• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMANGKU

B. Perlindungan Hukum Terhadap Pemangku

dalam Akuisisi Perusahaan Perbankan

1. Perlindungan Terhadap Pemegang Saham Minoritas

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya pemegang saham minoritas sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) adalah perorangan maupun badan hukum yang memiliki sejumlah saham tetapi bukan anggota pendiri perseroan sehingga dapat dikatakan bahwa golongan ini adalah masyarakat umum atau diartikan sebagai setiap pihak yang tidak berkepentingan secara pribadi dalam perseroan tersebut, bukan anggota pendiri atau pengurus, tidak mengendalikan perseroan secara aktif atau langsung.

Posisi pemegang saham minoritas di dalam suatu perusahaan sering kali diabaikan bahkan dirugikan. Seperti yang diketahui, hal ini terjadi karena adanya persepsi yang menganggap bahwa pemegang saham mayoritaslah yang mempunyai peran penting dalam hal kemajuan suatu perusahaan terutama dari segi pemasukan modalnya.

Pasal 84 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatakan yaitu setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara kecuali anggaran dasar menentukan lain. Berdasarkan Pasal tersebut apabila diadakan RUPS, pemegang saham minoritas tidak pernah menang apabila keputusan diambil secara voting. Ini semua disebabkan karena baik Dewan Komisaris maupun direksi perusahaan tersebut merupakan pemegang saham mayoritas yang tentunya mempunyai volume saham yang besar di perusahaaan tersebut.107

Melihat posisi pemegang saham minoritas yang rentan utuk dirugikan Undang-Undang Perseroan Terbatas mengatur tentang hak-hak pemegang saham minoritas antara lain sebagai berikut:

a. Hak menjual saham (Appraisal right)

Hak apparaisal diatur dalam Pasal 62 Ayat 1 yang menyebutkan setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa:

1) perubahan anggaran dasar;

2) pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50 % (lirna puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau

3) Penggabungan, Peleburan, Pengarnbilalihan, atau Pemisahan

107

Hak ini bisa menjadi perlindungan bagi pemegang saham minoritas apabila dirugikan atau tidak setuju dalam akuisisi yang dilakukan oleh perbankan. Pemegang saham minoritas dapat menjual sahamnya kepada Perseroan dengan batas maksimun tidak melcbihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dalam Perseroan.108 Namun, penjualan saham melebihi batas maksimun 10% modal ditempatkan, maka pemegang saham minoritas dapat mengusahakan menjual sahamnya kepada pihak ketiga.109

b. Hak menggugat

Hak menggugat oleh pemegang saham minoritas diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 40 Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan melalui Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi kedudukan perseroan, bila tindakan perseroan merugikan kepentingannya. Selanjutnya dalam Pasal 61 setiap pemegang saham berhak untuk menggugat perseroan kepengadilan apabila karena tindakan dari perseroan yang tidak adil menyebabkan pemegang saham mengalami kerugian. Adapun sasaran dalam 61 Ayat (1) tersebut, yaitu:

1) Untuk mencegah agar tindakan akuisisi yang dilakukan dapat dihentikan;

2) Untuk mengambil langkah-langkah terhadap tindakan (akuisisi) yang telah terlanjur dilakukan. Dalam hal ini termasuk tindakan ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan;

108

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas, Pasal 37 Ayat (2).

109

3) Untuk mencegah terjadinya tindakan serupa (akuisisi) di kemudian hari.

c. Hak atas akses informasi perusahaan

Hak untuk mendapat akses informasi yang dapat digunakan oleh pemegang saham minoritas apabila haknya dirugikan diatur dalam Pasal 138 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang menyebutkan “Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam ha1 terdapat dugaan bahwa:

1) Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau

2) Anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yangmerugikan Perseroan atau pemegang saharn atau pihak ketiga.”

d. Hak meminta dilaksanakannya RUPS

Permintaan untuk dilaksanakannya RUPS yang dapat dilakukan oleh pemegang saham minoritas apabila haknya dirugikan terdapat dalam Pasal 79 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Perseroan Terbatas menyebutkan “ RUPS sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan atas permintaan 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1 / 10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil”. Pasal 79 Ayat (2) a ini diperkuat dengan Pasal 80 Ayat (1) yang menyatakan pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua

pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon rnelakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.

e. Hak meminta perseroan dibubarkan

Hak untuk meminta perseroan dibubarkan oleh pemegang saham minoritas apabila hak dirugikan terdapat dalam Pasal 144 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa direksi, Dewan Komisaris dan pemegang saham minoritas yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan usulan agar perseroan dibubarkan melalui RUPS.

2. Perlindungan Terhadap Karyawan

Akuisisi merupakan salah satu praktek dan strategi perusahaan yang diterapkan dalam rangka memperbesar aset dan skala usaha, serta menstrukturisasi perusahaan yang mengalami kesulitan. Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya strategi akuisisi dianggap sebagai jalan cepat pada perusahaan yang sedang bermasalah supaya terhindar dari kebangkrutan, menghasilkan sinergi, meningkatkan nilai keseluruhan perusahaan dibandingkan penjumlahan masing-masing perusahaan sebelum akuisisi, dan peningkatan pemasaran, riset, skill manajerial, transfer teknologi, dan efesiensi biaya produksi. Akan tetapi, akuisisi tidak selamanya baik bagi pihak-pihak tertentu khususnya karyawan.

Dengan bergabungnya perusahan perseroaan melalui akuisisi mempunyai konsekwensi kecenderungan menyempitnya struktur organisasi atau hilangnya posisi-posisi pekerjaan tertentu atau terjadi pemutusan hubungan kerja. Dengan

demikian, posisi karyawanlah salah satu yang menjadi hilang. Untuk melindungi posisi karyawan Undang-Undang Perseroan Terbatas Pasal 126 Ayat 1 menegaskan bahwa:

Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajip memperhatikan kepentingan:

a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan; b. Kreditor dan mitra usaha persero lainnya, dan;

c. Mitra usaha dan pesaing sehat dalam melakukan usaha

Disebutkan di huruf (a) bahwa perusahaan wajib memperhatikan kepentingan karyawan perseroan apabila ingin melakukan akuisisi. Berdasarkan hal tersebut akuisisi bisa dilakukan apabila sudah memperhatikan kepentingan karyawan.

Perlindungan terhadap karyawan dalam Undang-Undang Nomor 40 tentang Perseroan Terbatas apabila hak dirugikan terdapat dalam Pasal 127 Ayat (2) yang meyebutkan “Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, PengambiIalihan, atau Pemisahan wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan yang akan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS”. Pasal ini memberikan kesempatan terhadap karyawan untuk mengajukan ”keberatan” jika kepentingannya dirugikan dalam pengambilalihan perusahaan perseroan .110Mekanisme hukum ”keberatan” tersebut merupakan alternatif penyelesaian perselisihan kepentingan secara musyawarah oleh karyawan dengan pihak pengakuisisi guna mencapai mufakat tentang akuisisi bank berbadan hukum.

110

3. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur

Perlu diketahui kreditur yang dilindungi dalam pelaksanaan akuisisi oleh perusahaan perbankan disini yaitu kreditur yang menyimpan dananya terhadap perusahan perbankan atau disebut dengan nasabah penyimpan.111

Marulak pardede dalam bukunya hukum perbankan mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia mengenai perlindungan nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan melaui 2 (dua) cara, yaitu:

Perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana didasarkan kepada simpanannya yang disimpan dalam suatu bank terhadap suatu kerugian.

112

a. Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection), yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank yang efektif, perlindungan ni diperoleh melalui: (1) peraturan Perundang-undangan dibidang perbankan, (2) perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan Bank Indonesia, (3) upaya menjaga kelangsungan suatu bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya, (4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan (7) menyediakan informasi risiko nasabah.

111

Hermansyah, Op.Cit, Hlm 143.

112

b. Perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection), yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut mengganti dana masyarakat yang pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI No.26 tahun 1999 tentang Jaminan terhadap kewajiban Bank Umum.

Perlindungan terhadap nasabah dibagi dalam 2 (dua) yaitu perlindungan langsung dan perlindungan tidak langsung:

a. Perlindungan langsung

Perlindungan langsung kepada penyimpan dana adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana secara langsung terhadap kemungkinan timbulnya risiko kerugian dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Mengenai perlindungan ini dapat dikemukkakan dalam 2 (dua) hal, yaitu;

1) Hak preferen debitur/nasabah penyimpan dana

Hak preferen adalah suatu hak yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana secara langsung. Dalam sistem perbankan Indonesia Nasabah penyimpan merupakan kreditur yang mempunyai hak preferen, dalam arti bahwa nasabah penyimpan dana yang harus didahulukan dalam menerima pembayaran dari bank yang mengalami kegagalan atau kesulitan dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya.

Berkaitan dengan itu sebagaimana yang diketahui dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan telah mengatur pasal-pasal yang bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada kepentingan nasabah penyimpan dan simpananya yang ada pada bank.

Adapun ketentuan pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 29 Ayat (3):

Dalam memberikan kredit atau pebiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.

Pasal 29 Ayat (3) ini jelas memberikan perlindungan langsung kepada nasabah penyimpan, karena ia adalah sarana preventif (pencegahan) terhadap resiko kerugian nasabah yang ditimbulkan oleh pelanggaran prinsip kehati-hatian oleh bank dalam kegiatan usahanya termasuk dalam penyaluran kredit atau pembiayaan prinsip syariah.

Berkaitan dengan Pasal 29 Ayat (3) tersebut, dalam rangka memberikan perlindungan kepada nasabah penyimpan dana telah pula ditentukan dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 dalam Pasal 29 Ayat (4), yang selengkapnya menyatakan bahwa untuk perlindungan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan terjadinya risiko kerugian sehubungan denga transaksi nasabah yang dilakukan bank. Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia perbankan.

Informasi tersebut dapat memuat keadaan bank, termasuk kecukupan modal dan kualitas aset.113

2) Lembaga asuransi deposito

Jaminan perlindungan bagi nasabah penyimpan dana terhadap segala risiko kerugian yang timbul dari suatu kebijaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank mutlak diperlukan. Untuk memberikan perlindungan di kemudian hari bagi kepentingan nasabah–nasabah penyimpan dana dari bank-bank yang mengalami kegagalan, terutama para deposan yang dananya relatif kecil, maka perlu diciptakan asuransi deposito untuk memelihara stabilitas dari sistem keuangan negara dengan cara mengansuransikan para deposan bank dan mengurangi gangguan-gangguan terhadap perekonomian nasional yang disebabkan kegagalan-kegagalan yang dialami oleh perbankan. 114

Berkaitan dengan jaminan ini Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 37 disebutkan bahwa:

1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat masyarakat yang disimpan pada bank bersangkutan,

2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat (1) dibentuk lembaga Penjamin Simpanan

Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan ini diperlukan dalam rangka melindungi dan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank.

b. Perlindungan tidak langsung

Perlindungan secara tidak langsung oleh dunia perbankan terhadap kepentingan nasabah penyimpan dana terhadap segala risiko kerugian yang timbul

113

Ibid,. hlm 144.

114

dari suatu kebijaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank yang bersangkutan. Hal ini adalah suatu upaya dan tindakan pencegahan yang bersifat internal oleh bank yang bersangkutan dengan melalui hal-hal yang dikemukakan berikut ini:

1) Prinsip kehati-hatian (Prudencial principle)

Pasal 2 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 mengemukakan perbankan dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip hatian. Dari ketentuan ini, menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian adalah salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan usahanya.

Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan pihak bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan dibidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikat baik.115

Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 di atas, dapat ditemukan didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mempertegaskan kembali mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian itu diterapkan dalam usah bank, yakni Pasal 29 Ayat (2) bahwa:

Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas,

115

solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 Ayat (2) di atas, maka tidak ada alasan apa pun juga bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjungjung tinggi prinsip kehati-hatian.

2) Batas maksimun pemberian kredit

Mengenai pemberian batas maksimun pemberian kredit diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No 10 Tahun 1998 dan Peraturan Pelaksanaanya ;

Pasal 11 Ayat (1):

Bank Indonesia menetapkan mengenal batas maksimun pemberian pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau kelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-peusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. 116

Dalam bagian penjelasannya dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan kelompok (group) di atas merupakan kumpulan orang atau badan yang satu sama lain mempunyai kaitan dalam hal kepelikan, kepengurusan, dan atau hubungann keuangan.117

Pasal 11 Ayat (2)

Batas maksimun sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

116

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1998 Tentang Perbankan, Pasal 11 Ayat (1)

117

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1998 Tentang Perbankan, Pasal 11 Ayat (2)

Menurut penjelasan Pasal 11 Ayat (2) di atas, Bank Indonesia dapat menetapkan batas maksimun yang lebih rendah 30% (tiga puluh) dari modal bank. Pengertian modal bank ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan pengertian yang dipergunakan dalam penilaian kesehatan bank. Batas maksimun yang dimaksud adalah adalah untuk masing-masing peminjam atau sekelompok peminjam termasuk perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama.

Pasal 11 Ayat (3):

Bank Indonesia menetapkan mengenai batas maksimun pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada:

a. Pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau modal yang lebih disetor bank.

b. Anggota dewan komosaris. c. Anggota Direksi.

d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b, dan huruf c.

e. Pejabat bank lainnya, dan

f. Perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan-kepentingan dari pihak sebagaimana huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.

Ditetapkannya ketentuan batas maksimun pemberian kredit tersebut, baik dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan maupun peraturan pelaksananya semata-mata bertujuan untuk memelihara kesehatan bank dan meningkatkan daya tahan bank melalui penyebaran risiko dalam bentuk penanaman kredit kepada berbagai nasabah peminjam.

Perlindungan langsung maupun tak langsung terhadap nasabah penyimpan menjadi perlindungan hukum apabila bank melakukan pengambilalihan (akuisisi). berkaitan dengan itu menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi bahwa dalam pelaksanaan

akuisisi harus memperhatikan kepentingan semua pihak, yaitu kepentingan bank, kepentingan pemegang saham minoritas dan karyaawan bank, juga kepentingan rakyat bank, dan persaingan usaha yang sehat dalam melakukan usaha bank.118

4. Perlindungan Terhadap Masyarakat dan Persaingan Usaha Yang Sehat

Dasar dan pertimbangan perlindungan hukum masyarakat dan persaingan usaha yang sehat dalam tindakan hukum pengambilalihan yang dilakukan perusahaan perbankan mengacu kepada Pasal 126 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 yang menyebutkan perbuatan pengambilalihan wajib memperhatikan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat.

Pasal 126 Ayat (1):

Perbuatan hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan

a) Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan; b) Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan

c) Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha

Berkaitan dengan itu juga Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank yang menyebutkan:

Pasal 5:

Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank dilakukan dengan memperhatikan: a) Kepentingan Bank, kreditor,

b) Pemegang saham minoritas dan karyawan Bank; dan

c) Kepentingan rakyat banyak dan persaingan yang sehat dalam melakukan usaha Bank

Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Hukum Tentang Akuisisi, Take Over, dan LBO menjalaskan bahwa tidak jelas benar apa yang dimaksud dengan akuisisi yang tidak memperhatikan masyarakat dan apa konskwensi hukumnya. Namun yang pasti adalah bahwa siapapapun diantara warga

118

masyarakat yang merasa dirugikan langsung karena akuisisi tersebut, dapat mengajukan gugatan kepengadilan untuk mendapat ganti rugi atau minta akuisisi tersebut untuk dibatalkan.

Terkait dalam persaingan usaha yang sehat diperlukan perlindungan hukum disebabkan tindakan pengambialihan (akuisisi) dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Perbuatan hukum pengambialihan yang dapat mengakibat persaingan tidak sehat diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yakni:

Pasal 28:

a. Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

b. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 29:

a. Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan tersebut.

b. Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang ini menjadi dasar perlindungan hukum terkait persaingan usaha yang sehat. Dengan Pasal tersebut diharapkan perbuatan hukum pengambilalihan yang dilakukan oleh setiap perusahaan tidak mengakibatkan persaingan yang tidak sehat dan merugikan pelaku usaha lain. Pasal 28 dan Pasal 29 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57

Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan dan Pengambilalihan Badan Usaha yang Dapat Menyebabkan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Untuk melindungi persaingan usaha yang sehat terhadap tindakan akuisisi agar tidak menimbulkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat, sebagai berikut:

a. Perjanjian yang dilarang

Pelaku usaha untuk melakukan tindakan hukum akuisisi dilarang untuk melakukan perjanjian yang dilarang. Perjanjian yang dilarang adalah suatu perbuatan oleh suatu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis. Beberapa perjanjian yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha antara lain: 119

1) Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian oligopoli

2) Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian penetapan harga yang dapat menimbulkan persaingan usaha.

3) Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian pembagian wilayah yang dapat menimbulkan persaingan usaha.

4) Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian pemboikotan. 5) Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian kertel.

6) Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian trust. 7) Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian oligopsoni.

119

8) Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian vertikal. 9) Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian tertutup.

Selain pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian dilarang sebagimana yang disebutkan diatas pelaku usaha juga dilarang untuk melakukan perjanjian terlarang, antara lain:120

1) Pelaku usaha dilarang melakukan praktik monopoli; 2) Pelaku usaha dilarang melakukan praktik monopsoni;

3) Pelaku usaha dilarang melakukan praktik penguasaan pasar dengan cara tidak benar;

4) Pelaku usaha dilarang melakukan praktik persekongkolan atau konspirasi;

5) Pelaku usaha dilarang melakukan praktik menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya;

6) Pelaku usaha dilarang melakukan praktik rangkap jabatan pinpinan perusahaan yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat;

7) Pelaku usaha dilarang melakukan praktik memiliki saham mayoritas yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat

b. Penilaian KPPU

Untuk melindungi persaingan usaha yang sehat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat memberikan kewenangan kepeda komisi yang disebut KPPU (Komisi

120

Pengawas Persaingan Usaha).121 KPPU adalah lembaga yang berwewenang penilaian terhadap akuisisi yang diduga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.122 Penilaian KPPU dilakukan dengan menggunakan aspek yaitu konsentrasi pasar, hambatan masuk pasar, potensi perilaku anti persaingan, efesiensi, dan kepailitan.123

c. Konsultasi atas rencana pelaksanaan akuisisi

Pelaku usaha/ perusahaan perbankan yang akan melakukan yang berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualannya melebihi Rp 20.000.000.0000,00 (dua puluh

Dokumen terkait