• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. selalu diatur dalam legalitas sebuah hukum, namun kerap terjadi. 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. selalu diatur dalam legalitas sebuah hukum, namun kerap terjadi. 1"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kekerasan seksual merupakan perbuatan yang menyangkut nilai nilai kehormatan dan penghargaan diri perempuan. Dimensi perbuatan yang tidak selalu diatur dalam legalitas sebuah hukum, namun kerap terjadi.1

Kekerasan seksual adalah segala tindakan seksual atau upaya untuk melakukan tindakan seksual oleh seorang kepada orang lain dilakukan secara verbal maupun non verbal yang tidak diinginkan dan membuat orang lain tidak nyaman, merasa terhina atau terlecehkan dilakukan secara paksa, halus maupun tipu muslihat tanpa memandang hubungan yang dimiliki antara korban dan pelaku.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri tidak memiliki penjelasan tentang definisi kekerasan seksual secara eksplisit namun secara garis besar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mendefinisikan dengan implisit bahwa perkosaan dan pencabulan adalah bentuk dari kekerasan seksual.

Sehingga ini melahirkan ironi dengan realita sistem hukum pidana di Indonesia yang kurang sekali dalam formulasi hukumnya yang tidak progresif dan tidak sesuai perkembangan zaman yang juga melahirkan bentuk tindak kriminal baru yang itu belum diakomodasi oleh regulasi pada zaman sebelumnya.

1Elizabeth Siregar, Dkk ”Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Realitas Dan Hukum,”

PROGRESIF: Jurnal Hukum, Volume XIV/No.1/ Juni 2020, hlm. 4.

(2)

Perkembangan atau perubahan jenis tindak kriminal baru dapat terjadi secara lambat ada juga yang secara cepat yang menciptakan suasana harmonis dan disharmonis, tergantung pada besar pengaruh yang di tawarkan dan dapat mempengaruhi pola pikir, gaya hidup dan model interaksi sosial, kultural, ekonomi, hukum dan politik yang dibangun. Kemauan menjadi potensi dalam diri manusia menjadi penentu perilaku yang menciptakan kebaikan bagi kehidupan antar sesama makhluk sosial atau dapat menimbulkan kerugian terhadap hak asasi manusia.2

“Dalam berbagai regulasi di Indonesia dikenal berbagai jenis terminologi yang menjelaskan tentang tindak pidana yang berhubungan dengan kekerasan seksual. Paling tidak saat ini terdapat sedikitnya empat jenis undang-undang yang mengatur tindak pidana yang berhubungan dengan kekerasan seksual, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU No 23 tahun 2002 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU No 21 tahun 2007 tentang Tindak Perdagangan Orang. KUHP tidak memberikan penjelasan atau pengertian khusus mengenai tindak pidana yang berhubungan dengan kekerasan seksual, begitu juga dengan UU Perlindungan anak yang hanya merujuk pada KUHP. Sedangkan UU No 21 tahun 2007 tentang TPPO hanya mengatur kekerasan dalam konteks perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual.”3

Adanya definisi yang lebih diperluas dengan menyerasikannya pada kondisi sekarang dapat memberi harapan berupa payung hukum serta

2Ana Indah Cahyani, Yulia Monita “Pidana Denda sebagai Alternatif Pemidanaan pada Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga”, PAMPAS: Journal Of Criminal Volume 1 Nomor 2, 2020, hlm.177.

3Maidina Rahmawati Dan Supriyadi Widodo Eddyono, Menuju Penguatan Hak Korban Dalam RANCANGAN UNDANG-UNDANG Penghapusan Kekerasan Seksual, Institute For Criminal Justice Reform, Jakarta, 2017, hlm. 6.

(3)

seperangkat perlindungan kepada orang-orang yang sebenarnya adalah korban kekerasan seksual namun karena sempitnya definisi kekerasan seksual itu sendiri dalam hukum positif Indonesia membuat korban tidak bisa berbuat banyak bahkan nyaris tidak dapat berbuat apa-apa.

Menurut Komnas Perempuan terdapat 15 (lima belas) jenis Kekerasan Seksual yang terjadi dalam beragam konteks sebagai berikut:

1) Perkosaan;

2) Pelecehan seksual;

3) Eksploitasi seksual;

4) Penyiksaan seksual;

5) Perbudakan seksual;

6) Intimidasi, ancaman dan percobaan perkosaan;

7) Prostitusi paksa 8) Pemaksaan kehamilan 9) Pemaksaan aborsi 10) Pemaksaan perkawinan

11) Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual

12) Kontrol seksual seperti pemaksaan busana dan diskriminasi lewat aturan;

13) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual 14) Praktek tradisi bernuansa seksual yang membahayakan

perempuan; dan

15) Pemaksaan sterilisasi/kontrasepsi. 4

“Perlindungan terhadap korban kejahatan, adalah upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat meupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, serta besarnya ganti kerugian yang diberikan kepada korban kejahatan akibat tindak pidana yang terjadi, proses pemeriksaaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, yang pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak

4Komnas Perempuan, http://www.komnas- perempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/15-Jenis- Kekerasan-Seksual_2013.pdf, diakses pada 29 september 2020.

(4)

asasi manusia serta instrumen penyeimbang.”5

Realita hukum yang tidak suportif, ketiadaan lingkungan dan fasilitas publik yang aman dan nyaman bagi korban terhadap pencegahan terjadinya kekerasan seksual perlindungan korban menjadi penyumbang alasan terkuat dalam terus bertambahnya korban kekerasan seksual. Realita hukum yang pada definisi saja sudah tidak menampakkan keadilan hukum terhadap korban menjadi bukti lemahnya hukum yang melindungi korban. Dalam pasal 28I ayat (4) negara terutama pemerintah adalah penanggung jawab dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia maka sudah sepatutnya pemenuhan hak-hak korban korban kekerasan seksual jauh lebih diperhatikan atas nama hak asasi manusia dan kewajiban negara.

Absensi definisi kekerasan seksual dalam sistem hukum pidana yang masih belum komprehensif tentu juga berakibat kepada perlindungan korban kekerasan seksual yang tidak maksimal. Penguatan definisi dan terminologi tentang kekerasan seksual memiliki dampak sangat besar dalam hadirnya rasa keadilan bagi para korban. Dibutuhkan konstruksi hukum yang kokoh untuk hukum itu sendiri tegak di garda terdepan dalam perlindungan korban dengan cita-cita hukum yaitu tegaknya keadilan yang dapat diupayakan oleh hukum pidana melihat fungsi hukum pidana adalah menciptakan ketertiban, keamanan masyarakat dan sebagai pelindung kepentingan hukum terhadap perbuatan yang

5Johan Runtu, “perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan” Lex Crimen, Vol.I, No.2, April 2012, hlm. 32.

(5)

merugikan orang lain dengan sanksi pidana yang diharapkan dapat menjadi upaya preventif untuk tidak melakukan kejahatan sebagaimana hakikat politik kriminal dalam tujuan kriminologi pidana.

“Kehadiran hukum sebagai sarana perlindungan sosial untuk menjamin hak dari setiap individu sebagai bagian dari masyarakat, maka di mana ada hukum di situ ada masyarakat seperti adagium ibi ius ubi societas menunjukkan begitu pentingnya hukum sebagai proteksi dan penjamin perlindungan masyarakat dan cerminan keinginan masyarakat. Hukum sebagai cerminan masyarakat berisikan patokan-patokan yang dianggap pantas dan dianggap tidak pantas untuk menjaga tata tertib dan konduksifitas masyarakat. Patokan-patokan yang tidak pantas dalam bahasa masyarakat disebut dengan kejahatan yang dibedakan dalam arti yuridis dan sosial.”6

Korban dapat menjadi korban murni artinya korban memang tidak bersalah atau dapat menjadi korban tidak murni yaitu korban tersangkut atau menjadi bagian dari pelaku kejahatan, bahkan sekaligus menjadi pelakunya.7

“Suatu penyelesaian perkara pidana di dalamnya banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai baik perlindungan yang sifatnya immaterial maupun materiil.

Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan, yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, belum memperoleh perlindungan memadai seperti yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku

6Yaris Adhial Fajrin dan Ach. Faisol Triwijaya, “Perempuan dalam Prostitusi: Konstruksi Pelindungan Hukum Terhadap Perempuan Indonesia dari Perspektif Yuridis dan Viktimologi” Jurnal NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 1, Juni 2015, hlm. 68.

7Ibid.

(6)

kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan.”8

Dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, atas dasar bunyi pasal ini maka korban kekerasan seksual berhak mendapat perlindungan secara menyeluruh dalam proses penanganan kasusnya.

Selanjutnya hak perlindungan terhadap korban juga disebutkan dalam pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang selanjutnya dikutip sebagai berikut:

Pasal 4

“Hak. untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

Pasal 5 ayat (1)

“Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.”

“Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak-hak korban kekerasan seksual secara spesifik dan komprehensif. Pengaturan mengenai hak korban kekerasan seksual masih diatur secara terbatas dan terpisah dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada korban yang masih berusia anak, tetapi juga marak terjadi pada korban yang telah dewasa. Ketiadaan pengaturan tersebut sangat

8Ibid, hal 4.

(7)

disayangkan mengingat kekerasan seksual merupakan kejahatan khusus dan sistemik, sehingga penanganan dan perlindungan korban harus dilakukan secara komprehensif, tanpa memandang usia korban. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya mengatur rangkaian hak untuk saksi dan korban tindak pidana dalam kasus tertentu (termasuk di dalamnya kekerasan seksual terhadap anak) dan atau sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK). Akibatnya, pengaturan serta perlindungan hak saksi dan korban kekerasan seksual yang berusia dewasa termasuk rumah aman belum tersedia. Hak atas rumah aman adalah elemen penting dalam pemenuhan hak korban kekerasan seksual. Melalui akses terhadap rumah aman, hak korban lainnya meliputi hak atas penanganan dan hak atas pemulihan.”9

Masalah korban kejahatan menimbulkan berbagai permasalahan dalam masyarakat pada umumnya dan pada korban/pihak korban kejahatan pada khususnya.10 Belum adanya perhatian dan pelayanan terhadap para korban kejahatan merupakan tanda belum atau kurang adanya keadilan dan pengembangan kesejahteraan dalam masyarakat. Sehingga perlu adanya peran pemerintah untuk mengambil kebijakan dan tidak menormalisasi perbuatan tersebut.11

Dalam hal pelayanan dan perlakuan terhadap korban kejahatan secara formal sering dituntut, karena merupakan salah satu bentuk perlindungan dan konsekuensi hukum.

9KOMNAS PEREMPUAN: 10. Hak Korban atas Perlindungan

https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/RHK%202018/Risalah%20RANCANGAN UNDANG-UNDANG %20KS 10.%20Hak%20Korban%20atas%20Perlindungan.e.pdf diakses tanggal 29 september 2020.

10Rena Yulia, Viktimologi: Perlindungan Hukum Teradap Korban Kejahatan, Cet. 1, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm. 57

11Yuni Kartika, Andi Najemi, “Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual (Catcalling) dalam Perspektif Hukum Pidana”, PAMPAS: Journal Of Criminal Volume 1 Nomor 2, 2020, hlm. 11.

(8)

“Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting karena masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagai pelaku kejahatan. Kepentingan korban sudah saatnya untuk diberikan perhatian khusus dalam penanganan perkara pidana, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before law). Perhatian kepada korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion and respect for their dignity).”12

Sebelumnya tidak ada ketentuan yang terperinci mengenai bentuk perlindungan korban sehingga menyebabkan ketidakseimbangan dalam pengayoman hukum antara korban dan pelaku kejahatan yang pada akhirnya akan menimbulkan ketidakadilan.13 Dengan kurangnya perlindungan hukum terhadap korban dapat menyebabkan korban bersikap pasif dan cenderung non- kooperatif dengan petugas, bahkan terdapat korelasi antara kurangnya perlindungan dengan keengganan korban untuk melapor kepada aparat, terlebih lagi setelah korban melapor, peran dan kedudukannya bergeser sedemikian rupa sehingga aparat peradilan merasa satu-satunya pihak yang dapat mewakili semua kepentingan korban.

“Asas legalitas di Indonesia tertuang dalam Pasal 1 KUHP. Secara filosofi asas legalitas memiliki kelemahan Diana hanya berorientasi pada perlindungan pelaku, sedangkan korban sebagai pihak yang

12 Lieta Vina Tania, dkk, Loc. Cit.

13Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advodkasi atas Hak Asasi Perempuan), Cet. 1, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 34.

(9)

mengalami kerugian akibat suatu kejahatan seharusnya juga memiliki hak-hak atas perlindungan, ganti rugi maupun pemulihan. Korban memiliki kedudukan yang lebih dari sekedar saksi dalam pemeriksaan sehingga perlindungan korban perlu diusahakan agar asas legalitas yang berorientasi pada pelaku diimbangi juga dengan melakukan perlindungan terhadap korban.”14

Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Oleh karena itu, masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principal of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh PBB, sebagai hasil dari The sevent United Nation

Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of Ofenders, yang berlangsung di Milan, Italia, September 1985.

Terdapat beberapa regulasi yang memberikan perhatian kepada hak-hak korban antara lain:

1. Pasal 98-101 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana Pasal-pasal tersebut memberikan ruang kepada korban untuk melakukan gugatan ganti kerugian yang bercorak perdata. Pengabungan gugatan perdata dalam suatu perkara pidana merupakan mekanisme yang dapat ditempuh oleh korban agar memperoleh

14Ketut Adi Wirawan, “Perlindungan Terhadap Korban Sebagai Penyeimbang Asas Legalitas”, Jurnal Advokasi, Vol. 5, No.2, September 2015, hlm. 171.

(10)

penggatian kerugian materiil maupun immateriil yang dideritanya akibat dari perbuatan pelaku.

2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tentang Perlindungan Saksi dan korban Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi:

“Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Selanjutnya Dalam Pasal 5 disebutkan tentang hak-hak yang diberikan kepada saksi dan korban. Korban yang mengalami kerugian akibat dari suatu tindak pidana memiliki hak mengajukan kompensasi, restitusi dan ganti rugi yang diajukan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasal 10 mengatur tentang beberapa hak korban KDRT antara lain :

a) Perlindungan dari paha keluarga, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Advokat, Lembaga Sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

b) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.

c) Penanganan secara khusus sesuai dengan kebutuhan korban.

d) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.

e) Pendampingan oleh pekerja sosial dan Bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan.

f) Pelayanan bimbingan rohani.

“Dalam perspektif viktimologi dipahami bahwa korban kejahatan adalah pihak yang merasakan langsung efek/akibat dari suatu kejahatan yang diperbuat oleh pelaku. Korban memerankan peranan yang sangat penting sebagai saksi yang memberikan keterangan dalam proses

(11)

pemeriksaan maupun sebagai pihak yang dirugikan dari suatu kejahatan, sehingga suatu perbuatan yang bermuatan pidana dapat terungkap dan pelaku dijatuhi hukuman. Sudah sepantasnya jika korban juga mendapatkan perhatian di mana hak-hak korban untuk mendapatkan ganti kerugian, rehabilitasi maupun pemulihan dilindungi dalam bentuk undang-undang.”15

Berangkat dari rangkaian penjelasan di atas melahirkan konklusi yang mana walaupun terdapat beberapa regulasi yang memberikan perhatian kepada hak-hak korban namun dapat dilihat bahwa hak tersebut tidak disediakan oleh negara secara langsung atau dengan lekas sejak korban diterima atau ditangani oleh pihak berwajib, melainkan pihak korban harus menagih negara terlebih dahulu agar haknya terpenuhi, sehingga jika pihak korban tidak mengurus administrasi yang disyaratkan oleh negara maka hak-hak itu tidak diberikan oleh negara. Ironis, negara yang seharusnya memberi perhatian secara komprehensif untuk korban yang sedang mengalami kesulitan dan menderita akan tetapi kondisi ini justru membuat korban semakin dirugikan. Terlebih lagi dalam kasus kekerasan seksual, yang mana perlu sekali mendapatkan perhatian secara khusus. Bisa dilihat dalam regulasi di atas yang tidak mengatur hak-hak korban kekerasan seksual secara khusus dan komprehensif. .

Hukum Indonesia harus segera keluar dari regulasi yang berperspektif pelaku, kental mengatur bagaimana pembalasan terhadap pelaku, sekarang sudah saatnya korban menjadi pemeran utama dalam regulasi hukum pidana Indonesia, korban harus mendapat spotlight istimewa dari negara dengan

15 Ketut Adi Wirawan, Op., Cit, hlm. 177.

(12)

mengatur hak-haknya secara komprehensif dan menjamin hak-haknya terpenuhi. Sorot khusus mengenai pembalasan atau hukuman terhadap pelaku yang selama ini tumbuh subur mengakibatkan negara lalai terhadap kebutuhan korban. Negara harus memberikan perlindungan terhadap Korban yang dilakukan sejak adanya proses pelaporan, penyidikan, pemeriksaan persidangan, putusan, hingga selesainya pelaksanaan putusan, termasuk dalam hal terpidana telah menjalani pidananya.

Atas itu semua, dibutuhkan hukum pidana khusus yang menjadi asas legalitas terhadap pemenuhan hak-hak korban. Negara harus segera melahirkan regulasi baru yang secara khusus mengatur tentang kekerasan seksual.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam latar belakang di atas, maka skripsi ini akan mengkaji tentang eksistensi perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam perspektif hukum pidana dan realita hukum tentang kekerasan seksual untuk menjawab pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam peraturan perundang-undangan Indonesia?

b. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam kebijakan hukum pidana di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian

(13)

1. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk memahami dan menganalisis pengaturan tentang kekerasan seksual dalam hukum yang berlaku di Indonesia.

b. Untuk memahami hal-hal krusial yang perlu diperhatikan dalam melahirkan rasa keadilan bagi korban kekerasan seksual.

c. Untuk mengetahui dan menganalisis sikap negara sebagai fasilitator utama dalam penegakan keadilan terhadap korban kekerasan seksual.

2. Manfaat penelitian

a) Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi mahasiswa ilmu hukum untuk dijadikan sebagai bahan referensi sehingga dapat menambah wawasan pembaca sehubungan dengan masalah perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam perspektif hukum pidana.

b) Bagi penulis khususnya maupun pembaca pada umumnya dapat mengetahui hasil penelitian berkenaan dengan masalah perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam perspektif hukum pidana yang sepatutnya merupakan suatu hal yang harus diperhatikan oleh semua orang terutama bagi pemerintah selaku yang berwenang dan berkewajiban dalam memenuhi hak-hak korban.

D. Kerangka Konseptual

(14)

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti dan di dalamnya di ungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan di gunakan sebagai dasar penelitian hukum.

1. Perlindungan Hukum

Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 16 Selanjutnya menurut Phillipus M.

Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif. Perlindungan Hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkandiskresi dan perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.17

2. Korban

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

16 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. 2, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 54.

17 Ibid., hlm. 69.

(15)

Korban tentang Perlindungan Saksi dan korban Pasal 1 ayat (3) definisi korban adalah:

“Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

3. Kekerasan Seksual

Berdasarkan deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Majelis Umum PBB pada tahun 1993 kekerasan seksual adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi dan menurut badan kesehatan dunia, World Health Organization atau WHO, kekerasan seksual dapat diartikan sebagai segala

perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, dan memiliki unsur paksaan atau ancaman.

4. Perspektif

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kata Perspektif adalah cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, dan tingginya), dan juga dapat diartikan sebagai suatu sudut pandangan.

(16)

5. Hukum Pidana

“Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan- keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang- undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu pepderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma- norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan vang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut”18 Dari uraian beberapa konsep di atas, maka pengertian judul skripsi yang penulis maksud adalah penelaahan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam perspektif hukum pidana Indonesia.

E. Landasan Teoritis 1. Perlindungan Hukum

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban konsep perlindungan hukum merupakan segala upaya pemenuhan hak

18 Lamintang dan Franciscus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Cet. 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm.2.

(17)

dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Dalam Pasal 5 disebutkan tentang hak- hak yang diberikan kepada saksi dan korban. Korban yang mengalami kerugian akibat dari suatu tindak pidana memiliki hak mengajukan kompensasi, restitusi dan ganti rugi yang diajukan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perlindungan hukum adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dalam pasal 1 angka 1 menjelaskan konsep perlindungan hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

(18)

“Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum, agar masing-masing subjek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar, hukum juga berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum, jika dikaitkan dengan keberadaan suatu negara, hukum dapat difungsikan sebagai pelindung warga negara dari tindakan pemerintah yang tiran dan absolut. Untuk melembagakan perlindungan hukum bagi warga negara, dibentuk lembaga peradilan umum yang melaksanakan fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan, serta sebagai tempat untuk mencari keadilan dan tempat mengajukan gugatan ganti kerugian bagi oknum pemerintah yang melanggar hukum, baik dalam tataran hukum publik maupun hukum privat, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedudukan pemerintah atau administrasi negara dalam hal ini, tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata yang sejajar sehingga pemerintah dapat menjadi tergugat maupun penggugat, dalam konteks inilah kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu unsur negara hukum terimplementasikan.”19

2. Kebijakan Hukum Pidana

Menurut Barda Nawawi Arief bahwa, dilihat dari sudut pendekatan kebijakan, maka pembaharuan hukum pidana memiliki makna : a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial (bagian dari upaya untuk

mengatasi masalah sosial, dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional);

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal (bagian dari upaya perlindungan masyarakat, khususnya upaya penanggulangan kejahatan);

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.20

Usaha penanggulangan dengan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum pidana. Sering dikatakan

19 Bahder Johan Nasution, Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Cet. 5, Mandar Maju, Bandung, 2018, hlm 258.

20 Dian Rahadian dan Nyoman Serikat Putra Jaya, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Politik” LAW REFORM, vol. 9, No. 2, 2014. hlm. 139.

(19)

bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).21 Proses legislasi/formulasi/ pembuatan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan proses penegakan hukum “in abstracto”. Proses legislasi/formulasi ini merupakan tahap awal yang sangat strategis dari proses penegakan hukum”in concreto”.22 Oleh karena itu kesalahan/kelemahan pada tahap kebijakan legislasi/formulasi merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya penegakan hukum “in concreto”23 Istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.

Menurut A. Mulder, ”Sttrafrechspolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan:

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui.

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

“Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana (penal policy) bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan bersifat sistematik dogmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, dan komparatif; bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif”24

21 Ridwan, “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi” Kanun: Jurnal Ilmu Hukum ,Vol 15, No 2, 2013, hlm. 80.

22 Ibid, hlm. 81.

23 Dian Rahadian dan Nyoman Serikat Putra Jaya, Op., Cit, hlm. 140.

24 Ibid., hlm. 143.

(20)

“Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal. Sudarto menguraikan bahwa melaksanakan ‚politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.”25

3. Konsep Kejahatan

Kejahatan dalam perspektif hukum dapat dipahami sebagai tindak pidana/ tindakan kriminal. Tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan.26

Kejahatan menurut hukum pidana adalah setiap tindakan yang dilakukan melanggar rumusan kaidah hukum pidana, dalam arti memenuhi unsur-unsur delik, sehingga perbuatan tersebut dapat dihukum. Perbuatan yang dilarang dan diancam pidana barang siapa melanggar larangan tersebut.

Peristiwa pidana sama dengan konsep kejahatan dalam arti yuridis yang diartikan sebagai sebuah peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman.27

Kejahatan dalam konsep yuridis juga berarti tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Sejalan dengan pengertian tersebut

25 Maroni, Pengantar Politik Hukum Pidana, Cet. 1, CV. Anugrah Utama Raharja, Lampung, 2016, hlm. 3.

26 Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013, hlm.155.

27 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Gadjahmada University Pers, Jogjakarta, hlm. 46.

(21)

Wirjono Prodjodikoro mengatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana.28

Menurut Gerson W. Bawengan, ada tiga pengertian kejahatan menurut penggunanya masing-masing yaitu:

1. Pengertian secara praktis

Kejahatan dalam pengertian ini adalah suatu pengertian yang merupakan pelanggaran atas norma-norma keagamaan, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat-istiadat yang mendapat reaksi baik berupa hukuman maupun pengecualian.

2. Pengertian secara religius

Kejahatan dalam arti religius ini mengidentikkan arti kejahatan dengan dosa, dan setiap dosa terancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa.

3. Pengertian secara yuridis

Kejahatan dalam arti yuridis di sini, maka kita dapat melihat misalnya di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal dari Buku Kedua, itulah yang disebut kejahatan. Selain KUHP, kita dapat pula menjumpai hukum pidana khusus, hukum pidana militer, fiskal, ekonomi atau pada ketentuan lain yang menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan.”29

Konsep kejahatan dan siapa yang menjadi korban kejahatan adalah pangkal tolak untuk menjelaskan bagaimana posisi hukum korban. Ada 2 (dua) konsep kejahatan, Pertama, kejahatan dipahami sebagai pelanggaran terhadap negara atau kepentingan publik yang dipresentasikan oleh instrumen demokratik negara. Kedua, kejahatan dipahami sebagai pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat, negara dan esensinya juga melanggar kepentingan pelakunya sendiri. Dari beberapa pengertian di atas, dapat diketahui bahwa

28 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 59.

29 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op., Cit, hlm. 27.

(22)

kejahatan dalam arti yuridis adalah kejahatan yang diatur oleh undang-undang.

Atau dengan kata lain setiap perbuatan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai kejahatan.

Sahetapy mempunyai pandangan bahwa kejahatan mengandung Konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penanaman yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan Perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif) yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.”30

“Paul Moedidkno merumuskan perilaku kejahatan yang anti sosial ini dengan kata-kata yang merugikan, menjengkelkan dan tidak dapat dibiarkan berlangsung. Sebab, apabila berlangsung akan mengakibatkan masyarakat menderita sesuatu yang tidak diinginkan. Maka dilihat dari sudut ini jelaslah bahwa rumusan-rumusan kriminologi dalam memberi arti terhadap perilaku tertentu yang anti sosial, sebenarnya akan sangat bermanfaat bagi badan pembuat undang-undang dalam upayanya tidak saja merumuskan undang-undang pidana baru, juga dalam hal penyempurnaan dan pembaharuan undang-undang pidana, ke arah terbentuknya undang-undang pidana yang terwarnai oleh penelitian kriminologis, sehingga dengan demikian dapat dihindarkan deskrepansi antara undang-undang pidana dan citra masyarakat yang gandrung akan tertanggulanginya perbuatan anti sosial.”31

“Kejahatan adalah hasil interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan yang saling mempengaruhi. Kejahatan yang dimaksud adalah kejahatan dalam arti luas. Artinya tidak saja kejahatan yang dirumuskan dalam undang- undang hukum pidana saja melainkan juga tindakan-tindakan yang menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap jahat. Tidakatau belum dirumuskan dalam undang-undang dikarenakan situasi dan kondisi tertentu.”32

30 Rena Yulia, Op., Cit, hlm 87.

31 Ibid,

32 Ibid., hlm. 74.

(23)

F. Metode Penelitian

Metodologi merupakan ilmu yang mengkaji mengenai konsep teoritik dari berbagai metode, prosedur atau cara kerjanya, maupun mengenai konsep- konsep yang digunakan berikut keunggulan dan kelemahan dari suatu metode penelitian.33

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian hukum normatif, yang mana penelitian ini memiliki karakteristik yang bahan utamanya adalah bahan hukum yang bersifat normatif. Penelitian hukum normatif meliputi pengkajian mengenai: 34

a. Asas-asas hukum b. Sistematik hukum c. Perbandingan hukum d. Sejarah hukum 2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini antara lain:35

33 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Cet. 2, Mandar Maju, Bandung, 2016, hlm. 3.

34 Ibid, hlm. 86.

35 Ibid.

(24)

(a) pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan sebagian ilmuwan hukum menyebutnya dengan pendekatan yurudis, yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum.

(b) Pendekatan Konseptual (Conceptual Appoach)

Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi.36 3. Pengumpulan Bahan Hukum

Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yang dilakukan dengan mengkaji serta menganalisa bahan-bahan hukum.

4. Analisis Bahan Hukum

Analisis dilakukan dengan cara memberikan gambaran realita mengenai peraturan perundang-undangan tentang perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam perspektif hukum pidana, penelitian yang dilakukan secara normatif sehingga penulis mengumpulkan data dengan menganalisa dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

G. Sistematika Penulisan

36 Bachtiar, Metode Penelitian Hukum, dalam Peter Mahmud Marzuki ed., Penelitian Hukum, Cet. 1, UNPAM PRESS, Pamulang, 2018, hlm. 84.

(25)

Dalam skripsi ini terdapat empat bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini penuis menggambarkan secara garis besar materi penulisan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat penulisan, Kerangka Konseptual, Landasan Teoritis, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM

Pada bab ini merupakan Tinjauan tentang tindak pidana dan perlindungan korban kekerasan seksual.

BAB III PEMBAHASAN

Bab ini memuat penjelasan mengenai pembahasan yang sesuai dengan perumusan masalah yaitu mengenai perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam perspektif hukum pidana.

BAB IV PENUTUP

Bab ini bab merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan beserta saran dari rangkaian tulisan yang telah dimuat dalam bab sebelumnya.

(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, KORBAN DAN KEKERASAN SEKSUAL.

A. Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum merupakan perkembangan dari konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) yang berkembang pada abad ke 19.37 Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah upaya untuk mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat supaya tidak terjadi tubrukan antar kepentingan dan dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.38

Adapun arah dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap HAM adalah adanya pembatasan dan peletakan kewajiban kepada masyarakat dan pemerintah.39 Pengorganisasian dilakukan dengan cara membatasi suatu kepentingan tertentu dan memberikan kekuasaan pada yang lain secara terukur.

37 Luthvi Febryka Nola, “Upaya Perlindungan Hukum Secara Terpadu Bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI)”, Jurnal NEGARA HUKUM, Vol 7, No 1, 2016, hlm. 40.

38 Satjipto Rahardjo, Loc., Cit.

39 Ibid.,

(27)

Teori ini ini terinspirasi oleh pendapat Fitzgerald tentang tujuan hukum, yaitu untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat dengan cara mengatur perlindungan dan pembatasan terhadap berbagai kepentingan tersebut.

Menurut CST Kansil menyebut bahwa perlindungan hukum dikatakan sebagai upaya hukum yang diberikan penegak hukum dalam hal memberikan rasa aman baik secara fisik dan psikis kepada masyarakat.40 Selanjutnya Perlindungan hukum juga dapat dipahami bahwa suatu perlindungan yang dapat diberikan kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis.41 Philipus M. Hadjon juga menambahkan bahwa perlindungan hukum merupakan kumpulan peraturan atau kaidah yang dapat melindungi hal-hal lainnya.42

“Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota- anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.”43

Pemahaman konsep perlindungan hukum, apabila dikaitkan dengan perlindungan korban kekerasan seksual , maka dalam ruang lingkup yuridis,

40 Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, “Aspek Yuridis Perlindungan Hukum dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas”, Volume 13. Number 1. June 2018, hlm. 54.

41 Ibid, hlm. 53.

42 Ibid, hlm 54.

43 Ibid, hlm. 55.

(28)

objek kajiannya adalah berbagai ketentuan hukum yang berlaku terutama berkaitan dengan perlindungan korban kekerasan seksual dan pemenuhan hak hak mereka. Dengan demikian perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual yang bersifat yuridis ini menyangkut semua aturan hukum yang mempunyai dampak langsung bagi keberlangsungan hidup dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual baik selama proses peradilan maupun pasca peradilan selesai.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban konsep perlindungan hukum merupakan segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Dalam Pasal 5 disebutkan tentang hak- hak yang diberikan kepada saksi dan korban. Korban yang mengalami kerugian akibat dari suatu tindak pidana memiliki hak mengajukan kompensasi, restitusi dan ganti rugi yang diajukan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perlindungan hukum adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan,

(29)

pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dalam pasal 1 angka 1 menjelaskan konsep perlindungan hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Bentuk-bentuk perlindungan dimuat dalam pasal 4 yang meliputi perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental, perahasiaan identitas korban atau saksi, pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

B. Korban

1. Pengertian Korban

Pengertian korban dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tentang Perlindungan Saksi dan korban Pasal 1 ayat (3) definisi korban adalah:

“Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

(30)

Menurut Arif Gosita yang dimaksud dengan korban adalah:

“Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.”44

Korban juga didefinisikan oleh Van Boven yang merujuk kepada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan sebagai berikut:

“Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omiaion).”45

Pengertian korban menurut beberapa peraturan hukum yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 ayat (3) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

44 Rena Yulia, Op. cit., hlm.45.

45 Anggun Malinda, Perempuan Dalam Sistem Peradilan Pidana, dalam Theo Van Hoven ed., Mereka yang Menjadi Korban, Garudhawaca, Yogyakarta, 2016, hlm. 64.

(31)

2. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

3. Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

“Stanciu menjelaskan korban dalam arti luas adalah orang yang menderita dari ketidakadilan, dan ada 2 (dua) sifat yang mendasar (melekat) dari korban tersebut, yaitu suffering (penderitaan) dan injustice (ketidakadilan). Dalam kasus kejahatan konsep tentang korban seharusnya tidak saja dipandang dalam pengertian yuridis, sebab masyarakat sebenarnya selain dapat menciptakan penjahat, juga dapat menciptakan korban. Seorang korban ditempatkan pada posisi sebagai akibat kejahatan yang dilakukan terhadapnya baik dilakukan secara individu, kelompok ataupun negara.”46

2. Jenis-jenis Korban

“Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu:

1. Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/ menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.

2. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.

3. Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.

4. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.

5. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.”47

46 Novita Eleanora, ”Korban Kejahatan dan Keadilan Restoratif di Indonesia”, ADIL:

Jurnal Hukum, Vol 4, No 2, 2013, hlm. 359.

47 Rena Yulia, Op., Cit, hlm. 53.

(32)

Apabila ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka sebagaimana dikutip oleh Stephen Schafer mengemukakan tipologi korban itu menjadi tujuh bentuk, yaitu:

1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.

2. Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranankorban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspektanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.

3. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggung jawaban sepenuhnya ada pada pelaku.

4. Biologically weak victims adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan.Ditinjau dari aspek pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya.

5. Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.

6. Self victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korbansemu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan.

7. Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.48

Menurut Mendelsohn, berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi lima macam, yaitu:

1. Yang sama sekali tidak bersalah;

2. Yang jadi korban karena kelalaiannya;

3. Yang sama salahnya dengan pelaku;

4. Yang lebih bersalah daripada pelaku;

48 Ibid.,

(33)

5. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan).49

C. Kekerasan Seksual.

1. Pengertian Kekerasan Seksual

Istilah atau definisi kekerasan seksual di Indonesia rentan dikaitkan dengan perkosaan dan perbuatan cabul. Kekerasan seksual adalah perbuatan yang dapat dikategorikan hubungan dan tingkah laku seksual yang tidak wajar, sehingga menimbulkan kerugian dan akibat yang serius bagi para korban.50

Dari perspektif yuridis, yang merujuk pada ketentuan KUHP tidak ditemukan definisi secara jelas mengenai kejahatan kekerasan, akan tetapi hanya disebutkan dalam Pasal 89 :membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dari rumusan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang berakibat pingsan dan tidak berdaya. Dengan berkembangnya jaman, pemahaman kekerasan dapat dilakukan dengan ancaman (psikologis) dan tindakan nyata (fisik).51

WHO mendefinisikan bahwa komentar berbau seksual yang tidak diinginkan seseorang, termasuk pula dalam kekerasan seksual. Dengan kata lain, kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik tapi juga verbal dan mental. Kekerasan fisik, verbal, dan mental tidak dapat dipisahkan dari kekerasan seksual karena sering kali mendahului terjadinya kekerasan seksual.

Kekerasan seksual ini dapat menimpa baik jenis kelamin perempuan maupun laki-laki.

Akan tetapi sering kali dialami oleh perempuan. PBB dalam Deklarasi Anti Kekerasan terhadap

49 Ibid., hlm. 52.

50 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op., Cit, hlm. 32.

51 Ni Made Dwi Kristian, “Kejahatan Kekerasan Seksual (Perkosaan) Ditinjau dari Perspektif Kriminologi”, Vol.7 No.3 2014, hlm. 375.

(34)

Perempuan mendefinisikan kekerasan seksual adalah segala bentuk kekerasan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan; termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi.

“Suatu tindakan dikategorikan sebagai kekerasan seksual apabila memiliki ciri-ciri:

(1) baik tindakan fisik maupun non fisik (psikis);

(2) bersifat aktif maupun dengan cara pasif (tidak berubah);

(3) dikehendaki/diniatkan oleh pelaku;

(4) ada akibat/kemungkinan akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikehendaki oleh korban.”52

Berdasarkan pengalaman kekerasan seksual perempuan serta dalam rangka mendorong tercapainya keadilan untuk korban, Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan dan Anak (Komnas Perempuan) merumuskan definisi yang lebih terinci terkait kekerasan seksual. Komnas Perempuan memaknai kekerasan seksual sebagai:

- Pelanggaran hak asasi manusia yang berakar pada diskriminasi berbasis gender;

- Tindakan seksual, atau percobaan untuk mendapatkan tindakan seksual, atau ucapan yang menyasar seksual, atau tindakan untuk memperdagangkan atau tindakan yang menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi, ancaman, penahanan,

52 Rina Astuti, “Hubungan Kesadaran Akan Kerentanan Diri dan Mekanisme Coping pada Perempuan Pekerja Malam di Tempat Hibiran Karaoke Wilayah Jakarta Barat”, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 7 No. II Oktober 2011, hlm. 194.

(35)

tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, atau atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya;

- Tindakan yang bersifat seksual itu tidak terbatas pada serangan fisik kepada tubuh seseorang dan dapat termasuk tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penetrasi ataupun kontak fisik.

Kekerasan diartikan sebagai suatu keadaan (struktural) atau perlakuan (non struktural/langsung) yang mengakibatkan seseorang pada kondisi jasmani dan mental di bawah realitas aktualnya sehingga dirinya memperoleh kerugian.

53

Paksaan atau coercion sebagaimana dimaksud dalam definisi kekerasan seksual menurut WHO termasuk kekerasan fisik ataupun psikis seperti ancaman psikologis, dipecat dari pekerjaan, atau ancaman kekerasan fisik. Perluasan penjelasan terkait paksaan ini intinya memiliki akibat yang sama yaitu keterpaksaan seseorang melakukan sesuatu. Selain paksaan terdapat pula intimidasi yang mendahului terjadinya kekerasan seksual. Intimidasi dianggap seperti janji yang mengakibatkan kerugian atau luka pada korban/calon korban ketika wilayah privat dan rasa amannya diganggu. WHO juga menambahkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi ketika seseorang korban tidak dapat memberikan konsen sepenuhnya misalnya dalam keadaan mabuk, tidur, atau keterbatasan mental.54

2. Kekerasan Terhadap Perempuan

“Kekerasan terhadap perempuan ialah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan, atau perampasan

53 Munti, Ratna Batara et al., Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Peradilan Pidana:

Analisis Konsistensi Putusan, dalam Lidwina Inge Nurtjahyo De., Perempuan dan Anak Korban Kejahatan Seksual, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2016, hlm 13.

54 Ibid.,

(36)

kebebasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam ruang privat.”55

Perempuan sering menjadi korban kekerasan karena seksualitasnya sebagai perempuan, banyak hasil penelitian dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari yang menunjukkan bagaimana lemahnya posisi perempuan ketika mengalami kekerasan terhadap dirinya. 56

Berdasarkan deklarasi PBB, Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 1993 Pasal 1 kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi.

Berdasarkan pasal 2 Deklarasi Internasional mengenai Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 1993, disebutkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada, yang berikut ini :

a. kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, pelecehan seksual terhadap anak perempuan dalam rumah

55 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kekerasan Seksual, http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2013/12/Kekerasan-Seksual-Kenali-dan-Tangani.pdf, diakses 10 Januari 2021.

56 Siti Nurhikmah, Sofyan Nur, “Kekerasan Dalam Pernikahan Siri: Kekerasan dalam Rumah Tangga? (Antara Yurisprudensi dan Keyakinan Hakim)”, PAMPAS: Journal Of Criminal Law Volume 1, Nomor 1, 2020, hlm. 56.

(37)

tangga, kekerasan yang berkaitan dengan mahar, perkosaan dalam perkawinan, mutilasi alat kelamin perempuan dan kebiasaan-kebiasaan tradisional lain yang merugikan bagi perempuan, kekerasan yang bukan oleh pasangan hidup dan kekerasan yang berkaitan dengan eksploitasi;

b. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat umum, termasuk perkosaan, penyiksaan seksual, pelecehan seksual dan intimidasi di tempat kerja, dalam lembaga pendidikan dan di tempat lain, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa;

c. kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang dilakukan atau diampuni oleh negara, kapan saja hal itu terjadi.

3. Korban Kejahatan Kekerasan Seksual

Menurut I.S. Susanto korban dibagi dalam 2 (dua) pengertian, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Korban dalam arti sempit adalah korban kejahatan, sedangkan dalam arti luas meliputi pula korban dalam berbagai bidang seperti korban pencemaran, korban kesewenang-wenangan dan lain sebagainya.

Menurut Boy Mardjono Reksodiputro, ada 4 (empat) pengertian korban yaitu:

1) Korban kejahatan konvensional seperti pembunuhan, perkosaan, penganiayaan, pencurian.

2) Korban kejahatan non konvensional seperti terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika secara tidak sah, kejahatan terorganisasi dan kejahatan melalui computer.

3) Korban penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal abuses of economic power) seperti pelanggaran terhadap peraturan perburuhan, penipuan konsumen, pelanggaran terhadap

(38)

peraturan lingkungan, penyelewengan di bidang pemasaran dan perdagangan oleh perusahaan-perusahaan trans- nasional, pelanggaran peraturan devisa, pelanggaran peraturan pajak dan lain sebagainya.

4) Korban penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum (illegal abuses of public power) seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh alat penguasa, termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar hukum dan lain sebagainya.57

Viktimologi mencoba memberi pemahaman serta mencerahkan permasalahan kejahatan dengan mempelajari para korban kejahatan, proses viktimisasi dan akibatnya dalam menciptakan kebijaksanaan dan tindakan pencegahan dan menekan kejahatan secara lebih bertanggung jawab.58

“Nurtjahyo mengidentifikasi empat kondisi yang memperberat kondisi korban kekerasan seksual. Pertama, korban sering kali dituntut menghadirkan saksi untuk menguatkan keterangan/kesaksian atas kekerasan seksual yang dialaminya. Kedua, korban diminta membuktikan adanya perlawanan fisik sebagai bukti keterpaksaan.

Ketiga, jenis kekerasan seksual yang diatur oleh hukum terbatas. Keempat, adanya perspektif di kalangan aparat penegak hukum bahwa kekerasan seksual terjadi karena kerelaan (suka sama suka). 59

Kejahatan kekerasan merupakan salah satu bentuk kejahatan dalam masyarakat yang perkembangannya semakin beragam baik motif, sifat, bentuk, intensitas maupun modus operandinya. Sebagai suatu kenyataan sosial masalah kriminalitas ini tidak dapat dihindari dan memang selalu ada, sehingga menimbulkan keresahan karena kriminalitas dianggap sebagai suatu gangguan terhadap kesejahteraan masyarakat serta lingkungannya.

57 Ni Putu Rai Yuliartini, “Kedudukan Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)” Jurnal Komunikasi Hukum, Volume 1, Nomor 1, Februari 2015, hlm. 85.

58 Rena Yulia, Op., Cit,

59 Munti, Ratna Batara et al., Op., Cit, hlm. 17.

(39)

Hukum Indonesia khususnya hukum pidana tidak mengenal istilah kekerasan (kejahatan) seksual atau kekerasan terhadap perempuan. Istilah dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah Kejahatan terhadap Kesusilaan yang melingkupi beberapa bentuk kekerasan seksual seperti perkosaan, perbuatan cabul, dan prostitusi.60 Penggunaan istilah kesusilaan ini dinilai “mengaburkan persoalan mendasar dari kejahatan seksual”.61 Kesusilaan sering kali dipandang sebagai suatu norma yang berdasar pada hal patut sesuai moral masyarakat. Norma tersebut cenderung lebih menggambarkan laki-laki selaku kelompok dominan. Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan karena melanggar “otonomi, integritas tubuh, dan personhood” seseorang.62 Sehingga diperlukan perlindungan hukum sebagai payung hukum bagi para saksi dan korban di masa mendatang.63

“Kekerasan sendiri merupakan salah satu bentuk dari kejahatan.

Menurut Johan Galtung, kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan seseorang atau lebih yang menimbulkan luka, baik secara fisik maupun non fisik terhadap orang lain, dan lebih jauh merupakan suatu tindakan yang menyebabkan seseorang tidak dapat mengaktualisasikan dirinya, disebabkan oleh bentuk-bentuk opresi dan penindasan yang ditujukan kepadanya.”64

60 Ibid., hlm. 18.

61 Ibid., hlm 19.

62 Ibid., hlm. 21

63 Habibi Rahman, dkk, “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Mahkota dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana”, PAMPAS: Journal Of Criminal, Volume 1 Nomor 3, 2020, hlm. 126.

64 Dyah Prita Wardani dan Yossy Setyanawati, “Tinjauan Viktimologi dan Perlindungan Hukum Korban Kekerasan dalam Pacaran”, Jurnal. Serambi Hukum Vo. 12 No. 02, Januari 2015 hlm.

63.

(40)

Kekerasan psikologis/ emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.65

“Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual yang merupakan salah satu bentuk kejahatan kekerasan, bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong di bawah umur (anak- anak). Kejahatan kekerasan seksual ini juga tidak hanya berlangsung di lingkungan perusahaan, perkantoran, atau di tempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi, namun juga dapat terjadi di lingkungan keluarga.”66

65 Andi Najemi, Pahlefi, “IbM Kelompok Pkk Desa Pematang Pulai dan Kel. Sengeti Tentang Hukum Gender Tentang Mengantisipasi KDRT," Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat, Vol. 30 No. 1, 2015, hlm. 51.

66 Ni Made Dwi Kristian, Op., Cit, hlm. 372.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe co-op co-op dapat meningkatkan

Bank… memiliki kantor cabang dengan lokasi yang mudah dijangkau. 3.797 Bank… menyediakan buku tabungan yang

menerima , kata nerima pada kalimat tersebut adalah kata tidak baku, namun dalam kaidah nonformal kata tersebut disyahkan, tapi karena di dalam penelitian ini

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dalam rubrik “Problematika” pada majalah Kartini, edisi bulan Januari sampai dengan Juli 2013, diperoleh hasil penelitian

Sebuah piston bebas gesekan digunakan untuk memberikan tekanan konstan sebesar 400 kPa di dalam sebuah silinder berisi uap yang awalnya berada pada 200 ℃ dngan.. volume 2

Selain itu, penelitian yang dilaksanakan oleh Sukerti (2013) tentang penggunaan media gambar beseri pada pembelajaran Bahasa Indonesia yaitu keterampilan menulis narasi

khususnya pelajaran matematika. Demikian juga halnya dengan penelitian yang ada, belum banyak penelitian yang membahas mengenai penerapan strategi pembelajaran

Perubahan data adalah perubahan data Wajib Pajak dan/atau PKP yang dapat berupa perubahan nama tanpa perubahan bentuk badan, pembetulan NPWP, perubahan alamat dalam wilayah