• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PEMBELIAN BARANG ELEKTRONIK REKONDISI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN (Studi di PT. Plaza Milenium) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PEMBELIAN BARANG ELEKTRONIK REKONDISI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN (Studi di PT. Plaza Milenium) SKRIPSI"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi di PT. Plaza Milenium)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

REYNALDO BINSAR HALOMOAN SIHOMBING

NIM: 100200139

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM

MEDAN 2017

(2)

(Studi di PT. Plaza Milenium) SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

REYNALDO BINSAR HALOMOAN SIHOMBING NIM : 100200139

Departemen Hukum Keperdataan

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum.

NIP. 196602021991032002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. M. Husni, S.H., M.H. M. Siddik, S.H., M.Hum

NIP. 195802021988031004 NIP. 195412101986011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

karena rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan tugas akhir dan juga sebagai syarat untuk dapat mengikuti ujian Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Perlindungan Konsumen Dalam Pembelian Barang Elektronik Rekondisi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Studi di PT. Plaza Milenium)”.

Penulis mendapatkan banyak bantuan baik selama proses belajar juga selama menulis skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orangtua penulis yang senantiasa sabar dalam menghadapi penulis serta member dukungan moril dan materil selama proses kehidupan penulis.

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Puspa Melati, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

7. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis dalam setiap proses kegiatan perkuliahan di kampus.

8. Syamsul Rizal, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. M. Husni, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah banyak membantu penulis baik waktu serta pikiran dan memberikan masukan- masukan positif kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S. selaku Dosen Penasehat Akademik penulis yang telah mengarahkan dan membimbing penulis selama menjalani proses belajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh Dosen dan Para Staf Pengajar yang telah mengajar penulis selama menjalani proses belajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Seluruh Staf Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

13. Kepada anggota 5 serangkai Dewi Maya Ginting, Lie Yona Yosephine, Christopher Agustinus Silaban dan Oris Meditus Hulu yang senantiasa ada dan menemani penulis selama menyelesaikan perkuliahan di Kampus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

14. Kepada adik Sri Bayani, S.Ked yang selalu menemani penulis serta mendukung dalam setiap kegiatan Penulis di Medan.

15. Kepada rekan-rekan perjuangan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Terima kasih buat pelajaran-pelajaran mengenai keorganisasian dan setiap dialektika yang banyak membuka cakrawala berpikir penulis. GMNI Jaya!

16. Kepada kawan-kawan 2010 khususnya Rio, Michael, Advent, Henny, Lorenza, Charles dan Teguh.

17. Kepada senior yang telah membantu penulis khususnya Bang Ivan, Bang Udur, Bang Herman, Bang Agus, Bang Slamet dan semua senior yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

18. Kepada adik-adik stambuk 2013 Melva, Dedek, Anita, Amanda, Minar, Onny, Fitty, dan adik-adik lain yang tidak bisa penulis sebutkan namanya

(6)

19. Kepada orang-orang lain yang juga banyak membantu penulis selama ini, yang mungkin namanya terlewat dan tidak dapat penulis sebutkan. Terima kasih!

Penulis sadar bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu penulis memohon maaf apabila adanya keterbatasan pengetahuan dan informasi penulis. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat berguna sebaik-baiknya bagi para pembaca dan juga bagi perkembangan hukum di Indonesia.

Medan, April 2017 Penulis

(Reynaldo Sihombing)

(7)

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Manfaat dan Tujuan Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan... 10

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN DALAM PEMBELIAN BARANG ELEKTRONIK REKONDISI BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN... 16

A. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen ... 16

B. Hak dan Kewajiban Konsumen/Pelaku Usaha ... 22

C. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dan Pelaku Usaha ... 32

(8)

A. Barang Rekondisi yang Mengandung Cacat Tersembunyi. ... 43

B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Akibat Perbuatan Menjual Produk Elektronik Rekondisi ... 49

C. Peranan Pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen dalam Mengawasi Peredaran Barang Yang Mengandung Cacat

Tersembunyi ... 63

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA ATAS KERUGIAN KONSUMEN TERHADAP PENGGUNAAN BARANG ELEKTRONIK

REKONDISI. ... 71

A. Proses Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Konsumen Akibat Perbuatan Menjual Produk Elektronik Rekondisi Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan ... 71

B. Faktor-Faktor yang Menjadi Kendala dalam Proses Penyelesaian Sengketa Atas Kerugian Konsumen dalam Penggunaan Barang Elektronik Rekondisi dan Solusi ... 84

C. Kekuatan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen yang Dirugikan Karena

Penggunaan Barang Elektronik Rekondisi ... 88

(9)

B. Saran ... 102 DAFTAR PUSTAKA ... 103

(10)
(11)

A. Latar Belakang

Pembangunan dan perkembangan perekonomian khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Disamping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi, baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.1 Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya.2

Fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sekarang ini adalah selalu ingin cepat menyelesaikan sesuatu hal tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatannya tersebut, padahal perbuatannya itu sudah jelas-jelas dilarang. Manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan pemuas diri dan bahkan keinginan untuk mempertahankan status diri hal itu banyak dilakukan tanpa berfikir secara matang yang dapat merugikan lingkungan dan diri sendiri.

1 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 1

2 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Transmedia Pustaka, Jakarta, 2008, hal. 2

(12)

Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia saat ini, seperti juga yang dialami konsumen di negara-negara lainnya, yaitu mengenai kesadaran semua pihak, baik dari pelaku usaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen dengan memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, serta harga yang sesuai (reasonable).3 Ada beberapa masalah atau kasus yang bermunculan dan mendapat perhatian di bidang perlindungan konsumen yaitu mengenai pelanggaran terhadap hak-hak konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha.

Pelanggaran terhadap hak-hak konsumen memberi dampak yang sangat negatif terhadap diri dan juga keselamatan konsumen. Pelanggaran tersebut dipengaruhi beberapa faktor, antara lain faktor sikap pelaku usaha yang masih memandang konsumen sebagai pihak yang lemah. Konsumen dipandang sebagai pihak yang dengan mudah dipengaruhi untuk memakai atau mengkonsumsi segala bentuk barang atau jasa yang ditawarkan, baik melalui iklan-iklan, atau bentuk penawaran lainnya.4

Secara umum, masalah-masalah yang sering dikeluhkan konsumen berkaitan dengan pelanggaran hak konsumen adalah sebagai berikut:5

1. Keluhan terhadap keterlambatan pengiriman barang.

2. Barang yang dikirim sering kali berbeda dengan apa yang sudah dipesan.

3. Kualitas barang yang tidak bagus.

3 Ibid, hal. 1.

4 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 1

5 Happy Susanto, Op.Cit, hal.2

(13)

4. Pelayanan barang/jasa yang buruk.

5. Manipulasi produk barang/jasa yang ditawarkan dengan berbagai cara.

Konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Hak-hak yang dimaksud, misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi. Lebih dari itu, konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang berimbang dengan pihak pelaku usaha. Hal ini terlihat sekali pada perjanjian baku yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.6

Prinsip yang digunakan para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Artinya, dengan pemikiran seperti ini, sangat mungkin pihak konsumen akan dirugikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.7

Salah satu fenomena yang terjadi adalah masalah pemalsuan telepon seluler dengan mendaur ulang (rekondisi). Akhir-akhir ini marak diberitakan fenomena daur ulang (rekondisi) produk telepon seluler. Produk rekondisi bahanya diambil secara kanibal dari barang bekas. Barang ini dijual dengan menggunakan berbagai merek yang terkenal maupun tidak. Produk rekondisi tersebut dijual ke toko atau perseorangan dengan harga murah dan biasanya

6 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal.

7 Happy Susanto, Op. Cit., hal. 4.

(14)

digunakan untuk door prize (hadiah undian) atau dijual pada konsumen yang tidak paham tentang produk.

Hal ini menjadi tantangan bagi konsumen agar lebih selektif sebab sering konsumen tergoda dengan harga murah tanpa memikirkan kualitas, layanan purna jual, serta garansi. Menjual barang elektronik rekondisi tidak salah asalkan penjual memberikan informasi jelas mengenai kondisinya kepada konsumen. Masalahnya, sering penjual tidak memberikan informasi jujur. Apalagi dibumbui promosi seolah-olah televisi tersebut masih baru dan memiliki merek terkenal. Jika hal ini terjadi, penjual dikategorikan mengelabuhi konsumen dan memalsukan merek.

Modus pelaku pemalsuan telepon seluler rekondisi adalah merubah telepon seluler bekas jadi seperti baru. Modus pemalsuan telepon seluler dengan membeli telepon seluler lama atau rusak, kemudian, dirakit ulang atau rekondisi menggunakan spare part, Kotak kemasan, hologram, buku petunjuk manual, di install dengan program baru dan diberikan kartu garansi. Kemudian, menjual hasil

rekondisi yang seolah-olah baru dengan harga sama dengan harga baru ke masyarakat.8

Pemalsuan produk-produk barang elektronik merupakan tindakan yang sudah mencapai taraf menghawatirkan dan memberi kerugian secara material.

Minimnya pengetahuan konsumen dalam mengidentifikasi produk elektronik yang palsu dan daya beli masyarakat dijadikan sebagai salah satu peluang bagi para pemalsu untuk memasarkan produk palsu mereka. Dengan menyalahgunakan merek dagang produk terkenal yang dijual dalam harga yang sangat murah, para pemalsu mampu memikat banyak konsumen.

8 Badan Standardisasi Nasional, pemalsuan produk, https://www..com//posts/diakses tanggal 30 Oktober 2016 Pukul 10.00 Wib.

(15)

Pembajakan komersial meliputi pembajakan produk-produk industri dan produk-produk kebutuhan rumah tangga saat ini telah merebak dan menjadi suatu fenomena dunia. Belanja atau membeli produk bajakan merupakan suatu fenomena perilaku konsumen yang sudah biasa dan banyak terjadi di Indonesia.9 Karena sudah biasanya melihat perilaku kegiatan jual beli produk-produk bajakan itulah maka masyarakat lama-kelamaan akan menganggap bahwa membeli produk bajakan adalah hal yang wajar dan bukan suatu pelanggaran.

Seiring berlangsungnya globalisasi dan kemajuan teknologi, pemalsuan produk semakin mudah untuk dilakukan, sehingga pembajakan dan peredaran produk-produk palsu pada era globalisasi dan era kemajuan teknologi seperti saat ini semakin meningkat dan menjadi permasalahan serius bagi pihak produsen.

Kemajuan teknologi terutama dalam bidang industri/produksi tidak digunakan untuk mengembangkan ide-ide dan menciptakan produk-produk baru yang inovatif, melainkan disalahgunakan untuk mengejar keuntungan instan dengan memproduksi produk-produk palsu.

Konsumen biasanya juga tidak menyadari bahwa sebenarnya membeli dan menggunakan produk-produk palsu memiliki dampak dan akibat yang sangat serius baik ditinjau dari sudut pandang ekonomi maupun sudut pandang pemakai produk. Ditinjau dari sudut ekonomi, akan merugikan pemasukan negara melalui pajak, dan akan merugikan pengusaha dari sisi penghasilan. Dari sisi konsumen, jelas hal ini merugikan karena produk yang diperoleh tidak sesuai dengan standart produk aslinya.

9 Ibid.

(16)

Salah satu ciri khas dari produk-produk barang elektronik palsu adalah harganya yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga produk aslinya serta tidak ada garansi.10 Tingkat keuntungan yang menggiurkan, kemajuan teknologi, terbukanya pasar dan banyaknya permintaan dari konsumen menjadi alasan begitu berkembangnya produk-produk barang elektronik palsu.

Realitas tersebut menjadi tantangan positif dan sekaligus negatif.

Dikatakan positif karena kondisi tersebut bisa memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih secara bebas barang/jasa yang diinginkannya.

Konsumen memiliki kebebasan menentukan jenis dan kualitas barang/jasa sesuai dengan kebutuhannya. Dikatakan negatif karena kondisi tersebut menyebabkan posisi konsumen menjadi lemah daripada pelaku usaha.11 Dalam hal ini, konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar- besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.

Kerugian-kerugian yang dialami konsumen tersebut dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam hal ini apabila konsumen menerima barang yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, maka pelaku usaha telah melakukan wanprestasi. Disamping wanprestasi, kerugian dapat pula terjadi diluar hubungan perjanjian, yaitu jika terjadi perbuatan melanggar hukum yang dapat berupa

10 Ibid.

11 Ibid.

(17)

adanya cacat pada barang yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen, baik itu karena rusaknya atau musnahnya barang itu sendiri, maupun kerusakan atau musnahnya barang akibat cacat pada barang itu sendiri.12

Menghadapi berbagai hal di atas, maka sangatlah penting perlindungan terhadap konsumen. Perlindungan konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampak paling banyak. Dengan demikan upaya upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen.13

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tidak sepenuhnya maksimal terkhusus dalam hal melindungi hak-hak konsumen. Konsumen dalam banyak hal tetap di posisi lemah. Disatu sisi, keberpihakan pemerintah kepada pengusaha lebih mengedepankan pada upaya pemulihan dan penyehatan ekonomi Indonesia yang sedang tidak sehat, disisi lain, pelaku usaha nampaknya tidak peduli dengan konsumen, meskipun lebih dari satu juta konsumen mengalami kerugian sebagai

12 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Bagi Perlindungan Hukum Konsumen di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2011, hal.2

13 Celina Tri Siwi Kristyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.5

(18)

akibat dari adanya cacat barang, yang mengakibatkan kerugian materil, cacat tubuh, bahkan kematian.14

Menurut hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), ada beberapa faktor yang menyebabkan posisi konsumen lemah yaitu:15

1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan hak-hak nya.

2. Belum terkondisikannya “masyarakat konsumen” karena memang sebagian masyarakat ada yang belum mengetahui tentang apa saja hak-haknya dan kemana hak-haknya dapat disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang sewajarnya.

3. Belum terkondisikannya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan untuk menuntut hak-haknya.

4. Proses peradilan yang ruwet dan memakan waktu yang berkepanjangan.

Ketidakpahaman atau bahkan ketidaktahuan konsumen terhadap hak- haknya atas produk yang diperoleh, kalau dibiarkan terus menerus terjadi di masyarakat khususnya konsumen, maka akan berdampak meniadakan hak konsumen yang sudah ditetapkan dalam perundang-undangan.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka judul skripsi ini diberi judul

“Perlindungan Konsumen Dalam Pembelian Barang Elektronik Rekondisi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Studi di PT. Plaza Milenium)”.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kerugian konsumen dalam pembelian barang elektronik rekondisi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ?

14 Adrian Sutedi, Op.Cit., hal.6

15 Happy Susanto, Op.Cit., hal.29

(19)

2. Bagaimana tanggungjawab pelaku usaha terhadap kerugian konsumen atas penggunaan barang rekondisi ?

3. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa atas kerugian konsumen terhadap penggunaan barang elektronik rekondisi ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap kerugian konsumen dalam pembelian barang elektronik rekondisi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

2. Untuk mengetahui tanggungjawab pelaku usaha terhadap kerugian konsumen atas penggunaan barang rekondisi.

3. Untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa atas kerugian konsumen terhadap penggunaan barang elektronik rekondisi.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Secara teoritis, penulisan ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, khususnya ilmu hukum di bidang hukum perlindungan konsumen dalam pembelian barang elektronik.

2. Secara praktis:

a. Bagi masyarakat luas.

Memberitahukan kepada masyarakat dan melihat kenyataan di masyarakat apakah pelaku usaha sudah melaksanakan bentuk tanggungjawabnya kepada konsumen atas pembelian barang elektronik.

(20)

b. Bagi Pemerintah.

Pemerintah mendapatkan masukan guna meningkatkan pengawasan dan penegakkan atas pelaksanaan hukum perlindungan konsumen.

c. Bagi pelaku usaha.

Pengusaha mendapatkan masukan untuk meningkatkan keamanan dan kepercayaan terhadap perusahaan miliknya, sehingga konsumen percaya dan loyal terhadap produknya.

E. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Perlindungan Konsumen Dalam Pembelian Barang Elektronik Rekondisi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Studi di PT. Plaza Milenium)". Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dalam pembelian barang elektronik rekondisi, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan disamping itu juga diadakan penelitian.

Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ada beberapa judul skripsi yang memiliki sedikit kesamaan dengan judul skripsi ini yaitu :

1. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen terlihat dari kerugian akibat barang cacat dan berbahaya ( disusun oleh Armina Sari Hudayati/950200013)

(21)

2. Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Terhadap Cacat Tersembunyi Suatu Barang ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang- Undang Perlindungan Konsumen (disusun oleh Evi D.Lestari Sitepu /010222071)

Penulis menyatakan bahwa tulisan ini tidak sama dengan tulisan yang lain, dan dapat dikatakan bahwa penulisan ini adalah asli. Penulis juga melakukan penelusuran melalui media internet, dan tidak ada judul yang sama persis dengan skripsi ini. Dan sekalipun ada, hal itu di luar sepengetahuan penulis dan tentu saja substansinya berbeda dengan skripsi ini. Karena pembahasan yang dibuat penulis ini merupakan asli hasil olah pikir penulis sendiri dan setiap pengutipan dari berbagai referensi untuk mendukung penulisan ini pasti dicantumkan sumbernya.

Oleh karena itu, keaslian penulisan ini dapat dijamin dan dipertanggungjawabkan oleh penulis.

F. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Pengelompokan jenis-jenis penelitian tergantung pada pedoman dari sudut pandang mana pengelompokan itu ditinjau. Ditinjau dari jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan sebuah kondisi/fenomena hukum dengan legalitas secara lebih mendalam/lengkap mengenai status sosial dan hubungan antar fenomena. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran yang akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan sebuah proses atau hubungan, menggunakan informasi dasar dari suatu hubungan teknik dengan definisi tentang penelitian ini dan berusaha

(22)

menggambarkan secara lengkap perlindungan hukum bagi konsumen dalam pembelian barang elektronik.16

Penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Perspektif yuridis dimaksudkan untuk menjelaskan dan memahami makna dan legalitas peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi konsumen dalam pembelian barang elektronik.

2. Sumber Data.

Data yang kemudian diharapkan dapat diperoleh di tempat penelitian maupun di luar penelitian adalah :

a. Data primer

Data primer, adalah data yang diperoleh dari tangan pertama, dari sumber asalnya yang belum diolah dan diuraikan orang lain. Untuk memperoleh data primer peneliti melakukan penelitian ke Millenium Plaza Medan.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti yang sebelumnya telah diolah orang lain. Memperoleh data sekunder peneliti melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah penelitian terhadap bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan ini, sebagai bahan referensi untuk menunjang keberhasilan penelitian. Penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan bahan hukum dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai bahan hukum sekunder. Bahan Hukum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 golongan:17

16 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2003, hal.16.

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.14

(23)

1) Bahan hukum primer, terdiri dari bahan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum positif termasuk peraturan perundang-undangan dan website.

2) Bahan hukum sekunder atau sering dinamakan secondary data yang antara lain mencakup di dalamnya:

a) Kepustakaan/buku literatur yang berhubungan dengan perlindungan hukum bagi konsumen telepon seluler akibat itikad buruk layanan jasa telekomunikasi.

b) Data tertulis yang lain berupa karya ilmiah para sarjana.

c) Referensi-referensi yang relevan dengan perlindungan hukum bagi konsumen dalam pembelian barang elektronik.

3) Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ekslopedia, Kamus umum dan lain sebagainya.

Bahan-bahan hukum sebagai kajian normatif sebagian besar dapat diperoleh melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum.18

3. Alat Pengumpul Data.

Alat pengumpul data yang digunakan penulis adalah data primer yaitu wawancara. Alat pengumpul data digunakan dalam penelusuran data sekunder adalah studi dokumentasi atau melalui penelusuran literatur. Kegiatan yang akan dilakukan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu studi pustaka dengan cara identifikasi isi. Alat pengumpulan data dengan mengindentifikasi isi dari data sekunder diperoleh dengan cara membaca, mengkaji, dan mempelajari bahan pustaka baik berupa peraturan perundang-undangan, artikel dari internet,

18 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 98

(24)

makalah seminar nasional, jurnal, dokumen, dan data-data lain yang mempunyai kaitan dengan data penelitian ini.

4. Analisis Data.

Data yang dikumpulkan dapat dipertanggungjawabkan dan dapat menghasilkan jawaban yang tepat dari suatu permasalahan, maka perlu suatu teknik analisa data yang tepat. Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan.19

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini menggunakan pola pikir/logika induktif, yaitu pola pikir untuk menarik kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Pengolahan dan analisis data bergantung pada jenis datanya. Pada penelitian hukum berjenis normatif, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier tidak dapat lepas dari berbagai penafsiran hukum yang dikenal dalam ilmu hukum.

F. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Sistematika Penulisan.

Bab II : Perlindungan Hukum Terhadap Kerugian Konsumen Dalam Pembelian Barang Elektronik Rekondisi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen meliputi : Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen, Hak dan Kewajiban

19 Bambang Sunggono, Op.Cit, hal.18

(25)

Konsumen/Pelaku Usaha, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dan Pelaku Usaha.

Bab III : Tanggungjawab Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Atas Penggunaan Barang Rekondisi meliputi : Barang Rekondisi yang Mengandung Cacat Tersembunyi, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Akibat Perbuatan Menjual Produk Elektronik Rekondisi, Peranan Pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen dalam Mengawasi Peredaran Barang Yang Mengandung Cacat Tersembunyi.

BAB IV : Penyelesaian Sengketa Atas Kerugian Konsumen Terhadap Penggunaan Barang Elektronik Rekondisi meliputi : Proses Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Konsumen Akibat Perbuatan Menjual Produk Elektronik Rekondisi Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan, Faktor-Faktor yang Menjadi Kendala dalam Proses Penyelesaian Sengketa Atas Kerugian Konsumen dalam Penggunaan Barang Elektronik Rekondisi dan Solusinya, Kekuatan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen yang Dirugikan Karena Penggunaan Barang Elektronik Rekondisi.

BAB V : Kesimpulan dan saran terhadap hasil analisa dari bab-bab sebelumnya.

(26)

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen.

Perkembangan globalisasi ekonomi dimana arus barang dan jasa tidak lagi mengenal batas Negara membuat timbul berbagai permasalahan, antara lain kemungkinan penerapan product liability dalam doktrin perbuatan melawan hukum.

Perlindungan konsumen sebenarnya menjadi tanggungjawab semua pihak baik pemerintah, pengusaha, organisasi konsumen dan konsumen itu sendiri.

Tanpa adanya andil dari keempat unsur tersebut, sesuai dengan fungsinya masing- masing, maka tidaklah mudah mewujudkan kesejahteraan konsumen.20

Akibat kemudahan di dalam memperoleh barang dan jasa maka mulai timbul sikap yang konsumtif dari sebagian masyarakat. Ditambah lagi masyarakat yang kurang memiliki kesadaran akan hak-haknya sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendidikan merupakan sasaran yang empuk bagi para pelaku usaha yang nakal.

Mewujudkan sistem hukum perlindungan yang baik, diperlukan beberapa pengaturan perlindungan konsumen yaitu: 21

a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum.

b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha.

c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.

20 Zumrotin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, YLKI, Jakarta, 2001, hal. 5

21 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati. Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Madju, Bandung, 2000, hal. 7

(27)

d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan.

e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain.

Istilah konsumen berasal dari kata konsumer (Inggris-Amerika) atau konsument/consument (Belanda). Pengertian dari konsumen atau consument itu

tergantung dari posisi mana ia berada.22 Pengertian konsumen secara harfiah adalah lawan dari produsen yaitu setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut.23

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa Konsumen adalah pihak yang memakai, membeli, menikmati, menggunakan barang dan /atau jasa dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan rumah tangganya. Menurut pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dikenal istilah Konsumen akhir dan Konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan Konsumen antara adalah Konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi

22 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, hal. 22

23 Az. Nasution. Hukum Perindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, 2008, hal. 3.

(28)

lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Konsumen dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah Konsumen akhir (selanjutnya disebut dengan Konsumen).

Pengertian Konsumen dalam pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Konsumen adalah setiap orang :

Maksudnya adalah orang perorangan dan termasuk juga badan usaha (badan hukum atau non badan hukum).

b. Konsumen sebagai pemakai

Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Perlindungan Konsumen hendak menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Perlindungan Konsumen menggunakan kata “pemakai” untuk pengertian Konsumen sebagai Konsumen akhir (end user). Hal ini disebabkan karena pengertian pemakai lebih luas, yaitu semua orang mengkonsumsi barang dan/atau jasa untuk diri sendiri.

c. Barang dan/jasa

Barang yaitu segala macam benda (berdasarkan sifatnya untuk diperdagangkan) dan dipergunakan oleh Konsumen. Jasa yaitu layanan berupa pekerjaan atau prestasi yang tersedia untuk digunakan oleh Konsumen.

d. Barang dan/jasa tersebut tersedia dalam masyarakat

Barang dan/jasa yang akan diperdagankan telah tersedia di pasaran, sehingga masyarakat tidak mengalami kesulitan untuk mengkonsumsinya.

(29)

e. Barang dan/jasa digunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain atau mahluk hidup lain. Dalam hal ini tampak adanya teori kepentingan pribadi terhadap pemakaian suatu barang dan/jasa.

f. Barang dan/jasa tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian Konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Perlindungan Konsumen dipertegas, yaitu hanya Konsumen akhir, sehingga maksud dari pengertian ini adalah konsumen tidak memperdagangkan barang dan/jasa yang telah diperolehnya. Namun, untuk dikonsumsi sendiri.24

Az.Nasution juga mengklasifikasikan pengertian Konsumen menjadi tiga bagian: 25

a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen antara yaitu pemakai, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang dan/jasa lain untuk memperdagangkannya (distributor) dengan tujuan komersial.

Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

Konsumen akhir yaitu, pemakai, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Perlindungan Konsumen

Secara umum, hubungan antara pelaku usaha (produsen) dengan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan.

Hubungan itu terjadi karena para pihak saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi antara pihak yang satu dengan yang lainnya.26

24 Ibid, hal.8

25 Ibid , hal.13

26 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 9.

(30)

Hubungan hukum antara produsen dan konsumen yang tercipta secara individual dipengaruhi oleh berbagai keadaan, antara lain :27

1. Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu 2. Penawaran dan syarat perjanjian

3. Fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya 4. Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu.

Hubungan antara konsumen dan produsen adalah timbal balik. Konsumen dan produsen adalah pasangan yang saling membutuhkan. Hal ini dapat dilihatbahwa usaha produsen tidak akan dapat berkembang dengan baik bila konsumen berada pada kondisi yang tidak sehat akibat banyaknya produk yang cacat.28

Secara garis besar, dalam pengalihan barang dari satu pihak ke pihak lain, ada dua kelompok pihak yang terlibat, yaitu :29

1. Kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa Pada umumnya, pihak ini berlaku sebagai :

a. Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa (investor)

b. Penghasil atau pembuat barang/jasa (produsen) c. Penyalur barang atau jasa b. Kelompok konsumen.

2. Kelompok konsumen.

Pihak ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu :

a. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa dengan tujuan memproduksi (membuat) barang atau jasa lain atau mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan komersial)

b. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (tujuan nonkomersial).

Secara umum, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen dapat dibagi menjadi dua, antara lain :30

27 Ibid, hal.11

28 Ibid, hal.12

29 Ahmadi Miru, Op. Cit., hal. 33.

30 Ibid, hal.34-35

(31)

1. Hubungan langsung.

Hubungan antara produsen dengan konsumen terikat secara langsung dengan perjanjian.

2. Hubungan tidak langsung.

Hubungan antara produsen dengan konsumen tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena ada pihak lain diantara konsumen dengan produsen. Hal ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti rugi kepada produsen yang tidak memiliki hubungan perjanjian dengan dirinya. Untuk menuntut produsen pada hubungan ini dapat dilakukan dengan alasan produsen telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan adanya kesalahan produsen.

Hubungan antara produsen dan konsumen menimbulkan tahapan transaksi untuk mempermudah dalam memahami akar permasalahan dan mencari penyelesaian. Praktik sehari-hari, terjadi beberapa tahap transaksi konsumen:31

1. Tahap Pra-Transaksi Konsumen

Pada tahap ini, transaksi (pembelian, penyewaan, peminjaman, pemberian hadiah komersial, dan sebagainya) belum terjadi. Konsumen masih mencari keterangan dimana barang atau jasa kebutuhannya dapat diperoleh, syarat-syarat yang harus dipenuhi, serta pertimbangan fasilitas atau kondisi dari transaksi yang diinginkan. Informasi tentang barang atau jasa memiliki peranan penting pada tahap ini. Informasi yang bertanggung jawab (informative information) merupakan kebutuhan pokok konsumen sebelum dapat mengambil suatu keputusan untuk mengadakan, menunda atau tidak mengadakan transaksi dalam kebutuhan hidupnya. Keputusan konsumen mengenai pilihan barang dan jasa yang dibutuhkan (informed choice) sangat tergantung pada kebenaran dan pertanggungjawaban informasi yang disediakan oleh pihak-pihak yang berkaitan dengan barang atau jasa konsumen.

2. Tahap Transaksi Konsumen

Pada tahap ini, transaksi konsumen sudah terjadi. Jual beli atau sewa menyewa barang telah terjadi. Syarat peralihan kepemilikan, cara-cara pembayaran atau hak dan kewajiban merupakan hal-hal pokok bagi konsumen.

3. Tahap Purna-Transaksi Konsumen.

Pada tahap ini, transaksi telah terjadi dan pelaksanaan telah diselenggarakan. Keadaan barang atau jasa setelah mulai digunakan atau mulai dinikmati kemudian, ternyata tidak sesuai dengan deskripsi oleh produsen, baik tentang asal produk, keadaan, sifat, jumlahnya, atau

31 Az. Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen, Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 39-56.

(32)

jaminan/garansi merupakan masalah pada tahap ini. Dalam hal asal produk konsumen, mutu, sifat, keadaan, jumlah, garansi dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sesungguhnya sudah termasuk masalah pertanggungjawaban pelaku usaha atau tanggung jawab produk

B. Hak dan Kewajiban Konsumen/Pelaku Usaha

Hukum mengatur peranan dari para subjek hukum berupa hak dan kewajiban. Pengertian hak adalah suatu peran yang bersifat fakultatif artinya boleh dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, sedangkan pengertian kewajiban adalah suatu peran yang bersifat imperatif artinya harus dilaksanakan. Hubungan antara hak dan kewajiban saling berhadapan dan berdampingan karena di dalam hak terdapat kewajiban untuk tidak melanggar hak orang lain dan tidak menyalahgunakan haknya.32

Hak dan kewajiban pada dasarnya lahir karena adanya hubungan hukum.

Sehingga jika berbicara soal hak dan kewajiban, maka harus kembali kepada undang-undang. Undang-undang dalam kajian hukum perdata, selain dibentuk oleh pembuat undang-undang (lembaga legislatif), juga dapat dilahirkan dari perjanjian antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum satu dan yang lainnya.33

1. Hak dan Kewajiban Konsumen

Secara umum, ada 4 (empat) hak dasar konsumen yang diakui secara internasional, yaitu :34

a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)

Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari segi pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen.

32 Happy Susanto, Op.Cit, hal. 22.

33 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 25.

34 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana, Jakarta, 2013, hal. 47-48.

(33)

Berkaitan dengan hal ini, intervensi, tanggung jawab dan peranan pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan konsumen sangat penting. Oleh karena itu, pengaturan dan regulasi perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga konsumen dari perilaku produsen yang berdampak dapat merugikan dan membahayakan keselamatan konsumen.

b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)

Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogatif yang dimiliki konsumen apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu barang dan/atau jasa. Apabila tanpa ditunjang hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan yang memadai, maka hak ini tidak akan berarti.Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan, sehingga hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar diri konsumen.

c. Hak untuk memilih (the right to choose)

Hak ini memiliki arti yang sangat fundamental bagi konsumen jika dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya. Setiap keterangan atau informasi mengenai suatu barang yang akan dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan secara lengkap dan dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya disepakati bersama agar tidak menyesatkan konsumen.

d. Hak untuk didengar (the right to be heard)

Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam kebijaksanaan pemerintah, termasuk turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. Selain itu, setiap keluhan maupun harapan konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dipasarkan oleh produsen harus didengar.

YLKI menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, sehingga keseluruhan dari hak tersebut dikenal sebagai “Panca Hak Konsumen”.35

Secara konseptual mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 4 dan 5, dan hak-hak konsumen ini adalah hak-hak yang bersifat universal.

Pasal 4 Undang-undang No. 8 tahun 1999, menyatakan hak konsumen:

35 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 31.

(34)

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

b. Hak atas memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian jika barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak di atas merupakan penjabaran dari Pasal-pasal yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia.36

Hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga terda[at dua hak konsumen yang berkaitan dengan pertanggungjawaban produk, antara lain :37

36 Adrian Sutedi, Op.Cit, hal. 24.

37 Ibid., hal. 51.

(35)

1. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas yang baik serta aman. Dengan adanya hak ini berarti konsumen harus dilindungi untuk mendapatkan barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu. Ketidaktahuan konsumen atas suatu produk yang dibelinya sering kali diperdaya oleh pelaku usaha.

2. Hak untuk mendapat kerugian

Jika barang yang dibelinya itu terdapat cacat, rusak, atau telah membahayakan konsumen, maka ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Akan tetapi, jenis ganti kerugian yang diklaimnya untuk barang yang terdapat cacat atau rusak, harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak, artinya konsumen tidak dapat menuntut secara berlebihan dari barang yang dibelinya dan harga yang dibayarnya, kecuali barang yang dikonsumsinya itu menimbulkan gangguan pada tubuh atau mengakibatkan cacat pada tubuh konsumen, maka dengan kondisi tersebut, tuntutan konsumen dapat melebihi harga barang yang dibelinya.

Selain memperoleh hak, konsumen juga memiliki kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 menyatakan kewajiban konsumen.

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan jasa demi keamanan dan keselamatan.

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa.

c. Membayar sesuai dengan nilai yang disepakati

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Menurut Shidarta, secara garis besar perlindungan konsumen dapat ditempuh dengan dua model kebijakan, yaitu :38

1. Kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi).

2. Kebijakan kompensantoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan).

38 Shidarta, Op. Cit., hal. 49

(36)

Berdasarkan hal tersebut maka masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Sedangkan yang menjadi kewajiban dari konsumen adalah : 39

a. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.

b. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Setiap membicarakan tentang perlindungan konsumen maka tidak dapat terlepas dari produsen atau pelaku usaha. Dalam kegiatan Bisnis antara pelaku usaha atau produsen dengan konsumen mempunyai suatu hubungan yang saling membutuhkan. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh laba dari transaksi dengan konsumen, sedangkan kepentingan konsumen adalah memperoleh kepuasan melalui pemenuhan produk kebutuhan terhadap produk-produk tertentu tanpa ada keluhan atau kerugian.

Sebagai penyeimbang atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi konsumen serta untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha, maka kepada pelaku usaha diberikan juga hak dan kewajiban yang tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.40

39 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2009, hal.17

40 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 33

(37)

Menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen maka pelaku usaha memiliki hak : 41

a. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

b. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang dipergunakan.

c. Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

d. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.

Adapun hak pelaku usaha yang tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan jasa yang diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang bertindak tidak baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memberi penjelasan tentang kewajiban pelaku usaha yaitu:

41 Zumrotin K. Susilo., Op.Cit, hal.3

(38)

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku.

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau di perdagangkan.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

Sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah diuraikan maka pelaku usaha dibebankan kewajiban : 42

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur serta tidak diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan jasa yang berlaku.

e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang dan jasa serta memberi jaminan atas barang yang dibuat atau diperdagangkan.

42 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 28

(39)

f. Memberi kompensasi, ganti rugi atau penggantian kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan.

Selain kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, adapun kegiatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan pelaku usaha seperti yang tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengelolaan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu

(40)

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi lengkap dan benar.

4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran

Secara garis besar, larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 tersebut dapat dikategorikan menjadi 2 larangan pokok, yaitu :43

43 Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2005, hal. 34.

(41)

1. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.

2. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar dan akurat, yang menyesatkan konsumen.

Selanjutnya, dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dirinci lebih jelas kegiatan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, sebagai berikut :

1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :

a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu

b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru

c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu

d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi

e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia

f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu

(42)

i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain

j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap

k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

2. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksuda pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.

3. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan suatu barang dan/atau jasa tersebut.

Adapun faktor-faktor yang dapat membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen walaupun kerusakan timbul akibat cacat produk, yaitu apabila :44

1. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan 2. Cacat timbul di kemudian hari

3. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen

4. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi

5. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.

C. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dan Pelaku Usaha.

Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Hukum (perlindungan) konsumen merupakan salah satu bidang dari ilmu hukum. Hukum konsumen hanya ranting kecil dari pohon

44 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 22

(43)

hukum, yaitu merupakan bagian dari jangkauan dari hukum dagang yang tercakup dalam bagian III dari hukum dagang dengan cabang besarnya hukum dagang.45

Az. Nasution berpendapat hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas itu. Hukum konsumen memuat asas- asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.46

Adapun pengertian hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.47

Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Pada dasarnya, hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Dimana materi pembahasannya meliputi bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban

45 Ibid, hal. 9.

46 Az. Nasution, Op. Cit., hal. 23.

47 Janus Sidabalok, Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 46.

(44)

konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.48

Perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.49

Undang-undang perlindungan konsumen membuat dunia usaha berpacu untuk meningkatkan kualitas produk barang dan jasa yang dihasilkannya sehingga memiliki keunggulan kopetitif baik didalam maupun diluar negeri. Mewujudkan sistem hukum perlindungan yang baik, diperlukan beberapa prinsip perlindungan konsumen yaitu: 50

1. Hukum perlindungan konsumen harus adil bagi konsumen maupun pelaku usaha, jadi tidak hanya membebani pelaku usaha dengan tanggungjawab, tetapi juga melindungi hak-haknya untuk melakukan usaha dengan jujur.

2. Aparat pelaksana hukumnya harus dibekali dengan sarana yang memadai dan disertai dengan tanggungjawab.

3. Peningkatan kesadaran konsumen akan hak-haknya, dan

4. Mengubah sistem nilai dalam masyarakat ke arah sikap tindak yang mendukung perlindungan konsumen.

Peningkatan terhadap perlindungan konsumen dengan menerapkan dan melaksanakan peraturan yang berhubungan sehingga merupakan suatu kesatuan yang integratif dan komprehensif sehingga dapat diterapkan secara efektif di tengah-tengah masyarakat. Sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia secara menyeluruh.

48 Ibid

49 Ibid., hal. 47.

50 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen Dan Instument-Instrumennya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.30

(45)

Posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.

Az. Nasution menjelaskan bahwa hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan.51 Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing- masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.

Khusus mengenai perlindungan konsumen, menurut Yusuf Shofie bahwa undang-undang perlindungan konsumen di Indonesia mengelompokkan norma- norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:

1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. : 2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.52

Pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan pelaku usaha.

Berkenaan dengan perlindungan konsumen dapat dirinci bidang-bidang perlindungan konsumen, yaitu sebagai berikut: 53

51 Ibid, hal.24

52 Ibid, hal.26

53 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.11.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian didapati nilai koefisien kompensasi yang positif dan menunjukkan jika kompensasi ditingkatkan atau dilakukan dengan tepat maka akan dapat meningkatkan

Tujuan dari dibuatnya Peraturan Derah Nomor 15 Tahun 2010 adalah untuk mendukung koordinasi antar pemangku kepentingan pembangunan daerah; Menjamin terciptanya

Cal on Peser ta Pel el angan yang ber minat wajib menyampaikan Pakta Integr itas sesuai dengan For mulir yang ter dapat dalam Dokumen Kualifikasi.. Hal – hal yang

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

(Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam

Di satu sisi, penetapan target penjualan dari tahun ke tahun yang selalu meningkat (tidak mungkin turun) sehingga manajer cabang selalu mengajukan penambahan jumlah orang dalam

Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat stres lansia berdasarkan gejala fisik. terdapat yang mengalami stres ringan sebanyak 21 lansia (65,5%)

Eksplorasi Tumbuhan Beracun Sebagai Biopestisida Di Hutan Lindung Desa Habincaran Dan Desa Hutagodang Kecamatan Ulu Pungkut Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara.. Di