• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN ATAS

D. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Pembelian

1999

Apabila hal yang sama seperti negara lain juga diterapkan oleh pemerintah terhadap barang impor yang masuk ke Indonesia dengan sistem yang lebih ketat, persaingan pasar dalam negeri bakal semakin fair dan konsumen sebagai end user pasti diuntungkan karena kualitas produk terjamin.

1. Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Jual-Beli Produk Elektronik

90

(diakses pada tanggal 17 Juni 2016).

91

Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan, hal inilah yang dirumuskan dalam Pasal 1457 KUH Perdata.92

a. Perlindungan hukum terhadap pihak penjual (produsen)

Dalam perjanjian jual beli produk elektronik yang berlangsung di Indonesia maka para pihak yang terlibat di dalamnya akan mendapatkan perlindungan hukum. Jadi dalam hal ini yang mendapatkan perlindungan hukum adalah pihak penjual (produsen) dan pihak pembeli.

Penjual mendapat perlindungan hukum dalam hal memasarkan produknya melalui jaminan produk/garansi, karena jika barang yang dijual tersebut ternyata rusak karena kesalahan pabrikan maka pihak produsen akan menanggung sepenuhnya kerugian yang timbul. Selain itu, bentuk perlindungan hukum terhadap penjual diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata yang merumuskan bahwa pembeli harus membayar harga barang-barang berdasarkan kontrak, hukum dan peraturan-peraturan saat terjadinya juak beli. Apabila terjadi wanprestasi dari pembeli tentang pembayaran angsuran maka pihak penjual berhak untuk menarik barang tersebut dari tangan pembeli dengan ketentuan yang telah disepakati seperti yang diatur pada Pasal 1236-1243 KUHPerdata pembeli harus membayar harga barang pada tanggal yang telah ditentukan dalam kontrak. Hal tersebut dilindungi oleh pemerintah dengan melibatkan aparat negara, jika pihak pembeli tidak bersedia menyerahkan barang tersebut kepada pihak penjual.

92

Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi, Jual Beli, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 7.

b. Perlindungan hukum terhadap pihak pembeli (konsumen)

Dalam rangka pemenuhan kepuasan konsumen atas barang yang dibelinya maka produsen memberikan perlindungan kepada pembeli berupa garansi terhadap kualitas tiap-tiap produk elektronik dengan cara memperliatkan tanda sertifikasi SNI pada produk tersebut. Dengan adanya jaminan/garansi tersebut maka para konsumen mempunyai hak untuk mengajukan claim atas kerusakan, cacat dan kekurangan sebagai akibat dari kesalahan pabrik.

Sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian jual beli pada Pasal 1457 KUHPerdata, bahwa produsen harus menjamin kenikmatan konsumen dalam menikmati barangnya dan mengganti kerugian bila konsumen dirugikan dalam menikmati barang yang dibelinya. Begitu juga dalam Pasal 1480 KUHPerdata menjeaskan bahwa pembeli berhak menuntut pembatalan pembelian, jika penyerahan barang tidak dapat dilaksanakan karena akibat kelalaian penjual, begitu juga apabila barang yang telah dibeli oleh pembeli diambil oleh orang lain karena suatu hal, maka berdasaran Pasal 1456 KUHPerdata pembeli dapat menuntut pengembalian uang harga pembelian serta pembeli dapat menuntut hasil yang diperoleh pembeli dari barang tersebut kepada penjual. Pertanggungjawaban produsen terhadap barang yang dijualnya adalah wajar sebab konsumen telah membayar harga dari barang yang akan dinikmatinya. Dalam hal ini bukanlah semata-mata untuk menyudutkan pihak produsen tetapi karena konsumen telah membayar sejumlah harga, tentu produsen juga harus menjamin barang sesuai dengan yang dimaksud guna memenuhi hak konsumen. Seperti pada Pasal 18 UUPK mengenai larangan pencantuman klausula baku oleh produsen yang

menjamin ketentraman dan kenikmataan saat menggunakan /mengonsumsi produk yang dibeli. Sesuai asas keseimbangan dalam hukum perlindungan konsumen, seharusnya kepentingan semua pihak harus dilindungi termasuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan nasional dan harus mendapat porsi yang seimbang.93

2. Hak Mendapatkan Keamanan

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengonsumsi suatu produk.94 Penanggungan mengenai keamanan dan ketentraman oleh produsen kepada konsumen sebagai wujud pemenuhan atas hak konsumen sebagai bentuk perlindungan konsumen. Ketentuan Pasal 1497 KUH Perdata menentukan bahwa produsen tetap berkewajiban untuk mengembalikan seluruh uang harga pembelian kepada konsumen. Tetapi jika konsumen telah memperoleh manfaat dari kebendaaan tersebut, yang menyebabkan kerugian pada kebendaan yang dibeli dan telah diterima olehnya tersebut, maka penjual berhak untuk mengurangi harga pembelian kebendaaan tersebut dengan nilai manfaat atau keuntungan yang telah diperoleh pembeli.95

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan mengandung pengertian bahwa konsumen berhak mendapatkan produk yang nyaman, aman, dan yang memberi keselamatan. Oleh karena itu, konsumen harus dilindungi dari

93

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit, hal. 110. 94Ibid,

hal. 41. 95

segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa, dan harta bendanya karena memakai atau mengonsumsi produk (dalam hal ini produk elektronik). Setiap konsumen berhak mendapatkan perlindungan atas barang/ jasa yang dikonsumsi. Misalnya, konsumen merasa aman jika produk (elektronik) berlabel SNI yang digunakannya dirasa aman saat penggunaannya. Artinya produk elektronik tersebut memenuhi standar yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan tidak membahayakan bagi jiwa manusia.96 Dengan demikian, setiap produk, baik dari segi komposisi bahannya, dari segi desain dan konstruksi, maupun dari segi kualitasnya harus diarahkan untuk mempertinggi rasa kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.97

3. Hak Atas Jaminan Ganti Kerugian

Konsumen yang telah menentukan/menetapkan pilihannya atas suatu produk berdasarkan informasi yang tersedia berhak untuk mendapatkan produk tersebut sesuai dengan kondisi serta jaminan yang tertera di dalam informasi. Sesuai dengan Pasal 4 huruf (h) Undang-Undang No, 8 Tahun 1999, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti kerugian, dan apabila setelah mengonsumsi, konsumen merasa dirugikan atau dikecewakan karena ternyata produk yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan perjanjian dan informasi yang diterimanya, produsen seharusnya mendengar keluhan itu dan memberikan penyelesaian yang baik. Hal ini berkaitan dengan hak konsumen sesuai dengan Pasal 4 huruf (d) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni hak

96

Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visi Media, 2008), hal. 24.

97

untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Perlu ketulusan hati dari produsen untuk mengakui kelemahannya dan senantiasa meningkatkan pelayanannya kepada konsumen. Termasuk dalam hal ini adalah hak konsumen untuk mendapatkan penggantian atas kerugian yang dideritanya setelah mengonsumsi produk tersebut atau jika produk tidak sesuai dengan perjanjian, atau jika produk tidak sebagaimana mestinya.98

Pada Pasal 1365 tercantum bahwa setiap perbuatan melanggar hukum , yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu. Dari hal ini dapat dilihat bahwa adanya jaminan kepastian hukum mengenai ganti rugi yang wajib ditaati apabila seseorang merasa dirugikan. Mengingat bahwa produsen berada dalam kedudukan yang lebih kuat, baik secara ekonomis maupun dari segi kekuasaan (bargaining power, bargaining position) dibanding dengan konsumen, maka konsumen perlu mendapatkan advokasi, perlindungan, serta upaya penyelesaian sengketa secara patut atas hak-haknya. Perlindungan itu dibuat dalam suatu peraturan perundang-undangan serta dilaksanakan dengan baik. Hak- hak itu perlu ditegaskan dalam suatu perundang-undangan sehingga semua pihak, baik konsumen itu sendiri, produsen, maupun pemerintah mempunyai persepsi yang sama dalam mewujudkannya. Hal ini berkaitan dengan upaya hukum dalam mempertahankan hak-hak konsumen. Artinya, hak-hak konsumen yang dilanggar dapat dipertahankan melalui jalan hukum, dengan cara dan prosedur yang diatur di dalam suatu peraturan perundang-undangan. Di dalam pedoman perlindungan

98Ibid,

bagi konsumen yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi PBB No. 39/248 pada tanggal 9 April 1985 pada bagian II, Nomor 3 angka 4 tentang prinsip umum yang menjamin hak atas ganti kerugian.99

Menurut Janus Sidabalok, bagian inilah yang paling penting, yaitu bahwa bagaimana seorang konsumen yang dilanggar haknya atau menderita kerugian dapat memperoleh haknya kembali. Ini merupakan inti dari penyebutan dan penegasan tentang adanya hak-hak konsumen. Menetapkan hak-hak konsumen dalam suatu perundang-undangan tanpa dapat dipertahankan atau dituntut secara hukum pemenuhannya, tidaklah cukup karena hanya berfungsi sebagai huruf- huruf mati saja dan tidak bermanfaat bagi konsumen.100

4. Hak Menuntut Produsen Dalam Hal Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perikatan yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya wanprestasi) yang diatur pada Pasal 1236-1243 KUHPerdata, tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum (PMH) tidak perlu didahului dengan perjanjian antara konsumen dengan produsen seperti yang telah dibahas sebelumnya, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara konsumen dengan produsen. Dengan demikian pihak ketiga juga dapat menuntut ganti kerugian.101

99Ibid, hal. 38-39. 100Ibid, hal. 42. 101

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit, hal. 129.

Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti bahwa untuk dapat menuntut ganti kerugian, harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

e. Ada perbuatan melangggar hukum; f. Ada kerugian;

g. Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dan kerugian; dan

h. Ada kesalahan

Adapun bentuk dari ganti rugi pada asasnya yang lazim dipergunakan adalah uang, oleh karena menurut ahli-ahli hukum perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan alat yang paling praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan suatu sengketa. Dalam menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, pada dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti rugi yang harus dibayar sedapat mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula.102

Berdasarkan Pasal 23 UUPK bahwa adanya pengaturan tempat pengajuan gugatan ganti kerugian “di tempat kedudukan konsumen”, baik melalui BPSK maupun Badan Peradilan, dimana akan sangat memudahkan konsumen dalam menuntut haknya. Hal ini bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 118 HIR yang mengatur secara umum pengajuan gugatan perdata dilakukan ditempat tinggal tergugat, ini berarti di tempat pelaku usaha berdomisili. Pengaturan seperti ini akan banyak membawa kesulitan bagi konsumen yang akan menuntut haknya.

102Ibid,

Dengan ditentukannya tempat pengajuan gugatan ganti kerugian “di tempat kedudukan konsumen”, maka sangat memberikan kemudahan bagi konsumen.103

Selanjutnya dalam Pasal 28 UUPK menentukan bahwa beban pembuktian unsur “kesalahan” dalam gugatan ganti kerugian merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

Hal ini membuat konsumen tidak ragu lagi dalam memperoleh perlindungan hukum atas pembelian produk elektronik yang berlabel SNI yang bermasalah atau menggunakan produk tersebut tetapi tidak sesuai dengan SNI sehingga membuat para konsumen dirugikan.

104

Artinya pelaku usaha harus membuktikan bahwa kerugian bukan merupakan kesalahannya sehingga terbebas dari tanggung jawab ganti kerugian. Setelah lahirnya UUPK, pembuktian tentang ada tidaknya kesalahan produsen tersebut dibebankan kepada produsen. Ini berarti bahwa prinsip tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian.105

103Ibid,

hal. 155. 104

Lihat Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VI, Pasal 28.

105

Lihat Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VI, Pasal 22.

Berdasarkan prinsip tersebutlah konsumen hanya dibebani adanya kerugian yang dialaminya sebagai akibat memakai produk elektronik berlabel SNI yang diperoleh/berasal dari produsen, sedangkan pembuktian tentang ada tidaknya kesalahan produsen yang mengakibatkan timbulnya kerugian konsumen dibebankan kepada produsen, sehingga dapat dikatakan bahwa konsumen berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam bentuk ganti kerugian yang diberikan oleh produsen.

Perlu diketahui ada perbedaan antara ganti kerugian berdasarkan UUPK dengan Pasal 1365 KUHPerdata, yakni jika dilihat dari sudut UUPK bahwa hak atas ganti kerugian bertujuan untuk memulihkan keadaan yang tidak seimbang akibat adanya penggunaan barang dan/atau jasa yang tidak memenuh harapan konsumen. Dari hal ini dapat dilihat yang melakukan perbuatan melawan hukum ialah pihak produsen/ pelaku usaha. Sedangkan pada Pasal 1365 KUHPerdata tuntutan ganti kerugian ditujukan bagi setiap orang yang melanggar hukum merugikan orang lain wajib mengganti kerugian itu. Dari hal ini dilihat bahwa bukan hanya pihak produsen yang dapat melakukan kesalahan bahkan konsumen juga dapat dituntut ganti kerugian apabila melanggar hukum dalam perjanjian jual beli.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada zaman yang semakin berkembang pesat ini, kegiatan perdagangan merupakan kegiatan yang terus menerus dan berkesinambungan karena adanya saling ketergantungan antara produsen dan konsumen. Kegiatan dimulai dari produksi yang berdasarkan permintaan pasar. Dari hal tersebut maka dihasilkanlah produk-produk yang kemudian dapat dikonsumsi oleh masyarakat setelah sebelumnya melalui pendistribusian. Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan.1

1

Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika dirugikan, (Jakarta : Transmedia Pustaka, 2008) hal. 1.

Banyak sekali produk yang dapat dihasilkan oleh produsen untuk memenuhi keinginan masyarakat, misalnya produk elektronik. Produk elektronik merupakan produk yang sangat banyak dicari dan digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dalam penggunaannya, produk elektronik dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus mendapatkan kepastian atas kenikmatan yang dirasakan oleh konsumen yang diperoleh dari produsen tanpa mengakibatkan kerugian.

Proses globalisasi ekonomi yang sekarang berlangsung serta didukung dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi meningkatkan kesadaran konsumen akan kualitas dan keamanan produk yang dikonsumsinya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menyebabkan produk- produk elektronik yang diperdagangkan semakin bertambah dan semakin beranekaragam. Keadaan ini membuat konsumen semakin selektif dalam memilih suatu produk yang berhubungan dengan standar-standar nasional yang sudah dilegalkan oleh pemerintah sehingga produk tersebut layak untuk dikonsumsi. Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk elektronik yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang yang dikonsumsinya.2

Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK), faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya. Oleh karrena itu, keberadaan UUPK adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.3

Produk elektronik yang berkualitas baik juga menunjukkan bahwa adanya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang telah dirasakan oleh masyarakat sebagai konsumen. Namun, apabila kualitas dari produk elektronik

2Ibid , hal. 2. 3Ibid,

tersebut tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh pemerintah maka akan berdampak negatif kepada masyarakat, yakni tidak mendapatkan kesejahteraan dan kepastian atas barang/produk elektronik yang diperoleh dari perdagangan serta mengakibatkan kerugian. Konsumen di Indonesia layak mendapatkan perlindungan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan konsumen. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.4

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formal semakin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.5

Permasalahan yang timbul dalam hal perlindungan konsumen menyongsong era perdagangan bebas ialah sangat penting untuk lebih

4

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 angka 1.

5

Husni Syawali, Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 33.

memperhatikan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menetapkan standar atas produk yang akan dihasilkan oleh produsen baik berupa barang maupun jasa. Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara Nasional.6

Dengan demikian untuk menjamin keberterimaan dan pemanfaatan SNI secara luas, penerapan norma keterbukaan bagi semua pemangku kepentingan, transparan dan tidak memihak, serta selaras dengan perkembangan standar internasional, merupakan faktor yang sangat penting. Namun untuk keperluan melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, pemerintah dapat saja memberlakukan SNI tertentu secara wajib.

Standar inilah yang akan menjadi acuan untuk menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan telah layak untuk dikonsumsi oleh produsen di Indonesia bahkan di seluruh dunia.

7

Kementrian Perindustrian (Kemenperin) akan melindungi pasar dalam negeri dari serbuan produk impor dengan mengeluarkan ketentuan SNI wajib bagi barang elektronik yang telah memiliki kompetensi tinggi di Indonesia.8

6

Republik Indonesia, Peraturan Pemertintah Republik Indonesia No. 102 Tahun 2000, tentang SNI, Bab I, Pasal 1angka 3.

Sedangkan Ketua Gabungan Elektronik (Gabel) Ali Soebroto Oentaryo mengatakan, pada dasarnya pemanfaatan hasil SNI mempunyai beberapa keuntungan. “SNI pada produk elektronik akan mengurangi ketergantungan

7

8

kepada barang-barang impor. SNI akan meningkatkan daya saing dan kualitas produk nasional sehingga bisa diminati masyarakat.”9

B. Perumusan masalah

Setelah membicarakan latar belakang masalah tersebut, perlu diketahui bahwa dengan adanya UUPK beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha. Pada kenyataannya, belakangan ini masih banyak pelaku usaha/produsen elektronik yang seolah-olah lepas tangan dan tidak mau bertanggung jawab atas produk yang dipasarkan untuk diperdagangkan tetapi tidak memenuhi dan tidak memiliki sertifikasi SNI. Oleh karena itu, berkaitan dengan hal diatas penulis tertarik untuk memilih topik tentang “Perlindungan Konsumen Atas Pembelian Produk Elektronik Berlabel Standar Nasional Indonesia (SNI) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999.”

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen atas pembelian produk elektronik berlabel SNI dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999?

2. Bagaimana tanggung jawab produsen terhadap konsumen atas pembelian produk elektronik berlabel SNI?

3. Bagaimana upaya pemerintah dalam melindungi konsumen dalam menangani masalah sengketa terhadap pembelian barang elektronik berlabel SNI?

9Ibid.

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk serta instrumen perlindungan konsumen atas pembelian produk elektronik berlabel SNI dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

2. Untuk mengetahui bentuk tanggung jawab produsen terhadap konsumen atas pembelian produk elektronik berlabel SNI.

3. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam melindungi konsumen dalam menangani masalah sengketa terhadap pembelian barang elektronik berlabel SNI.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pendidikan dan akademisi di bidang hukum. Secara khusus untuk menambah literatur dalam bidang hukum ekonomi, yaitu hukum perlindungan konsumen.

2. Manfaat Praktis a. Bagi konsumen

Dapat mengetahui kualitas produk yang ditawarkan sehingga dapat melakukan evaluasi baik terhadap kualitas maupun harga, serta dapat memperoleh pengetahuan untuk memperoleh hak perlindungan terhadap konsumen.

b. Bagi pemerintah

Dapat menjamin hak konsumen serta melindungi produk dalam negeri dari produk-produk luar yang murah tapi tidak terjamin kualitas maupun keamanannya, dan meningkatkan keunggulan kompetitif produk dalam negeri di pasar internasional.

c. Bagi produsen/pelaku usaha

Dapat mengetahui hak-hak dan kewajibannya pada saat melakukan penjualan dan pemasaran produk kepada konsumen serta tidak menimbulkan kerugian bagi para konsumen.

E. Keaslian penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penulisan skripsi dengan judul “Perlindungan Konsumen Atas Pembelian Produk Elektronik Berlabel Standar Nasional Indonesia (SNI) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999” merupakan hasil karya penulis sendiri dan belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Hasil pemeriksaan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara juga ditemukan karya tulis yang memiliki kemiripan dengan skripsi ini, yaitu skripsi yang berjudul “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) Terhadap Industri Elektronik Rumah Tangga Di Sumatera

Utara (Studi Pada PT. Neo National)” yang ditulis oleh mahasiswi Pasca Sarjana

Yance S. Garingging yang membahas cara mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku usaha yang mengimplementasikan SNI.

Penelitian yang dilakukan pada skripsi yang berjudul “Perlindungan Konsumen Atas Pembelian Produk Elektronik Berlabel Standar Nasional Indonesia (SNI) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999” secara khusus membahas tentang bagaimana memperoleh perlindungan hukum bagi konsumen dengan tanggung jawab yang dipenuhi oleh pelaku usaha produk elektronik berlabel SNI.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut yang juga membahas tentang produk elektronik berlabel SNI, karena terdapat perbedaan mengenai substansi pembahasan. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini merupakan hasil

Dokumen terkait