• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank yang Mengalami Kerugian atas Pencurian Dana Simpanannya dengan Modus Card

PERTANGGUNGJAWABAN BANK TERHADAP NASABAH KORBAN PENCURIAN DANA DENGAN METODE SKIMMING

B. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank yang Mengalami Kerugian atas Pencurian Dana Simpanannya dengan Modus Card

Skimming

Ketentuan yang berkaitan dengan dasar hukum pertanggungjawaban bank berkaitan dengan penerapan teknologi komputer dalam operasional kegiatan perbankan, lalu lintas transmisi data tersebut banyak dilakukan dengan mengkaitkan komputer dengan sarana telekomunikasi modern. Oleh sebab itu, bila terjadi kasus pembocoran rahasia bank dengan sarana teknologi canggih misalnya pencurian dana nasabah dengan cara menggandakan kartu ATM, maka terhadap pelakunya dapat diancam dengan ketentuan Pasal 47 UU Perbankan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan menunjukkan bahwa sanksi pidana yang berupa pidana penjara dan denda dikenakan kepada siapa saja yang memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana yang dimaksud Pasal 40. Sanksi tersebut dikenakan juga kepada Anggota Dewan Komisaris, direksi, dan pegawai bank,

150 Ibid., Pasal 58.

151 Ibid., Pasal 48.

atau pihak terafiliasi yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut ketentuan Pasal 40.152

Selanjutnya Pasal 47 A menentukan bahwa:

“Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnyaRp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).”153

Ketentuan Pasal 47 A di atas mengatur mengenai sanksi yang dikenakan kepada Dewan Komisaris, direksi dan pegawai bank, atau pihak terafiliasi yang telah mengabaikan kewajibannya untuk memberikan keterangan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 44 ayat (1).

Pasal 31 ayat (1) UU ITE menyebutkan bahwa:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain.”154

Menurut penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU-ITE diuraikan bahwa yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, mereka, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak

152 Lihat Pasal 47, Undang-Undang Perbankan.

153 Indonesia (Perbankan), op. cit., Pasal 47 huruf (a).

154 Indonesia (Informasi dan Transaksi Elektronik), Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik), LN. 58 TLN 4843 Tahun 2008, Pasal 31 Ayat (1).

bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.155

Ketentuan Pidananya diatur dalam Pasal 47 UU ITE yaitu setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Selanjutnya dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No 11 Tahun 2008 TentangInformasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berbunyi:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.”156

Pasal 32 ayat (1) UU ITE juga merupakan ketentuan yang dapat diakomodasikan dalam pencurian dana nasabah bank melalui skimmer, pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.

Mengenai ketentuan pidana atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 48 UU ITE berbunyi:

155 Widodo, Hukum Pidana di Bidang Teknologi Informasi; Cybercrime Law: Telaah Teoritik dan Bedah Kasus, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), hlm. 58.

156 Indonesia (Informasi dan Transaksi Elektronik), op., cit, Pasal 32 Ayat (1).

“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”157 Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU Perlindung Konsumen yaitu segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kalimat yang menyatakan

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.158

Nasabah sebagai konsumen menurut ketentuan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 47 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan sengketa konsumen dapat diselesaikan diluar pengadilan dan melalui pengadilan. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan umum (UU Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (1)) ataupun penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan dengan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa (UU Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (2)).159

Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 48, penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN) adalah penyelesaian sengketa yang mengacu pada ketentuan peradilan umum yang berlaku. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat dilakukan oleh konsumen yang telah dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan, sekelompok

157 Ibid., Pasal 48.

158 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 1.

159 Lihat Pasal 45, Undang-undang Perlindungan Konsumen.

konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, pemerintah dan/atau instansi terkait ataupun lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM).160

Menurut Pasal 19 ayat (1) dan (3) UU Perlindungan Konsumen, konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada produsen dan produsen harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu 7 hari setelah transaksi berlangsung. 161 Selain itu penyelesaian sengketa konsumen juga tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara damai oleh pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa secara damai adalah bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut “BPSK”).162 Penyelesaian sengketa konsumen secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan juga konsumen) tanpa melalui pengadilan atau BPSK dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini. 163 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ialah penyelesaian melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dan/atau forum lain untuk mencapai kesepakatan. Dengan demikian, terbuka tiga forum dan cara menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu:164

160 Lihat Pasal 48, Undang-undang Perlindungan Konsumen.

161 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 130.

162 Ibid.

163 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 223.

164 Ibid.

1. Penyelesaian sengketa konsumen dengan tuntutan seketika melalui forum negosiasi, konsultasi, konsiliasi, mediasi, dan penilaian ahli;

2. Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK; dan 3. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan.

Tugas dan Wewenang BPSK menurut Pasal 52 UU Perlindungan Konsumen meliputi:165

1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;

5. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan Konsumen 7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen;

8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/ atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;

9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi-saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;

165 Ibid.

10. Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;

12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

13. Menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Perlidungan hukum terhadap nasabah dapat dilakukan dalam 2 (dua) cara yaitu :166

1. Perlindungan tidak langsung, yaitu perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah terhadap semua resiko kerugian yang mungkin timbul akibat suatu kebijaksanaan atau kegiatan usaha bank;

2. Perlindungan langsung, yaitu Perlindungan secara langsung terhadap nasabah terhadap kemungkinan resiko kerugian yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.

OJK mempunyai tugas untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen lembaga jasa keuangan terkait kasus skimming yang mengakibatkan kerugian bagi nasabah bank. UU OJK mengatur mengenai perlindungan konsumen dan masyarakat dengan melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, yang meliputi:167

166 Hermansyah, Edisi Revisi; Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 154.

167 Indonesia (Otoritas Jasa Keuangan), Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, LN. 111 TLN 5253 Tahun 2011, Pasal 28.

1. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;

2. Meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan

3. Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Di samping upaya pencegahan pelanggaran ketentuan dalam UU OJK, terdapat beberapa instrumen untuk pelayanan pengaduan konsumen atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yang meliputi:168

1. Menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan;

2. Membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan; dan

3. Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

OJK memiliki 2 (dua) kewenangan dalam pembelaan hukum bagi konsumen, yaitu:169

1. Memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada pelaku usaha sektor jasa keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha sektor jasa keuangan dimaksud;

168 Indonesia (Otoritas Jasa Keuangan), op., cit, Pasal 29.

169 Ibid., Pasal 30.

2. Mengajukan gugatan:

a. Untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun dibawah penguasaan pihak lain dengan itikad baik; dan/atau b. Untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan

kerugian pada konsumen dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

OJK melalui Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tanggal 26 Juli 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut

“POJK PKSJK”) menerapkan prinsip keseimbangan yaitu antara menumbuhkembangkan sektor jasa keuangan secara berkesinambungan dan secara bersama memberikan perlindungan kepada konsumen dan/atau masyarakat sebagai nasabah. Prinsip perlindungan yang dimuat dalam peraturan tersebut yaitu transparansi, perlakuan adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen, dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan biaya ringan.170

Selanjutnya pada tahun 2014, OJK menerbitkan lagi peraturan yang terkait dengan perlindungan konsumen jasa keuangan, yaitu Peraturan OJK No.

01/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut “POJK LAPSSJK”). Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) dibentuk dikarenakan penyelesaian pengaduan

170 Rati Maryani Palilati, “Perlindungan Hukum Perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal Ius, Vol. 4 No. 3 Desember 2016, Universitas Mataram : Mataram.

oleh lembaga jasa keuangan seringkali tidak tercapai kesepakatan antara nasabah dengan lembaga jasa keuangan. Selain itu, lembaga ini dianggap mampu untuk menyelesaikan sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien diluar pengadilan.171 Berlakunya POJK PKSJK dan POJK LAPSSJK menggantikan Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 jo. PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang perubahan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Asosiasi di bidang perbankan, yakni Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia (Perbina), dan Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) mendirikan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) yang resmi beroperasi pada awal tahun 2016. Lembaga tersebut berfungsi untuk menyelesaikan sengketa perbankan.172

Penyelesaian sengketa melalui LAPSPI akan ditempuh setelah pengaduan dari konsumen yang dirugikan tidak dapat diselesaikan oleh lembaga jasa keuangan terkait. Pengertian sengketa yang dimaksud dalam peraturan ini yaitu perselisihan antara nasabah dengan lembaga jasa keuangan dalam kegiatan penempatan dana oleh nasabah pada lembaga jasa keuangan dan/atau pemanfaatan pelayanan dan/atau produk lembaga jasa keuangan setelah melalui proses penyelesaian pengaduan oleh lembaga jasa keuangan.173

171 Ema Rahmawati, Rai Mantili, “Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan”, Jurnal llmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Oktober 2016, Universitas Padjajaran: Bandung.

172 Otoritas Jasa Keuangan, “Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa”, diakses dari https://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/Pages/Lembaga-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.aspx, pada tanggal 16 Januari 2019, pukul 07.09 WIB.

173 Ibid.

Peran OJK dalam POJK LAPSSJK yaitu dapat menjatuhkan sanksi administratif kepada setiap lembaga jasa keuangan yang melanggar dalam ketentuan tersebut. Sanksi yang dapat dijatuhkan berupa peringatan tertulis, denda (sejumlah uang tertentu), pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, sampai dengan pencabutan izin kegiatan usaha.174

Rumusan perlindungan konsumen yang tertuang dalam UU OJK, peran OJK tidak terbatas memfasilitasi perlindungan konsumen, yang menampung dan menjadi lembaga mediasi, tetapi juga menjadi lembaga yang melakukan keberpihakan kepada konsumen dalam bentuk kegiatan pembelaan hukum. Di samping itu, bentuk-bentuk perlindungan yang dilakukan OJK meliputi perlindungan dalam arti upaya pencegahan terjadinya pelanggaran dan pemulihan hak-hak konsumen apabila terjadi kerugian yang dialami konsumen.175

Dalam POJK PKSJK, peran OJK antara lain:176

1. Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa antara pelaku usaha jasa keuangan dengan konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan.

2. Konsumen dan/atau masyarakat dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Kewenangan OJK selanjutnya yaitu memberikan fasilitas penyelesaian pengaduan tersebut dengan mempertemukan konsumen dan pelaku usaha jasa

174 Ibid.

175 Ibid.

176 Indonesia (POJK PKSJK), op., cit, Pasal 40.

keuangan untuk mengkaji ulang permasalahan secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian. Dengan upaya tersebut maka OJK dapat mengetahui secara langsung dan mendalam terkait permasalahan yang ada antara konsumen dan pelaku sektor jasa keuangan sehingga solusi yang tepat dan adil dapat diterima oleh seluruh pihak yang bersengketa.177

Penyelesaian pengaduan di sektor jasa keuangan ditempuh melalui 2 (dua) tahapan yaitu:

1. Internal Dispute Resolution.

Internal Dispute Resolution adalah penyelesaian pengaduan nasabah yang

dilakukan oleh bank. Pasal 32 ayat (1) POJK PKSJK mewajibkan setiap bank untuk memiliki unit yang dibentuk secara khusus di setiap kantor bank untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh konsumen tanpa dipungut bayaran. 178 Setelah menerima pengaduan nasabah, bank wajib melakukan pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar, dan obyektif, melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan, dan menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi atau perbaikan produk dan/atau layanan jika pengaduan nasabah benar. Sengketa baru muncul apabila tidak berhasilnya proses pengaduan nasabah ini.179

Defenisi sengketa dala Pasal 1 angka 13 POJK LAPSSJK yaitu:

“Perselisihan antara konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan dalam kegiatan penempatan dana oleh konsumen pada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pemanfaatan pelayanan dan/atau produk Lembaga Jasa Keuangan

177 Putri Ayu Lestari Kosasih, “Fungsi dan Prosedur Kerja Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan”, Lex et Societatis, Vol. IV No. 6 Juni 2016.

178 Lukmanul Hakim, “Analisis Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Pihak Nasabah Dengan Industri Jasa Keuangan Pada Era Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, Jurnal Keadilan Progresif, Vol. 6 No. 2 September 2015, Universitas Bandar Lampung: Lampung.

179 Ibid.

setelah melalui proses penyelesaian pengaduan oleh Lembaga Jasa keuangan.”180

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah,pengaduan tersebut dapat dilakukan baik secara tertulis maupun secara lisan, pada setiap kantor bank terlepas dari apakah kantor bank tersebut merupakan kantor bank tempat konsumen membuka rekening dan/atau melakukan transaksi keuangan.181 Atas pengaduan yang dilakukan secara lisan, bank wajib menyelesaikannya dalam jangka waktu dua hari kerja terhitung sejak tanggal pencatatan pengaduan. Apabila diperkirakan memerlukan waktu lebih lama, maka petugas unit penanganan dan penyelesaian pengaduan pada kantor bank pengaduan lisan tersebut disampaikan meminta konsumen untuk mengajukan pengaduan secara tertulis. Setelah menerima pengaduan tertulis dari nasabah, bank wajib menyelesaikan pengaduan terkait paling lambat 20 hari kerja sejak tanggal penerimaan pengaduan tertulis oleh bank, dan dapat diperpanjang sampai dengan paling lama 20 hari kerja lagi dalam kondisi tertentu. 182

Penyelesaian pengaduan konsumen sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.1/2014 dapat berupa pernyataan maaf atau ganti rugi kepada konsumen. Ganti rugi diberikan untuk kerugian yang bersifat material, dengan ketentuan, diantaranya yaitu konsumen telah memenuhi kewajibannya, terdapat ketidaksesuaian antara produk dan/ atau layanan bank yang diterima dengan yang diperjanjikan, pengaduan diajukan paling lama 30 hari sejak diketahuinya produk

180 Indonesia (POJK LAPSSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 01/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan, Pasal 1 Angka 13.

181 Lukmanul Hakim, loc. cit.

182 Hukum Online, “Prosedur Mediasi Perbankan di Era Otoritas Jasa Keuangan” diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53156814aa258/prosedur-mediasi-perbankan-di-era-otoritas-jasa-keuangan, pada tanggal 16 Januari 2019, pukul 12.22 WIB.

dan/atau layanan yang tidak sesuai dengan perjanjian, dan kerugian berdampak langsung pada konsumen.183 Ganti rugi yang ditetapkan oleh OJK maksimum sebesar nilai kerugian konsumen.184

2. External Dispute Resolution

External Dispute Resolution adalah penyelesaian Sengketa melalui

lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan. 185 Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui dua acara, yaitu:

a. Litigasi

Penyelesaian sengketa secara litigasi adalah suatu penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui pengadilan yang mengikuti persyaratan-persyaratan dan prosedur-prosedur formal di pengadilan dan sebagai akibatnya jangka waktu untuk menyelesaikan suatu sengketa menjadi lebih lama. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan pihak yang satu menang dan pihak yang lain kalah.186

b. Non Litigasi

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan prosedur penyelesaian atas suatu sengketa diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang bersengketa.187 Penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan dapat dilakukan melalui berbagai cara, yaitu:

183 Ibid.

184 Ibid.

185 Putri Ayu Lestari Kosasih, loc. cit.

186 Ema Rahmawati, Rai Mantili, loc. cit.

187 Ibid.

1) Mediasi

Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif. Kedudukan dari pihak ketiga (mediator) tersebut netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak, masuk dan melibatkan diri kedalam sengketa yang sedang berlangsung guna membantu dan memfasilitasi para pihak dalam menyelesaiakan sengketa itu secara damai. Mediasi Perbankan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No.10/1/PBI/2008.

Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Mediasi Perbankan mengatur bahwa sebelum dibawa ke lembaga mediasi perbankan, setiap sengketa antara nasabah dengan bank harus diselesaikan lebih dulu secara internal oleh bank yang bersangkutan. Jika penyelesaian tersebut tidak memperoleh kata sepakat, nasabah dapat membawa masalah tersebut ke lembaga mediasi perbankan Bank Indonesia.188 Sejalan dengan amanat Pasal 34 Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia maka dibentuk lembaga pengawas pada jasa keuangan melalui UU OJK.

Setelah disahkan dan diundangkan pada tanggal 22 November 2011, maka terjadi transformasi yang menyeluruh dan sistematis didalam sistem pengaturan dan pengawasan didalam sektor jasa

188 Rachmadi Usman, “Kekuatan Hukum Peraturan Mediasi Sengketa Perbankan dalam Sistem Peraturan Perundan-Undangan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 13 No. 01, Maret 2016, Universitas Lambung Mangkurat: Banjarmasin.

keuangan sektor perbankan, termasuk mediasi perbankan ada didalam kewenangan OJK, tidak lagi menjadi wewenang Bank Indonesia.189 Sebenarnya OJK tidak menggunakan kata mediasi, melainkan menggunakan kata memfasilitasi. Sedangkan pengertian memfasilitasi terdapat pada Pasal 42 POJK PKSJK yaitu mempertemukan konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan untuk mengkaji ulang permasalahan secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian. 190 Jika pengaduan konsumen tidak dapat diselesaikan oleh bank, maka nasabah dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui fasilitas OJK.

Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/2006 jo. POJK PKSJK sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya melalui OJK adalah sengketa keperdataan dengan nilai sengketa yang diajukan maksimum sebesar Rp 500.000.000. Jumlah maksimum nilai sengketa sebagaimana dimaksud sebelumnya dapat berupa nilai kumulatif dari kerugian finansial yang telah terjadi pada nasabah.191 Kerugian immateriil, antara lain karena pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, tidak dapat dimasukkan dalam perhitungan nilai sengketa. 192 Selain itu,

189 Lihat Pasal 55, UU Otoritas Jasa Keuangan.

190 Indonesia (POJK PKSJK), op. cit., Pasal 42.

191 Hukum Online, “Prosedur Mediasi Perbankan di Era Otoritas Jasa Keuangan” diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53156814aa258/prosedur-mediasi-perbankan-di-era-otoritas-jasa-keuangan, pada tanggal 17 Januari 2019, pukul 06.40 WIB.

192 Lihat Penjelasan Pasal 2 Ayat (1), Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

sengketa yang diajukan untuk penyelesaian melalui OJK juga yaitu:193

a) Tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan atau lembaga mediasi;

b) Belum pernah difasilitasi oleh OJK; dan

c) Diajukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan disampaikan oleh bank kepada konsumen.

Pengajuan penyelesaian sengketa dilakukan secara tertulis dengan mengisi formulir pengajuan penyelesaian sengketa dengan menyertakan dokumen berupa:194

a) Fotokopi surat hasil penyelesaian pengaduan yang diberikan

a) Fotokopi surat hasil penyelesaian pengaduan yang diberikan