• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Korban dalam Declaration of Basic Principles of Justice

1.2. Hasil Penelitian

1.2.3. Perlindungan Korban dalam Declaration of Basic Principles of Justice

for Victims of Crime and Abuse of Power

Kejahatan menimbulkan kerugian fisik, finansial dan emosional yang sangat besar bagi para korbannya. Pada tanggal 29 November 1985, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (Lampiran Resolusi Majelis Umum 40/34) berdasarkan keyakinan bahwa para korban harus diperlakukan dengan belas kasih dan menghormati martabat mereka dan bahwa mereka berhak untuk segera mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang mereka derita, melalui akses kepada sistem peradilan pidana, perbaikan dan layanan untuk membantu pemulihan mereka. Deklarasi tersebut merekomendasikan tindakan yang harus diambil atas nama korban kejahatan di tingkat internasional, regional dan nasional

68 untuk meningkatkan akses terhadap keadilan dan perlakuan yang adil, restitusi, kompensasi dan bantuan. Pengalaman banyak negara di dunia telah menunjukkan bahwa salah satu cara efektif untuk menangani banyak kebutuhan korban kejahatan adalah dengan membangun program yang memberikan dukungan sosial, psikologis, emosional dan keuangan, dan secara efektif membantu korban dalam lembaga peradilan pidana dan sosial. 81

Pada Lampiran Chapter II Victims bagian Victims of Crime, deklarasi tersebut membahas beberapa hal berkaitan dengan perlindungan korban sebagai berikut:82

1) Victims of crime (Korban kejahatan):

a. Access to justice and fair treatment (Akses utnuk mendapatkan keadilan dan perlakuan adil);

b. Restitution (Restitusi);

c. Compensation (Kompensasi); dan d. Assistance (Bantuan).

2) Victims of abuse of power (Korban penyalahgunaan kekuasaan).

Pada bagian Access to justice and fair treatment dalam deklarasi, perlindungan korban yang diberikan yaitu berkaitan dengan perlakuan yang didapatkan oleh korban. Pada tabel sebelumnya dijelaskan bahwa sikap aparat penegak hukum yang responsif dan kemudahan akses baik secara informasi maupun proses merupakan hak korban yang harus dipenuhi. Tidak hanya itu, hak korban untuk lebih didengar atau terlibat dalam proses peradilan lebih ditekankan dan di sisi lain juga menjamin bahwa korban mendapatkan bantuan hukum serta yang tidak kalah penting yaitu memastikan bahwa korban mengetahui

81 Diterjemahkan secara bebas dari: United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention,

Handbook on Justice for Victims: On the use and application of the Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, United States Department of Justice, New York, 1999,

h. iv.

69 haknya. Dapat dikatakan bahwa tidak hanya dalam tataran mengatur hak-hak korban berkaitan dengan haknya menempuh mekanisme peradilan dan perlakuan yang sama, tetapi terdapat langkah selanjutnya yang tidak kalah penting yaitu memastikan bahwa hak-hak tersebut diketahui oleh korban dan memastikan korban dapat menggunakan haknya untuk mendapatkan keadilan.

Berkaitan dengan restitution deklarasi tersebut, dalam Handbook on Justice for Victims: On the use and application of the Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power atau petunjuk pelaksana deklarasi tersebut, restitusi harus digunakan sebagai cara untuk menanggulangi beberapa kerugian yang terjadi pada korban dan untuk memberikan cara yang konstruktif secara sosial bagi pelaku untuk dimintai pertanggungjawaban, dan di sisi lain sambil menawarkan kemungkinan rehabilitasi seluas-luasnya.83 Bahwa restitusi tidak hanya dipandang sebagai mekanisme untuk mengganti kerugian korban melainkan juga digunakan sebagai jalan untuk memperbaiki hubungan korban dengan pelaku dalam konstruksi sosial di mana pelaku diberikan kesempatan untuk mempertanggungjawabkan kejahatannya secara langsung yang diharapkan dapat membuat korban membuka jalan rehabilitasi bagi pelaku. Dengan kata lain, kemungkinan akan mekanisme restitusi harus disediakan pada setiap peristiwa pidana.

Kompensasi korban kejahatan merupakan salah satu pilar pendampingan korban. Bagi banyak korban di seluruh dunia, ini berfungsi sebagai alat utama bantuan keuangan akibat tindak pidana. Ada satu perbedaan penting antara restitusi dan kompensasi sebagai dua sumber bantuan keuangan bagi korban

70 kejahatan yaitu: kompensasi tidak memerlukan pemahaman dan keyakinan pelaku untuk memberikan bantuan keuangan kepada korban. Meskipun dampak fisik dan psikologis dari kejahatan mungkin merupakan akibat kejahatan yang paling nyata dan serius, dampak keuangannya juga dapat berbahaya bagi korban.84 Dalam deklarasi tersebut dikatakan bahwa kompensasi berkaitan dengan kewajiban negara sebagaimana tertulis pada tabel sebelumnya. Terlihat bahwa deklarasi tersebut ingin menyatakan bahwa kompensasi merupakan salah satu bentuk kewajiban negara yang diusuahakan semaksimal mungkin untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya terutama bagi korban tindak pidana berat dan keluarganya yang terdampak.

Langkah pertama untuk memberikan bantuan kepada korban yaitu pemerintah dan/atau lembaga masyarakat harus membuat program layanan korban yang tepat, yang didedikasikan untuk memberikan layanan kepada korban dan membantu mereka mengatasi efek traumatis dari suatu tindak pidana dan akibatnya. Bantuan yang dimaksud dalam deklarasi tidak berbeda jauh dengan bantuan yang sudah kita kenal selama ini. Akan tetapi, assistance dalam deklarasi tersebut lebih menekankan pada bagaimana pemberian bantuan itu dilakukan. Artinya bahwa pemberian bantuan terhadap korban harus dibekali dengan program yang tepat dan jelas agar dapat diakses oleh korban serta harus didukung dengan kepekaan aparat penegak hukum untuk mengedapankan hak-hak yang harus dipenuhi bagi korban.

Perlindungan korban penyalahgunaan kekuasaan juga menjadi bagian penting dalam deklarasi ini. Hal ini berkaitan dengan “secondary victimization

71 from the criminal justice system and society” di mana korban yang mengalami kerugian kembali dikorbankan dalam proses peradilan bahkan saat kemabali ke masyarakat. Secondary victimization mengacu pada viktimisasi yang terjadi bukan sebagai akibat langsung dari tindak pidana tetapi melalui tanggapan lembaga dan individu kepada korban.85 Secondary victimization yang berasal dari institusi paling terlihat dalam sistem peradilan pidana. Secara sederhana, seluruh proses investigasi kriminal dan persidangan dapat menyebabkan secondary victimization, mulai dari penyidikan, melalui keputusan apakah akan menuntut atau tidak, persidangan itu sendiri dan pemidanaan pelaku, hingga pembebasannya pada akhirnya. Secondary victimization melalui proses peradilan pidana dapat terjadi karena kesulitan dalam menyeimbangkan hak-hak korban dengan hak-hak terdakwa atau pelaku. Lazimnya, ini terjadi karena mereka yang bertanggung jawab untuk menjalankan proses dan prosedur peradilan pidana melakukannya tanpa mempertimbangkan perspektif korban.86

Sikap individu terhadap korban juga merupakan hal yang penting. Beberapa orang yang berhubungan dengan korban (misalnya keluarga, teman, dan kolega) mungkin ingin menjauhkan diri dari dampak kejahatan dengan menyalahkan korban atas apa yang telah terjadi. Mereka mungkin memandang perilaku korban sebagai penyebab, atau bahkan menyebabkan, timbulnya korban. Mereka mungkin menyangkal dampak kejahatan terhadap korban dengan mendesaknya untuk melupakan kejahatan tersebut dan melanjutkan hidupnya. Keluarga bisa menjadi pengaruh yang sangat kuat dalam hal ini.87 Para korban penyalahgunaan

85 Ibid., h. 9.

86 Ibid.

72 kekuasaan mengalami kesulitan khusus untuk mendapatkan pengakuan atas fakta bahwa mereka telah menjadi korban. Inti dari penyalahgunaan kekuasaan adalah bahwa hal itu dilakukan oleh mereka yang diharapkan dapat melindungi korban tersebut.88

1.3. Analisis

1.3.1. Perubahan Politik Hukum Pidana Indonesia dalam Perlindungan