• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum terhadap Pengalihan Mobil kepada Pihak Ketiga Kedudukan para pihak, yaitu debitur dan kreditur dari analisis

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

E. Perlindungan Hukum terhadap Pengalihan Mobil kepada Pihak Ketiga Kedudukan para pihak, yaitu debitur dan kreditur dari analisis

perlindungan hukum secara preventif. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Bentuk perlindungannya pencegahan ini bisa berupa suatu norma peraturan perundang-undangan, perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak. Esensinya perlindungan ini memberikan gambaran hak dan kewajiban, termasuk sanksi yang diancamkan sehingga dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan tersebut agar para pihak tidak melanggar atau mengingkari. Maka, kedudukan para pihak tidak lah seimbang. Kedudukan kreditur jauh lebih kuat dibandingkan debitur.

Dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen dengan cara intervensi Negara untuk melindungi hak-hak konsumen dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Terhadap posisi konsumen yang lemah tersebut, maka ia harus dilindungi oleh hukum. Hal itu karena salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum yang menjadi hak konsumen. Dengan diterbitkannya

Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebagai bentuk perlindungan hukum dan kepastian hukum yang diberikan kepada konsumen oleh pemerintah, maka tercermin dalam asas dan tujuan pada UUPK yakni asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan, asas kepastian hukum, sedangkan tujuan yang ingin dicapai pada UUPK ini antara lain untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen, pemberdayaan konsumen, meningkatkan kesadaran pelaku usaha untuk jujur dan bertanggung jawab dalam usaha, meningkatkan kwalitas barang.

Pasal 4 UUPK mencantumkan hak-hak konsumen yang mendapatkan perlindungan hukum tidak hanya secara fisik saja namun sampai hak-hak yang bersifat abstrak meliputi :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa,

b. Hak untuk memilih barang dan /atau jasa serta mendapatkan barang dan /atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan barang dan/atau jasa,

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa,

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya barang dan/atau jasa yang digunakan,

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut,

g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan juur serta tidak diskriminatif,

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian perjanjian penggantian dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya,

i. Hak- hak yang diatur dalam perundang-undangan lain.

Kewajiban konsumen terdapat dalam Pasal 5 UUPK, kewajiban konsumen ini sebagai balance dari hak yang telah diberikan dalam undang-undang ini, sebagai berikut :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa;

2. Beretikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan / atau jasa; 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patuh.

Lemahnya kedudukan debitur di karenakan tidak adanya perlindungan hukum yang melindungi debitur, baik melalui Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 maupun dalam perjanjian yang di buat para pihak(keditur/lembaga pembiayaan dan debitur/konsumen). Sedangkan, kuatnya posisi kreditur dikarena kan dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 maupun perjanjian yang di buat para pihak(keditur/lembaga pembiayaan dan debitur/konsumen) diberikan perlindungan yang benar-benar dapat melindungi kreditur, akan tetapi

perlindungan hukum tersebut bahkan memberikan tindakan kesewenang-wenangan terhadap debitur.

Pengalihan hak kepemilikan yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 memberikan peluang kepada kreditur untuk melakukan tindakan kesewenang-wenangan terhadap hak debitur. Padahal benda obyeknya adalah jaminan, yang mana seharusnya kepemilikanya tetap ada pada debitor selama obyek benda jaminan tersebut berstatus jaminan. Akan tetapi, pengalihan hak kepemilikan tersebut mengandung arti beralihnya hak kepemilikan dari debitor kepada kreditor selama perjanjian fidusia tersebut berlangsung, hingga syarat putus dari pemberi fidusia muncul.

Pasal 32 Undang No. 42 Tahun 1999 dan pasal 33 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, sebenarnya harapan yang dapat di jadikan perlindungan hukum bagi debitur. Jaminan fidusia seperti yang terdapat dalam pasal 1 ayat (2) UU No.42 Tahun 1999, jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungn sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Yang artinya bahwa jaminan fidusia tersebut adalah jaminan yang berdasarkan fidusia. Sedangkan fidusia sendiri mempunyai arti seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Maka, Pengalihan hak kepemilikan yang terdapat dalam pengertian fidusia adalah menjadi dasar berlakunya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, sehingga ketentuan dalam pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 menjadi tidak berfungsi/dikesampingkan berlakunya, karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 seperti dalam kenyataan sekarang ini. Padahal, kalau kita konsisten terhadap ketentuan Pasal 33 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, maka perjanjian yang di buat berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 adalah batal demi hukum, atau dianggap perjanjian fidusia ini tidak pernah ada.

Selain tidak mendapatkan perlindungan hukum, pihak debitor adalah pihak yang paling dirugikan, karena barang yang dijadikan jaminan umumnya nilainya lebih tinggi/besar daripada hutang yang diterima debitur. Kenyataan seperti ini dalam masyarakat sudah lazim sering terjadi, karena di samping dalam perjanjiannya pihak debitor sudah lemah kekuataannya, ditambah pengetahuan masyarakat yang rendah memahami arti sebuah perjanjian, di tambah lagibudaya masyarakat yang konsumtif. Sehingga dalam praktek banyak penyitaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan di jalan-jalan ataupun di parkiran sekolahan tempat benda jaminan fidusia tersebut berada tanpa keberatan atau perlawanan dari pemiliknya.

Perlindungan hukum preventif yang seharusnya memberikan perlindungan hukum bagi para pihak, tetapi kenyataannya malah memberikan tindakan

kesewenang-wenangan dari salah satu pihak (kreditur) dan memberikan tidak adanya perlindungan hukum bagi pihak lain (debitur). Baik perlindungan hukum dari Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 maupun perjanjian-perjanjian yang di buat oleh para pihak(keditur/lembaga pembiayaan dan debitur/konsumen). Hal ini disebabkan adanya Kerancuan dalam pengaturan norma-norma dalam UU No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia yang tidak didudukan pada azas hukum yang menjadi dasar pembentukan UU guna mendukung eksistensi norma-norma tesebut dalam aturan perundangan. Salah satu alasan mengapa banyak aturan yang dibuat belakangan ini termasuk UU No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia memiliki cacat dalam pembentukan norma-norma karena peraturan-peraturan tersebut dibuat secara tergesa-gesa dan tidak melewati kajian akademis yang memadai. Alih-alih bertujuan ingin menciptakan keteraturan dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dengan menjadikan jaminan fidusia sebagai salah satu sumber pembiayaan guna menunjang dinamika kegiatan usaha, ternyata yang terjadi sebaliknya yaitu ketidakteraturan dan ketidakpastian hukum. Jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan hukum tidak dapat berjalan secara efektif bagi pihak-pihak yang memerlukannya atau pihak yang diragukan.47

Bentuk perlindungan dan upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh debitur baru selaku pembeli mobil yang menerima pengalihan kredit secara di bawah tangan guna menjamin pembelian objeknya tersebut agar dapat menjadi haknya secara formal, antara lain sebagai berikut:

47

Andi Prajitno, Hukum Fidusia Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang No.42 Tahun 1999, Bayu Media, Malang, 2011.hlm 220

1. Sebelum terjadinya pengalihan kredit secara di bawah tangan, terlebih dahulu debitur pertama diberi kesempatan untuk menyelesaikan segala kewajibannya, terutama yang terkait dengan pembayaran angsuran kredit yang wajib dibayar tiap bulannya kepada pihak PT. Oto Multiartha. Dalam hal ini, debitur selaku pihak yang melakukan perjanjian kredit dengan PT. Oto Multiartha hendaknya melaksanakan dan menyelesaikan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya. 2. Pembeli (debitur baru) sebaiknya melakukan balik nama kenderaan bermotor

melalui proses alih debitur secara resmi. Alih debitur tersebut dapat dilakukan dengan membuktikan terlebih dahulu keabsahan perjanjian tersebut dan apabila perjanjian tersebut dapat terbukti, maka proses alih debitur dapat dilaksanakan di hadapan pejabat yang berwenang.

3. Memberikan informasi yang jelas dan terperinci mengenai segala risiko yang dapat merugikan pembeli (debitur baru). Risiko tersebut dapat berupa proses panjang yang harus dipenuhi dalam melakukan proses bea balik nama kenderaan bermotor

4. Apabila pembeli (debitur baru) telah melunasi seluruh kewajiban hutang atas nama debitur pertama dan telah menerima pernyataan lunas dari PT. Oto Multiartha, maka debitur baru pada waktu akan mengambil dokumen-dokumen seperti BPKB harus dapat menunjukkan Akta Notariil yang didalamnya menyatakan bahwa telah terjadi pemindahan dan pengalihan hak atas Mobil dari debitur pertama kepada debitur baru yang menerima pengalihan kredit tersebut.

F. Akibat Hukum Terhadap Pihak Ketiga yang menerima Pengalihan