• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum terhadap Korban sebagai Pelaku Kejahatan.

Orientasi perlindungan korban di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia lebih menfokuskan terhadap korban akibat dampak dari terjadinya tindak pidana terorisme, sehingga korban dimaksud dirumuskan pada pengaturan dalam bentuk kriminalisasi berdasarkan peraturan perundang-undangan169 terhadap pelaku yang melakukan kejahatan dengan menimbulkan korban sehingga memerlukan perlindungan terhadap korban antara lain korban baik yang berkaitan dengan nyawa, kemerdekaan, harta benda, serta obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup, berbagai fasilitas umum dan internasional, serta timbulnya rasa takut terhadap masyarakat yang bersifat luas. Demikian pula korban dan calon korban sering kali tidak berdosa, mengingat sasaran terorisme yang bersifat acak. Hal ini menkontruksikan bahwa perlindungan terhadap korban yang dikategorikan sebagai pelaku kejahatan di dalam UU Terorisme masih

169

Sunarto, Loc.cit, bahwa dalam proses kriminalisasi terhadap tindak pidana terorisme terdapat beberapa asas yang mendasarinya antara lain: asas kriminalisasi yang diperluas (the principle of extended criminalization), asas non-diskriminatif (the principle of non - discriminization),asas komplementer (complementary principle) Asas perlindungan HAM dan peradilan yang jujur dan adil (the Pinciple of Human Rights Protection and Fair Trial), asas pidana minumun khusus (speciale straf minima beginsel), asas perlindungan korban dan saksi (Victim and Witness protection Pinciple), asas harmonisasi hukum (the Pinciple of Legal Harmonization), asas Keseimbangan Kepentingan.

bersifat abstrak karena orientasi perlindungan korban di dalam UU Terorisme masih terfokus pada korban akibat kejahatan terorisme.

Pengaruh pembentukan UU Terorisme yang hanya mengatur perlindungan terhadap korban akibat kejahatan terorisme di samping pengaruh konvensi-konvensi internasional juga disebabkan oleh pengaruh pengaturan yang dianut oleh sistem hukum pidana Indonesia berlandaskan KUH Pidana yang memandang sistem pemidanaan kepada perbuatan pelaku yang didasarkan pada kesalahan (schuld) dan telah memenuhi rumusan delik. Di samping itu perlindungan korban di dalam ketentuan peraturan perundang-undang di Indonesia sangat kental dengan pengaturan perlindungan korban di dalam KUHAP yakni Pasal 98 yang menyatakan bahwa “jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka Hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan

perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu” .

Di samping itu, aspek korban di dalam UU Terorisme lebih berorientasi pada memperhatikan aspirasi masyarakat luas (aspirasi infrastuktural, suprastruktural,

kepakaran dan aspirasi intrnasional), sifat “ultimum remedium” hukum pidana dan

kemampuan hukumnya.170 Menurut Muladi karakter kejahatan terorisme

dikategorikan sebagai “Mala per se” adalah kejahatan terhadap hari nurani (crimes

against conscience), menjadi jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh undang-

170 Ibid

undang tetapi pada dasarnya memang tercela (natural wrong).171 Beberapa kasus tindakan terorisme yang menggambarkan begitu keji tindakan yang dilakukan oleh pelaku sehingga memerlukan pengaturan di dalam undang-undang untuk memberikan pelindungan terhadap korban sebagai dampak dari tindakan yang dilakukan oleh terorisme, menurut Sunarto dapat digambarkan antara lain:172

“ Peledakan pesawat penumpang sipil PAN AM di atas Lockerbie, Skotlandia pada tahun 1988, peledakan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Dar Es Salam (Tanzania) dan Nairobi (Kenya) pada Agustus 1998 dan puncaknya kejadian pada Selasa pagi 11 September 2001 yang merupakan tragedi bagi Amerika Serikat dengan runtuhnya dua gedung kembar World Trade Centre di New York yang diterjang pesawat komersial Boing 767 dan dalam waktu hampir bersaman serangan serupa juga menimpa Pentagon, markas Besar Tentara Amerika Serikat”.

Secara historis kegiatan terorisme internasional di Indonesia berkembang dengan diketemukannya indikasi adanya kerjasama antara kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan kelompok radikal seperti Abu Sayaf Group (ASG) Libya, dan Taliban. Pada akhirnya di Indonesia kasus peledakan bom terjadi pada peledakan Atrium Mall Pasar Senen Jakarta, kediaman Duta Besar Philipina di Jakarta, Bursa Efek Jakarta, bengkel mobil di Bandung, beberapa Gereja antara lain Gereja Santa Anna, Gereja HKGB di Jakarta, Gereja Katholik di Batam, Riau, Gereja Kristus Raja di Mojokerto Jatim dan tragedi Bali 12 Oktober 2002 tepatnya di Sari Club dan Paddy's cafd di jalan Legian serta di daerah Renon Denpasar dekat dengan Konsul Amerika Serikat, setelah kejadian tersebut kasus peledakan bom juga terjadi di beberapa tempat seperti di Wisma Bhayangkara Mabes Polri, peledakan Mc Donald's

171

Muladi, Loc.cit 172

di Makasar Sulsel dan terakhir peledakan Cafd shop di bandara Soekarno - Hatta Jakarta, Gedung DPR-MPR di Jakarta dan di depan pintu masuk Hotel J. W. Marriot pada tanggal 5 Agustus 2003, ledakan bom di depan kantor Kedutaan Besar Australia di Kuningan Jakarta. Dari kejadian tersebut di atas isu terorisme menjadi isu utama di dunia, kejahatan terorisme menjadi suatu ancaman yang serius bagi setiap negara dikarenakan kejahatan ini berdampak sedemikian.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang tidak mengatur secara limitative terhadap pelaku kejahatan terorisme yang dapat dikategorikan sebagai korban kejahatan, walapun ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang mengatur menyangkut Victim and Witness protection Pinciple, meliputi restitusi, kompensasi dan rehabilitasi namun ketentuan ini sangat kontradiktif terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3, (ayat 1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menyatakan yang dimaksud dengan setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah Republik Indonesia dan/atau Negara lain juga mempunyai yuridiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut. Hal mempunyai konsekuensi bahwa, Pasal ini tidak menjelaskan apa makna "bermaksud melakukan" ini bisa menimbulkan beragam penafsiran sesuai dengan kepentingan penafsir. Setiap

laporan intelejen bisa dijadikan bukti permulaan, yang menilai kecukupannya dilakukan melalui pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme). Untuk bisa dijadikan bukti permulaan, laporan intelejen itu mesti dikaji oleh ketua pengadilan.

Ketua pengadilan berfungsi sebagai legal auditor, yaitu apakah secara hukum bisa dipertanggungjawabkan apabila data intelejen ini dijadikan dasar untuk penyelidikan lebih lanjut. Apabila pengadilan berpendapat tidak bisa, maka tidak bisa dilanjutkan penyelidikan berdasarkan alat bukti permulaan dari data intelejen itu. Ketua Mahkamah Agung perlu segera memberikan pedoman kepada para hakim pengadilan bagaimanakah melakukan legal audit terhadap laporan intelejen tersebut.

Akurasi laporan intelejen yang menjadi bukti permulaan sebelum dilaksanakan penyidikan, harus diperhatikan dalam proses penyidikan tindak pidana terorisme. Oleh sebab itu, informasi intelejen ini harus akurat dan tidak hanya berasal dari intelejen, tetapi dikonfirmasikan kepada instansi lain yang terkait (seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Departemen Keuangan atau Departemen Dalam Negeri). Apabila penerapan pasal ini tidak hati-hati maka dapat memunculkan teror baru dengan menginteli/mengintai masyarakat, terutama aktivitis, mahasiswa, kelompok kritis atau kelompok yang menurut Negara potensial untuk melakukan tindakan yang disebut negara terorisme. Memungkinkan penggunaan intelejen sebagai alat untuk memojokkan atau

menangkap orang yang tidak disukai, baik oleh pihak dalam negeri maupun pihak asing dengan menekan Indonesia melakukan itu, dan hambatan kemampuan hakim membaca laporan intelejen dipertanyakan.

Di samping itu menurut Pasal 28 P Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 X 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam. Apabila penerapannya kurang hati-hati maka pasal ini dapat memberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan yang sewenang-wenang dengan payung bukti permulaan yang cukup, seperti alat-alat yang bisa direkayasa secara teknologi. Di samping itu kewenangan yang kurang hati-hati dilakukan oleh aparat penegak hukum berdampak pada meningkatnya tindak pidana terorisme karena adanya persepsi negatif pelaku atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan menimbulkan dendam bagi pelaku. Pemberantasan dan penanganan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia dapat digambarkan pada tabel di bawah ini sebagai berikut:

DATA PENEGAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH DEN 88/ANTI

Dokumen terkait