• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum terhadap Seni Ukir Pinto Aceh

BAB II JENIS HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL UNTUK

B. Perlindungan Hukum terhadap Seni Ukir Pinto Aceh

HKI dibangun di atas landasan “kepentingan ekonomi”, hukum tentang property (intellectual property). HKI identik dengan komersialisasi karya intelektual

sebagai suatu property. Perlindungan HKI menjadi tidak relevan apabila tidak

jelas dengan munculnya istilah “Trade Related Aspect of Intellectual Property

Rights” (TRIPs), dalam kaitannya dengan masalah perdagangan internasional dan

menjadi sebuah icon penting dalam pembicaraan tentang karya intelektual manusia.

Ini pun berarti bahwa HKI lebih menjadi domainnya GATT-WTO, ketimbang WIPO. Karakter dasar HKI semacam itulah yang diadopsi ke dalam perundang-undangan Indonesia. Dapat dikatakan bahwa pembentukan hukum HKI di Indonesia merupakan transplantasi hukum asing ke dalam sistem hukum Indonesia.96

Mengingat budaya merupakan salah satu hak umat manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya, maka diperlukan sebuah peraturan yang setingkat perundang-undangan untuk melindungi ekspresi budaya tradisional dari eksploitasi komersil dan pencurian.

Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa :”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Ekspresi budaya tradisional merupakan sebuah bentuk identitas budaya dan didalamnya terdapat hak masyarakat tradisional, untuk itu perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional perlu dilakukan guna menghormati dan melindungi hak masyarakat tradisional.

Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini menyatakan bahwa :

“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya”

Dalam pasal ini selain memajukan kebudayaan nasional Indonesia, maka Negara menjamin kebebasan masyarakat untuk terus mengembangkan kebudayaan tanpa memerlukan batasan jika akan menyelenggarakan pagelaran kebudayaan.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta selain mengatur

perlindungan kekayaan intelektual juga menjelaskan posisi Negara dalam

kepemilikan budaya ekspresi budaya tradisional melalui pasal 10 ayat 2, yaitu : “Negara memegang Hak Cipta atas foklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian kaligrafi, dan karya seni lainnya”

Namun dalam pasal tersebut, tidak dijelaskan secara rinci tentang definisi ekspresi budaya tradisional serta batasan-batasannya dan pengaturan penggunaan ekspresi budaya tradisional, baik komersil maupun non komersil.

Sebagaimana telah diketahui bahwa motif Pinto Aceh merupakan ciptaan

Mahmud Ibrahim dan secara hukum seni ukir tersebut tidak pernah didaftarkan pada jenis hak kekayaan intelektual industri seperti desain industri oleh Mahmud Ibrahim atau pun dari ahli warisnya. Jika dilihat dari perspektif hukum, seni ukir Pinto Aceh

adalah hasil kreatifitas manusia di bidang seni dan ekstensinya dilindungi oleh

Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Perlindungan sebuah hasil

kreatifitas manusia di bidang seni dalam bentuk ukiran, pada Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dilindungi Pasal 10 dan Pasal 12 huruf f yaitu ciptaan yang dilindungi termasuk seni rupa dalam segala bentuk seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung kolase, dan seni terapan.

Suatu seni yang termasuk dalam kategori Pasal 10 Undang-Undang Hak Cipta ada 2 (dua) kategori :

1. Suatu seni tradisional kerakyatan yang biasanya tidak diketahui siapa penciptanya

2. Termasuk foklor yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat tertentu dan telah berlangsung sangat lama dan dianggap sebuah seni tradisional yang khas.

Berdasarkan hasil penelitian dari wawancara yang telah dilakukan dengan informan dari instansi pemerintah yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan

Kementerian Hukum dan HAM wilayah Aceh yang menitikberatkan seni ukir Pinto

Aceh tercakup perlindungan hukumnya melalui undang-undang Hak Cipta yang

digolong dalam kategori Pasal 10 ayat (2) UUHC karena telah hidup dan berkembang didalam masyarakat dan telah menjadi seni tradisional yang khas, sehingga masa berlaku Hak Cipta adalah tanpa batasan waktu dan ciptaan tersebut dilaksanakan oleh Negara.97

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab II, bahwa sebagian besar masyarakat Aceh banyak yang tidak mengetahui asal usul motif tersebut. Masyarakat Aceh telah menganggap bahwa motif tersebut sudah ada dari dahulu perkembangannya secara turun menurun, bahkan sudah disamakan dengan jajaran motif tradisional Aceh

97 Wawancara dengan Dra Fauziah Hanum, Msi, jabatannya Kabid adat dan nilai budaya,

Dinas kebudayaan dan Pariwisata Aceh dan Edison SE, SH, jabatannya Kasubbid Pelayanan Hukum Kemenhukam Kanwil Aceh, Banda Aceh Tanggal 10 April 2012

lainnya, seperti rencong, kopiah meukethop dan lain sebagainya, sehinggaPinto Aceh

tersebut menjadi milik bersama masyarakat Aceh.

Tetapi disisi lain, setelah dilakukan penelitian yang lebih lanjut ditemukanlah

pencipta Pinto Aceh yang bernama Mahmud Ibrahim, ia menciptakan motif tersebut

pada tahun 1935, pada usia 80 tahun, tepatnya di tahun 1960 ia meninggal dunia. Jika dikaitkan dengan Pasal 29 ayat (2) masa berlaku terhadap hak cipta atas seni ukir yang diketahui penciptanya yaitu selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Jika diuraikan maka usiaPinto Aceh sudah 77 tahun, bila

dikaitkan dengan UUHC No.19 Tahun 2002 Pasal 29 ayat (2) maka Mahmud Ibrahim

meninggal sudah 52 tahun, maka hak ekonomi atas seni ukir Pinto Aceh telah

berakhir pada 2010, dengan berakhirnya hak cipta tersebut maka hak cipta Pinto

Acehmenjadi milik bersama (public domain).

Public Domain hak cipta merujuk kepada kumpulan ciptaan yang tidak

dibatasi oleh hak cipta pada suatu yurisdiksi tertentu. Suatu ciptaan dapat menjadi

bagian dari public domain karena persyaratan hak cipta yang berlaku telah

kadaluarsa.

Karena public domain tergantung pada hukum hak cipta yang berlaku pada

suatu wilayah tertentu, suatu karya kadang dapat dianggap berada dalam public

pemerintah AS secara otomatis merupakanpublic domain menurut hukum hak cipta

di AS. Namun mungkin dibatasi oleh hak cipta di Negara lain.98

Karya cipta seni ukir Pinto Aceh telah berwujud nyata sehingga dapat dilihat

oleh orang lain dan secara otomatis karya cipta seni ukir Pinto Aceh itu sudah

dilindungi oleh UUHC 2002. Karena pada prinsipnya, hak cipta memberikan ketentuan bahwa pengakuan dan perlindungan atas suatu ciptaan adalah setelah ciptaan tersebut untuk pertama kalinya dipublikasikan atau diumumkan.

Jika ditelaah lebih lanjut berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan mewawancarai informan dari instansi pemerintah yang merujuk implementasi

perlindungan hukum hak cipta atas Pinto Aceh masuk kedalam kategori Pasal 10

UUHC yaitu :

(1)Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya.

(2)Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya.

(3)Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2) orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.

98http://creativecommons.or.id/2011apayangdimaksuddengan domainpublik./hari Selasa 19

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam hal ini dikarenakan motif Pinto Aceh telah berlangsung sangat lama dan

dianggap sebagai karya seni yang khas bagi masyarakat Aceh, maka karya seniPinto

Aceh termasuk dalam kategori karya seni yang dilindungi oleh Negara. Dengan

demikian pemerintah dapat mencegah adanya monopoli dan untuk menghindari pihak asing yang dapat merusak dan meniru bahkan didaftarkan karya seni tersebut di Negara lain, seperti yang tertera Pasal 10 Ayat (3) bahwa untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada Pasal 10 ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin pada instansi terkait.

Disisi lain, dengan ditemukannya pencipta Pinto Acehseperti diuraikan diatas

dan dengan berakhirnya hak ekonominya maka seni ukir Pinto Aceh telah menjadi

milik publik (public domain).

Public domain tersebut hanya berlaku diwilayah Negara Republik Indonesia.

Dan karena telah menjadi public domain maka negaralah yang berhak memegang

Hak Cipta tersebut atas nama pencipta, sehingga dari segi hak ciptanya tidak boleh diabaikan.

Dari uraian tersebut, yang jelas terlihat berbeda adalah jangka waktu perlindungan yang dalam Pasal 31 UUHC digolongkan dalam Pasal 10 ayat (2) berlaku tanpa batas waktu, sedangkan atas ciptaan yang diketahui penciptanya berlaku Pasal 29 ayat (2) yaitu berlaku selama hidup penciptanya dan berlangsung 50 tahun kemudian sesudah penciptanya meninggal, setelah masa berlakunya habis

barulah ciptaan tersebut menjadi public domain yang dalam artian setiap bangsa

Indonesia boleh menggunakan ciptaan tersebut.

Selain mengenai masa berlaku suatu hak cipta, yang membedakan UUHC pasal 10 ayat (2) dan UUHC pasal 29 ayat (2) adalah dari segi hak moral. Pada UUHC pasal 10 ayat (2), atas ciptaan yang tidak diketahui penciptanya, tidak terdapat hak moral di dalamnya, sedangkan pada UUHC pasal 29 ayat (2), atas ciptaan yang diketahui penciptanya terdapat hak moral didalamnya

Sifat pribadi yang terkandung di dalam hak cipta melahirkan konsepsi hak moral bagi si pencipta atau ahli warisnya. Hak moral tersebut dianggap sebagai hak

pribadi yang dimiliki oleh seorang pencipta untuk mencegah terjadinya

penyimpangan atas karya ciptaannya dan untuk mendapatkan penghormatan atau penghargaan atas karyanya tersebut. Hak moral tersebut merupakan perwujudan dari hubungan yang terus berlangsung antara si pencipta dengan hasil karya ciptaanya walaupun si penciptanya telah kehilangan atau telah memindahkan hak ciptanya kepada orang lain, sehingga apabila pemegang hak menghilangkan nama pencipta, maka pencipta atau ahli warisnya berhak untuk menuntut kepada pemegang hak cipta supaya nama pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya.

Disamping itu juga pemegang hak cipta tidak diperbolehkan mengadakan perubahan suatu ciptaan kecuali dengan persetujuan pencipta atau ahli warisnya dan apabila pencipta telah menyerahkan hak ciptanya kepada orang lain, maka selama penciptanya masih hidup diperlukan persetujuannya untuk mengadakan perubahan, tetapi apabila penciptanya telah meninggal dunia diperlukan ijin dari ahli warisnya.

Dengan demikian sekalipun hak moral itu sudah diserahkan baik seluruhnya maupun sebagian kepada pihak lain, namun penciptanya atau ahli warisnya tetap mempunyai hak untuk mengugat seseorang yang tanpa persetujuannya : (a) meniadakan nama pencipta yang tercantum dalam ciptaan ; (b) mencantumkan nama pencipta pada penciptaanya (c) mengganti atau mengubah judul ciptaan ; dan (d) mengubah isi ciptaan.

Ada dua keutamaan hak moral yang terdapat dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah :

a. Hak untuk memperoleh pengakuan, yaitu : hak pencipta untuk memperoleh pengakuan publik sebagai pencipta suatu karya guna mencegah pihak lain mengklaim karya tersebut sebagai hasil kerja mereka, atau untuk mencegah pihak lain memberikan pengakuan pengarang karya tersebut kepada pihak lain tanpa seizin pencipta ;

b. Hak Integritas, yaitu hak untuk mengajukan keberatan atas perubahan yang dilakukan terhadap suatu karya tanpa sepengetahuan si pencipta.

Terhadap hak moral ini, walaupun hak ciptaannya (hak ekonominya) telah diserahkan seluruhnya atau sebagian, pencipta tetap berwenang menjalankan suatu tuntutan hukum untuk mendapatkan ganti kerugian terhadap seseorang yang melanggar hak moral pencipta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar

hukum yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.99

Dengan hak moral, pencipta dari suatu karya cipta memiliki hak untuk : a. Dicantumkan nama atau nama samarannya di dalam ciptaannya ataupun

salinannya dalam hubungan dengan penggunaan secara umum

b. Mencegah bentuk-bentuk distorsi, mutilasi, atau bentuk perubahan lainnya yang meliputi pemutarbalikan, pemotongan, perusakan, penggantian yang berhubungan dengan karya cipta yang pada akhirnya akan merusak apresiasi dan reputasi pencipta. Disamping itu tidak satupun dari hak-hak tersebut dapat dipindahkan selama penciptanya masih hidup, kecuali atas wasiat pencipta berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Disamping hak moral tersebut, hak cipta juga berhubungan dengan

kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi (Economic Rights). Adanya

kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi di dalam hak cipta tersebut merupakan suatu perwujudan dari sifat hak cipta itu sendiri, yaitu bahwa ciptaan- ciptaan yang merupakan produk olah pikir manusia itu mempunyai nilai, karena ciptaan-ciptaan tersebut merupakan suatu bentuk kekayaan, walaupun bentuknya tidak berwujud (intangible).

Hak ekonomi (Economic Rights) yang terkandung dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta meliputi hak untuk mengumumkan dan memperbanyak. Termasuk dalam pengumuman adalah pembacaan, penyiaran pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan

dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain, sedangkan yang termasuk dalam perbanyakan adalah penambahan jumlah suatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.100

Berdasarkan teori diatas bahwa seharusnya motif Pinto Aceh jika dikaitkan

dengan Pasal 24 UUHC tidak boleh dirubah materinya serta nama pencipta memperoleh pengakuan guna mencegah pihak lain memberikan pengakuan pencipta karya tersebut kepada pihak lain tanpa seizin pencipta. Namun dalam perkembangan motif Pinto Acehyang telah memasyarakat, juga telah banyak dimodifikasi terhadap

bentuk-bentuk ukirannya dan dituangkan dalam berbagai bentuk seperti logo. Hal ini dikarenakan pada dasarnya motif ini tidak pernah didaftarkan sehingga Pinto Aceh

terus berkembang sebagai motif yang bercirikan tradisional Aceh.

Walaupun telah diketahui siapa penciptanya tetapi masa berlaku Pinto Aceh

seperti dalam Pasal 29 ayat (2) telah berakhir, makaPinto Acehtelah menjadi public

domainatau milik bersama bangsa Indonesia, hal ini juga sejalan dengan Pinto Aceh

yang menjadi ciri khas masyarakat Aceh adalah milik bersama masyarakat Aceh.

Untuk itu perlindungan hukum seni ukir Pinto Aceh negaralah yang memegang hak

cipta atas nama penciptanya, bila kelak terjadi pengklaiman maka negaralah yang melindungi karya cipta tersebut untuk kepentingan penciptanya. Akan tetapi dalam kenyataannya belum ada hasil usaha negara dalam melindungi karya tradisional yang dieksploitasi oleh warga negara asing diluar negeri. Selain itu instansi-instansi yang

100 Trisno Raharjo, Kebijakan legislatif dalam pengaturan Hak Kekayaan Intelektual dengan

terkait yang dimaksud Pasal 10 ayat (3) UUHC untuk memberikan izin kepada orang asing yang menggunakan karya-karya bangsa Indonesia juga belum ditunjuk dikarenakan Rancangan Perundang-Undangan yang mengatur mengenai hal tersebut belum di keluarkan.

Dalam hal negara yang memegang hak cipta atas karya cipta yang telah

berakhir masa berlakunya atau menjadi public domain, pemerintah hendaknya

menginventarisasikan melalui pemda setempat, dan hendaknya pemerintah

memberikan mandat kepada Ditjen HaKI untuk menangani persoalan-persoalan yang timbul saat ini berkaitan dengan pengeksploitasian karya-karya cipta anak bangsa di luar negeri sebelum Rancangan Perundang-Undangan yang terbaru dikeluarkan.

Undang-undang Hak Cipta yang berlaku saat ini dinilai masih kurang memperhatikan kondisi masyarakat Indonesia yang belum siap menghadapi persaingan dan pesatnya pertumbuhan industri kreatif dunia, khususnya untuk negara- negara Asia. Saat ini kondisi perekonomian mayoritas masyarakat Indonesia adalah di bawah rata-rata dan Indonesia belum dapat digolongkan sebagai negara produsen dari

kekayaan intelektual, tetapi masih dalam taraf user atau pengguna.101 Kondisi

masyarakat Indonesia sebagai user ini tentunya memiliki kepentingan yang berbeda

dengan kepentingan para pemilik hak cipta dalam menegakkan Undang-Undang Hak Cipta di sisi lainnya. Keadaan Indonesia yang berposisi sebagai user dari hak cipta

dan bukan sebagai pihak yang menjadikan hak cipta sebagai industri kreatif yang

bernilai ekonomis telah memicu negara-negara lain untuk mengeksploitasi kekayaan seni kreatif dan warisan budaya milik Indonesia.

Namun, tekad untuk melindungi keanekaragaman seni dan budaya Indonesia yang terkandung dalam Bab Penjelasan Undang-Undang Hak Cipta tersebut terkesan hanya sekadar wacana. Apabila diperhatikan, dalam batang tubuh Undang-Undang

Hak Cipta itu sendiri, sangat sedikit diatur mengenai perlindungan atas

keanekaragaman seni dan budaya yang ada di Indonesia. Dalam Pasal 10 Undang- Undang Hak Cipta memang ditegaskan bahwa Negara sebagai pemegang hak cipta dari karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. Negara juga secara yuridis ditunjuk sebagai pemegang hak cipta atas hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti foklor, hikayat, legenda,

dongeng, koreografi, tarian, babad, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Akan tetapi, ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Hak Cipta ini hanya berlaku terhadap ciptaan

yang penciptanya tidak diketahui atau merupakan hasil warisan budaya (shared

heritage).

Selain itu, ada berbagai ketidakjelasan atau grey areadalam Undang-Undang

Hak Cipta yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Misalnya, Undang-Undang Hak Cipta seolah melegitimasi secara terselubung pelanggaran hak cipta sehubungan dengan pengaturanfair dealingyang dinilai oleh negara lain masih

sangat luas dan tidak memiliki standar minimum yang jelas.

Atas kreatifitas pencipta Pinto Acehyaitu Mahmud Ibrahim hendaknya harus

telah menciptakan hasil karya yang sangat menarik yang memiliki nilai estetika bahkan sampai saat ini motif tersebut terus berkembang menjadi ciri khas daerah Aceh baik dalam segi perhiasan, lambang industri-industri di Aceh bahkan di jual sebagai souvenir yang banyak diminati. Sebab hasil karya cipta tersebut pada awalnya membutuhkan proses pembuatan dan penciptaannya itu memerlukan jerih payah serta menghabiskan banyak waktu maka dari itu diperlukan adanya penghormatan atas hasil karyanya.

Dalam wawancara dengan Murniati SE, MSi : “Pinto Aceh merupakan ciri

khas masyarakat Aceh sehingga pada perindustrian kecil, menengah maupun dalam

kerajinan seperti souvenir motif atau lambang Pinto Aceh boleh digunakan oleh

siapapun dalam dunia industri dan kerajinan di Aceh tidak ada syarat khusus untuk menggunakan lambang tersebut.102

Sesuai dengan perkembangan terhadap motifPinto Aceh yang telah menjadi

public domain maka dari hak penciptaan pribadi telah bergeser menjadi nilai-nilai

bersama masyarakat Aceh, sehingga dari segi hak penciptaan karya seni ukir Pinto

Aceh sebagai milik pribadi tidak dimungkinan lagi. Namun hal yang tidak bisa

dipungkiri yaitu terhadap hak moral untuk pencipta atas karya cipta Pinto Aceh

tersebut yaitu Mahmud Ibrahim. Hak moral tersebut untuk menghormati dan menghargai hasil ciptaanya tersebut. Hak moral merupakan perwujudan dari

hubungan yang terus berlangsung antara si pencipta dengan hasil karyanya,

102Wawancara dengan Murniati, SE, MSi. Kepala Seksi Industri Sandang Pangan dan

Kerajinan. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Menengah, Banda Aceh, 12 April 2012 Pukul 11.30 WIB

walaupun si pencipta telah tiada. Disinilah peran pemerintah setempat untuk mencari tahu mengenai sejarah asal-usul suatu karya seni yang telah turun temurun dalam masyarakat agar memperjelas mengenai Hak moral yang timbul dari penciptaan suatu karya seni sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku.

Diharapkan pemerintah melakukan dokumentasi yang komprehensif yaitu dokumentasi yang memadai atas kesenian tradisioanl Indonesia yang berfungsi sebagai mekanisme perlindungan yang preventif untuk menghindari penyalahgunaan instrument Hak Kekayaan Intelektual Bangsa Indonesia diluar negeri.

Proses dokumentasi harus dilakukan dengan melibatkan elemen akademisi, peneliti dan praktisi dibidang hukum, kesenian, budaya, jurnalistik dan unsur lain yang terkait. Untuk menekan biaya dokumentasi, partisipasi masyarakat yang harus dibuka seluas-luasnya sehingga data dan informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber.

Dokumen terkait