sebagai proses atau usaha terencana, dimana hal ini dilaksanakan

oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan

pemerintah dalam meningkatkan kualitas kehidupan (sebagai pengertian

(23)

Sederhananya, Negara kesejahteraan (welfare state) menuntut tanggung jawab Negara terhadap kesejahteraan para warganya. Konsep ini sesuai

dengan apa yang dirumuskan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945,

yang kemudian dijabarkan ke dalam batang tubuhnya. Dimana ketentuan

tersebut mempunyai arti bahwa negara (pemerintah) dibentuk dengan tujuan

untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

D. Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan

Menyadari pentingnya peran pekeja/buruh dalam keberhasilan suatu

industri maka harus diperhatikan juga keselamatan, kesehatan serta

kesejahteraan pekerja sehingga perlu adanya upaya peningkatan perlindungan

pekerja. Perlindungan hukum ketenagakerjaan adalah keseluruhan norma-norma

hukum publik yang tertuju pada pengaturan keadaan perburuhan di perusahaan.

Pengaturan ini beraspek materil dan in materil (Mustari, 2013: 35). Tujuannya

adalah untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis

tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.

Seperti dalam Pasal 24 D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap

orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan

layak dalam hubungan kerja”.

Secara yuridis pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003,

memberikan perlindungan bagi tenaga kerja yang mencakup orang yang belum

bekerja, yaitu orang yang tidak terikat dalam hubungan kerja (pekerja/buruh),

(24)

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau yang lebih disukai oleh

pekerja/buruh. Sedangkan Pasal 6 ini merupakan perlindungan bagi

pekerja/buruh (orang yang sedang dalam ikatan hubungan kerja) saja. Selain itu,

perbedaan Pasal 5 dan Pasal 6 adalah mengenai subyek pelakunya. Pasal 5

berlaku bagi siapa saja, dalam arti tidak terbatas bagi pengusaha tertentu saja,

melainkan mencakup pengertian pengusaha secara umum, artinya bisa

pengusaha atau siapa saja, misalkan perusahaan A, perusahaan B atau

perusahaan C dan sebagainya, termasuk juga perusahaan penempatan tenaga

kerja, tetapi dalam Pasal 6 subyek pelakunya adalah terbatas bagi pengusaha

yang mempekerjakan pekerja/buruh tersebut (Hardijan Rusli, 2011: 8).

Menurut Soepomo perlindungan pekerja dibagi menjadi tiga macam, yaitu :

1. Perlindungan Ekonomis

Perlindungan pekerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila

pekerja tidak mampu bekerja diluar kehendaknya.

2. Perlindungan Sosial

Perlindungan pekerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, kebebasan

berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.

3. Perlindungan Teknis

Perlindungan pekerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja

(Khakim Abdul, 2003: 61-62).

Adapun bentuk perlindungan hukum menurut Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan meliputi:

1. Perlindungan atas hak-hak dalam hubungan kerja.

(25)

3. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

4. Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak dan penyandang

cacat.

5. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan dan jaminan sosial tenaga kerja.

6. Perlindungan atas hak pemutusan hubungan tenaga kerja.

Perlindungan pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan

tuntunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi

manusia, perlindungan fisik dan teknis secara sosial dan ekonomi melalui norma

yang berlaku dalam lingkungan kerja itu (Zaeni Asyahdie, 2007: 78). Menurut

Zainal Asikin (1993: 5) menyebutkan perlindungan hukum dari kekuasaan

majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang

perburuhan yang mengahruskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam

perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena

keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara

sosiologis dan filosofis.

Perlindungan tenaga kerja dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu

(Zainal Asikin, 2002: 76-79):

1. Perlindungan secara Ekonomis atau Jaminan Sosial

Yaitu perlindungan pekerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk

bila tenaga kerja tidak bekerja diluar kehendaknya.Penyelenggara program

jaminan sosial merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban negara

untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat.Jaminan

sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk

(26)

atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang

alami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari

tua dan meninggal dunia.Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa jaminan sosial

tenaga kerja adalah merupakan perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk

santunan berupa uang (jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan tabungan

hari tua) dan pelayanan kesehatan yakni jaminan pemeliharaan

kesehatan.Merupakan hak setiap warga tenaga kerja yang sekaligus

merupakan kewajiban dari majikan.Pada hakikatnya program jaminan sosial

tenaga kerja dimaksud untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus

penerimaan penghasilan keluarga yang sebagian hilang. Disamping itu

program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek antara lain:

a) Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup

minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya

b) Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja mendidk kemandirian

pekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasihan orang lain

jika dalam hubungan kerja terjadi resiko-resiko seperti kecelakaan kerja,

sakit, hari tua dan lainnya.

2. Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja

Yakni perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan

kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Kesehatan

kerja sebagaimana telah dikemukakan diatas termasuk jenis perlindungan

sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan

(27)

memperlakukan pekerja/buruh “semaunya” tanpa memperhatikan norma

-norma yang berlaku, dengan tidak memandang pekerja/buruh sebagai

makhluk tuhan yang mempunyai hak asasi. Karena sifatnya yang hendak

mengadakan ”pembatasan” ketentuan-ketentuan perlindungan sosial dalam

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Bab X

Pasal 68 dan seterusnya bersifat ”memaksa”, bukan mengatur. Akibat adanya

sifat memaksa dalam ketentuan perlindunga sosial Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 ini, pembentuk Undang-undang memandang perlu untuk

menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial ini

merupakan ”hukum umum” (Publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana. Hal

ini disebabkan beberapa alasan berikut:

a) Aturan-aturan yang termuat di dalamnya bukan bermaksud melindungi

kepentingan seorang saja, melainkan bersifat aturan bermasyarakat.

b) Pekerja/buruhIndonesia umumnya belum mempunyai pengertian atau

kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.

Oleh karena itu kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga

pekerja/buruh dari kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan

kesehatan dan kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh melakukan

pekerjaannya. Adanya penekanan ”dalam suatu hubungan kerja”

menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melakukan hubungan

kerja dengan pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial sebagaimana

ditentukan dalam Bab X Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

(28)

3. Perlindungan Teknis atau Keselamatan Kerja

Yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan.

Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis,

yaitu perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang

dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Berbeda

dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk kepentingan

pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan

perlindungan kepada pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah.

a) Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan

menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga pekerja/buruh dapat

memusatkan perhatian pada pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa

khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.

b) Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam

perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat

mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial.

c) Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya

peraturan keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah

untuk mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan meningkatnya

produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.

Selain perlindungan terhadap pekerjanya, terdapat norma perlindungan lain

terhadap pekerja yaitu:

1. Norma Kesehatan Kerja dan Heigiene Kesehatan Perusahaan

Meliputi pemeliharaan dan mempertnggi derajat kesehatan pekerja, dilakukan

dengan mengatur pemberian obat-obatan, perawatan pekerja yang sakit,

(29)

kesehatan perusahaan dan kesehatan pekerja untuk mencegah penyakit, baik

sebagai akibat bekerja atau penyakit umum serta menetapkan syarat

kesehatan bagi perumahan pekerja.

2. Norma Kerja

Meliputi perlindungan terhadap pekerja yang bertalian dengan waktu bekerja,

sistem pengupahan, istirahat, cuti, pekerja wanita, anak, kesusilaan ibadah

menurut agama keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah,

kewajiban sosial kemasyarakatan dan sebagainya guna memelihara

kegairahan dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta

menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral.

3. Kepada pekerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita penyakit

kuman akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitasi

akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerja, ahli warisnya berhak

mendapat ganti kerugian.

Menurut Adrian Sutedi (2009: 13) hanya ada 2 (dua) cara melindungi pekerja/

buruh yakni pertama melalui Undang-undang perburuhan, karena dengan

Undang-undang berarti ada jaminan negara yang memberikan pekerjaan yang

layak, melindunginya di tempat kerja (kesehatan, keselamatan kerja, dan upah

layak) sampai dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun. Kedua, melalui

serikat pekerja/serikat buruh, karena melalui serikat pekerja/serikat buruh

pekerja/buruh dapat menyampaikan aspirasinya, berunding untuk menuntut

hak-hak yang semestinya mereka terima.Serikat pekerja/serikat buruh juga dapat

mewakili pekerja/buruh dalam membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang

mengatur hak-hak dan kewajiban pekerja/buruh dengan pengusaha melalui suatu

(30)

Jaminan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh ada beberapa Pasal

dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang

perlu diperhatikan seperti:

1. Penyandang Cacat (Pasal 67)

1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib

memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pekerja Anak (Pasal 68, 69 dan 72)

a. Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68)

b. Pasal 69

1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan

bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan

15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang

tidak menganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan

sosial.

2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

a) Izin tertulis dari orang tua atau wali

b) Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali

c) Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam

d) Dilakukan pada siang hari dan tidak menganggu waktu sekolah

(31)

f) Adanya hubungan kerja yang jelas; dan

g) Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berbeda.

h) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan

g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

c. Pasal 72

Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh

dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja

pekerja/buruh dewasa.

3. Pekerja/buruh Perempuan

Mengenai pekerja/buruh perempuan diatur dalam Pasal 76 Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003, sebagai berikut:

1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas)

tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00

2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang

menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan

kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai

dengan pukul 07.00

3) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh

perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai

dengan pukul 05.00

4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur

(32)

Bagi pekerja/buruh perempuan ada hak-hak yang berbeda dengan laki-laki yakni

diatur dalam Pasal 81-83:

a. Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan

memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama

dan kedua pada waktu haid (Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003)

b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) diatur dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama

c. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu

setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak menurut perhitungan

dokter kandungan atau bidan dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah

melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat

(1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003)

d. Pekerja/buruh yang mengalami keguguran berhak memperoleh istirahat 1,5

(satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan

atau bidan (Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003)

e. Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi

kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan

selama waktu kerja (Pasal 83 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).

4. Waktu Kerja

Dalam aturan tentang Ketenagakerjaan maka waktu kerja merupakan masalah

penting karena berhubungan dengan efisiensi kerja maupun kemampuan

(33)

ketentuan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang memberikan rincian

waktu kerja meliputi:

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu

untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu

untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Apabila pengusaha mempekerjakan melebihi waktu kerja harus membayar

atas lembur, maka wajib bagi pengusaha memliki persetujuan dari

pekerja/buruh dan waktu lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3

(tiga) jam dalam waktu 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam waktu 1

(satu) minggu.

Selain membayar uang lembur, maka pengusaha wajib memberikan waktu

istirahat kepada pekerja/buruh. Waktu istirahat sebagaimana diatur dalam

Pasal 79 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah pengusaha wajib

memberikan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pekerja/buruh berhak

menolak pekerjaan pada saat hari-hari libur. Sebagaimana diatur dalam Pasal

85 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

bahwa pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Akan

tetapi apabila pengusaha terpaksa mempekerjakan pekerja/buruh pada hari

libur resmi karena sesuatu kepentingan dari jenis dan sifat pekerjaan harus

(34)

kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh maka bekerja pada hari

libur harus dibayar sesuai dengan aturan pembayaran lembur upah kerja. Hal

ini diatur dalam Pasal 85 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Pengusaha

dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari resmi

apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan

secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara

pekerja/buruh dengan pengusaha”.

E. Tinjauan Pekerja Harian Lepas

1. Pengertian Pekerja Harian Lepas

Pada dasarnya peraturan perundang-undangan dalam bidang

ketenagakerjaan berlaku terhadap semua pekerja tanpa membedakan status

baik itu pekerja tetap ataupun pekerja harian lepas.Kenyataannya

indutri-industri masih banyak memperkerjakan pekerja harian lepas.Pekerja harian

lepas masih belum mendapatkan perlindungan sesuai haknya sehingga perlu

adanya suatu peraturan yang mengatur tentang pekerja harian lepas.

Pekerja/buruh harian lepas adalah pekerja/buruh yang diikat dengan

hubungan kerja dari hari ke hari dan menerima penerimaan upah sesuai

dengan banyaknya hari kerja atau jam kerja atau banyak barang atau jenis

pekerjaan yang disediakan. Disebut pekerja/buruh harian lepas karena

pekerja/buruh yang bersangkutan tidak ada kewajiban untuk masuk kerja dan

tidak mempunyai hak yang sama seperti pekerja/buruh tetap. Umumnya

pekerja/buruh adalah pekerja/buruh yang mengerjakan pekerjaan yang

(35)

Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasal 12 menjelaskan tentang

pekerja harian lepas yaitu:

a. Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja

harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.

b. Perjanjiankerjaharianlepassebagaimanadimaksuddalamayat (1) dapat

dibuat berupa daftar pekerja/ buruh yang melakukan pekerjaan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat:

1) Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.

2) Nama/alamat pekerja/buruh.

3) Jenispekerjaan yang dilakukan.

4) Besarnyaupahdan/atauimbalanlainnya.

c. Daftarpekerja/buruhsebagaimanadimaksuddalamayat (2) disampaikan

kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga kerjaan

setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak memperkerjakan

pekerja/buruh.

Tenaga kerja harian lepas merupakan buruh yang diikat dengan hubungan

kerja dari hari ke hari dan menerima upah sesuai dengan banyaknya hari

kerja, atau jam kerja atau banyak barang atau jenis pekerjaan yang disediakan.

2. Sumber Hukum Pekerja Harian Lepas

Aturan tentang tenaga kerja harian lepas ada dalam Keputusan Menteri

Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja

(36)

a. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah daam hal waktu

dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat

dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.

b. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua

puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.

c. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih

selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian

lepas berubah menjadi PKWTT.

Ketentuan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu diatur dalam

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari Pasal

56 sampai dengan Pasal 59 yang mana dibagian akhir dari Pasal 59 yakni

pada ayat (8) disebutkan bahwa : “Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal

ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri”. Ketentuan inilah

yang mendasari terbitnya Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Selanjutnya terkait dengan hak mendapatkan jaminn sosial bagi semua

pekerja/buruh termasuk pekerja harian lepas diatur dalam Undang-undang

Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dimana

terkait tentang ketenagakerjaan ada dalam Pasal 15 yang menyebutkan bahwa:

a. Pemberi kerja bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya

sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang

(37)

b. Pemberi kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), wajib memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota

keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.

c. Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan

Presiden.

3. Perlindungan terhadap tenaga kerja harian lepas

Banyak sekali peraturan perundang-undangan yang melindungi seorang

tenaga kerja.Seperti yang diketahui bahwa tujuan hukum ketenagakerjaan

adalah melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan yang

diselenggarakan dengan jalan melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan

majikan (Imam Soepomo, 1974: 1).

Pada dasarnya peraturan perundang-undangan tentang Ketenagakerjaan

berlaku untuk semua pekerja tanpa membedakan statusnya baik sebagai

pekerja tetap maupun pekerja harian lepas.Namun pada kenyataannya masih

banyak pekerja harian lepas yang masih belum mendapatkan perlindungan

sebagaimana mestinya maka dari itu perlu adanya suatu peraturan yang

memberikan perlindungan bagi pekerja harian lepas.

Pelaksanaan perlindungan pekerja harian lepas seharusnya sesuai

dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta

Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Ketentuan yang mendasari terbentuknya

Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 yakni Undang-undang Nomor 13

(38)

mana di bagian akhir dalam Pasal 59 ayat (8) disebutkan bahwa “Hal-hal lain

yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dalam Keputusan

Menteri”.

Perjanjian pekerja harian lepas diatur dalam Pasal 10 sampai dengan

Pasal 12 Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Ada beberapa ketentuan umum

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu :

a. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu

dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat

dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.

b. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua

puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.

c. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih

selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian

lepas berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Sebelum adanya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial sudah ada aturan yang mengatur tentang

jaminan sosial terhadap pekerja harian lepas yaitu Keputusan Menteri Nomor

150 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Tertentu

Pasal 2 ayat (1) “Setiap pengusaha yang memperkerjakan tenaga kerja harian

lepas, borongan dan perjanjian kerja waktu tertentu wajib mengikutsertakan

(39)

Sama halnya setelah terbitnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011

tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam Pasal 15 ayat (1)

disebutkan bahwa “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya

dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti”. Jika pemberi kerja

selain penyelenggara negara tidak melaksanakan ketentuan tersebut maka

akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17

ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial dapat berupa:

a. Teguran tertulis

b. Denda; dan/atau

c. Tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.

F. Upaya Penyelesaian Sengketa Bidang Ketenagakerjaan

Perselisihan atau disebut pula sengketa atau dalam bahasa Inggris disebut

dengan conflict atau dispute merupakan suatu akibat yang terjadi dari hubungan antar manusia.Menurut Ronny Hanitijo Soemitro dalam Lalu Husni (1984: 22)

yang dimaksud dengan konflik adalah situasi atau keadaan dimana dua atau

lebih pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat

dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain

mengenai kebenaran tujuannya masing-masing. Sebagai makhluk sosial yang

selalu berinteraksi dengan manusia lain, maka merupakan suatu hal yang wajar

jika dalam interaksi tersebut terjadi perbedaan paham yang mengakibatkan

(40)

perburuhan/ketenagakerjaan, meskipun para pihak yang terlibat di dalamnya

sudah diikat dengan perjanjian kerja namun terjadi konflik tetap tidak dapat

dihindari.

Sebelum Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial lahir, istilah penyelesaian perselisihan

hubungan industrial dikenal dengan nama penyelesaian perselisihan perburuhan

yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957. Pasal 1 ayat (1)

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial mendefiniskan perselisihan hubungan industrial adalah

sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha

atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat buruh karena

adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan

hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu

perusahaan. Selain ada Undang-undang tersendiri yang mengatur tentang

penyelesaian perselisihan hubungan industrial, di dalam Undang-undang

Ketenagakerjaan pun sudah menjelaskan tentang pengertian perselisihan

hubungan industrial yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (22) Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dilihat dari sudut subjek hukumnya terdapat 2 (dua) jenis perselisihan

hubungan industrial, yaitu:

1) Perselisihan hubungan industrial yang subjek hukumnya pengusaha atau

(41)

a. Perselisihan Hak

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menegaskan bahwa

perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya

hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau perbedaan penafsiran

terhadap ketentuan Undang-undang, Perancangan Perjanjian Kerja,

Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama. Menurut Sehat

Damanik (2006: 21) perselisihan hak bersifat normatif karena yang

diperselisihkan mengenai hal-hal yang telah ada pengaturannya atau dasar

hukumnya.Jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 1 formalitas perselisihan

hak adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan, karena

tidak dipenuhinya hak.Subjek hukumnya adalah pengusaha atau gabungan

pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh.

b. Perselisihan Kepentingan (belangengeschil)

Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan

kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan

atau perubahan syarat-syarat kerja dalam Perancangan Perjanjian Kerja,

Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama (Pasal 1 angka 3

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial).

c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa

perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul

(42)

kerja yang dilakukan salah satu pihak. Hal-hal yang lebih rinci tentang

pemutusan hubungan kerja diatur dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal

172 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

2) Perselisihan hubungan industrial yang subjek hukumnya serikat pekerja/buruh

dengan serikat pekerja/buruh lain dalam satu perusahaan

a. Perselisihan antara Serikat Pekerja/Buruh dalam Satu Perusahaan

Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa

perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan

adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu

perusahaan karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan,

pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatan.

Bilamana terjadi perselisihan perburuhan, maka serikat buruh dan majikan

mencari penyelesaian perselisihan itu secara damai dengan jalan

perundingan.Persetujuan yang dicapai melalui perundingan itu dapat disusun

menjadi perjanjian perburuhan menurut ketentuan-ketentuan yang tercantum

dalam undang-undang perjanjian perburuhan. Jika dalam perundingan itu oleh

pihak-pihak yang berselisih sendiri tidak dapat diperoleh penyelesaian, maka

ada 2 alternatif yang dapat ditempuh yakni:

1) Menyerahkan perselisihan itu secara sukarela pada seorang juru atau dewan

pemisah. Penyelesaian seperti ini disebut juga dengan penyelesaian sukarela

(43)

Penyelesaian sukarela dilakukan oleh juru atau dewan pemisah sebagai

arbitrase. Penyerahan perselisihan kepada juru pemisah atau dewan pemisah

harus dilakukan dengan surat perjanjian antara kedua belah pihak. Dalam

surat perjanjian itu diterangkan mengenai:

a. Pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang akan diserahkan

kepada dewan pemisah untuk diselesaikan.

b. Nama pengurus atau wakil serikat buruh dan majikan serta tempat

kedudukan mereka.

c. Siapa yang ditunjuk menjadi juru pemisah atau dewan pemisah dan

tempat tinggalnya.

d. Bahwa kedua belah pihak akan tunduk kepada putusan yang akan

diambil oleh juru pemisah atau dewan pemisah.

e. Hal-hal yang perlu untuk melancarkan pemisahan.

Penunjukan juru pemisah atau pembentukan dewan pemisah demikian pula

mengenai tata cara pemisahan terserah sepenuhnya kepada persetujuan

kedua belah pihak. Terhadap putusan juru atau dewan pemisah tidak dapat

dimintakan pemeriksaan ulangan. Putusan juru atau dewan pemisah dapat

dimintakan pengesahan dari panitia pusat dan panitia pusat ini harus

memberikan pengesahannya kecuali:

a) Jika ternyata putusan itu melampaui kekuasaan juru atau dewan pemisah.

b) Di dalamnya terdapat hal-hal yang menunjukan itikad buruk.

c) Di dalamnya terdapat hal-hal yang bertentangan dengan Undang-undang,

(44)

2) Menyerahkan perselisihan itu kepada pegawai perantara Dinas Tenaga

Kerja. Penyelesaian seperti ini disebut Penyelesaian Wajib (Compulsory arbitration).

Penyelesaian perselisihan secara wajib yakni penyelesaian yang dilakukan

melalui pegawai perantara dan institusi yang berwenang untuk

menyelesaiakan perselisihan perburuhan, karena itu disebut dengan istilah

penyelesaian wajib.

Perselisihan perburuhan yang tidak dapat diselesaikan dengan perundingan

dan oleh pihak yang berselisih tidak menyerahkannya kepada juru atau

dewan pemisah, maka para pihak atau salah satu dari mereka

memberitahukan dengan surat kepada pegawai perantara Kantor Dinas

Tenaga Kerja setempat. Pemberitahuan ini sekaligus permintaan kepada

pegawai perantara Kantor Dinas Tenaga Kerja untuk memberikan

perantaraan terhadap perselisihan perburuhan yang terjadi (Lula Husni,

119-122: 2003).

Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:

a. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan atau Non Litigasi

Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dilakukan untuk

menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah mufakat dan hasil

penyelesaian konflik atau sengketa secara kekeluargaan. Menurut Tim Badan

Pembinaan Hukum (2010: 49) bentuk-bentuk penyelesaian sengketa melalui

jalur Non-Litigasi, sebagai berikut:

(45)

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 2

Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,

pengertian perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh

atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan

perselisihan hubungan industrial. Upaya perundingan bipartit diatur dalam

Pasal 3 sampai Pasal 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam menyelesaiakan

perselisihan hubungan industrial diupayakan penyelesaiannya terlebih

dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai

mufakat.

Undang-undang telah menentukan secara tegas bahwa setiap

perselisihan terjadi (perselisihan hak, perselisihan kepentingan,

perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dan perselisihan antar serikat

pekerja) antar pekerja dan pengusaha wajib hukumnya untuk diselesaikan

sendiri oleh pihak-pihak yang berselisih, yaitu secara bipartit sebelum

menempuh jalur penyelesaian yang lainnya sebab tanpa adanya campur

tangan dari pihak yang lain sehingga dapat hasil yang menguntungkan

kedua belah pihak (Ugo dan Pujiyo, 2011: 54). Penyelesaian melalui

bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak

tanggal dimulainya perundingan dan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga

puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan

perundingan, tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan

(46)

Jika perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah

pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung

jawab di bidang Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti

bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipartit telah dilakukan (Zaeni

Asyahdie, 2008: 159-160). Apabila perundingan dapat mencapai

kesepakatan penyelesaian, maka dibuat perjanjian bersama yang

ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian bersama tersebut mengikat dan

menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui kualitas media pembelajaran berbasis android dengan Program Adobe Flash CS5.5 untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMP Kelas VIII pada

gagasan yang membangun pengetahuan pada ruang lingkup permasalahan, serta pendapat mereka tentang mana yang baik dan buruk, dikehendaki atau dihindari, yang bernilai atau

Penelitian korelasional merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua variabel atau beberapa variabel.. Penelitian tidak menuntut

Pengambilan sampel air dilakukan dengan cara mengambil 1,5 liter air dan dimasukan ke dalam botol kaca steril, adapun pengambilan sampel air minum isi ulang sumber air pasca

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

Suaka Margasatwa Lamandau (Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten.. Bengkayang), Taman Nasional Gunung Palung (Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten.. Ketapang), Taman

Selanjutnya untuk memberikan gambaran arah dan sasaran yang jelas serta sebagaimana pedoman dan tolok ukur kinerja Pengadilan Negeri Yogyakarta diselaraskan dengan arah

- pemupukan PENGENDALIAN EROSI DAN SEDIMENTASI Meminimalisasi areal terganggu (ha) Membatasi/mengurangi air limpasan dengan membangun:b. Luas areal yang ditanami