• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, KORBAN DAN KEKERASAN SEKSUAL

A. Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum merupakan perkembangan dari konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) yang berkembang pada abad ke 19.37 Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah upaya untuk mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat supaya tidak terjadi tubrukan antar kepentingan dan dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.38

Adapun arah dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap HAM adalah adanya pembatasan dan peletakan kewajiban kepada masyarakat dan pemerintah.39 Pengorganisasian dilakukan dengan cara membatasi suatu kepentingan tertentu dan memberikan kekuasaan pada yang lain secara terukur.

37 Luthvi Febryka Nola, “Upaya Perlindungan Hukum Secara Terpadu Bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI)”, Jurnal NEGARA HUKUM, Vol 7, No 1, 2016, hlm. 40.

38 Satjipto Rahardjo, Loc., Cit.

39 Ibid.,

Teori ini ini terinspirasi oleh pendapat Fitzgerald tentang tujuan hukum, yaitu untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat dengan cara mengatur perlindungan dan pembatasan terhadap berbagai kepentingan tersebut.

Menurut CST Kansil menyebut bahwa perlindungan hukum dikatakan sebagai upaya hukum yang diberikan penegak hukum dalam hal memberikan rasa aman baik secara fisik dan psikis kepada masyarakat.40 Selanjutnya Perlindungan hukum juga dapat dipahami bahwa suatu perlindungan yang dapat diberikan kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis.41 Philipus M. Hadjon juga menambahkan bahwa perlindungan hukum merupakan kumpulan peraturan atau kaidah yang dapat melindungi hal-hal lainnya.42

“Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.”43

Pemahaman konsep perlindungan hukum, apabila dikaitkan dengan perlindungan korban kekerasan seksual , maka dalam ruang lingkup yuridis,

40 Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, “Aspek Yuridis Perlindungan Hukum dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas”, Volume 13. Number 1. June 2018, hlm. 54.

41 Ibid, hlm. 53.

42 Ibid, hlm 54.

43 Ibid, hlm. 55.

objek kajiannya adalah berbagai ketentuan hukum yang berlaku terutama berkaitan dengan perlindungan korban kekerasan seksual dan pemenuhan hak hak mereka. Dengan demikian perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual yang bersifat yuridis ini menyangkut semua aturan hukum yang mempunyai dampak langsung bagi keberlangsungan hidup dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual baik selama proses peradilan maupun pasca peradilan selesai.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban konsep perlindungan hukum merupakan segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Dalam Pasal 5 disebutkan tentang hak-hak yang diberikan kepada saksi dan korban. Korban yang mengalami kerugian akibat dari suatu tindak pidana memiliki hak mengajukan kompensasi, restitusi dan ganti rugi yang diajukan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perlindungan hukum adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan,

pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dalam pasal 1 angka 1 menjelaskan konsep perlindungan hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Bentuk-bentuk perlindungan dimuat dalam pasal 4 yang meliputi perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental, perahasiaan identitas korban atau saksi, pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

B. Korban

1. Pengertian Korban

Pengertian korban dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tentang Perlindungan Saksi dan korban Pasal 1 ayat (3) definisi korban adalah:

“Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Menurut Arif Gosita yang dimaksud dengan korban adalah:

“Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.”44

Korban juga didefinisikan oleh Van Boven yang merujuk kepada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan sebagai berikut:

“Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omiaion).”45

Pengertian korban menurut beberapa peraturan hukum yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 ayat (3) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

44 Rena Yulia, Op. cit., hlm.45.

45 Anggun Malinda, Perempuan Dalam Sistem Peradilan Pidana, dalam Theo Van Hoven ed., Mereka yang Menjadi Korban, Garudhawaca, Yogyakarta, 2016, hlm. 64.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

3. Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

“Stanciu menjelaskan korban dalam arti luas adalah orang yang menderita dari ketidakadilan, dan ada 2 (dua) sifat yang mendasar (melekat) dari korban tersebut, yaitu suffering (penderitaan) dan injustice (ketidakadilan). Dalam kasus kejahatan konsep tentang korban seharusnya tidak saja dipandang dalam pengertian yuridis, sebab masyarakat sebenarnya selain dapat menciptakan penjahat, juga dapat menciptakan korban. Seorang korban ditempatkan pada posisi sebagai akibat kejahatan yang dilakukan terhadapnya baik dilakukan secara individu, kelompok ataupun negara.”46

2. Jenis-jenis Korban

“Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu:

1. Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/ menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.

2. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.

3. Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.

4. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.

Apabila ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka sebagaimana dikutip oleh Stephen Schafer mengemukakan tipologi korban itu menjadi tujuh bentuk, yaitu:

1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.

2. Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranankorban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspektanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.

3. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggung jawaban sepenuhnya ada pada pelaku.

4. Biologically weak victims adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan.Ditinjau dari aspek pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya.

5. Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.

6. Self victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korbansemu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan.

7. Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.48

Menurut Mendelsohn, berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi lima macam, yaitu:

1. Yang sama sekali tidak bersalah;

2. Yang jadi korban karena kelalaiannya;

3. Yang sama salahnya dengan pelaku;

4. Yang lebih bersalah daripada pelaku;

48 Ibid.,

5. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan).49

Dokumen terkait