• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Konsumen Dalam Pembelian Barang Elektronik Rekondisi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Studi Di Pt. Plaza Milenium) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Konsumen Dalam Pembelian Barang Elektronik Rekondisi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Studi Di Pt. Plaza Milenium) Chapter III V"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TANGGUNGJAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN ATAS PENGGUNAAN BARANG REKONDISI

A. Barang Rekondisi yang Mengandung Cacat Tersembunyi

Rekondisi adalah barang seken yang disulap dengan sedikit perbaikan dan

make up sehingga terlihat baru untuk kemudian dibuat dus dan label. Lalu dengan garansi yang diberikan, harga bisa jauh di atas harga baru.65 Secara kualitas, tentu saja barang-barang tersebut memiliki kualitas lebih rendah dari barang resminya.

Barang yang beredar di masyarakat dibagi menjadi empat: 66 a.

b.

Barang original/asli.

c.

Barang PI (parrarel import)/black market.

d.

Barang rekondisi.

Barang palsu.

Barang original/asli adalah barang yang masuk ke Indonesia melalui jalur

resmi dan mempunyai distributor tunggal, barang berjenis ini dijamin penuh oleh

distributor baik garansi maupun keasliannya. Hal ini dapat dilihat dari kartu

garansi yang diterbitkan oleh distributor. Konsumen dapat melihat kode barang

pada kemasan, kartu garansi dan isi harus sama persis. Kode barang umumnya

telah masuk di database distributor. Jadi konsumen dapat melihat ciri-ciri tersebut secara nyata dan bisa langsung dicek ke distributor tidak mengira-ngira.67

65

Munarman, pengertian-rekondisi. http://komputer-fix.blogspot.com html. diakses tanggal 30 Oktober 2016 Pukul 10.00 Wib

66

Rudi Suryanto, awas-barang-rekondisi-sudah-banyak, http://endirafid.blogspot.com/

.html. diakses tanggal 30 Oktober 2016 Pukul 10.00 Wib.

(2)

Barang PI (parrarel import)/black market adalah barang yang masuk ke Indonesia melalui jalur importir, bukan jalur distribusi resmi.68 Biasanya barang jenis ini dijual dengan harga lebih murah dari yang resmi. Apakah barang tersebut

asli atau palsu, itu tergantung dari kejujuran si importir sendiri. Ada importir yang

mengimpor barang-barang secara utuh masih dalam segel pabrik ada juga yang

mengambil secara satu persatu (dirakit di Indonesia). Metode perakitan sangat

berpengaruh pada barang yang akan dijual. Soal garansi tentunya hanya dari

importir tersebut yang menjamin. Konsumen tidak akan mendapatkan kode

barang yang terdaftar di distributor resmi sehingga segala bentuk klaim atas

barang tersebut ke distributor pasti ditolak. Tetapi kadang konsumen mendapatkan

barang dengan kualitas bagus dan dapat bertahan lebih lama.

Barang rekondisi sering membuat konsumen tertipu, barang yang

dikatakan baru padahal isinya bekas pakai. Membedakan barang itu asli atau

rekondisi sebenarnya tidak terlalu sulit sebab konsumen bisa cek kode barang

kemasan, isi dan kartu garansi, sama atau tidak. Jika sama berarti barang yang

konsumen dapat adalah barang resmi dan jika tidak sama barang tersebut hampir

bisa dipastikan barang rekondisi. Konsumen bisa membawa ke distributor resmi

untuk mengetahui kebenarannya. Barang berjenis ini sangat merugikan konsumen

dikarenakan usia spart part akan lebih pendek dan biasanya mereka memakai merek sendiri ada juga yang memakai merek yang sudah ada dengan melakukan

sedikit perbaikan sehingga terlihat seperti baru.

Barang palsu benar-benar merugikan konsumen, karena jelas barang yang

(3)

label pada kemasan atau isi tidak solid, tidak ada garansi, umur pemakaian jauh

lebih pendek.

Tidak semua barang yang beredar di pasar memiliki kualitas yang prima.

Ada saja barang-barang yang dipasarkan ala kadarnya, bahkan tidak memenuhi

standar-standar yang telah digariskan. Sebagai pembeli yang pintar harus punya

kesadaran untuk selalu meneliti sebelum membeli agar tidak menyesal

dikemudian hari.69

UU No. 8 Tahun 1999 tidak mengatur tentang pengertian barang cacat dan

barang cacat tersembunyi baik dalam bab tentang ketentuan umum yang

memberikan pengertian terhadap berbagai istilah maupun pada bab-bab

selanjutnya, dan barang cacat bukan merupakan satu-satunya alasan dasar

pertanggungjawaban pelaku usaha, karena UU No. 8 Tahun 1999 hanya

menentukan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengomsumsi barang

dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.70

Di Indonesia, cacat pada barang didefenisikan sebagai berikut: “setiap

barang yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena

kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal-hal lain yang

terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi

manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan

orang.71

69

http://destikanababan.blogspot.com/ diakses pada 10 November 2016 Pukul 21.00 Wib.

70

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., .hal.30.

71

(4)

Pendapat lain mengatakan, yang dimaksud barang cacat adalah barang

yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, karena tiga hal yaitu:72 1. Cacat manufaktur (Manufacturing Defect)

Cacat produk atau manufaktur adalah keadaan produk yang umumnya berada

dibawah tingkat harapan konsumen atau dapat pula cacat itu sedemikian rupa

sehingga membahayakan harta bendanya, kesehatan tubuh, atau jiwa

konsumen. Cacat barang atau manufaktur adalah apabila suatu produk dibuat

tidak sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya barang tersebut tidak

aman bagi konsumen.

2. Cacat desain

Pengertian cacat desain sama dengan pengertian cacat manufaktur, yaitu

apabila bahaya dari barang tersebut lebih besar daripada manfaat yang

diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari desain barang

tersebut lebih kecil dari resikonya.

3. Cacat peringatan atau instruksi

Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat barang karena jika tidak

dilengkapi dengan peringatan – peringatan tertentu atau instruksi penggunaan

tertentu. Suatu barang harus terdapat label yang memberikan kepada

konsumen tentang petunjuk penggunaan pemakaian dan peringatan. Jadi Cacat

peringatan adalah apabila buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket,

atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin

(5)

KUH Perdata memberikan pengertian mengenai cacat sebagai yang

“sungguh-sungguh” bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu “tidak

dapat digunakan” dengan sempurna sesuai dengan keperluan yang semestinya

dihayati oleh benda itu, atau cacat itu mengakibatkan “berkurangnya manfaat”

benda tersebut dari tujuan yang semestinya.73

1. Mengembalikan barang yang dibeli dengan menerima pengembalian harga

(refund)

KUH Perdata mengatur mengenai barang cacat dapat dilihat dalam Pasal

1504 sampai Pasal 1512, dikenal dengan terminologi cacat tersembunyi. Pasal

1504 KUH Perdata menentukan bahwa pelaku usaha/penjual selalu diharuskan

untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi dalam hal demikian.

Sehingga apabila pembeli mendapatkan barangnya terdapat cacat tersembunyi

maka terhadapnya diberikan dua pilihan. Pilihan tersebut sesuai dengan Pasal

1507 KUH Perdata, yaitu:

2. Tetap memiliki barang yang dibeli dengan menerima ganti rugi dari penjual.

Mengenai masalah apakah pelaku usaha mengetahui atau tidak akan

adanya cacat tersebut tidak menjadi persoalan. Baik dia mengetahui atau tidak,

penjual/atau pelaku usaha harus menjamin atas segala cacat yang tersembunyi

pada barang yang dijualnya. Pasal 1506 KUH Perdata menyebutkan: Ia (pelaku

usaha/penjual) diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi, meskipun ia

sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu, kecuali jika ia, dalam hal yang

demikian, telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung

73

(6)

sesuatu apapun. Cacat tersembunyi adalah cacat yang mengakibatkan kegunaan

barang tidak sesuai dengan tujuan pemakaian semestinya.74

Menurut Adrian Sutedi, perkataan “tersembunyi” ini harus diartikan

bahwa adanya cacat tersebut tidak mudah dapat dilihat oleh seseorang konsumen

yang normal, bukan seorang konsumen yang terlampau teliti, sebab sangat

mungkin sekali orang yang sangat teliti akan menemukan adanya cacat tersebut.75 Adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang dibeli, konsumen

dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli, dengan ketentuan

tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan perincian sebagaimana yang

ditentukan Pasal 1508 KUH Perdata :76

1. Kalau cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak pelaku usaha, maka pelaku usaha wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga.

2. Kalau cacat ini benar-benar memang tidak diketahui oleh pelaku usaha, maka pelaku usaha hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos yang dikeluarkan pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang)

3. Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat yang tersembunyi, maka pelaku usaha tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang dimaksud dengan barang yang

mengandung cacat tersembunyi menurut hukum adalah keadaan yang

mengakibatkan barang/benda itu tidak dapat dipakai atau mengurangi daya

pakainya yang bila hal ini lebih dulu diketahui maka tidak akan terjadi jual beli

atau setidak-tidaknya harga pembelian berkurang. Barang cacat tersembunyi tidak

jauh berbeda dengan barang cacat pada umumnya.

74

Adrian Sutedi, Op.cit., hal.76.

(7)

B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Akibat Perbuatan Menjual Produk Elektronik Rekondisi.

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam

hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen,

diperlukan kehati-hatian dalam menganalisa siapa yang harus bertanggung jawab

dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.77 Hukum dalam era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia

usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka ragam barang dan/atau jasa yang

dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendapatkan kepastian atas

barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan

kerugian pada konsumen. Kerugian-kerugian yang diderita konsumen merupakan

akibat kurangnya tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.78

Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan

dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan umumnya memberikan

pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar

hak konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut:79

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability or liability based on fault)

Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana

dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata),

khususnya Pasal 1365, Pasal 1366, dan Pasal 1367, prinsip ini dipegang secara

77

Celina Tri Siwi Kristiyanti,Op. Cit., hal. 92

78

Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 32.

79

(8)

teguh. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

Pasal 1365 KUH Perdata, yang dikenal sebagai pasal perbuatan melawan hukum,

mengharuskan terpenuhinya 4 unsur pokok, yaitu :

a. Adanya perbuatan

b. Adanya unsur kesalahan

c. Adanya kerugian yang diderita

d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian

“hukum” artinya tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga

kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara umum, asas ini dapat diterima

karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak

korban. Di sisi lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti

kerugian yang diderita oleh orang lain

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle)

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian

pada prinsip ini ada pada pihak tergugat. Dalam prinsip ini diberlakukan beban

pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini. Hal ini ditegaskan dalam

Pasal 19, 22, 23 dan 28 Undang- Undang Perlindungan Konsumen. Dasar

(9)

tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Jika

digunakan teori ini dalam kasus perlindungan konsumen, maka yang

berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang

digugat, tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak

bersalah. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik

oleh pelaku usaha, jika konsumen gagal menunjukkan kesalahan tergugat.

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability principle).

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu

bertanggungjawab. Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen

yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense

dapat dibenarkan. Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah dalam hukum

pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin / bagasi tangan, yang

biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang. Dalam hal ini, pengangkut

(pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawaban.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).

Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability. Tanggung jawab produk merupakan tanggung jawab produsen untuk produk yang dipasarkan

kepada pemakai, yang menimbulkan dan menyebabkan kerugian karena cacat

yang melekat pada produk tersebut.80

80

Shidarta, Op. Cit., hal. 80.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam

hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku

usaha. Khususnya produsen barang yang memasarkan barang yang merugikan

(10)

yang diderita oleh konsumen atas penggunaan produk yang beredar di pasaran.

Dalam tanggung jawab mutlak, unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak

penggugat. Ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya. Penggugat (konsumen) hanya perlu

membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan produsen dan

kerugian yang dideritanya. Dengan penerapan prinsip tanggung jawab ini, maka

setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat atau

tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau

tidaknya unsur kesalahan di pihak produsen.

Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal, yaitu : 81 a. Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul

tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk

b. Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik

c. Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability).

Alasan-alasan prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum

tentang product liability adalah :82

a. Diantara korban/konsumen di satu pihak dan ada produsen di lain pihak, beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.

b. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab.

Product Liability ini dapat diklasifikasikan ke dalam hal-hal yang berkaitan dengan berikut ini :83

81

Ibid, hal.84

82

(11)

a. Proses produksi, yaitu menyangkut tanggung jawab produsen atas produk yang dihasilkannya bila menimbulkan kerugian bagi konsumen. Misalnya, menyangkut produk yang cacat, baik cacat desain maupun cacat produk.

b. Promosi niaga/iklan, yaitu menyangkut tanggung jawab produsen atas promosi niaga/iklan tentang hal ihwal produk yang dipasarkan bila menimbulkan kerugian bagi konsumen.

c. Praktik perdagangan yang tidak jujur, seperti persaingan curang, pemalsuan, penipuan, dan periklanan yang menyesatkan.

Ketentuan tanggung jawab produk ini dikenal dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata Pasal 1504 yang berbunyi : “Si penjual diwajibkan

menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat

barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud, atau yang demikian

mengurangi pemakaian itu sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu,

ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain

dengan harga yang kurang”.

Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara lebih

tegas merumuskan tanggung jawab produk, yang berbunyi: “Pelaku usaha

bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau

kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan

dan diperdagangkan”.

Ciri-ciri dari product liability sebagai berikut : 84

a. Yang dapat dkualifikasikan sebagai adalah produsen adalah : 1) Pembuat produk jadi

2) Penghasil bahan baku 3) Pembuat suku cadang

4) Setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu

84

(12)

5) Importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan

6) Pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir yang tidak dapat ditentukan.

b. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen adalah konsumen akhir c. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produk adalah benda bergerak,

sekalipun benda bergerak tersebut telah menjadi komponen / bagian dari benda bergerak atau benda tetap lain, listrik, dengan pengecualian produk-produk pertanian atau perburuan.

d. Yang dapat dikualifikasikan sebagai kerugian adalah kerugian pada manusia (kematian atau luka pada fisik) dan kerugian pada harta benda, selain dari produk yang bersangkutan

e. Produk dikualifikasi mengandung kerusakan apabila produk itu tidak memenuhi keamanan (safety)yang dapat diharapkan oleh seseorang dengan mempertimbangkan semua aspek, antara lain :

1) Penampilan produk

2) Maksud penggunaan produk

3) Ketika produk ditempatkan di pasaran.

Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen dalam

product liability adalah :85

a. Jika produsen tidak mengedarkan produknya

b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian

c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis

d. Bahwa terjadinya cacar pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah

e. Bahwa secara ilmiah dan teknis pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin terjadi cacat.

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle).

Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai

klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Misalnya, dalam

(13)

rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti

kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab ini

sangat merugikan konsumen apabila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 seharusnya

pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan

konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada

pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturang perundang-undangan yang

jelas.

Secara garis besar, bentuk-bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha dapat

digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu :86

1. Pertanggungjawaban privat ( keperdataan)

Hubungan hukum mungkin telah ada terlebih dahulu antara produsen dan

konsumen, yang berupa sebuah hubungan kontraktual (hubungan perjanjian),

tetapi mungkin juga tidak pernah ada hubungan hukum sebelumnya dan

keterikatan secara hukum justru lahir setelah timbul peristiwa yang merugikan

konsumen. Pada dasarnya hubungan kontraktual itu berbentuk

hubungan/perjanjian jual beli, meskipun ada jenis hubungan hukum lainnya.

Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu

hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar

pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang

ada dalam setiap peristiwa hukum. Keduanya menimbulkan akibat dan

konsekuensi hukum yang jauh berbeda di dalam pemenuhan tanggung jawab.

86

(14)

Menurut Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kerugian

yang dapat dituntut dari produsen adalah sebagai berikut :87 a. Kerugian atas kerusakan.

Kerugian atas kerusakan adalah segala kerugian berupa timbulnya kerusakan pada barang-barang milik konsumen yang ditimbulkan oleh produk yang dipakai/dibelinya. Misalnya, konsumen membeli suatu barang lalu disimpan bersama-sama dengan barang lain atau dipakai pada barang lain dan menimbulkan kerusakan pada barang lain itu. b. Kerugian karena pencemaran.

Kerugian karena pencemaran adalah kerugian berupa pencemaran yang ditimbulkan oleh produk yang dipakai/dibeli. Misalnya, produk yang baru dibeli itu mencemari produk lain yang dimiliki sebelumnya oleh konsumen sehingga barang-barang yang telah ada itu menjadi tidak berguna atau berkurang kegunaannya.

c. Kerugian konsumen sebagai akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Kerugian konsumen adalah kerugian berupa korban manusia. Misalnya, karena mengonsumsi produk tertentu, konsumen jatuh sakit atau bahkan meninggal dunia.

Pasal 19 ayat (2) UUPK memberikan pedoman tentang jumlah, bentuk,

atau wujud ganti kerugian , yaitu:88 a. Pengembalian uang

b. Penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nilainya

c. Perawatan kesehatan

d. Pemberian santunan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku

Menentukan besarnya jumlah ganti kerugian, KUH Perdata memberikan

beberapa pedoman, yaitu :89

a. Besarnya ganti kerugian sesuatu dengan fakta tentang kerugian yang benar-benar terjadi dan dialami oleh konsumen.

87Ibid.,

hal. 158-159.

88Ibid

(15)

b. Sebesar kerugian yang dapat diduga sehingga keadaan kekayaan dari kreditur harus sama seperti seandainya debitur memenuhi kewajibannya. Kerugian yang jumlahnya melampaui batas-batas yang dapat diduga tidak boleh ditimpakan kepada debitur.

c. Besarnya kerugian yang dapat dituntut adalah kerugian yang merupakan akibat langsung dari peristiwa yang terjadi, yaitu sebagai akibat dari wanprestasi atau sebagai akibat dari peristiwa perbuatan melawan hukum.

d. Besarnya ganti rugi itu ditentukan sendiri oleh undang-undang , misalnya yang diatur pada Pasal 1250 KUH Perdata, yang mengatakan bahwa dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi, dan bunga yang disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas biaya yang ditentukan oleh undang-undang dengan tidak mengurangi peraturan perundang-undangan khusus. Dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen tidak menentukan batas kerugian yang dapat dihukumkan kepada pelaku usaha sehubungan dengan gugatan ganti kerugian dalam sengketa konsumen. Akan tetapi, dalam Pasal 60 ayat (2) disebutkan bahwa sanksi administratif berupa penetapan ganti kerugian yang ditetapkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

e. Ganti kerugian sebesar isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagaimana yang dimungkinkan oleh Pasal 1249 KUH Perdata.

Berdasarkan jenis hubungan hukum atau peristiwa hukum yang ada, maka

pertanggungjawaban dapat dibedakan atas :90

a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.

b. Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya.

c. Tanggung jawab karena pelanggaran janji (wanprestasi) dalam hubungan kontraktual.

Mengenai kerugian dalam konteks perjanjian, menurut Pasal 1244, Pasal

1245, dan Pasal 1246 KUHPerdata dirinci dalam tiga unsur, yaitu :91

a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak.

90Ibid.,

hal. 102.

91

(16)

b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh wanprestasi debitur.

c. Bunga adalah keuntungan yang diharapkan akan diperoleh kreditur kemudian hari seandainya debitur melaksanakan kewajibannya dengan baik.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

mengatur mengenai pertanggungjawaban produsen yaitu :

Pasal 19 :

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan /

atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian

uang atau penggantian barang dan /atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,

atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian sumbangan yang sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari

setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan

pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku

apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut

merupakan kesalahan konsumen

Pasal 20 yang berbunyi bahwa “Pelaku usaha periklanan bertanggung

(17)

tersebut”. Selain itu, tanggung gugat juga diberlakukan bagi importir barang atau

jasa sebagai pembuat barang yang diimpor atau sebagai penyedia jasa asing jika

importisasi barang atau penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen

atau perwakilan produsen luar negeri atau perwakilan penyedia jasa asing (Pasal

21).92

Pasal 22 menegaskan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur

kesalahan dalam kasus pidana merupakan beban dan tanggung jawab pelaku

usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.93

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain

bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen

apabila :

Menurut Pasal 23, Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi

tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen dapat

digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke

badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal 24 :

a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan

apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut

b. Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya

perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau

tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

92

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 107.

93Ibid.,

(18)

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung

jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku

usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada

konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 25 :

(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan

dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan

suku cadang dan/atau fasilitas purnajual dan wajib memenuhi jaminan atau

garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas

tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut :

a. Tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas

perbaikan

b. Tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan dan/atau garansi yang

diperjanjikan.

Pasal 26 diatur bahwa pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib

memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal 27 diatur mengenai hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung

jawab yang diderita konsumen apabila :

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan

untuk diedarkan

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari

(19)

d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau

lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 28 dinyatakan bahwa “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur

kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku

usaha.” Hal ini berarti berlaku sistem pembuktian terbalik, baik dalam perkara

pidana maupun perkara perdata, sesuatu yang menyimpang dari hukum acara

biasa.94

2. Pertanggungjawaban publik (pidana).

Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk

ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang menunjang bagi

pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Kepada produsen

dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu

melalui penerapan norma-norma hukum, kepatutan, dan menjunjung tinggi

kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia usaha.

Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan

kegiatannya sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen Pasal 7 Angka 1, berarti bahwa pelaku usaha ikut bertanggung jawab

untuk menciptakan iklim yang sehat dalam berusaha demi menunjang

pembangunan nasional. Hal ini merupakan tanggung jawab publik yang

dibebankan kepada seorang pelaku usaha. Atas setiap pelanggaran yang dilakukan

oleh produsen maka kepadanya dikenakan sanksi-sanksi hukum, baik sanksi

94

(20)

administratif maupun sanksi pidana. Beberapa perbuatan yang bertentangan

dengan tujuan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dapat dikategorikan

sebagai perbuatan kejahatan.

Bentuk pertanggungjawaban administratif yang dapat dituntut dari

produsen sebagai pelaku usaha diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu pembayaran ganti kerugian

paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), terhadap pelanggaran

atas ketentuan tentang :

a. Kelalaian membayar ganti rugi kepada konsumen ( Pasal 19 ayat (2) dan (3))

b. Periklanan yang tidak memenuhi syarat (Pasal 20)

c. Kelalaian dalam menyediakan suku cadang (Pasal 25)

d. Kelalaian memenuhi garansi / jaminan yang dijanjikan.

Pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada produsen, baik

pelaku usaha yang bersangkutan maupun pengurusnya (jika produsen berbentuk

badan usaha), adalah:95

a. Pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e, ayat (2), dan Pasal 18. b. Pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp.

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), terhadap pelanggaran atas ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f.

c. Tindakan pelaku usaha yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku, yaitu KUH Pidana dan perundang-undangan lainnya.

d. Terhadap sanksi pidana di atas dapat dikenakan hukuman tambahan berupa tindakan :

(21)

2) Pengumuman keputusan hakim 3) Pembayaran ganti rugi

4) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen

5) Kewajiban menarik barang dari peredaran 6) Pencabutan izin usaha.

C. Peranan Pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen dalam Mengawasi Peredaran Barang Yang Mengandung Cacat Tersembunyi.

Sesuai dengan prinsip pembangunan, bahwa pembangunan dilaksanakan

bersama oleh pemerintah dan masyarakat, dan masing-masing pihak mempunyai

tanggung jawab untuk mencapai pembangunan tersebut. Begitu juga dalam hal

melindungi konsumen dari peredaran barang-barang, maka pemerintah, lembaga

kosumen dan juga masyarakat harus bekerja sama supaya setiap barang yang

beredar luas di pasaran adalah barang yang sesuai dengan ketentuan standar

nasional.

1. Peran Pemerintah.

Memenuhi tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, maka

pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan dan diharapkan mampu

menjamin hak-hak konsumen dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha dapat

dipastikan. Pembinaan dan Pengawasan meliputi diri pelaku usaha, sarana dan

prasarana produksi, iklim usaha secara keseluruhan, serta konsumen.96 a. Pembinaan.

Pembinaan mengandung makna pendampingan, bimbingan, dan bantuan

bagi pelaku usha dan konsumen sehingga ia dapat bertahan dan senatiasa tumbuh

96

(22)

berkembang ke arah yang lebih baik melalui pencapaian yang baik. Dalam kondisi

itulah pelaku usaha dapat memenuhi kewajibannya. Dalam Pasal 29 ayat (4) UU

No. 8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pembinaan penyelenggaraan konsumen

dimaksudkan untuk :

1) Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku

usahadan konsumen

2) Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

3) Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan

penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

Sehubungan dengan penyelenggaraan perlindungan konsumen, maka

menteri-menteri terkait yang bertugas untuk menyelenggarakan pembinaan

adalah:97

1) Menteri Perindustrian dan Perdagangan

2) Menteri Kesehatan

3) Menteri Lingkungan Hidup

4) Menteri-menteri lain yang mengurusi kesejahteraan rakyat

Pembinaan terhadap pelaku usaha mengandung makna mendorong pelaku

usaha supaya bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, baik aturan yang

diharuskan undang-undang, kebiasaaan, maupun kepatutan. Dengan demikian,

pelaku usaha akan bertindak sepantasnya dalam meprosuksi dan mengedarkan

produknya.98

97Ibid

(23)

Pembinaan kepada konsumen diarahkan untuk meningkatkan sumber daya

konsumen sehingga mempunyai kesadaran yang kuat atas hak-haknya, mau

berkonsumsi secara sehat dan rasional.99

b. Pengawasan

Terkait dengan peredaran barang yang mengandung cacat tersembunyi,

pemerintah melalui menteri-menteri di atas berkoordinasi alam melaksanakan

tugas pengawasan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Dalam rangka

melakukan tugas pembinaan, maka menteri terkait dapat mengeluarkan sejumlah

peraturan yang sifatnya teknis sehingga tujuan dari pembinaan itu tercapai dengan

baik.

Pengawasan ini dibutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah dan

juga pelaku usaha guna meminimalkan adanya hasil produksi atau barang-barang

yang tidak sesuai dengan ketentuan standar nasional yang sudah ditetapkan.

Karena tidak hanya konsumen yang kurang memahami haknya, ada kemungkinan

bahwa pelaku usaha kurang memahami tentang pentingnya mengikuti standar

yang telah ditetapkan oleh pemerintah, khususnya pelaku usaha yang bergerak

dalam kegiatan usaha yang masih kecil-kecilan.

Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah menjadi sangat jelas

dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang

Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

(selanjutnya disebut PP No. 58 Tahun 2001). Bentuk pengawasan tersebut diatur

dalam Pasal 8 yaitu:

99Ibid

(24)

1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam

memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan

klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa.

2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses

produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau

jasa.

3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan

kepada masyarakat.

4) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) ditetapkan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait bersama-sama atau

sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

Pengawasan, pemerintah harus mengedepankan keselamatan konsumen

dalam penggunaan barang yang diedarkan pelaku usaha. Dalam hal ini diperlukan

kejujuran dari aparat pemerintah sendiri dan perlu dihindari keberpihakan dari

pemerintah supaya setiap pelaku usaha yang melanggar aturan produksi dikenakan

sanksi yang tegas. Selain Pemerintah, maka masyarakat juga mempunyai tugas

dalam hal melakukan pengawasan. Menurut Pasal 9 PP Nomor 58 Tahun 2001,

ditentukan bahwa:

1) Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang

beredar di pasar.

2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara

(25)

3) Jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang

disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan

kebiasaan dalam praktik dunia usaha.

4) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat

disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan

menteri teknis.

Penjelasan umum Peraturan Pemerintah tersebut diatas menentukan bahwa

pengawasan perlindungan konsumen dilakukan bersama oleh pemerintah,

masyarakat dan LPKSM, mengingat banyak ragam dan jenis barang dan/atau jasa

yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia.

2. Peran Lembaga Perlindungan Konsumen di Indonesia

Pasal 44 UU No. 8 Tahun 1999 diatur tentang LPKSM, mengatakan:

a. Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

yang memenuhi syarat.

b. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan

untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.

c. Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi

kegiatan:

1) Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak

dan kewajiban dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa

2) Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya

3) Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan

(26)

4) Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk

menerima keluhan atau pengaduan konsumen.

5) Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap

pelaksanaan perlindungan konsumen.

d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

Ketentuan lebih lanjut tentang LPKSM diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Swadaya Masyarakat

(selanjutnya disebut PP No. 59 Tahun 2001). Pasal 3 PP No. 59 Tahun 2001

mengatur tentang tugas LPKSM yaitu berkenaan dengan penyebaran informasi,

pemberian nasihat, dan pemberian bantuan kepada konsumen. Sehubungan

dengan pemberian informasi, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran

konsumen atas hak dan kewajibannya serta supaya konsumen bersikap hati-hati

dalam mengonsumsi barang.

Mencegah timbulnya kerugian konsumen terkait penggunaan barang yang

mengandung cacat tersembunyi, maka LPKSM dan lembaga konsumen lainnya

menjalankan pengawasan, baik sendiri maupun bersama dengan pemerintah dan

masyarakat. Lembaga konsumen dapat melakukan pengamatan dan penelitian

terhadap barang yang beredar di masyarakat dan kemudian memberi pendapatnya

sehubungan dengan aspek perlindungan konsumen.

Ketentuan pengawasan yang diperankan oleh masyarakat, sama dengan

ketentuan pengawasan yang diperankan oleh LPKSM. Pengawasan LKPSM

(27)

a. Pengawasan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang

beredar di pasar.

b. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara

penelitian, pengujian dan atau survei.

c. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan

barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang

disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan

kebiasaan dalam praktik dunia usaha.

d. Penelitian, pengujian dan/atau survei sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur

keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen.

e. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan

kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.

Terkait pengujian terhadap barang dan/atau jasa yang beredar sebagaimana

diatur dalam Pasal 10 tersebut, dilaksanakan melalui laboratorium penguji yang

telah diakreditasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penunjukan

pengujian hanya kepada laboratorium yang telah diakreditasi tersebut,

dimaksudkan untuk mendapatkan hasil uji yang objektif dan transparan serta

dapat dipertanggungjawabkan. Akreditasi yang dimaksudkan ini dapat dilakukan

baik melalui lembaga akreditasi nasional maupun internasional.100

Adanya Lembaga Konsumen yang turut serta mengawasi peredaran barang

dalam masyarakat, akan meminimalkan adanya peredaran barang yang

100

(28)

mengandung cacat tersembunyi. Memang diperlukan kerja sama yang baik

dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sehingga baik hak-kewajiban

konsumen dan juga hakkewajiban pelaku usaha dalam hal adanya kerugian karna

cacat tersembunyi dapat dijamin kepastiannya.

LPKSM posisinya sangat strategis dalam mewujudkan perlindungan

konsumen. Selain menyuarakan kepentingan konsumen, lembaga ini juga

memiliki hak gugat (legal standing) dalam konteks ligitasi kepentingan konsumen di Indonesia. Hak gugat tersebut dapat dilakukan oleh lembaga konsumen

(LPKSM) yang telah memenuhi syarat, yaitu bahwa LPKSM yang dimaksud telah

berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya memuat

tujuan perlindungan konsumen. Gugatan oleh lembaga konsumen hanya dapat

diajukan ke Badan Peradilan Umum (Pasal 46 UU No. 8 Tahun 1999).101

101

(29)

BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA ATAS KERUGIAN KONSUMEN TERHADAP PENGGUNAAN BARANG

ELEKTRONIK REKONDISI

A. Proses Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Konsumen Akibat Perbuatan Menjual Produk Elektronik Rekondisi Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Seseorang yang dirugikan karena memakai atau mengonsumsi produk

cacat hanya akan mendapat penggantian kerugian apabila mengajukan permintaan

tuntutan atas hal tersebut. Permintaan atau penuntutan penggantian kerugian ini

mutlak dilakukan oleh orang yang merasa berhak untuk mendapatkannya. Tidak

akan ada penggantian kerugian selain karena dimohonkan terlebih dahulu ke

pengadilan dengan syarat-syarat tertentu.102

Sengketa konsumen dapat bersumber dari dua hal, yaitu:

Sengketa itu dapat berupa salah satu pihak tidak mendapatkan atau

menikmati apa yang seharusnya menjadi haknya karena pihak lawan dalam hal ini

pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya. Salah satu dari antaranya adalah

karena pembeli tidak memperoleh produk barang sesuai dengan pesanannya.

Sengketa yang timbul antara pelaku usaha dan konsumen berawal dari transaksi

konsumen disebut sengketa konsumen.

103

1. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana diatur di dalam undang-undang. Artinya, pelaku usaha mengabaikan ketentuan undang-undang tentang kewajibannya sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan yang dikenakan padanya dalam menjalankan

102

Janus Sidabalok, Op.Cit., hal.145

103Ibid

(30)

usahanya. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari hukum.

2. Pelaku usaha atau konsumen tidak menaati isi perjanjian, yang berarti baik pelaku usaha maupun konsumen tidak menaati kewajibannya sesuai dengan kontrak atau perjanjian yang dibuat di antara mereka. Sengketa ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari kontrak.

Sengketa konsumen yang terjadi karena caat tersembunyi, seperti yang

sudah dijelaskan di atas, maka menurut penulis bisa timbul karean perbuatan

melawan hukum dan juga karena wanprestasi pelaku usaha. Sengketa konsumen

harus diselesaikan sehingga tercipta hubungan baik antara pelaku usaha dan

konsumen, dimana masing-masing pihak mendapatkan kembali hak-haknya.

Penyelesaian sengketa secara hukum ini bertujuan untuk memberi penyelesaian

yang dapat menjamin terpenuhinya hak-hak kedua belah pihak yang bersengketa.

Dengan begitu, rasa keadilan dapat ditegakkan dan hukum dijalankan

sebagaimana mestinya.

Sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku

usaha (publik dan privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa

konsumen tertentu.104 Sengketa konsumen dapat bersumber dari dua hal, yaitu :105 1. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana

yang daiatur di dalam undang-undang. Artinya, pelaku usaha mengabaikan ketentuan undang-undang tentang kewajibannya sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan yang dikenakan padanya dalam menjalankan usahanya. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari hukum.

2. Pelaku usaha atau konsumen tidak menaati isi perjanjian, yang berarti, baik pelaku usaha maupun konsumen tidak menaati kewajibannya sesuai dengan kontrak atau perjanjian yang dibuat di antara mereka. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari kontrak.

104

(31)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberi dua macam bentuk

penyelesaian sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui

pengadilan dan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.106

1. Pasal 45 ayat (1) : Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku

usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara

konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di luar

lingkungan peradilan umum.

Hal ini

tercantum dalam Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, yang isinya sebagai berikut :

2. Pasal 47 : Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan

diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya

ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan

terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh

konsumen.

Adapun upaya penyelesaian sengketa atas kerugian konsumen dapat

dilakukan melalui :

1. Penyelesaian Sengketa melalui Pengadilan.

Sesuai dengan Pasal 45 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 bahwa

penyelesaian konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan

berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Orang yang berhak

mengajukan gugatan tersebut adalah:107

106Ibid,

hal. 144.

107Ibid

(32)

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan b. Sekolompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi

syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Pasal 45 ayat (2) bahwa gugatan yang diajukan sekelompok konsumen,

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, atau Pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf f, huruf c, atau huruf d,

diajukan kepada peradilan umum.

Hubungannya dengan tanggung jawab produk, pada gugatan yang

diajukan konsumen yang berada dalam hubungan kontrak jual beli, ia harus

membuktikan wanprestasi tergugat pelaku usaha. Wanprestasi yang harus

dibuktikan itu meliputi seluruh kewajiban yang tidak dilaksanakan oleh pelaku

usaha sebagai tergugat, yaitu kewajiban-kewajiban yang tidak dilaksanakan

menurut perjanjian jual-beli termasuk kewajiban untuk menanggung cacat

tersembunyi. Pedoman untuk membuktikan dipenuhi atau tidak dipenuhinya

kewajiban pelaku usaha adalah perjanjian yang sudah ada. Disini, norma

dilanggar adalah norma kontraktual. Gugatan yang didasarkan pada wanprestasi,

konsumen penggugat tidak perlu membuktikan adanya kesalahan tergugat

sehingga ia wanprestasi. Cukup dengan menunjukkan bukti-bukti bahwa pelaku

(33)

Gugatan penggantian kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum,

konsumen penggugat harus membuktikan bahwa pelaku usaha telah melakukan

sesuatu yang merugikannya. Pembuktian tentang adanya kesalahan itu mutlak

dilakukan karena dasar pertanggungjawaban disini adalah kesalahan. Praktiknya

hal ini terlalu sulit bagi seoarang konsumen penggugat karena tidak mengetahui

bagaimana seluk beluk produksi. Sementara pelaku usaha tergugat akan lebih

mudah mengajukan pembuktian lawan karena benar-benar memahami proses

produksi baik dan mempunyai sarana, misalnya laboratorium untuk mengajukan

pembuktian lawan.

Kesulitan ini dipahami oleh pembuat UU No. 8 Tahun 1999 sehingga

dalam Pasal 28 UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa pembuktian terhadap ada

tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian merupakan beban dan

tanggung jawab pelaku usaha. Ini merupakan cara baru dalam menuntut

pertanggungjawaban dari produsen yang disebut dengan prinsip tanggung jawab

mutlak (strict Liability).108

2. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan.

Seseorang yang dirugikan karena memakai atau mengonsumsi produk

yang cacat hanya akan mendapat penggantian kerugian apabila mengajukan

permintaan atau tuntutan atas hal tersebut. Menurut Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen, konsumen yang merasa dirugikan

dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada produsen, dan

produsen harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu

108

(34)

tujuh hari setelah transaksi berlangsung. Misalnya, seseorang membeli barang

yang terbungkus secara rapi. Setelah sampai di rumah, barang dibuka dan ternyata

cacat/rusak. Konsumen dapat langsung menuntut penjual untuk mengganti barang

tersebut atau mengembalikan uang pembeliannya. Hal ini harus diselesaikan

dalam waktu tujuh hari setelah terjadinya jual beli, yang berarti pembeli harus

segera mengajukan tuntutannya.109

Penetapan jangka waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi sebagaimana

yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (3), maka dapat disimpulkan bahwa

“penyelesaian sengketa yang dimaksud bukanlah penyelesaian yang rumit dan

melalui pemeriksaan yang mendalam terlebih dahulu, melainkan bentuk

penyelesaian sederhana dan praktis yang ditempuh dengan jalan damai (Pasal 47

UU Perlindungan Konsumen)”.110

Penyelesaian sengketa secara damai dimaksudkan penyelesaian sengketa

antara para pihak, dengan atau tanpa kuasa/pendamping bagi masing-masing

pihak, melalui cara damai. Hal ini dilakukan dengan melakukan perundingan

secara musyawarah dan / atau mufakat antara para pihak yang bersangkutan.

Penyelesaian sengketa seperti ini disebut juga penyelesaian secara kekeluargaan.

Banyak sengketa yang dapat atau tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan

cara ini.111

Cara penyelesaian sengketa secara damai ini bertujuan untuk membentuk

suatu penyelesaian yang mudah, murah dan relatif lebih cepat. Dasar hukum

penyelesaian ini terdapat dalam KUH Perdata Indonesia ( Buku ke-III, Bab 18,

109Ibid.,

hal. 145-146.

(35)

Pasal 1851-1854 tentang perdamaian) dan dalam UU Perlindungan Konsumen

No. 8 Tahun 1999 Pasal 45 ayat (2) jo. Pasal 47.112

Mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka cara penyelesaian sengketa

di luar pengadilan itu dapat berupa:113

a. Konsultasi

Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu

pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan

pihak “konsultan” yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk

memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya. Pendapat tersebut tidak

mengikat, artinya klien bebas untuk menerima pendapatnya atau tidak.

b. Negosiasi

Negosiasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak untuk

memperoleh kesepakatan di antara mereka. Negosiasi merupakan sarana bagi

pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya

tanpa melibatkan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil

keputusan (mediasi) dan pihak ketiga pengambil keputusan (arbitrase dan

litigasi). Negosiasi biasanya dipergunakan dalam sengketa yang tidak terlalu

rumit, dimana para pihak masih beritikad baik untuk duduk bersama dan

memecahkan masalah. Negosiasi dilakukan apabila komunikasi antar pihak

yang bersengketa masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya,

112Ibid.,

hal. 225-226.

113

(36)

dan ada keinginan untuk cepat mendapatkan kesepakatan dan meneruskan

hubungan baik.

c. Mediasi

Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar

yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk

membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda

dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk

memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya. Hasil dari

suatu mediasi dapat dirumuskan secara lisan maupun tulisan yang dapat

dianggap sebagai suatu perjanjian baru atau dapat juga dijadikan sebagai suatu

perdamaian di muka hakim yang akan menunda proses penyelesaian sengketa

di pengadilan.

d. Konsiliasi

Konsiliasi tidak jauh berbeda dengan perdamaian, sebagaimana diatur dalam

Pasal 1851 KUH Perdata. Konsiliasi sebagai suatu alternatif penyelesaian

sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai

perdamaian di luar pengadilan. Dalam konsiliasi, pihak ketiga mengupayakan

pertemuan di antara pihak yang berselisih untuk mengupayakan perdamaian.

Pihak ketiga selaku konsiliator tidak harus duduk bersama dalam perundingan

dengan para pihak yang berselisih, konsiliator biasanya tidak terlibat secara

mendalam atas substansi dari perselisihan. Hasil dari kesepakatan para pihak

melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi harus dibuat secara tertulis

(37)

didaftarkan di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis dari konsiliasi ini

bersifat final dan mengikat para pihak.

e. Penilaian ahli

Penilaian ahli adalah pendapat hukum oleh lembaga arbitrase. Dalam Pasal 1

angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi : Lembaga arbitrase

adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk

memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat

memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum

tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Dalam suatu bentuk kelembagaan,

arbitrase ternyata tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau

perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi di antara para pihak

dalam suatu perjanjian pokok, melainkan juga dapat memberikan konsultasi

dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak

yang melakukannya. Pendapat tersebut diberikan atas permintaan dari para

pihak secara bersama-sama dengan melalui mekanisme sebagaimana halnya

suatu penunjukan (lembaga) arbitrase untuk menyelesaikan suatu perselisihan

atau sengketa, maka pendapat hukum ini juga bersifat final.

Penyelesaian seperti ini, kerugian yang dapat dituntut, sesuai dengan Pasal

19 ayat (1) terdiri dari kerugian karena kerusakan, pencemaran, dan kerugian lain

akibat dari mengonsumsi barang dan/atau jasa. Bentuk penggantian kerugian

dapat berupa:114

a. Pengembalian uang seharga pembelian barang dan/atau jasa

114

(38)

b. Penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nilainya

c. Perawatan kesehatan

d. Pemberian santunan yang sesuai.

Pilihan bentuk kerugian bergantung pada kerugian yang diderita oleh

konsumen, dan disesuaikan dengan hubungan hukum yang ada di antara mereka.

Contoh, pembeli dapat menuntut supaya uangnya dikembalikan atau barang

diganti dengan yang baru atau barang lain yang sejenis.115 Tuntutan penggantian kerugian ini bukan atas kerugian yang timbul karena kesalahan konsumen sendiri.

Dalam hal ini undang-undang memberi kesempatan kepada pelaku usaha untuk

membuktikan bahwa konsumen telah bersalah dalam hal timbulnya kerugian

itu.116

115Ibid

Plaza Milenium Medan dalam menyelesaikan sengketa lebih memilih

bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (secara damai). Hal ini

dikarenakan penyelesaian sengketa secara damai tidak menempuh proses yang

berbelit-belit, biaya hemat, dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Bentuk

penyelesaian secara ini sesuai dengan KUH Perdata Pasal 1851-1854 tentang

perdamaian dan UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 45 ayat (2)

jo. Pasal 47. Secara umum, untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan konsumen

yang selama ini pernah terjadi pada Plaza Milenium Medan secara keseluruhan

diselesaikan secara damai dan tidak pernah ada yang memperpanjang sampai

tingkat pengadilan. Hal ini disebabkan penyelesaian sengketa secara damai

menguntungkan bagi pelaku usaha (Plaza Milenium Medan dan konsumen/klien

(39)

3. Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga.

Penyelesaian sengketa yang dimaksudkan adalah penyelesaian sengketa

melalui peradilan umum atau melalui lembaga yang khusus dibentuk UU, yaitu

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).117

Seperti yang diatur dalam Pasal 49-Pasal 51 UU Perlindungan Konsumen,

hal-hal penting yang diatur dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut : BPSK

dibentuk di setiap daerah Tingkat II (Pasal 49). BPSK dibentuk untuk

menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan (Pasal 49 ayat 1). BPSK

mempunyai anggota-anggotanya dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku

usaha. Setiap unsur tersebut berjumlah 3 (tiga) orang atau sebanyak-banyaknya 5

(lima) orang, yang semuanya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri

(Perindustrian dan Perdagangan). Keanggotaan Badan terdiri dari ketua

merangkap anggota, wakil ketua merangkap anggota, dan anggota dengan dibantu

oleh sebuah sekretariat (Pasal 50 jo. Pasal 51).

Hal-hal mengenai Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ini diatur dalam Pasal 49-Pasal 58 UU

Perlindungan Konsumen.

118

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara

melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi

Pasal 52 UU Perlindungan Konsumen, diatur mengenai tugas dan

wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen meliputi :

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klasula baku

117

Az. Nasution, Op. Cit., hal. 227.

118Ibid.,

(40)

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan

dalam undang-undang ini

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen

tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap

perlindungan konsumen

h. Menanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang

dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan perlaku usaha, saksi, saksi

ahli, atau setiap orang sebagaiman dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang

tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain

guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian pihak konsumen

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen

m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undang ini.

Poin-poin penting yang terdapat dalam Pasal 54 s/d Pasal 58 UU

Perlindungan Konsumen, sebagai berikut : Dalam menyelesaikan sengketa

konsumen dibentuk Majelis yang terdiri dari sedikitnya 3 (tiga) anggota dibantu

(41)

BPSK bersifat final dan mengikat (Pasal 54 ayat 3). BPSK wajib menjatuhkan

putusan selama-lamanya 21 (dua puluh satu) haru sejak gugatan diterima (Pasal

55). Keputusan BPSK itu wajib dilaksanakan pelaku usaha dalam jangka waktu 7

(tujuh) hari setelah putusan diterimanya, atau apabila ia keberatan dapat

mengajukannya kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 (empat belas)

hari. Pengadilan Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha memutus perkara

tersebut dalam jangka waktu 21 hari sejak diterimanya keberatan tersebut (Pasal

58). Selanjutnya kasasi pada putusan Pengadilan Negeri ini diberi jangka waktu

14 (empat belas) hari untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Keputusan Mahkamah Agung wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 (tiga

puluh) hari sejak permohonan kasasi (Pasal 58).119

Secara umum, penyelesaian sengketa melalui pengadilan ini jarang dipilih

pelaku usaha dan konsumen. Bentuk penyelesaian sengketa seperti ini dipilih

apabila para pihak telah menempuh penyelesaian sengketa secara damai dan tidak

dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi para pihak. Terdapat berbagai

kritikan atau kelemahan terhadap penyelesaian sengketa pengadilan, yaitu:120 a. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan pada umumnya lambat atau buang waktu lama diakibatkan oleh proses pemeriksaan yang sangat formalistik dan sangat teknis. Di samping itu, arus perkara yang semakin deras mengakibatkan pengadilan dibebani dengan beban yang terlampau banyak.

b. Biaya perkara yang mahal

Biaya perkara dalam proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan dirasakan sangat mahal. Apabila jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa, karena semakin lama penyelesaian sengketa, semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan. Biaya ini akan

119Ibid.,

hal. 228-229

120

(42)

semakin bertambah jika diperhitungkan biaya pengacara yang juga tidak sedikit.

c. Pengadilan pada umumnya tidak responsif

Tidak responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dapat dilihat dari kurang tanggapnya pengadilan dalam membela dan melindungi kepentingan umum. Pengadilan dianggap sering berlaku tidak adil, karena hanya memberi pelayanan dan kesempatan serta keleluasaan kepada lembaga besar atau orang kaya.

d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah

Putusan pengadilan dianggap tidak menyelesaikan masalah, bahkan dianggap semakin memperumit masalah karena secara objektif putusan pengadilan tidak mampu memuaskan, serta tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada para pihak.

e. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis

Para hakim dianggap mempunyai kemampuan terbatas, terutama dalam perkembangan iptek dan globalisasi sekarang, karena pengetahuan yang dimilii hanya di bidang hukum, sedangkan di luar itu pengetahuannya bersifat umum.

Secara umum, untuk masalah-masalah konsumen yang selama ini dihadapi

Plaza Milenium Medan jarang sekali bahkan hampir tidak pernah ada

masalah-masalah konsumen ataupun yang berkaitan dengan produk yang diselesaikan

dengan cara menempuh pengadilan. Hal ini dikarenakan adanya berbagai

kelemahan apabila menyelesaikan sengketa dengan cara melalui pengadilan,

sehingga dalam dunia bisnis, pihak-pihak yang bersengketa umumnya memilih

menyelesaikan sengketa di luar pengadilan atau secara damai. Penyelesaian

sengketa melalui pengadilan tidak dapat menciptakan keputusan yang

menguntungkan bagi para pihak.

B. Faktor-Faktor yang Menjadi Kendala dalam Proses Penyelesaian Sengketa Atas Kerugian Konsumen dalam Penggunaan Barang Elektronik Rekondisi dan Solusinya.

Pesatnya perkembangan ekonomi nasional telah menghasilkan

(43)

mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang dan/jasa hingga melintasi

batas-batas wilayah suatu negara.

Kondisi yang demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi

kepentingan konsumen karena kebutuhan akan barang atau jasa yang diinginkan

dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis

kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kemampuannya.

Kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku

usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen cenderung

dijadikan obyek aktivitas bisnis dari pelaku usaha untuk meraup keuntungan

sebesar-besarnya melalui iklan, promosi, cara penjualan, serta penerapan

perjanjian standar yang merugikan konsumen.121

Kerugian konsumen secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 (dua)

yaitu:122

1. Kerugian yang diakibatkan oleh perilaku penjual yang memang secara tidak

bertanggung jawab merugikan konsumen

2. Kerugian konsumen yang terjadi karena tindakan melawan hukum yang

dilakukan pihak ketiga sehingga konsumen disesatkan yang pada akhirnya

dirugikan.

Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran

konsumen akan hak-haknya yang masih rendah. Hal ini disebabkan oleh

rendahnya pendidikan konsumen. Kehadiran Undang-Undang Perlindungan

Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum kuat bagi pemerintahan dan

121

Ahmad Ramli, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 18 Nomor 3 Tahun 2002, hal.14

(44)

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya

pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

UUPK pada dasarnya melakukan pengaturan pada 2 (dua) subyek, yaitu

pelaku usaha dan konsumen. Dalam perlindungan konsumen, sendi utama

pengaturannya adalah pada kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha.

Keberadaan pelaku usaha baru memiliki arti apabila juga terdapat keberadaan

konsumen. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari sendi-sendi pengaturan di

bidang usaha, yaitu hak berusaha yang sama bagi setiap orang dan kepentingan

konsumen merupakan tujuan akhir. Fenomena yang nampak adalah kedudukan

antara pelaku usaha dengan konsumen tidak seimbang dimana konsumen berada

pada posisi yang lemah. Faktor Inilah yang kemudian menyebabkan terjadi

perselisihan atau sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen.123

Pengadilan merupakan salah satu institusi untuk mengupayakan supremasi

hukum yang merupakan salah satu ciri dari negara hukum. Perselisihan antara

pelaku usaha dengan konsumen dapat diselesaikan melalui Pengadilan Negeri.

Setidaknya upaya non litigasi, dapat menjadi alternatif untuk menyelesaikan

perselisihan antara pihak-pihak yang bersengketa. Penggunaan salah satu jalur

penyelesaian sengketa dipengaruhi oleh konsep tujuan, ketajaman cara berfikir,

serta budaya sosial masyarakat. Penggunaan model penyelesaian sengketa non

litigasi lebih mengutamakan pendekatan consensus dan berusaha mempertemukan

kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan mendapatkan hasil

123

Referensi

Dokumen terkait

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga2. khusus yang dibentuk dan diatur dalam Undang-undang

Upaya penyelesaian dari ganti kerugian konsumen online shop produk fashion sebagai upaya perlindungan konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Perlindungan Konsumen dan dapat pula pula dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana diatur di dalam Pasal 49 sampai dengan 58 undang-undang

Prosedur penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha menurut Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah: Dapat dilakukan melalui badan

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN ATAS PEMBELIAN PRODUK ELEKTRONIK BERLABEL SNI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

Disamping upaya perlindungan hukum dalam penyelesaian sengketa yang diberikan kepada konsumen yang termuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

Dengan menganalisa peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Kosumen, maka dapat diketahui bahwa perlindungan hukum bagi konsumen

Apabila permohonan ternyata tidak lengkap (tidak sesuai dengan Pasal 16 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001) atau permohonan bukan merupakan wewenang BPSK, maka ketua BPSK