• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Konsumen Atas Pembelian Produk Elektronik Berlabel Standar Nasional Indonesia (SNI) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Konsumen Atas Pembelian Produk Elektronik Berlabel Standar Nasional Indonesia (SNI) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA A.Buku

Badrulzaman, Meriam Darus. Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994. Bambang, Purwanggono, dkk. Pengantar Standardisasi Jakarta : Badan

Standardisasi Nasional, 2009.

D., C. Tantri dan Sulastri. Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation, 1995.

Fuadi, Munir. Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Globalisasi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Mertokusumo, Sukdikno. Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1986.

Miru, Ahmadi & Yodo, Sutarman. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Nasution, A.Z.. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, 2002.

Shofie, Yusuf. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

(2)

Sri Wahyuni, Endang. Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Sumitro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia,1998.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Susanto, Happy. Hak-hak Konsumen Jika dirugikan, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008.

Susanto, Happy. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visi Media, 2008. Syawali, Husni & Sri Imaniyati, Neni. Hukum Perlindungan Konsumen,

Bandung: Mandar Maju, 2000.

Widjaja, Gunawan & Muljadi, Kartini. Jual Beli, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

B.Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi

(3)

Republik Indonesia, Peraturan Pemertintah Republik Indonesia No. 102 Tahun 2000 tentang SNI

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan Dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual Dalam Bahasa Indonesia.

C.Jurnal

Badan Standardisasi Naional, “Perlindungan Konsumen Melalui Standar.” SNI Valuasi Vol. 5 No. 2, 2011

BSN, “Manfaat Standardisasi bagi Industri Nasional,” Jakarta: Majalah Valuasi Vol. 4 No. 4, BSN, 2010.

Eddy Herjanto, “Pemberlakuan SNI Secara Wajib di Sektor Industri: Efektifitas dan Berbagai Aspek Dalam Penerapannya”, Riset Industri Vol. 5, No. 2, 2011. Gandi. Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Pengaturan Standardisasi

Hasil Industri, Jakarta: BPHN-Binacipta, 1980.

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, INSTRA : Indonesia Trade Inside,

Jakarta: Kemendag, 2014.

Khesali Renald, “Perang Standar.” SNI Valuasi Volume 5 No. 2, 2011.

(4)

D.Website

Badan Standardisasi Nasional, 2012, Penerapan SNI,

M.S. Hidayat, 2012, Kemenperin Segera Terapkan SNI Produk Elektonik,

Badan Standardisasi Nasional, 2012, Tentang SNI,

Safyra Primadhyta, 2015, Kemendag Permudah Implementasi Aturan SNI,

Juni 2016).

Ali Soebrot M.S. Hidayat, 2012, Kemenperin Segera Terapkan SNi Produk Elektonik,

Citra Indonesia, 2015, Daftar SNI Wajib Elektronika, dan Telematika, pada tanggal 11 Juni 2016).

Amril Amarullah, 2010, Kebijakan Label SNI Tak Bertaring,

(5)

Andika Pratama Santosa, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Elektronik dalam Perdagangan Barang Bermerek Palsu, Sripsi S1 Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin,2010,hal 50/--andhikapra-17484-1-10-andhi-a.pdf

Huzna G. Zahir, 2014, SNI Efektifkah Melindungi Konsumen, , (diakses pada tanggal 25 Juni 2016).

tanggal 26 Juni 2016).

Nanang Nelson, 2010, Perlindungan Konsumen Masih Jalan di Tempat,

Ayu Wandira, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Telematika Dan Elektronika Yang Tidak Disertai Dengan Kartu

Jaminan/Garansi Purna Jual Dalam Bahasa Indonesia, Skripsi S1 Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin, 2013, hal. 86,

tanggal 26 Juni 2016).

Achmad Dwi Afriyadi, 2015, Masyarakat Perlu Aktif Bedakan Barang SNI Asli dan Pals E.Kamus

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(6)

BAB III

TANGGUNG JAWAB PRODUSEN TERHADAP KONSUMEN ATAS PEMBELIAN PRODUK ELEKTRONIK BERLABEL SNI

A. Hak dan Kewajiban Produsen (Pelaku Usaha)

Sesuai dengan tujuan dari pembangunan nasional yakni tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran yang menjadi tanggung jawab bersama (tanggung jawab setiap komponen bangsa) untuk mewujudkannya, maka produsen/pelaku usaha juga merupakan salah satu komponen yang turut bertanggung jawab dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraaan rakyat itu. Dunia usaha harus mampu menghasilkan berbagai barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dengan pemastian terhadap mutu, jumlah yang mencukupi, serta keamanan pada pemakai barang dan/atau jasa yang diedarkan ke pasar.106

Pengaturan tentang hak, kewajiban, dan larangan itu dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang sehat antara produsen dan konsumennya, sekaligus menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi perkembangan usaha dan perekonomian pada umumnya. Yang menjadi hak-hak dari produsen (pelaku usaha) itu menurut Pasal 6 UUPK adalah sebagai berikut:

Untuk inilah, maka di dalam berbagai peraturan perundang-undangan dibebankan sejumlah hak dan kewajiban serta hal-hal yang menjadi tanggung jawab produsen.

107

106

Janus Sidabalok, Op. Cit, hal. 83. 107

(7)

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan-tindakan konsumen yang tidak beriktikad baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Tampak bahwa pokok-pokok hak dari produsen/pelaku usaha adalah menerima pembayaran, mendapat perlindungan hukum, melakukan pembelaan diri, rehabilitasi nama baik, dan hak-hak lainnya menurut undang-undang.

Sedangkan kewajiban produsen (pelaku usaha) menurut Pasal 7 UUPK adalah:108 1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

108

(8)

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dengan demikian, pokok-pokok kewajiban produsen/pelaku usaha adalah beritikad baik dalam menjalankan usahanya, memberikan informasi, memperlakukan konsumen dengan cara yang sama, menjamin produknya, memberi kesempatan bagi konsumen untuk menguji, dan memberi kompensasi. Jika dibandingkan dengan hak dan kewajiban konsumen sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini, tampak bahwa hak dan kewajiban produsen bertimbal-balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Artinya, apa yang menjadi hak dari konsumen merupakan kewajiban produsenlah untuk memenuhinya, dan sebaliknya apa yang menjadi hak produsen adalah kewajiban konsumen.109

109

(9)

Kalau dibandingkan dengan hak dan kewajiban penjual dalam jual beli menurut KUH Perdata sebagaimana diatur di dalam Pasal 1474 dan seterusnya, tampak bahwa ketentuan KUH Perdata itu lebih sempit daripada ketentuan UUPK ini. Hal ini dikarenakan bahwa UUPK memandang produsen/pelaku usaha lebih dari sekedar penjual. Mereka juga mempunyai kewajiban dalam menciptakan iklim berusaha yang sehat yang pada akhirnya ikut bertanggung jawab dalam pembangunan ekonomi secara umum. Sebagai kewajiban hukum, maka produsen harus memenuhinya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika produsen bersalah tetapi tidak memenuhi kewajibannya itu, maka produsen dapat dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu. Artinya, produsen harus bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya itu.110

B. Bentuk-bentuk Tanggung Jawab Produsen (Pelaku Usaha) 1. Pertanggungjawaban publik.

Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat dan menunjang bagi pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu, kepada produsen dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu,

(10)

yaitu melalui penerapan norma-norma hukum, kepatutan, dan menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia usaha.111

Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh produsen maka kepadanya dikenakan sanksi-sanksi hukum, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Pemberian sanksi ini penting mengingat bahwa menciptakan iklim berusaha yang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan serta dapat juga berguna untuk mengembalikan keadaan semula sehingga berfungsi sebagai alat rehabilitasi sekaligus sebagai alat preventif bagi pengusaha lainnya sehingga tidak terulang perbuatan yang sama.

Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan kegiatannya (Pasal 7 angka 1) berarti bahwa pelaku usaha ikut bertanggung jawab untuk menciptakan iklim yang sehat dalam berusaha demi menunjang pembangunan nasional. Jelas ini adalah tanggung jawab publik yang diemban oleh seorang pelaku usaha. Banyak ketentuan di dalam UUPK ini bermaksud mengarahkan pelaku usaha untuk berperilaku sedemikian rupa dalam rangka menyukseskan pembangunan ekonomi nasional, khususnya di bidang usaha.

112

a. Kelalaian membayar ganti rugi kepada konsumen (Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3));

Bentuk pertanggungjawaban administratif yang dapat dituntut dari produsen sebagai pelaku usaha diatur di dalam Pasal 60 UUPK, yaitu pembayaran ganti kerugian paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta) rupiah, terhadap pelanggaran atas ketentuan tentang:

111Ibid,

hal. 93. 112Ibid,

(11)

b. Periklanan yang tidak memenuhi syarat (Pasal 20);

c. Kelalaian dalam menyediakan suku cadang (Pasal 25); dan d. Kelalaian memenuhi garansi/jaminan yang dijanjikan.

Selanjutnya pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada produsen, baik pelaku usaha yang bersangkutan maupun pengurusnya (jika produsen berbentuk badan usaha) adalah:

a. Pidana penjara paling lama lima tahun atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10; Pasal 13 ayat (2); Pasal 15; Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e, ayat (2); dan Pasal 18.

b. Pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta) rupiah, terhadap pelanggaran atas ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f.

c. Terhadap sanksi pidana di atas dapat dikenakan hukuman tambahan berupa tindakan:

1) Perampasan barang tertentu; 2) Pengumuman keputusan hakim; 3) Pembayaran ganti rugi;

4) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;

5) Kewajiban menarik barang dari peredaran; atau 6) Pencabutan izin usaha.113

113Ibid,

(12)

2. Pertanggungjawaban privat (keperdataan).

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Perlindungan Konsumen diatur mengenai pertanggungjawaban produsen, yang disebut dengan pelaku usaha, pada Bab VI dengan judul Tanggung Jawab Pelaku Usaha, Pasal 19-28. Ketentuan pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal 19

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(13)

Dalam pasal 19 UUPK ini dimaksudkan bahwa jika konsumen menderita kerugian berupa terjadi kerusakan, pencemaran, atau kerugian finansial karena mengonsumsi produk yang diperdagangkan, maka produsen sebagai pelaku usaha wajib memberi penggantian kerugian, baik dalam bentuk pengembalian uang, penggantian barang, maupun pemberian santunan. Penggantian itu dilakukan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.114

Pasal 23 UUPK ini merupakan lanjutan dari Pasal 19 yang mengatakan bahwa kalau produsen menolak membayar ganti kerugian kepada konsumen, produsen dapat diajukan ke BPSK ataupun ke pengadilan. Jadi, tampak bahwa Pasal 19 merupakan fasilitas jalan damai yang ditawarkan oleh undang-undang. Kalau para pihak tidak memanfaatkannya, dapat dipilih badan peradilan yang akan menyelesaikannya.

Pasal 23

Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntunan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

115

114Ibid,

hal. 96. 115Ibid,

hal. 98.

(14)

3. Tanggung jawab karena pelanggaran janji (wanprestasi) dalam hubungan kontraktual : khususnya jual beli.

Dalam setiap perjanjian, ada sejumlah janji (term of condition) yang harus dipenuhi oleh para pihak. Janji itu merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak yang berjanji dan sekaligus merupakan hak bagi pihak lawan untuk menuntut pemenuhannya. Apabila janji tidak dipenuhi, tentu akan menimbulkan kerugian di pihak lawan, yang akhirnya keadaan tidak terpenuhinya perjanjian (wanprestasi, breach of contract) itu, menimbulkan hak bagi pihak lawan untuk menuntut penggantian kerugian.116

4. Tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum (tort law).

Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, tiap-tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Kemudian dalam Pasal 1367 KUH Perdata diatur mengenai pertanggungjawaban khusus sehubungan dengan perbuatan melawan hukum, yaitu pertanggungjawaban atas barang disebutkan bahwa seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Untuk dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum, maka unsur kesalahan ini harus dapat dibuktikan. Kesalahan di sini umumnya diartikan secara luas, yang

116Ibid,

(15)

meliputi kesengajaan (opzet) dan kekuranghati-hatian atau kelalaian (negligence). Ukuran yang dipergunakan adalah perbuatan dari seorang manusia dalam keadaan normal.117

Pengertian negligence adalah suatu perilaku yang tidak sesuai dengan standar kelakuan (standard of conduct) yang ditetapkan dalam undang-undang demi perlindungan anggota masyarakat sebagai konsumen terhadap risiko yang tidak rasional, yakni adanya perbuatan kurang cermat, kurang hati-hati, yang semestinya seorang penjual atau produsen mempunyai duty of care (kewajiban memelihara kepentingan orang lain). Apabila dikaitkan dengan perbuatan melawan hukum dalam konsep Pasal 1365 KUH Perdata, maka negligence ini merupakan salah satu bagian yang mempersoalkan kekuranghati-hatian atau kelalaian. Dengan kata lain, masalah negligence ini adalah juga masalah perbuatan melawan hukum. Negligence ini banyak disebutkan dalam kaitannya dengan tanggung jawab produk.118

Unsur esensial dalam negligence ini adalah adanya duty of care yang dilanggar oleh produsen. Duty of care ini mensyaratkan bahwa produsen harus berhati-hati dalam menjaga kepentingan orang lain, yaitu pemakai produk. Oleh karena itu, produsen atau penjual diharuskan waspada dalam memproduksi dan memasarkan produknya. Kewaspadaan ini tidak hanya terhadap penjual, tetapi juga kepada seluruh masyarakat pemakai produknya yang bertujuan untuk mengetahui adanya cacat pada produk yang dapat menyebabkan kerugian dan bahwa cacat tersebut telah ada pada saat penyerahan, serta bahwa cacat itu terjadi

117Ibid,

(16)

oleh kekuranghati-hatian produsen. Oleh karena itu, diperlukan adanya pedoman produksi dan pemasaran yang ditetapkan oleh pemerintah, sehingga dapat ditetapkan di manakah kesalahan atau kekuranghati-hatian itu berada, apakah pada konsepsi (desain), pada proses produksi, atau pada pemberian instruksi/petunjuk pemakaian.119

C. Tanggung Jawab Produsen Terhadap Konsumen Atas Pembelian Produk Elektronik Berlabel SNI.

Berbicara tentang perlindungan konsumen sama halnya dengan membicarakan tanggung jawab produsen/tanggung jawab produk, karena pada dasarnya tanggung jawab produsen dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Agnes M.Toar, bahwa tanggung jawab produk/produsen merupakan suatu tanggung jawab para produsen terhadap produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.120

Tanggung jawab produsen terhadap konsumen yang membeli produk elektronik berlabel SNI dimulai saat konsumen masih memilih barang elektronik yang akan dibeli, dan akan terus berlanjut meskipun barang tersebut telah dibeli. Pertanggungjawaban berlanjut apabila barang elektronik tersebut menimbulkan

Produsen menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai (reasonable).

119Ibid,

hal. 111. 120

(17)

masalah yang menyebabkan kerugian kepada konsumen berupa produk yang dibeli cacat atau berlabel SNI palsu dan dapat membahayakan konsumen. Namun, hal ini dapat diterima oleh sebagian besar konsumen, dalam arti bahwa konsumen tersebut pasrah, tidak mengajukan keberatan, dan tetap menggunakan produk elektronik cacat atau berlabel SNI palsu tersebut karena kurangnya pemahaman dari konsumen itu sendiri. Padahal berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UUPK, tanggung jawab pelaku usaha meliputi tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan atas kerugian konsumen. Pembelian produk elektronik berlabel SNI yang palsu merupakan tanggung jawab pelaku usaha karena tidak memberikan informasi yang benar dan jujur. Akan tetapi, perlu juga diperhatikan bahwa konsumen yang mengajukan keberatan, tidak sepenuhnya ditanggapi oleh produsen atau pelaku usaha dan bahkan dipersulit.121

Kesulitan untuk mengajukan keberatan atau permintaan ganti kerugian berdasarkan UUPK terdapat pada ketentuan Pasal 19 ayat (3) UUPK yang menentukan bahwa pemberian ganti kerugian dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Apabila ketentuan ini dipertahankan, maka konsumen yang menggunakan barang di hari kedelapan setelah transaksi tidak akan mendapatkan ganti kerugian dari pelaku usaha, walaupun secara nyata konsumen yang bersangkutan telah menderita kerugian. Maka seharusnya Pasal 19 ayat (3) menentukan bahwa tenggang waktu pemberian ganti kerugian kepada konsumen adalah 7 (tujuh) hari setelah terjadinya kerugian, dan bukan 7 (tujuh) hari setelah

121

Andika Pratama Santosa, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Elektronik dalam

(18)

transaksi seperti rumusan yang ada sekarang.122

1. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

Sedangkan berdasarkan Pasal 27 UUPK, tanggung jawab untuk pelaku usaha yang memproduksi barang, produsen, dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila:

2. Cacat barang timbul pada kemudian hari;

3. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; 4. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

5. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Berdasarkan Pasal 27 UUPK, pada huruf b dan huruf e juga mengatur pembebasan tanggung jawab karena lewat jangka waktu yang diperjanjikan. Tidak bertanggung jawab atas cacat barang timbul di kemudian hari sebagaimana diperjanjikan, tidak lain maksudnya adalah juga masa garansi sebagaimana disebutkan dalam penjelasan huruf e yang memberikan alternatif masa daluwarsa 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau jangka waktu yang diperjanjikan (masa garansi), maka terbuka kemungkinan disalahgunakan pelaku usaha. Pelaku usaha dapat membebaskan diri dari tanggung jawab dengan cara membatasi jangka waktu secara tidak wajar dalam perjanjian saat pembelian produk elektronik.123

122

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit, hal. 127. 123 Ibid,

hal. 160.

(19)

yang singkat agar mereka tidak perlu bertanggung jawab terhadap barang yang diperdagangkan.124

Posisi konsumen masih sangat lemah, terutama berkaitan dengan keberhasilan gugatan ganti kerugian yang mensyaratkan adanya pembuktian dan/atau pembuktian lawan yang diajukan oleh produsen.125

Salah satu usaha untuk melindungi dan meningkatkan kedudukan konsumen adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum tentang tanggung jawab produsen. Dengan diberlakukannya prinsip tanggung jawab mutlak diharapkan pula para produsen Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk-produk yang dihasilkannya, sebab jika tidak dijaga maka akan merugikan konsumen juga akan

Pengetahuan dan pengalaman konsumen akan barang elektronik pada umumnya masih kurang, sehingga konsumen membutuhkan informasi yang jelas, lengkap, dan jujur. Sehingga diharapkan bagi setiap produsen untuk wajib memberikan informasi tersebut walaupun tidak ditanyakan oleh konsumen. Penulis berpendapat bahwa pertanggungjawaban produsen elektronik berlabel SNI sebaiknya tidak memperdagangkan barang yang tidak memenuhi standar mutu, dan yang tidak memenuhi kualitas sertifikasi SNI terhadap produk. Pelaku usaha harus menunjukkan itikad baik dalam berdagang, serta bertanggung jawab atas informasi yang diberikan kepada konsumen.

124

Andika Pratama Santosa, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Elektronik dalam Perdagangan Barang Bermerek Palsu, Skripsi S1 Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin, 2010, hal.52 a.pdf, (diakses pada tanggal 25 Juni 2016).

125

(20)

sangat besar resiko yang harus ditanggungnya.126 Para produsen sebaiknya berhati-hati dalam memproduksi barang sebelum dipasarkan sehingga para konsumen, baik dalam maupun luar negeri, tidak akan ragu-ragu membeli barang produksi Indonesia. Demikian juga bila kesadaran para produsen terhadap hukum tentang tanggung jawab produsen tidak ada, dikhawatirkan akan berakibat tidak baik terhadap perkembangan/eksistensi dunia industri nasional maupun pada daya saing produk-produk nasional, terutama di luar negeri. Hal ini menunjukan bahwa pentingnya hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability) yang menganut prinsip tanggung mutlak (strict liability principle) dalam mengantisipasi kerugian terhadap konsumen yang diderita akibat produk cacat (dalam hal ini produk elektronik yang tidak sesuai SNI asli).127 Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku dewasa ini dipandang terlalu menguntungkan pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat. Oleh karena itulah dibutuhkan tanggung jawab produsen atas keberatan yang diajukan oleh konsumen yang merasa dirugiakan saat pembelian produk elektronik berlabel SNI tersebut.

126

Husni Syawali, Neni Sri Imaniyati, Op. Cit, hal. 59. 127Ibid,

(21)

BAB IV

UPAYA PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI KONSUMEN YANG MENANGANI MALASAH SENGKETA TERHADAP PEMBELIAN

PRODUK ELEKTRONIK BERLABEL SNI

A. Peran Pemerintah Dalam Perlindungan Konsumen

Pemakaian teknologi yang semakin maju sebagaimana disebutkan sebelumnya dan supaya tujuan standardisasi dan sertifikasi tercapai semaksimal mungkin, maka pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi pelaksanaan peraturan yang berlaku.128

Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi, serta mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik kesehatannya maupun keuangannya. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijakan yang akan dilaksanakan, maka langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah:

Sesuai dengan prinsip pembangunan yang antara lain menyatakan bahwa pembangunan dilaksanakan bersama oleh masyarakat dengan pemerintah dan karena itu menjadi tanggung jawab bersama pula, maka melalui pengaturan dan pengendalian oleh pemerintah, tujuan pembangunan nasional dapat dicapai dengan baik.

129

128

Janus Sidabalok, Op. Cit, hal. 23. 129Ibid,

(22)

1. Registrasi dan penilaian; yakni tindakan yang dilakukan terhadap suatu produk untuk menilai standar mutu yang sesuai dengan peraturan pemerintah.

2. Pengawasan produksi; yakni upaya yang dilakukan untuk mengamati tahapan produksi mengenai kelengkapannya dan sesuai dengan SNI.

3. Pengawasan distribusi; pemerintah mengawasi distribusi produk yang telah memiliki sertifikasi sehingga aman untuk dikonsumsi.

4. Pembinaan dan pengembangan usaha; yakni upaya pemerintah dalam memberikan wacana terhadap para pelaku usaha/produsen dalam mengembangkan usaha sehingga konsumen lebih bebas memilih produk yang bervariasi sesuai dengan haknya yang terdapat dalam UUPK.

5. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga; yakni upaya yang dilakukan untuk memperlancar proses pendistribusian produk sampai ke tangan konsumen.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 29 ayat 1 dinyatakan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.130

130

Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VII, Pasal 29.

(23)

upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilakukannya kewajiban masing-masing sesuai dengan asas keadilan dan asas keseimbangan kepentingan. Tugas pembinaan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh menteri atau menteri teknis terkait. Menteri ini melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 6, disebutkan bahwa dalam upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen, menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis sebagai berikut:131

1. Meningkatkan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di bidang perlindungan konsumen.

2. Meningkatkan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang/jasa.

3. Melakukan pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu barang.

4. Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta penerapannya.

Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran akan haknya masih rendah, terutama disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Oleh karena itu, UUPK dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

131

(24)

(selanjutnya disingkat LPKSM) untuk melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan penting, karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang berupaya mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin sesuai prinsip ekonomi. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.132

Berdasarkan Penjelasan Umum UUPK tersebut di atas, maka adanya tanggung jawab pemerintah atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen tidak lain dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen memperoleh haknya. Pemberdayaan konsumen tersebut sesuai asas keadilan dan keseimbangan, tidak boleh merugikan kepentingan pelaku usaha. Hal ini dinyatakan juga dalam Penjelasan Umum UUPK bahwa, piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi sebaliknya melalui perlindungan konsumen tersebut dapat mendorong iklim berusaha yang sehat, dan lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.133

Ketentuan Pasal 30 UUPK menjanjikan upaya perlindungan konsumen melalui pemberdayaan setiap unsur yang ada yaitu masyarakat dan LPKSM disamping pemerintah sendiri melalui menteri dan/atau menteri teknis yang terkait. Apabila diperhatikan substansi pada Pasal 30 UUPK tersebut juga tampak bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran masyarakat dan

132

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit, hal. 181. 133Ibid,

(25)

LPKSM, dibandingkan dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait. Seperti yang terdapat dalam pasal tersebut, pemerintah diserahi tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya. Sementara pengawasan oleh masyarakat dan LPKSM, selain tugas pemerintah di atas, juga diserahi tugas pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Ayat 4 dari pasal tersebut juga menentukan bahwa, apabila pengawasan oleh masyarakat dan LPKSM ternyata mendapatkan hal-hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti, untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang beredar di pasar, pemerintah sepenuhnya menyerahkan dan menanti laporan masyarakat dan/atau LPKSM untuk kemudian diambil tindakan.134

B. Kendala-kendala Dalam Menerapkan Perlindungan Konsumen Terkait Pembelian Produk Berlabel SNI

Dalam konteks perlindungan konsumen, standar memang seharusnya punya peran penting. Seperti yang dimuat dalam Pasal 7 huruf (d) UUPK, kata-kata standar muncul diantara kewajiban pelaku usaha yakni menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan

(26)

ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Demikian juga, pasal 8 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari pasal-pasal ini jelas bahwa pelaku usaha harus mengikuti standar yang berlaku. Apabila ketentuan Pasal 8 tersebut dilanggar, maka akan dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 5 tahun atau denda maksimal 2 milyar rupiah (Pasal 62).

(27)

ini mengaku sulit, atau bahkan tidak mungkin, memenuhi standar yang telah ditetapkan.135

Kemenperin juga melakukan penelitian terhadap alasan perusahaan yang memiliki kendala dan hambatan dalam menerapkan SNI yang dibuat dalam bentuk persentasi yakni, terutama karena diharuskan oleh peraturan (18,6%), meskipun sebagian juga diantaranya menyadari bahwa penerapan SNI berdampak pada kemudahan keberterimaan pasar (14,3%), dan meningkatkan citra perusahaan (10,1%), juga bahwa pasar sudah mulai mengetahui perlunya standar dalam perdagangan (8,1%), dan adanya Keppres 80/2003 (terakhir diubah menjadi Perpres 54/2010) tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah belum mampu mendorong industri dalam menerapkan standar (11,6%). Dari hal tersebut perusahaan menghadapi beberapa kendala, antara lain keterbatasan sumber daya manusia, kesulitan mengkalibrasikan peralatan laboratorium maupun produksi, adanya pesaing pasar yang memasarkan produknya di bawah standar dengan harga yang rendah pula, biaya pengujian/ sertifikasi mahal, kepedulian konsumen terhadap standar yang kurang, proses sertifikasi yang tidak mudah, lokasi laboratorium/ inspeksi/ lembaga sertifikasi jauh dari perusahaan, dan faktor lain misalnya kurangnya sosialisasi sistem manajemen mutu di industri.136

135

tanggal 26 Juni 2016).

136

(28)

Faktor-faktor lain yang menghambat pelaksanaan standardisasi adalah:137 1. Kesiapan Pelaku Usaha

Menghadapi standar ISO 9000 dan ISO 14000 sebagai acuan mengenai SNI di Indonesia, pelaku usaha menunjukkan sikap yang kurang proaktif dan cenderung menunggu. Pelaku usaha nasional pada umumnya hanya berorientasi pada pasar domestic. Hal ini tidak terlalu salah karena dengan jumlah penduduk Indonesia yang 200.000.000 (dua ratus juta) orang dan wilayah geografis yang demikian luas, potensi pasar domestic memang cukup besar. Tetapi jika pelaku usaha nasional masih bertahan dengan pola tersebut, maka cepat atau lambat potensi usaha di dalam negeri akan dikuasai oleh pengusaha asing. Dengan kata lain, supaya pelaku usaha nasional tidak menjadi penonton dirumahya sendiri maka perlu memiliki semangat kompetisi yang tinggi dan juga sikap yang inovatif, proaktif, dan kompetitif.

2. Sistem Informasi

Sistem informasi memegang peranan yang sangat penting. Minimnya sistem informasi yang dimiliki Indonesia dalam penerapan sistem standardisasi merupakan kendala tersendiri. Hal itulah yang menyebabkan pelaku usaha tidak mengetahui perkembangan dengan baik. Dengan demikian, berarti kehilangan kesempatan yang berharga bagi bisnisnya. Jika pelaku usaha juga tidak memiliki akses ke informasi mengenai standar internasional yang sedang berlaku di pasar dunia, maka kesempatan untuk memulai kompetisi dari start yang sama menjadi hilang, akibatnya kesempatan yang baik akan selalu dimenangkan oleh mereka

137

(29)

yang cepat dapat mengakses informasi, memiliki inovasi tinggi dan kompetitif serta mampu memanfaatkan peluang pasar yang ada secara optimal.

Bagi mereka yang cepat dapat mengakses informasi mengenai peluang pasar serta segala sesuatu yang berkaitan dengan perdagangan dunia, termasuk salah satunya adalah penerapan standar, maka kesempatan untuk maju dan memperoleh keuntungan yang besar sangat dimungkinkan. Apalagi jika peluang yang ada dapat dioptimalkan dengan membuat spesifikasi produk yang dibutuhkan oleh pasar.

3. Budaya

Faktor budaya sangatlah penting, karena akan sangat menentukan perilaku dari pelaku usaha. Misalnya, sangat tidak mudah untuk mengubah perilaku pelaku usaha Indonesia yang terbiasa dengan unfair trade karena mendatangkan kemudahan dan keuntungan baginya, dan pada umumnya pelaku usaha memilikiorientasi bisnis berjangka pendek, kemudian harus berubah menjadi pelaku usaha yang jujur, adil, etis dan bertanggung jawab, dan di satu sisi hal ini akan mengurangi keuntungan yang dapat diperolehnya.

(30)

mengimplementasikan UUPK ini. Secara lebih rinci dapat disebutkan bahwa kendala yang dihadapi paling tidak ada 3 (tiga), yaitu: 138

1. Belum berdirinya BPSK (dahulu) sehingga dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi antara produsen dan konsumen sulit dilaksanakan. Namun untuk sekarang, hal yang perlu diperhatikan menurut penulis ialah fungsi dari BPSK tersebut sudah berjalan atau tidak sesuai tugas dan fungsinya. 2. Masih rendahnya kesadaran konsumen dalam memperhatikan dan

menegakkan hak-haknya.

3. Kendala kultur/budaya dalam memperhatikan kepentingan konsumen oleh pemerintah sendiri.

Para pihak yang terkait dalam proses penegakan hak konsumen ini, baik konsumen, pemerintah maupun pelaku usaha diharapkan secara sadar memberikan kontribusi positif dalam menciptakan iklim kondusif bagi terciptanya keadilan konsumen. Terciptanya keadilan bagi konsumen akan mampu menjadi tonggak terbangunnya produktifitas nasional. Sangat disesalkan jika kepentingan konsumen dipandang sebagai hal yang remeh dan patut disepelekan.

C. Upaya Pemerintah Dalam Melindungi Konsumen Yang Menangani Masalah Sengketa Terhadap Pembelian Produk Elektronik Berlabel SNI

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum publik. Dikatakan demikian karena sebenarnya di sinilah peran dan kewenangan pemerintah atau

138

(31)

pihak-pihak yang terkait untuk melindungi seluruh konsumen dari produk-produk yang tidak berkualitas atau dari pelaku usaha yang beritikad buruk.139

Instrumen hukum perlindungan konsumen yang termasuk di dalamnya hukum administrasi negara mempunyai sumbangan besar dalam rangka melindungi kepentingan konsumen. Sumbangan terbesar pada hukum publik di sini adalah kemampuan untuk mengawasi, membina dan mencabut izin sesuai dengan ketentuan apabila terbukti melanggar undang-undang dan merugikan kepentingan konsumen.140

Produk elektronik berlabel SNI palsu yang beredar di pasar membuat konsumen harus lebih berhati-hati dalam memilih sebelum membelinya. Seperti yang terjadi di Aceh pada tahun 2014, Dirjen SPK Kemendag, Widodo menemukan sebanyak 72 pompa air yang berlabel SNI palsu, yang membahayakan konsumen karena saat dilakukan pengujian, mesin pompa air bermerek Motoyama tersebut terbakar dan meledak.141

Berdasarkan kejadian tersebut pihak pemerintah yang dimaksud untuk melakukan pengawasan, pembinaan bahkan mencabut izin usaha perdagangan (IUP) sebagai bentuk sanksi administratif adalah pihak dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (DISPERINDAG)

142

139

Ayu Wandira, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Telematika Dan Elektronika Yang Tidak Disertai Dengan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual Dalam Bahasa Indonesia, Skripsi S1 Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin, 2013, hal. 86,

dan pihak dari YLKI. Disperindag

140Ibid. 141

142

Lihat Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor

(32)

bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap peraturan ini dan mencabut IUP. Sedangkan YLKI selaku organisasi masyarakat yang bertugas sebagai lembaga perwakilan konsumen bertanggung jawab untuk melakukan pembinaan dan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat.143

Kehadiran lembaga ini diatur dalam Pasal 44 UUPK, yang isinya:144

1. Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat;

2. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen;

3. Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi: a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas

hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

c. Bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;

d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;

e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.

Berdasarkan uraian di atas, dikatakan bahwa pihak disperindag dan YLKI mempunyai peranan dalam mengatasi peredaran produk elektronik yang tidak bersertifikat SNI. Dalam kegiatan pengawasan ini, pihak disperindag bersama dengan pihak kementerian (Kemendag) langsung turun ke lapangan secara spontan, dan apabila ditemukan produk yang melanggar ketentuan maka langsung disegel.145

143

Ayu Wandira, Op.Cit, hal. 87. 144

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IX, Pasal 44.

145

(33)

Masalah-masalah konsumen secara kuantitatif di pengadilan tidak diketahui dengan pasti. Namun, ada saja pertimbangan-pertimbangan hakim yang bernuansa perlindungan konsumen meskipun minim. Seperti halnya perkara Merek Kamper Bagus dan Lily Ball (Putusan Mahkamah Agung Nomor 3994 K/Pdt/1985 tanggal 9 September 1987, Mahkamah Agung memberikan catatan tentang perlindungan konsumen terhadap perbuatan-perbuatan yang lazim disebut

unfair trade practices dari para produsen.146

Minimnya masalah-masalah sengketa konsumen di pengadilan (tidak termasuk di luar pengadilan), disebabkan sikap konsumen Indonesia yang enggan berperkara di pengadilan dengan alasan:147

1. Belum jelasnya norma-norma perlindungan konsumen;

2. Peradilan kita yang belum sederhana, cepat, dan biaya ringan; dan

3. Sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar.

Pengalaman konsumen saat mengalami sengketa pada saat pembelian produk elektonik berlabel SNI yang mendapat bantuan hukum dari YLKI, merasakan bahwa mencari keadilan melalui pengadilan memakan waktu, biaya yang tak sedikit, serta pengorbanan dari keluarga. Tidak jarang pengorbanan yang diberikan tidak sebanding dengan pemulihan hak-hak yang dilanggar.148

Dari perspektif konsumerisme, saat mengajukan gugatan sengketa antara produsen dengan konsumen kalah atau menang bukanlah itu tujuannya.

146

Yusuf Shofie, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 29.

(34)

Tujuannya, yaitu memperbaiki nasib kebanyakan konsumen, terutama yang berakses lemah terhadap hukum, apalagi di negara-negara yang belum menempatkan konsumennya sebagai subjek hukum. Adapun pengadilan dalam menjalankan fungsinya tidaklah sama dari masa ke masa. Diharapkan akan semakin bertambah terobosan-terobosan baru melalui pengadilan untuk menyuarakan rasa keadilan masyarakat sebagai konsumen dan pengadilan tidak lagi hanya menunggu undang-undang sebagai dasar hukum mengadili sengketa/perkara yang diajukan oleh konsumen.149

149Ibid,

hal. 31.

(35)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

(36)

ditandai dengan adanya pemberian garansi terhadap kualitas produk elektronik berlabel SNI oleh pihak produsen. Dengan adanya jaminan/garansi tersebut maka para konsumen mempunyai hak untuk mengajukan claim atas kerusakan, cacat dan kekurangan sebagai akibat dari kesalahan pabrik. Adapun bentuk dari ganti rugi pada asasnya yang lazim dipergunakan adalah uang, oleh karena menurut ahli-ahli hukum perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan alat yang paling praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan suatu sengketa.

(37)

3. Upaya pemerintah dalam melindungi konsumen melalui cara pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai dengan Pasal 29 ayat 1 UUPK, mengawasi penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001, serta mengendalikan produksi dengan pemberdayaan setiap unsur masyarakat dan LPKSM, distribusi dan peredaran produk sudah sangat membantu dalam menghindari konsumen sebagai korban dari perilaku produsen yang memproduksi dan mengedarkan produk elektronik yang berlabel SNI tetapi tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia yang membahayakan dan tidak memiliki sertifikat asli SNI yang dikeluarkan oleh Kemendag. Kendala yang ditemukan setelah dianalisis secara kualitatif ialah bahwa banyak produsen yang sulit mendapatkan sertifikat SNI atas produk elektronik yang diproduksinya sehingga konsumen yang menanggung akibat dari penggunaan produk tersebut sehingga dapat menimbulkan kerugian dan ancaman bahaya keselamatan saat penggunaannya.

B. Saran

Berdasarkan uraian kesimpulan diatas, berikut diuraikan saran-saran yang dapat mendukung upaya perlindungan konsumen, yaitu:

1. Untuk meningkatkan peran konsumen sebagai pemakai barang/ produk yang dibeli, dapat dilakukan upaya-upaya seperti berikut:

(38)

diproduksi. Dalam penggunaan produk elektronik berlabel SNI, konsumen dapat menyuarakan hak-haknya jika dirugikan lewat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

b. Konsumen harus bersikap kritis apabila tidak mengerti prosedur yang berlaku dari suatu produk serta menanyakan hal-hal yang tidak dimengerti kepada produsen atau penjual barang elektronik. Dalam pembelian produk elektronik tersebut, konsumen berhak bertanya mengenai karakteristik dan informasi penggunaan yang dicantumkan dalam buku petunjuk produk tersebut.

c. Konsumen dapat menyalurkan aspirasinya dan melaporkan kejadian yang merugikan konsumen melalui lembaga perlindungan konsumen yang telah ada.

d. Konsumen diharapkan memiliki pengetahuan yang memadai tentang hak dan kewajibannya sebagai konsumen.

2. Saran untuk para produsen yakni:

a. Memberikan informasi yang jelas dan benar mengenai produk elektronik b. Memberikan pelayanan yang baik (service excellent) bagi konsumen c. Mempergunakan label SNI yang bersertifikat resmi pada setiap produk

elektronik yang akan dipasarkan sehingga konsumen tidak tertipu dengan adanya label SNI palsu/ tidak resmi.

(39)

klausula baku yang didalamnya memuat klausula eksemsi yang dapat melepaskan diri dari tanggung jawab.

(40)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN ATAS PEMBELIAN PRODUK ELEKTRONIK BERLABEL SNI BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

1. Pengertian Konsumen dan Instrument Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen.

Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UUPK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.”23

Dalam buku AZ. Nasution yang berjudul Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata

consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata dari consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.” Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk kelompok konsumen mana pengguna tersebut.24

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu.

Pembagian batasan mengenai konsumen dibedakan oleh AZ. Nasution yakni menjadi :

23

Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 angka 2.

24

(41)

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).25

Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 tersebut bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua orang adalah konsumen karena membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk memelihara/merawat harta bendanya.26

a. Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.

Pada hakekatnya terdapat 2 (dua) instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni :

25Ibid.

hal 11-14. 26

(42)

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberi harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas suatu transaksi barang dan jasa. UUPK ini menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.

Instrumen lainnya seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2013, Bab II, juga memuat ketentuan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, dimana pelaku usaha jasa keuangan diwajibkan memberikan informasi yang jelas serta pemahaman kepada konsumen mengenai hak dan kewajiban konsumen.

Ada 5 (lima) asas di dalam UUPK yang mendukung instrumen perlindungan hukum bagi konsumen seperti yang dimuat didalam Pasal 2 UUPK, yakni asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.27

a. Asas manfaat

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi disbanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya. b. Asas keadilan

Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4-7 UUPK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini

27

(43)

konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

c. Asas keseimbangan

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Diharapkan penerapan UUPK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.28

2. Hak dan Kewajiban konsumen

Seiring dengan keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, maka mulailah dipikirkan kepentingan-kepentingan apa dari konsumen yang perlu mendapat perlindungan. Kepentingan-kepentingan itu dapat dirumuskan dalam bentuk hak. Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi.

28

(44)

Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.29

Dalam Pasal 4 UUPK disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum, yaitu :

30

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

29

Sukdikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hal.40.

30

(45)

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UUPK lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas:31

a. Hak memperoleh keamanan; b. Hak memilih;

c. Hak mendapat informasi; d. Hak untuk didengar.

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21, dan Pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumer Union- IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu:32

a. Hak untuk memeperoleh kebutuhan hidup; b. Hak untuk memperoleh ganti rugi;

c. Hak untuk memeperoleh pendidikan konsumen;

d. Hak untuk memeperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

31

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.38.

32

C. Tantri D. dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen,

(46)

Disanping itu, masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut:33 a. Hak pelindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn

gezendheid en veiligheid);

b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen).

Sementara itu, konsumen juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi yang dimuat di dalam Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1999 yakni :34

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan /atau

jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

3. Sengketa Konsumen dan Penyelesaiannya

Menurut A.Z Nasution, seorang ahli hukum perlindungan konsumen menyatakan pengertian dari sengketa konsumen adalah sengketa yang timbul antara pelaku usaha dan konsumen yang berawal dari transaksi konsumen.35

33

Meriam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 61. 34

Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 5.

35

(47)

Menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Surat Keputusan Nomor 350/MPP/12/2001 tanggal 10 Desember 2001, yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah “Sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau memanfaatkan jasa”. Sengketa konsumen menurut Pasal 23 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimulai pada saat konsumen menggugat pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau peradilan umum ditempat kedudukan konsumen. BPSK menangani penyelesaian sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen dengan cara Konsiliasi atau Mediasi, atau Arbitrase atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum.36

Ketidaktaatan pada isi transaksi konsumen, kewajiban, serta larangan sebagaimana diatur di dalam UUPK dapat melahirkan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Sengketa itu dapat berupa salah satu pihak tidak mendapatkan atau menikmati apa yang seharusnya menjadi haknya karena pihak lawan tidak memenuhi kewajibannya. Misalnya, pembeli tidak memperoleh barang yang sesuai dengan pesanannya, atau pembeli tidak mendapat pelayanan sebagaimana telah disepakati, atau penjual tidak mendapatkan pembayaran sesuai

36Ibid

(48)

dengan haknya. Sengketa yang timbul antara pelaku usaha dan konsumen berawal dari transaksi konsumen disebut sengketa konsumen.37

Sengketa konsumen dapat bersumber dari dua hal, yaitu :

38

a. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana diatur di dalam undang. Artinya, pelaku usaha mengabaikan ketentuan undang-undang tentang kewajibannya sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan yang dikenakan padanya dalam menjalankan usahanya. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari hukum.

b. Pelaku usaha atau konsumen tidak menaati isi perjanjian, yang berarti baik pelaku usaha maupun konsumen tidak menaati kewajibannya sesuai dengan kontrak atau perjanjian yang dibuat di antara mereka. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari kontrak.

Pasal 46 ayat 1 UUPK, disebutkan bahwa yang dapat melakukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah konsumen perseorangan, sekelompok konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), dan Pemerintah. Permasalahan yang sering ditemui di masyarakat ialah adanya pelaksanaan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha seperti pada Pasal 8 ayat 1 huruf (a), para pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan /atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.39

37

Janus Sidabalok, Op.Cit.. hal. 143. 38Ibid

, hal 143. 39

Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 8 ayat 1 huruf (a).

(49)

yang mencantumkan label SNI tetapi sebenarnya tidak memenuhi standar kesesuaian, yang mengakibatkan kerugian dan dampak negatif yang dirasakan oleh konsumen secara langsung. Hal ini yang membuat konsumen banyak mengajukan tuntutan terhadap produsen sebagai bentuk pemenuhan atas hak-hak yang dimiliki oleh konsumen.

Sebagaimana sengketa hukum pada umumnya, sengketa konsumen harus diselesaikan sehingga tercipta hubungan baik antara pelaku usaha dan konsumen, dimana masing-masing pihak mendapatkan kembali hak-haknya. Penyelesaian sengketa secara hukum ini bertujuan untuk memberi penyelesaian yang dapat menjamin terpenuhinya hak-hak kedua belah pihak yang bersengketa. Dengan begitu, rasa keadilan dapat ditegakkan dan hukum dijalankan sebagaimana mestinya.40

Sebenarnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan baru diketahui melalui Pasal 47, sedangkan Pasal 45 justru menyebut lembaga khusus sebagai penyelesaian di luar pengadilan.

UUPK memberi dua macam ruang untuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian konsumen di luar pengadilan (non-litigasi).

Pasal 45 ayat (1):

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

40

(50)

Pasal 47:

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

Mengikuti ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47 UUPK tersebut, penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:

1. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika.

Menurut Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) UUPK, konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada produsen, dan produsen harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu tujuh hari setelah transaksi berlangsung.

2. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Jika pelaku usaha tidak mau menyelesaikan tuntutan ganti rugi tersebut atau diantara mereka tidak ada penyelesaian, pembeli dapat mengajukan kasus tersebut ke BPSK atau ke pengadilan. Menurut Pasal 23 UUPK penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK ini dapat ditempuh, yaitu jika penyelesaian secara damai diluar proses pengadilan tidak berhasil, baik karena produsen menolak atau tidak memberi tanggapan maupun jika tidak tercapai kesepakatan.41

41Ibid

(51)

Dengan demikian, terbuka tiga cara untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu:

1. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan;

2. Penyelesaian sengketa konsumen dengan tuntutan seketika; dan

3. Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Satu dari ketiga cara itu dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa, dengan ketentuan bahwa penyelesaian sengketa melalui tuntutan seketika wajib ditempuh pertama kali untuk memperoleh kesepakatan para pihak. Sedangkan dua cara lainnya adalah pilihan yang ditempuh setelah penyelesaian dengan cara kesepakatan gagal. Kalau sudah menempuh cara melalui pengadilan tidak dapat lagi, maka ditempuh penyelesaian melalui BPSK dan sebaliknya.42

4. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

Dengan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan (hukum) yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum publik, yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian,

42Ibid,

(52)

hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban produsen, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan kewajibannya itu.43

Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Oleh A.Z. Nasution dijelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa kosumen.

44

Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi: informasi, memilih, harga, sampai pada akibat-akibat yang timbul karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan

43Ibid

, hal. 45. 44

(53)

produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu.

Khusus mengenai perlindungan konsumen, menurut Yusuf Shofie, Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:45

a. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.

Pada Pasal 8 UUPK terdapat substansi yang memuat larangan memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut. Larangan-larangan ini bertujuan untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pelaku usaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya.46

b. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.

Pada Pasal 18 ayat (1), yaitu larangan membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

45

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 26.

46

(54)

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen ;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(55)

dari tanggung jawab dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku seperti itu.47

Sementara itu, Janus Sidabalok mengemukakan ada 4 (empat) alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut :

48

a. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD 1945;

b. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi;

c. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional;

d. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diharapkan akan dapat memberikan pengaruh positif terhadap pelaku usaha dan konsumen sekaligus. Bahwa sebenarnya perlindungan konsumen tidak hanya bermanfaat bagi kepentingan konsumen, tetapi juga bagi kepentingan pelaku usaha. Dalam pengaturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, paling tidak melibatkan 4 (empat) pihak, yaitu : konsumen yang baik, pelaku usaha yang baik, konsumen yang nakal, dan pelaku usaha yang nakal. Hal

47Ibid

, hal. 108. 48

(56)

tersebut dapat dipahami karena konsumen dan pelaku usaha bukanlah lawan, melainkan pasangan yang saling membutuhkan.

Masa depan dari pelaku usaha sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi dari konsumennya. Jika konsumennya dalam kondisi sehat dan perekonomiannya semakin baik, maka pelaku usaha juga memiliki masa depan yang baik, demikian juga akan berlaku sebaliknya. Dalam hal pelaku usaha berbuat curang, maka yang dirugikan tidak hanya pihak konsumen, tetapi juga merugikan pelaku usaha yang baik. Demikian juga jika ada konsumen yang nakal, hal itu tidak hanya akan merugikan pelaku usaha, tetapi juga merugikan konsumen yang baik.49

Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka dapat dikatakan hukum perlindungan konsumen adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.50

B. Standar Nasional Indonesia

1. Pengertian dan Dasar Hukum Standar Nasional Indonesia (SNI)

Penggunaan teknologi yang baik, di satu sisi memungkinkan produsen mampu membuat produk beraneka macam jenis, bentuk, kegunaan, maupun kualitasnya sehingga pemenuhan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi lebih luas, lengkap, cepat, dan menjangkau bagian terbesar lapisan masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain penggunaan teknologi memungkinkan dihasilkannya produk yang tidak

49

Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 87.

50

(57)

sesuai dengan persyaratan keamanan dan keselamatan pemakai sehingga menimbulkan kerugian kepada konsumen.

Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat atau berbahaya, maka perlu ditetapkan standar minimal yang harus dipedomani dalam berproduksi untuk menghasilkan produk yang layak dan aman untuk dipakai. Usaha inilah yang disebut dengan standardisasi. Menurut Gandi, standardisasi adalah proses penyusunan dan penerapan aturan-aturan dalam pendekatan secara teratur untuk kemanfaatan dan dengan kerjasama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan penghematan menyeluruh secara optimum dengan memperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Hal ini didasarkan pada konsol

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan yang diangkat penulis di dalam skripsi ini adalah bagaimana legalitas produk makanan hasil home industry di Kota Cirebon,

Kegiatan seperti ini, antara lain dapat berupa cara melindungi anak dari berbagai ancaman baik dari luar maupun dari dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi

Skripsi ini bertujuan untuk 1) Menjelaskan peran Pemerintah dalam melindungi hak konsumen untuk memperoleh informasi terkait jaminan mutu produk minuman kemasan

Tujuannya, untuk melindungi UKM yang punya produk asli karya mereka agar tak dijiplak atau dipatenkan oleh perusahaan asing saat di dalam negeri maupun saat pameran di luar

Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis dalam setiap proses

UNIVERSITAS

Tidak adanya ketegasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Kepmen 350/MPP/Kep/12/2001 dalam memberikan titel hukum terhadap keputusan Badan Penyelesaian Sengketa

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat , PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.. Sudaryatmo., Hukum dan Advokasi Konsumen