• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

1.1. Kerangka Teori

1.1.1. Politik Hukum Pidana

Perkembangan kebutuhan akan hukum di tengah masyarakat merupakan keniscayaan. Termasuk di dalamnya kebutuhan akan pembaruan hukum pidana. Masyarakat yang dinamis menuntut pembentuk peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana untuk selalu melakukan penginterpretasian hukum yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat tersebut. Peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana yang tidak didasarkan atas kebutuhan hukum masyarakat pada akhirnya hanya akan sekedar menjadi produk politik semata dan kehilangan citranya sebagai hukum. Adanya permasalahan yang ingin ditangani dan/atau tujuan tertentu dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana dapat ditelaah melalui studi tentang politik hukum yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Untuk itu diperlukan suatu tinjauan terhadap politik hukum itu sendiri sebelum masuk pada tinjauan politik hukum pidana.

Secara etimologis, istilah politik hukum berasal dari terjemahan Belanda

rechpolitiek yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan politiek.1 Recht

yang diterjemahkan sebagai hukum menurut hemat penulis berdasarkan perkuliahan-perkuliahan atau pendidikan hukum yang telah dilalui merupakan norma yang berisi aturan-aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis tentang

(2)

14 sesuatu yang ideal atau yang seharusnya dalam rangka penataan suatu masyarakat untuk mencapai keadilan dan damai sejahtera. Studi tentang pengertian hukum itu sendiri dirasa penulis tidak akan dibahas lebih lanjut dalam cakupan penelitian ini dikarenakan penulis akan lebih memfokuskan secara langsung pada studi tentang politik hukum. Politik (politiek) itu sendiri bersumber dari bahasa Yunani politika yang diartikan sebagai yang berhubungan dengan negara.2 Sudarto memaknai istilah politik dipakai dalam berbagai arti, seperti:

1. Perkataan politiek dalam bahasa Belanda yang berarti sesuatu yang berhubungan dengan negara;

2. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan negara.

Soedarto juga melakukan penegasan dalam pemaknaan politik sebagai kebijakan yang merupakan persamaan kata dari policy.3 Mahfud dalam penjelasannya

tentang hubungan antara politik dan hukum menyatakan bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh).4 Penulis memaknai hukum merupakan produk politik yang demikian tidak dalam tataran hukum yang abstrak melainkan mengamini hal tersebut dalam tataran penginterpretasian hukum ke dalam bentuk yang konkret.

Mahfud memaknai politik hukum sebagai kebijaksanaan (legal policy) yang dilaksanakan pemerintah secara nasional.5 Politik hukum diartikan beliau sebagai arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan

2 Ahmad Muliadi, Politik Hukum, Akademia Permata, Padang, 2013, h. 1.

3 Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap Pembaruan Hukum Pidana,

Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 16, dikutip dari Teguh Prasestyo dan Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit., h. 11.

4 Mahfud, Politik Hukum Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, h. 1-2, dikutip dari Teguh Prasestyo dan

Abdul Halim Barkatulah, Ibid.

(3)

15 melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara.6 Pemaknaan oleh Mahfud yang demikian menjadikan politik hukum sebagai upaya pembentukan hukum dalam peraturan peundang-undangan untuk mencapai tujuan bangsa dan negara. Pengertian politik hukum yang tidak jauh berbeda diungkapkan juga oleh Soedarto yang menyatakan politik hukum sebagai kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.7

Menurut Bellefroid, politik hukum (rechtpolitiek) merupakan bagian dari ilmu hukum yang meneliti perubahan hukum yang berlaku yang harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan baru kehidupan masyarakat dengan menyatakan:8

Politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apakah yang harus diadakan pada hukum yang ada sekarang, supaya dapat memenuhi syarat-syarat baru dari hidup kemasyarakatan. Ia melanjutkan perkembangan tertib hukum. Karena ia mencoba menjadikan ius constitutum yang diperkembangkan dari stelsel-stelsel hukum-hukum yang lama, menjadi ius constituendum atau hukum untuk masa yang akan datang.

Utrecht juga berpendapat bahwa politik hukum berusaha membuat kaidah-kaidah yang akan menentukan bagaimana seharusnya manusia bertindak. Politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai dengan sociale werkelijkheid (kenyataan sosial).9 Dalam hal kenyataan sosial, Surojo Wignyodipuro menggunakan istilah

6 Ahmad Muliadi, Op.Cit., h. 3.

7 M. Ali Zaidan, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, h. 62.

8 Bellefroid, Indleiding tot de Rechtswetenschap in Nederlands, Dekker & Van Vegt, Nijmegen Utrecht,

1952, h. 18, dikutip dari Abdul Latif dan Hasbi Ali, Op.Cit., h. 6.

9 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru van Hove, Jakarta, 1996, h. 14, dikutip dari

(4)

16 perasaan hukum yang ada pada masyarakat. Beliau menyatakan bahwa politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum sekarang supaya menjadi lebih sesuai dengan perasaan hukum yang ada pada masyarakat.10

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketika kita berbicara mengenai politik hukum maka kita membicarakan salah satu bagian dari ilmu hukum. Pembicaraan mengenai politik hukum berisikan penggambaran usaha penemuan hukum oleh pembentuk peraturan perundang-undangan yang kemudian dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang mereka hasilkan. Politik hukum yang disebut juga sebagai legal policy merupakan kebijaksanaan dari pembentuk peraturan perundang-undangan untuk menentukan arah atau tujuan yang dijadikan sebagai dasar pijak dan cara untuk membentuk serta melaksanakan hukum yang dikonretkan. Politik hukum menyelidiki keadaan-keadaan di masyarakat yang menuntut adanya perubahan-perubahan yang harus diadakan dalam hukum positif atau hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum) agar sesuai dengan kebutuhan akan hukum masyarakat atau supaya menjadi lebih sesuai dengan perasaan hukum yang ada pada masyarakat. Dengan kata lain, tuntutan akan perubahan tersebut dinyatakan sebagai hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) dan politik hukum ingin menjadikan ius constituendum tersebut tidak lagi sebagai yang dicita-citakan melainkan menjadikannya sebagai hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum).

10 Surojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, Gunung Agung, Jakarta, 1982, h. 24-25, dikutip dari

(5)

17 Sebagaimana topik dari sub bahasan ini, pembahasan politik hukum pidana secara khusus seharusnya tidak jauh berbeda dengan pembahasan politik hukum yang telah penulis jabarkan di atas. Dalam kepustakaan asing, istilah “politik hukum pidana” sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”, “criminal law policy”, atau “strafrechts-politiek”.11 Dalam Blacks Law Dictionary, Criminal Policy diartikan sebagai cabang Ilmu Hukum Pidana yang berkaitan dengan usaha pencegahan kejahatan.12 Pengertian yang demikian menurut penulis merupakan pengertian yang bersifat lebih spesifik pada satu hal karena memandang politik hukum pidana dari satu sisi yaitu terkait pencegahan kejahatan. Dalam perspektif yang lebih luas, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.13 Politik hukum pidana dapat dilihat melalui politik kriminal sebagaimana disebutkan dalam Blacks Law Dictionary. Politik kriminal itu sendiri oleh Soedarto diartikan dalam 3 (tiga) pengertian yaitu:14

1. Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.

2. Dalam arti luas, politik kriminal itu merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

3. Dalam arti yang paling luas, merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

11 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep

KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2008, h. 26.

12 Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, Eight Edition, Thomson & West, 2004, h. 403, dikutip dari

M. Ali Zaidan, Op.Cit., h. 63.

13 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Op.Cit., h. 26-27.

14 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, h. 113-114, dikutip dari M. Hamdan,

(6)

18 Dari pengertian tersebut, politik kriminal berbicara mengenai penanggulangan kejahatan melalui pihak-pihak yang memiliki kewenangan. Tentu ketika berbicara tentang penanggulangan kejahatan, kita tidak hanya membicarakan satu aspek hukum contohnya hukum pidana saja. Politik kriminal mencakup juga kebijakan dari bidang hukum yang lain seperti hukum perdata dan hukum administrasi. Bertolak dari kondisi bahwa politik hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana merupakan usaha untuk membentuk suatu kebijakan yang baik untuk menanggulangi kejahatan. Pengertian ini penulis cantumkan tidak untuk membatasi ruang lingkup dari politik hukum pidana melainkan untuk dapat menggunakan komponen-komponen dalam politik kriminal untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai politik hukum pidana itu sendiri. Komponen-komponen yang dimaksud yaitu usaha dari pembentuk peraturan perundang-undangan, kepolisian, kejaksaan, badan peradilan, dan aparat eksekusi dalam hukum pidana.

Kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari pengetian “penal policy” oleh Marc Ancel. Marc Ancel secara singkat menyatakan bahwa penal policy sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.15 Atas

dasar pengertian tersebut, Barda Nawawi Arief berkesimpulan bahwa istilah penal policy oleh Marc Ancel sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana. Lebih lanjut oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah menyimpulkan bahwa penal policy atau politik hukum pidana pada intinya berkaitan dengan bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan

(7)

19 pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanan hukum pidana (kebijakan eksekutif).16 Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat penulis katakan

bahwa politik hukum pidana merupakan penjabaran lebih lanjut dari politik hukum itu sendiri. Hal-hal yang sudah penulis kemukakan dalam penjelasan tentang politik hukum seperti isi dan tujuannya berlaku juga dalam politik hukum pidana namun dengan materi yang lebih spesifik pada materi hukum pidana.

Menurut Seodarto yang didasarkan atas pengertian politik hukum yang beliau kemukakan sebelumnya, melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.17 Lebih lanjut, beliau

menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.18 Secara khusus politik hukum pidana dalam istilah bahasa Belanda “strafrechtspolitiek”, A. Mudler mendefinikannya sebagai garis kebijakan untuk menentukan:19

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui;

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Mulder mendasarkan pengertian tersebut dari “sistem hukum pidana” oleh Marc Ancel yang menyatakan, bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki

16 Teguh Prasestyo dan Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit., h. 18.

17 Soedarto, Hukum Pidana..., Op.Cit., h. 20, dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Ibid. 18 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Ibid.

19 A. Mulder, Strafrechtspolitiek, Delikt en Delinkwent, 1980, h. 333, dikutip dari Barda Nawawi Arief,

(8)

20 sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya; (b) suatu prosedur hukum pidana; dan (c) suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).20

Dari penjabaran penulis tentang pendapat-pendapat para ahli hukum mengenai politik hukum pidana di atas, dapat terlihat beberapa kesamaan karakteristik yang dikemukakan. Bahwa politik hukum pidana disamakan dengan terminologi kebijakan hukum pidana sebagai usaha untuk membuat dan melaksanakan peraturan perundang-undangan pidana yang baik. Sejalan dengan politik hukum sebagaimana telah penulis sampaikan, politik hukum pidana juga sebagai usaha untuk mengetahui keadaan-keadaan di masyarakat yang menuntut adanya perubahan-perubahan yang harus diadakan dalam hukum pidananya atau dengan kata lain sejauh mana ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada perlu diganti dan/atau diperbarui untuk mecapai tujuan yang dicita-citakan. Tujuan dari politik hukum pidana tidak hanya berhenti pada ketentuan peraturan perundang-undangan pidana saja melainkan lebih daripada itu. Tujuan yang lebih besar yaitu integrasi dari setiap pihak yang berwenang, tidak hanya pada taraf pembuatan kebijakan melainkan juga hingga pada taraf pelaksanaannya. Tujuan-tujuan tersebut terkandung di dalam peraturan-peraturan, prosedur, hingga mekanisme pelaksanaan yang tentunya harus juga dijiwai oleh pembuat dan pelaksananya. Keadilan dan daya guna yang dicanangkan oleh politik hukum pidana tentu tidak akan tercapai jika setiap orang di dalamnya hanya menjadi “corong undang-undang”. Keberadaan politik hukum pidana seharusnya tidak hanya menjadi pedoman semata melainkan nilai yang terkandung di dalamnya perlu digali sendiri

(9)

21 oleh setiap pihak di dalamnya agar tercipta suatu keadaan di mana bukan karena tertulis demikian melainkan karena hal tersebut adalah yang terbaik dan yang benar.

Pentingnya studi tentang politik hukum pidana ini dapat dilihat dari tujuan pengkajian politik hukum oleh Soehitno. Menurut Soehitno, terdapat 3 (tiga) tujuan pengkajian politik hukum, diantaranya:21

1. Agar orang mampu memahami pemikiran-pemikiran masa lampau, yang melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum yang sedang berlaku. Sehingga setiap orang mampu mengaplikasikan dan menerapkan aturan-aturan serta ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana mestinya;

2. Agar orang mampu menentukan dan memilih pemikiran-pemikiran tersebut diatas, yang dapat dipergunakan sebagai atau menjadi dasar penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum ius constitutum dari ius constituendum yang berlaku dalam rangka menghadapi perkembangan, perubahan, atau pertumbuhan kehidupan bermasyarakat. Sehingga mampu menetapkan aturan-aturan hukum dan/atau ketentuan-ketentuan hukum baru sesuai dengan kebutuhan kehidupan bermasyarakat; dan

3. Agar orang mampu memahami kebijakan yang menggariskan kerangka dan arah tata hukum yang berlaku. Sehingga dapat menerapkan dan mengembangkan hukum sesuai dengan kebutuhan hidup bermasyarakat dalam satu sistem.

Dengan demikian, pengkajian politik hukum pidana diperlukan untuk memahami dasar dari pemikiran-pemikiran yang menjadi latar belakang dari pembentukan suatu peraturan perundang-undangan baik yang sudah tidak berlaku, yang berlaku saat ini, hingga yang akan atau perlu diberlakukan kedepannya. Hal ini tentu bermanfaat untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan juga bermanfaat dalam hal penerapan dan pengembangan hukumnya.

21Soehino, Politik Hukum, BPFE, Yogyakarta, 2010, dikutip dari Febry Mardiana Nainggolan,

Perubahan Politik Hukum Dalam Pengaturan Investasi Pada Sektor Pertambangan Di Indonesia,

(10)

22 1.1.2. Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan

Pembentukan dan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan dengan politik hukumnya sudah tentu memiliki tujuan. Selain aspek prosedural, tujuan diperlukan sebagai ukuran dalam aspek materiil agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat diterima serta dapat pula dilaksanakan. Peraturan perundang-undangan sebagai bentuk dari pengimplementasian atau usaha mengkonkretkan hukum tentu harus memenuhi tujuan hukum. Hal ini menjadi beralasan menyusul munculnya sebuah pertanyaan berkaitan dengan apakah peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan tujuan hukum masih pantas disebut sebagai hukum. Untuk itu penulis merasa perlu untuk membuat suatu tinjauan mengenai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan yang dikenal luas sebagai tujuan dari hukum. Pembahasan ini penulis lakukan tidak untuk mengkritisi ketiga tujuan hukum tersebut dan menggagaskan suatu tujuan hukum yang baru melainkan ingin membahas keberadaannya dalam suatu pembentukan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

Gustav Radbruch mengemukakan tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Gustav menyatakan bahwa sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan sehingga hukum yang dibuat pun sudah pasti memiliki tujuannya sendiri. Tujuan tersebut merupakan nilai yang ingin diwujudkan oleh manusia. Ketiga tujuan hukum tersebut dinyatakan sebagai berikut:22

1. Keadilan untuk keseimbangan; 2. Kepastian untuk ketepatan; 3. Kemanfaatan untuk kebahagiaan.

22 Oleh Gustav Radbruch dalam bukunya Einfuhrung indie Rechtswissenschaft, Stuttgart, 1961, dikutip

dari Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, h. 123.

(11)

23 Untuk mengetahui posisi, kedudukan, atau keberadaannya dalam suatu hukum, maka ketiga tujuan hukum tersebut perlu dijabarkan, antara lain sebagai berikut:

1. Keadilan

Untuk menentukan takaran pasti sesuatu dikatakan berkeadilan bukanlah hal yang mudah bahkan terkesan mustahil untuk dilakukan. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa para ahli hukum sudah berusaha untuk memberikan definisi dan tolak ukur untuk sesuatu disebut berkeadilan namun tetap saja tidak dapat memberikan sebuah pendapat yang bisa diterima oleh semua orang. Hal ini menurut penulis tidak perlu dipandang sebagai ketidakmampuan atau keburukan di bidang ilmu hukum melainkan perlu dipandang bahwa keberagaman pendapat tersebut sebagai ciri khas dari kajian ilmu hukum. Atas dasar hal tersebut penulis akan menjabarkan pendapat-pendapat para ahli hukum tentang konsep keadilan yang sekiranya relevan dengan penelitian penulis selain dua konsep keadilan yang telah penulis kemukakan sebelumnya yaitu keadilan retributif (retributive justice) dan keadilan restoratif (restorative justice).

Ulpianus mendefinisikan keadilan sebagai kehendak yang ajeg/terpola dan tetap memberikan kepada masing-masing bagian/haknya.23 Plato pun juga menyatakan bahwa keadilan adalah kemampuan untuk memperlakukan setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing.24 Aristoteles seorang filsuf Yunani dalam bukunya Nicomachean Ethics menyatakan keadilan sebagai kebajikan yang bersangkutan pada perhubungan dengan sesama

23 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum

Indonesia, Gramedia Pustaka, Jakarta, 1995, h. 138, dikutip dari Muhamad Erwin, Op.Cit., h. 219.

(12)

24 manusia.25 Aristoteles kemudian membagi keadilan menjadi menjadi keadilan distributif (justitia distributiva) dan keadilan komutatif (justitia commutativa). Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya: suum cuique tribuere (to reach his

own).26 Justitia distributiva merupakan tugas pemerintah terhadap warganya,

menentukan apa yang dituntut oleh warga masyarkat. Sedangkan di sisi lain,

justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya.27 Dalam

pergaulan masyarakat, justitia commutativa merupakan kewajiban orang terhadap sesamanya. Mengenai justitia distributiva dan justitia commutativa oleh Aristoteles tersebut, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa justitia distributiva merupakan urusan pembentuk undang-undang dan justitia

commutativa merupakan urusan hakim.28 Hakim memperhatikan hubungan

perorangan yang mempunyai kedudukan persesuil yang sama tanpa membedakan orang (equality before the law). Justitia distributiva itu bersifat proporsional sedangkan justitia commutativa memperhatikan kesamaan.29

Lain halnya dengan Aristoteles, Thomas Aquinas membedakan keadilan dalam dua macam yaitu keadilan umum dan keadilan khusus.30 Keadilan umum (justitia generalis) atau yang disebutnya sebagai keadilan legal menuntut perbuatan sesuai dengan undang-undang negara yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan legal itu tidak hanya kriteria bagi kelakuan publik, akan tetapi juga mewujudkan ukuran untuk menimbang

25 O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, 2011, h. 122.

26 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Ilmu Hukum: Suatu Pengantar, edisi revisi, Cahaya Atma Pustaka,

Yogyakarta, 2010, h. 101.

27 Ibid., h. 102. 28 Ibid. 29 Ibid.

30 E. Sumaryono, Etika Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas), Kanisius, Yogyakarta,

(13)

25 undang-undang negara yang perlu sesuai dengan dan mewujudkan keadilan legal demi kesejahteraan umum.31 Adapun keadilan khusus itu mewujudkan kebajikan seperti kebijaksanaan dan keberanian. Keadilan khusus tidak dikuasai oleh motif sosial, melainkan merupakan ukuran perbuatan dalam perhubungan dengan sesama manusia lain.32

Terdapat 3 (tiga) bentuk keadilan khusus, di antaranya: (1) justitia

distributiva; (2) justitia commutativa; dan (3) justitia vindivativa.33 Justitia

distributiva adalah keadilan yang menyangkut perhubungan publiekrechtelijk dalam masyarakat negara. keadilan ini dikenakan dalam pembagian beban-beban sosial, fungsi-fungsi, dan kehormatan publik. Ukuran untuk pembagiannya oleh negara kepada negara adalah proporsionalitas yang berkaitan dengan kepandaian dan kecakapan serta jasanya. Justitia commutativa ialah keadilan di mana prestasi dinilai sama dengan kontraprestasi atau dengan kata lain jasa dibalas jasa. Keadilan ini banyak berlaku dalam perhubungan bidang hukum perdata terutama tentang kontrak atau perjanjian. Lain halnya dengan justitia vindicativa yang banyak berlaku pada bidang hukum pidana berkaitan dengan pemberian hukuman dan kewajiban denda sesuai dengan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan.34 Dalam pendefinisian dan pembagian oleh para filsuf di atas, terlihat bahwa keadilan sangatlah relatif dalam memahaminya. Pada satu sisi ada yang memberikan tolak ukur keadilan pada pelaksanaan undang-undang (dalam arti luas) demi kepentingan umum, namun di sisi yang lain juga

31 O. Notohamidjojo, Op.Cit.., h. 123. 32 Ibid.

33 Muhamad Erwin, Loc.Cit. 34 Ibid. h. 226-227.

(14)

26 memberikan penjelasan bahwa terdapat keadilan yang dihasilkan atas dasar penilaian perseorangan. Pada akhirnya, penulis mengambil kesimpulan oleh Sudikno Mertokusumo yang menyimpulkan bahwa hakikat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya pada suatu norma yang menurut pandangan subjektif (subjektif untuk kepentingan kelompok, golongannya, dan sebagainya) melebihi norma-norma lain.35 Hal tersebut berarti bahwa penilaian dilakukan berdasarkan runag lingkup atau kepada siapa keadilan itu ditujukan. Berkaitan dengan subjektifitas, manusia hidup dengan rasa yang dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan, karena yang dapat menentukan baik dan buruk adalah rasa.36 Untuk memenuhi keadilan, peristiwanya harus dilihat secara kasuistis. Menurut penulis, hasil atau buah dari keadilan yang relatif tersebut hanya bisa ditentukan baik buruknya oleh pribadi yang menyatakannya. Berbicara mengenai ukuran keadilan, patut diakui bahwa memang terdapat hal-hal yang secara universal diakui bersifat berkeadilan dan tidak berkeadilan. Berkeadilan atau tidaknya bukan berdasarkan hukum yang berlaku di tempat dan waktu tertentu melainkan sifatnya yang sudah melekat pada hal tersebut. Sebagai contoh terdapat keyakinan bahwa kejahatan adalah sesuau tindakan yang tidak berkeadilan karena pada dasarnya setiap manusia tidak akan mau diperlakukan jahat. Perdebatannya bukan lagi pada tataran apakah kejahatan adalah tindakan yang berkeadilan atau tidak, melainkan pada apakah sebuah tindakan atau tidak bertindak tersebut merupakan kejahatan atau bukan.

35 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 100

36 M Rasjidi dan H. Cawindu, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat: Buku Daras Pendidikan Agama Islam

(15)

27 Untuk merefleksikan hal tersebut, penulis mengutip sebuah ayat dalam Alkitab pada Filipi 4:8 yang sekiranya dapat memberikan kita tuntunan dalam mengambil keputusan untuk bertindak atau tidak mengambil tindakan dengan menyatakan:

Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. 2. Kepastian

Berangkat dari pemikiran bahwa tindakan kesewenang-wenangan penguasa atau pemerintah perlu untuk dibatasi, muncul sebuah gagasan bahwa diperlukan suatu kepastian hukum yang menjamin sebuah tindakan penguasa atau pemerintah tidak melebihi dari apa yang sudah ditentukan. Kepastian hukum merupakan perlindungan justitiabeln terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.37 Adanya aturan-aturan membatasi

masyarakat secara umum dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa adanya aturan-aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum dan dengan demikian mengandung dua pengertian, yaitu: pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum

37 Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan & Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim, Sinar Grafika,

(16)

28 itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.38

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum pada dasarnya yaitu pelaksanan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan.39 Dalam pengertian oleh Van Apeldoorn, kepastian hukum adalah adanya kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua warga masyarakat termasuk konsekuensi hukumnya.40 Roscoe Pound menyebut hal-hal tersebut dengan istilah predictability, bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan adanya prediktabilitas.41 Kepastian Hukum sering dikaitkan dengan penyelenggaraan hukum secara konsisten dalam suatu proses sosial sehingga diperoleh patokan perilaku sehingga kehidupan masyarakat bisa berlangsung dengan tertib, damai, dan adil.42 Dengan demikian, kepastian hukum berarti melakukan apa

yang sudah disepakati bersama di dalam suatu masyarakat hukum dengan harapan bahwa semua sama-sama mengetahui hak dan kewajibannya atau yang disebut sebagai prediktabilitas sehingga tercipta suatu keamanan bagi setiap individu.

Permasalahan pada kepastian hukum ini yaitu pada kenyataan bahwa sering bergesekan dengan keadilan. Bahkan sampai muncul sebuah pernyataan bahwa sungguh ironi apabila demi menjaga suatu kepastian, nilai

38 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, edisi revisi, Kencana, Jakarta, 2008, h. 137. 39 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 145.

40 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan dari Inleiding Tot De Studie Het Nederlandse

Recht oleh Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, h. 24-25, dikutip dari Margono, Op.Cit., h.

115.

41 Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit. 42 Margono, Op.Cit., h. 117-118.

(17)

29 keadilan harus dikorbankan.43 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa untuk terciptanya kepastian hukum diperlukan adanya aturan yang bersifat umum atau menyamaratakan. Van Apeldoorn mengatakan bahwa sifat menyamaratakan itu merupakan unsur yang sering dikritisi dalam keadilan, di mana keadilan justru menuntut kepada setiap orang diberikan sesuai dengan bagiannya (suum cuique tribuere) atau dengan kata lain tidak serta merta disamaratakan.44 Di satu sisi bahwa terlalu mementingkan kepastian hukum akan mengorbankan rasa keadilan dan di sisi lain bahwa pengutamaan keadilan pun memiliki kelemahan. Hal ini disebabkan karena sifat dari keduanya yang berbeda di mana kepastian hukum memiliki sifat yang lebih universal dan keadilan yang bersifat lebih subjektif. Akan tetapi, ketika kedua hal tersebut mampu diseimbangkan, niscaya akan tercipta suatu masyarakat hukum yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Artinya, bahwa kepastian hukum saja tidak cukup untuk menegakkan sistem peradilan tetapi dibutuhkan suatu kepastian hukum yang adil atau kepastian yang merujuk pada nilai keadilan.45

3. Kemanfaatan

Diberlakukannya suatu hukum tentu memiliki tujuan untuk memberi manfaat bagi masyarakatnya. Akan menjadi pertanyaan besar jika hukum yang diterapkan adalah hukum yang tidak memberi manfaat dan justru memberikan kerugian bagi masyarakatnya. Terdapat adagium hukum yang menyatakan bahwa: “hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” Hal tersebut berawal dari pemikiran Satjipto Rahardjo di mana hukum diberi

43 Tanto Lailam, Teori & Hukum Perundang-Undangan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2017, h. 83. 44 Margono, Op.Cit., h. 114.

(18)

30 makna sebagai: “institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada

kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.”46 Bahwa

hukum dilihat berdasarkan sejauh mana kemanfaatannya untuk kebahagiaan manusia.

Jeremy Bentham menyatakan bahwa negara dan hukum semata-mata ada hanya untuk mafaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Kemudian adapun menurut John Rawls dengan teorinya yang disebut Teori Rawls atau Justice as Fairness (keadilan sebagai kejujuran) menyatakan bahwa hukum itu haruslah menciptakan suatu masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan (the

greatest happiness of the greatest number people).47 Sebenarnya terdapat

kritik terhadap pendapat tersebut berkaitan dengan kebahagiaan mayoritas orang yang berarti mengenyampingkan pihak-pihak minoritas. Hal ini dadasarkan atas pemikiran bahwa menjadi minoritas tidak menjadikannya juga untuk selalu dikesampingkan, karena minoritas tidak hanya hanya sebatas pada apa yang dipikirkan berbeda dengan yang lain, tetapi karena kebenaran tidak dipandang semata-mata keluar dari siapa tetapi karena kebenaran harus tetap selalu diuji.

Sebenarnya kita dapat memahami pemikiran-pemikiran di atas sebagai usaha untuk meminimalisir kerugian yang timbul tanpa bermaksud mengorbankan pihak-pihak minoritas. Bahwa pada dasarnya nilai

46 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif. Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta,

2009, h. 9, dikutip dari Hyronimus Rhiti, “Landasan Filosofis Hukum Progresif”, Justitia Et Pax: Jurnal

Ilmu Hukum, 32(1), 2016, h. 35.

47 Nur Hasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi Politik,

Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2006, h. 45-46, dikutip dari Margono,

(19)

31 kemanfaatan muncul dari analisis tentang keadilan.48 Sebagai contoh dalam putusan pengadilan harus mengandung unsur kemanfaatan, bahwa isi putusan yang adil itu tidak hanya bermanfaat bagi pihak yang berperkara tapi juga bagi masyarakat luas begitu pula dalam aspek hukum pada lembaga yang lain.49 Kemanfaatan itu sendiri dapat diartikan sebagai optimalisasi dari tujuan sosial hukum, setiap hukum di samping dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan sebagai tujuan akhir, tetapi juga mempunyai tujuan sosial tertentu, yaitu kepentingan yang diinginkan untuk diwujudkan melalui hukum, baik yang berasal dari orang perseorangan maupun masyarakat dari negara.50 Berkaitan dengan pertentangan antara keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, dalam teori hukum disebut sebagai antinomi yang pada dasarnya mengandung arti bahwa kondisi yang bertentangan satu sama lain tetapi tidak dapat dipisahkan karena sama-sama saling membutuhkan.51 Di sinilah kebijaksanaan dan moralitas dari setiap pemegang kewenangan dibutuhkan untuk mengeluarkan nilai-nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Bahwa memang pada akhirnya kita tidak dapat menuntut kesempurnaan dari manusia, tetapi setidaknya dapat diharapkan bahwa tidak ada kesengajaan untuk membuat sesuatu lebih buruk padahal telah diketahuinya akan akibat tersebut.

48 Suteki, Budaya Oriental dan Implikasinya Terhadap Cara Berhukum dalam Perspektif Hukum

Progresif, Dina Fedrian, dkk (ed), Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia, Komisi Yudisial RI,

Jakarta, 2012, h. 270-271, dikutip dari Tanto Lailam, Op.Cit., h. 82.

49 Tanto Lailam, Ibid.

50 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Candra Parata, Jakarta,

1996, h. 88, dikutip dari Margono, Loc.Cit.

(20)

32 1.1.3. Perlindungan Korban Kejahatan

Perkembangan pembahasan perlindungan korban pada saat ini semakin terlihat menyusul perubahan paradigma masyarakat tentang bentuk perlindungan korban yang lebih sesuai. Pentingnya perlindungan korban dilatarbelakangi adanya pergeseran perspektif dari keadilan retributif kepada keadilan restoratif.52 Seperti yang penulis telah paparkan sebelumnya bahwa keadilan retributif dan keadilan restoratif memiliki perbedaan dari segi bentuk dan elemen-elemennya. Siswanto Sunarso menyatakan bahwa elemen-elemen keadilan retributif yaitu pembalasan, pemidanaan, isolasi, stigmatisasi, dan penjeraan. Berbeda dengan keadilan restoratif yang memiliki elemen konsensasi, mediasi, rekonsiliasi, penyembuhan, dan pemaafan.53

Sebelum masuk pada pembahasan mengenai perlindungan korban kejahatan, diperlukan terlebih dahulu pendefenisian tentang korban itu sendiri dalam konteks korban dalam tindak pidana. Secara etimologi, korban berasal dari terjemahan bahasa Latin victima dan dalam bahasa Inggris yaitu victim. 54 Dalam Crime Dictionary, victim adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya.55 Menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang menderita, jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Kedua pengertian tersebut mengkonstrusikan korban sebagai pihak

52 Siswanto Sunarso, Op.Cit., h. 47. 53 Ibid., h. 45.

54 Bambang Waluyo, Viktimologi: Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 9. 55 Abdussalam, Victimology, PTIK, Jakarta, 2010, h. 5, dikutip dari Bambang Waluyo, Ibid.

(21)

33 yang mengalami kerugian atas tindakan orang lain baik dari segi lahiriah maupun batiniah. Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and

Abuse of Power mengartikan:56

“Victims” means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power.

Dalam Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Saksi dan Korban, korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Dari rumusan tersebut, unsur-unsur dari korban yaitu:57

1. Setiap orang,

2. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau 3. Kerugian ekonomi,

4. Akibat tindak pidana.

Secara lebih spesifik, Abdussalam membagi korban menjadi korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, serta masyarakat, bangsa, dan negara.58 Dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan pada pembahasan pada korban perseorangan. Hal ini dadasarkan atas perbandingan kuantitas yang artinya berbanding lurus dengan banyaknya permasalahan dan lingkup dampak yang lebih luas. Arif Gosita dalam pembahasan tentang eksistensi korban dalam penyelesaian kejahatan salah satunya menyatakan bahwa pemahaman dan penanggulangan permasalahan kejatahatan tidak didasarkan pada pengertian citra mengenai manusia yang tepat (tidak melihat dan mengenai manusia pelaku dan

56 Compendium of United Nations standards and norms in crime prevention and criminal justice, h. 303,

https://www.unodc.org/pdf/compendium/compendium_2006_part_03_02.pdf, diakses 3 November 2020.

57 Bambang Waluyo, Ibid., h. 10.

(22)

34 manusia korban sebagai manusia sesama kita).59 Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa terdapat kecenderungan untuk melihat korban dari sisi orang perseorangan. Menurut penulis, hal tersebut tidak berarti bahwa diskursus tentang korban mengenyampingkan jenis-jenis korban yang lain, melainkan bahwa jika dibahas dari sisi korban orang perseorangan, secara tidak langsung juga bisa mencakup jenis-jenis korban yang lain karena dasarnya yaitu manusia itu sendiri.

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa perlindungan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu:60

1. Dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang);

2. Dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain, dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian penulis lebih berfokus pada makna yang kedua di mana membahas perlindungan korban dalam lingkup telah adanya korban dari suatu tindak pidana. Bahwa penulis membahas perlindungan korban dalam kerangka kebijakan, tidak berarti bahwa suatu kebijakan selalu berfungsi untuk mencegah sesuatu. Hal ini didasarkan atas alasan bahwa kebijakan itu sendiri dapat berupa kebijakan pencegahan maupun kebijakan penanggulangan.

Mengenai pengkajian perlunya perlindungan terhadap korban kejahatan dikemukakan oleh Muladi dekemukakan beberapa alasan sebagai berikut:61

59 Bambang Waluyo, Ibid., h. 9.

(23)

35 1. Bahwa pada proses pemidaan terkandung tuntutan moral, dalam wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak, dan keterkaitan sosiologis dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat. Secara sosiologis, masyarakat sebagai “system of institutional trust” atau sistem kepercayaan yang melembaga, dan terpadu melalui norma yang diekspresikan dalam struktur kelembagaan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga koreksi. Terjadinya kejahatan atas diri korban bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut, pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut masalah korban berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut.

2. Adanya argumen kontrak sosial, yaitu negara memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan yang bersifat pribadi, dan argumen solidaritas sosial bahwa negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhan apabila warga negara mengalami kesulitas, melalui kerja sama dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana yang disedikan negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak.

3. Perlindungan korban dikaitakan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Dari alasan-alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perlunya perlindungan terhadap korban kejahatan merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang diyakini 61 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, 1997, h.

(24)

36 masyarakat ke dalam suatu lembaga tertentu yang dengan demikian memiliki tugas dan wewenang mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadinya suatu kejahatan. Berikutnya bahwa negara itu sendiri memiliki kewajiban terhadap warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dan membantu kesulitan yang dialami baik memalui peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Dikaitkan dengan penyelesaian konflik sebagai salah satu tujuan pemidanaan, perlindungan korban merupakan salah satu komponen yang harus dipenuhi yang didasarkan atas alasan bahwa korban merupakan akibat dari adanya suatu tindak pidana dan korban merupakan bagian dari masyarakat yang memerlukan pemulihan keseimbangan dan rasa damai.

Menurut Muladi, perlindungan bagi korban kejahatan secara teoritik terdapat dua model pengaturan, yaitu: model hak-hak prosedural (The procedural

rights model) dan model pelayanan (The services model).62

1. Model hak-hak prosedural: korban diberi hak untuk memainkan peranan aktif dalam proses penyelesaian perkara pidana, seperti hak untuk mengadakan tuntutan pidana, membantu jaksa atau hak untuk didengarkan pada setiap tingkatan pemeriksaan perkara di mana kepentingannya terkait di dalamnya termasuk hak untuk diminta konsultasi sebelum diberikan pelepasan bersyarat, juga hak untuk mengadakan perdamaian.

2. Model pelayanan: standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan, yang dapat digunakan oleh polisi misalnya pedoman dalam rangka modifikasi kepada korban dan atau jaksa dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan

62 Muladi, Hak Asasi Manusia..., Ibid., h. 178, dikutip dari Adil Lugianto, “Rekonstruksi Perlindungan

(25)

37 dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Korban dipandang sebagai sasaran khusus yang harus dilayani dalam kegiatan penegakan hukum atau penyelesaian perkara pidana.

Dikaitkan dengan bentuk keadilan retributif dan keadilan restoratif yang telah penulis sebutkan sebelumnya, perlindungan korban kejahatan dengan dua model tersebut menurut penulis walaupun belum terlalu menunjukkan perbedaan perlindungan melalui pemidanaan pelaku dan perlindungan lain, tetapi sudah cukup menggambarkan konsep perlindungan korban secara langsung dan tidak langsung. Perlindungan tidak langsung yaitu perlindungan lewat pemidanaan pelaku di mana lebih ditekankan pada hak-hak korban untuk melakukan penuntutan di pengadilan. Perlindungan tidak langsung tersebut merupakan perlindungan yang paling umum untuk diberikan kepada korban dalam praktek peradilan pidana masa lalu bahkan hingga saat ini. Sedangkan perlindungan secara langsung yaitu perlindungan yang diberikan atas dasar kerugian yang dialami korban baik kerugian secara materiil maupun imateriil. Bentuk-bentuk perlindungan korban tersebutlah yang akan dijelaskan lebih lanjut oleh penulis dalam kerangka ruang lingkup hukum pidana Indonesia pada hasil penelitian dan analisis.

1.1.4. Hak-Hak Korban

Seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya berkaitan dengan model hak-hak prosedural dan model pelayanan, pemberian perlindungan korban kejahatan dapat dilakukan dalam berbagai cara, tergantung pada bentuk kerugian yang dialami oleh korban. Seperti contoh untuk kerugian secara mental atau psikis

(26)

38 tentunya ganti rugi dilakukan melalui upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya, jika dirasa kerugian yang diderita merupakan kerugian secara materiil, maka pemberian ganti rugi secara materi sangat diperlukan. Dalam model hak-hak prosedural korban diberi hak untuk memainkan peranan aktif dalam proses penyelesaian perkara pidana, seperti hak untuk mengadakan tuntutan pidana, membantu jaksa atau hak untuk didengarkan pada setiap tingkatan pemeriksaan perkara di mana kepentingannya terkait di dalamnya termasuk hak untuk diminta konsultasi sebelum diberikan pelepasan bersyarat, juga hak untuk mengadakan perdamaian. Lain halnya dengan hak-hak tersebut yang berkaitan dengan keterlibatan korban dalam proses peradilan, terdapat hak-hak lain berupa pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi, restitusi dan upaya pengambilan kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut dan tertekan akibat kejahatan.

Menurut Van Boven:63

Hak-hak para korban adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan, dan hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun nonmaterial bagi korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak asasi manusia.

Adapun secara lebih terperinci Stephen Schafer mengemukakan 4 (empat) sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan sebagai berikut: 64

a. Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana.

63 Bambang Waluyo, Op.Cit., h. 43.

64 Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma

(27)

39 b. Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui

proses pidana.

c. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, tidak diragukan sifat pidananya (punitif).

d. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana, dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di sini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan oleh pelaku. Hal ini merupakan pengakuan bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan.

Dalam hal bantuan, saat ini dikenal istilah rehabilitasi psikososial yang merupakan semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial dan spiritual korban tindak kekerasan sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.65 Sehingga dapat dikatakan bahwa kompensasi, restitusi, dan bantuan merupakan bentuk hak korban dalam model pelayanan yang dipenuhi baik oleh negara (kompensasi dan bantuan) maupun yang dibayarkan oleh pelaku terhadap korban.

1.2. Hasil Penelitian

Acuan utama perlindungan korban kejahatan di Indonesia secara umum merujuk pada KUHP dan KUHAP serta secara khusus dalam UU PSK. Sedangkan dalam kerangka hukum hak asasi manusia internasional, perlindungan

65 “Standar Rehabilitasi Psikososial Korban Tindak Kekerasan”, (Jakarta: Departemen Sosial RI

Direktorat Jendral Banuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran, 2003), h. 10

(28)

40 korban kejahatan merujuk pada Declaration of Basic Principle of Justice for Victim and Abuse of Power. Keempat rujukan perlindungan korban tersebut mengkonstruksikan bentuk perlindungan secara berbeda-berda yang dapat dicermati sebagai berikut:

Tabel 2.2.1. Perbandingan perlindungan korban KUHP, KUHAP, UU PSK, dan Declaration of Basic Principle of Justice for Victim and Abuse of Power Peraturan

Item

KUHP KUHAP UU PSK

Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse

of Power66

Pengertian korban

Tidak ada. Tidak ada. Ada.

Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Ada.

Victims of Crime Korban adalah orang individu atau kolektif yang menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau pengurangan hak-hak dasarnya, melalui tindakan atau kelalaian yang merupakan

pelanggaran hukum pidana yang berlaku di beberapa Negara anggota (PBB), termasuk hukum-hukum mengenai tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan.

66 Diterjemahkan secara bebas dari: Compendium of United Nations standards and norms in crime

prevention and criminal justice.

https://www.unodc.org/pdf/compendium/compendium_2006_part_03_02.pdf, diakses 4 November 2020, lihat juga Bambang Widiyantoro.

(29)

41 Victims of abuse of power

Korban, berarti orang, individu atau bersama-sama, sudah mengalami penderitaan,

termasuk

penderitaan yang secara fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi, pelemahan substansial atas hakhak asasi, melalui tindakan-tindakan yang tidak termasuk tindak pidana atau pelanggaran hukum nasional tetapi diakui secara internasional merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Hak-hak korban Secara materiil. Kemungkinan ganti kerugian dalam Pasal 14c (bersifat terbatas). Pasal 14c KUHP menya-takan sebagai berikut: (1) Dengan perintah yang dimaksud Secara formil. Dalam KUHAP, beberapa pasal yang mengatur hak korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana yaitu: 67 1) Hak menuntut penggabungan perkara gugatan ganti Secara materiil dan formil. Pasal 5 ayat (1) UU PSK Adapun hak-hak saksi dan korban tersebut di antaranya yaitu: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari

Secara materiil dan formil. Pada Lampiran Chapter II Victims bagian Victims of Crime, deklarasi tersebut membahas beberapa hal berkaitan dengan perlindungan korban sebagai berikut: a. Akses mendapatkan keadilan dan perlakuan adil (Access to justice

(30)

42 pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana, hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi. (2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan kerugian dalam perkara pidana (Pasal 98-101). 2) Hak atas pengembalian barang milik korban yang disita (Pasal 46 ayat (1)). 3) Hak pengajuan laporan atau pengaduan (Pasal 108 ayat (1)). 4) Hak mengajukan upaya hukum banding (Pasal 233) dan kasasi (Pasal 244). 5) Hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 168). 6) Hak untuk didampingi juru bahasa (Pasal 177 ayat (1)). 7) Hak untuk didampingi penerjemah (Pasal 178 ayat (1)). Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. dirahasiakan identitasnya; j. mendapat identitas baru; k. mendapat tempat kediaman sementara; l. mendapat tempat kediaman baru; m. memperoleh penggantian biaya transportasi and fair treatment); b. Restitusi (Restitution) bagi korban tindak pidana; c. Kompensasi (Compensation) bagi korban tindak pidana; d. Bantuan (Assistance) bagi korban tindak pidana. Bagian Victims of abuse of power: Negara perlu mempertimbangkan penambahan hukum-hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan, berikut penyediaan fasilitas-fasilitas pemulihan bagi para korban penyalahgunaan tersebut, khususnya yang meliputi restitusi dan/atau ganti rugi dan

kelengkapan-kelengkapan yang diperlukan, bantuan medis, sosial dan psikologis serta dukungan.

(31)

43 pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan. (3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik terpidana. 8) Hak untuk mendapatkan penggantian biaya sebagai saksi (Pasal 229 ayat (1)). sesuai dengan kebutuhan; n. mendapat nasihat hukum; o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindu-ngan berakhir; dan/atau p. mendapat pendampingan. Hak-hak lain: - Kompensasi, Pasal 7 (1). - Restitusi, Pasal 7A (1). - Bantuan, Pasal 6 ayat (1). Access to justice and fair treatment

Tidak ada. Secara

eksplisit hanya diatur hak tersangka/ terdakwa. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/ terdakwa (Pasal 56 ayat (1)). Ada (melalui LPSK). Pasal 5 UU PSK Pasal 6 ayat (1) UU PSK: Korban pelangga-ran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, Ada. Bagian Access to

justice and fair

treatment 1. Korban harus diperlakukan dengan belas kasih dan penghormatan atas martabatnya. Mereka berhak untuk mengakses mekanisme peradilan dan meminta ganti rugi, sebagaimana diatur oleh perundang-undangan nasional,

(32)

44 korban tindak

pidana kekerasan seksual, dan korban pengania-yaan berat, selain berhak sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan: a. bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

atas kerugian yang mereka derita. 2. Mekanisme peradilan dan administrasi harus dibentuk dan diperkuat jika diperlukan untuk memungkinkan korban mendapatkan ganti rugi melalui prosedur formal ataupun informal yang cepat, adil, murah dan mudah diakses. Para korban harus diberi tahu tentang hak mereka dalam mencari ganti rugi melalui mekanisme semacam itu. 3. Tingkat responsif proses peradilan dan administrasi terhadap kebutuhan korban harus dilakukan dengan: 1) Memberi tahu korban tentang peran mereka dan ruang lingkupnya, waktu dan kemajuan proses persidangan dan penanganan kasus mereka, terutama jika terkait dengan tindak pidana berat dan ketika mereka meminta informasi

tersebut; 2) Mengizinkan

(33)

45 pandangan dan keprihatinan terhadap korban untuk ditunjukkan dan dipertimbangkan pada tahap yang tepat dari proses persidangan di mana kepentingan pribadi mereka terpengaruh, tanpa merugikan terdakwa dan tetap konsisten dengan sistem peradilan pidana nasional yang ada; 3) Memberikan bantuan pendampingan yang tepat kepada korban selama proses hukum; 4) Mengambil tindakan untuk meminimalkan ketidaknyamana n bagi korban, melindungi privasi mereka dalam hal diperlukan, dan memastikan keselamatan mereka, serta keluarga dan saksi atas nama mereka, dari intimidasi dan pembalasan dendam; 5) Menghindari penundaan yang tidak perlu dalam

(34)

46 penanganan kasus dan pelaksanaan perintah eksekusi atau keputusan penghargaan terhadap korban. 4. Mekanisme informal untuk penyelesaian sengketa, termasuk mediasi, arbitrase atau pengadilan adat istiadat harus digunakan, mana yang tepat untuk memfasilitasi

konsiliasi dan ganti rugi bagi korban.

Kompensa-si

Tidak ada. Tidak ada. Ada (melalui LPSK). Kompensasi secara khusus diberikan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia berat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU PSK dan Pasal 2 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2020. Ada. Dalam deklarasi tersebut, mengenai compensation, bila kompensasi tidak sepenuhnya tersedia dari pelaku atau sumber lain, negara harus berusaha untuk memberikan kompensasi keuangan bagi: a) Korban yang mengalami cedera tubuh yang signifikan atau gangguan kesehatan fisik atau mental sebagai akibat dari tindak pidana berat; b) Keluarga, yang berada dalam tanggungannya, secara khusus bagi orang yang telah meninggal atau menjadi secara fisik

(35)

47 atau mental tidak lagi mampu sebagai akibat dari tindak pidana tersebut. Restitusi Tidak ada. Tidak ada. Ada (melalui

LPSK). Pasal 7A (1) yang menyatakan: Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa: a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis. Ada. Pada bagian Restitution dinyatakan:

Pelaku atau pihak ketiga yang bertanggung jawab atas perilakunya harus memberi restitusi yang adil bagi korban, keluarga atau tanggungan mereka. - Restitusi tersebut harus mencakup pengembalian harta atau pembayaran untuk kerusakan atau kerugian yang diderita;

- Penggantian

biaya yang

dikeluarkan sebagai akibat dari tindak pidana;

- penyediaan layanan dan pemulihan hak. Bantuan Tidak ada. Ada (bantuan

prosedural). Hak untuk didampingi juru bahasa (Pasal 177 ayat (1)). Hak untuk Ada (melalui LPSK). Pasal 6 ayat (1), korban-korban tersebut berhak juga mendapatkan: a. bantuan medis; dan Ada. Dalam bagian assistance dinyatakan: - korban harus menerima materi yang memang diperlukan, medis, psikologis, dan

(36)

48 didampingi penerjemah (Pasal 178 ayat (1)). b. bantuan reha-bilitasi psiko-sosial dan psikologis.

bantuan sosial lain baik melalui instansi pemerintah, sukarelawan, komunitas dan masyarakat adat. - Korban harus diberitahu tentang ketersediaan layanan kesehatan dan sosial serta bantuan lain yang relevan dan yang mudah diberikan akses kepada mereka. - Kepolisian, lembaga peradilan, kesehatan, layanan sosial dan aparat lain yang terkait harus menerima pelatihan untuk membuat mereka peka terhadap kebutuhan korban, dan pedoman untuk memastikan bantuan yang tepat dan cepat. - Dalam memberikan pelayanan dan bantuan kepada korban, perhatian harus diberikan kepada mereka yang berkebutuhan

khusus karena sifat kerugian yang ditimbulkan atau karena faktor-faktor lain yang memang membutuhkan perlakuan khusus. Perlindung

-an korban

Tidak ada. Kemungkinan terbatas

(37)

49 penyalah-gunaan kekuasaan praperadilan. Pasal 1 angka 10 KUHAP: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain

Bagian Victims of abuse of power: 1. Negara perlu mempertimbangkan penambahan hukum-hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan, berikut penyediaan fasilitas-fasilitas pemulihan bagi para korban

penyalahgunaan tersebut, khususnya yang meliputi restitusi dan/atau ganti rugi dan

kelengkapan-kelengkapan yang diperlukan, bantuan medis, sosial dan psikologis serta dukungan; 2. Negara perlu mempertimbangkan penyusunan kesepakatan perjanjian internasional multilateral yang berkenaan dengan penanganan korban; 3. Negara perlu meninjau ulang

perundang-undangan yang ada dan pelaksanaannya, untuk memastikan reaksi akan perubahan situasi, jika diperlukan, adanya aturan-aturan yang melarang tindakan-tindakan

(38)

50 atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Pasal 95 KUHAP - PP No. 92 Tahun 2015: Tuntutan ganti kerugian merupakan hak yang diberikan oleh negara kepada korban yang merasa dirugikan karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikarenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan oleh penegak hukum. penyalahgunaan ekonomi atau politik, seperti halnya mempromosikan kebijakan-kebijakan dan mekanisme pencegahannya serta mengembangkan dan menyiapkan hak-hak dan pemulihan bagi korban atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.

1.2.1. Perlindungan Korban dalam KUHP dan KUHAP

KUHP dan KUHAP merupakan gambaran umum mengenai sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia di samping terdapat ketentuan pidana dan

(39)

51 hukum acara di luar KUHP dan KUHAP yang bersifat khusus. Dalam konteks perlindungan korban, kita pun dapat melihat bagaimana KUHP dan KUHAP mengkonstrikan pemberian perlindungan terhadap korban kejahatan. Adapun penjelasannya yaitu sebagai berikut:

1. KUHP

Sebelum masuk pada kesimpulan tentang bagaimana KUHP mengkonstruksikan perlindungan korban kejahatan, kita perlu untuk terlebih dahulu melihat ketentuan dalam KUHP yang mengatur atau berkaitan dengan perlindungan korban kejahatan. Dalam pembahasan mengenai perlindungan korban, sebelumnya penulis telah mengemukakan bahwa terdapat perlindungan yang bersifat langsung dan yang bersifat tidak langsung. Bahwa dalam KUHP, bentuk perlindungan langsung yang dapat ditemui yaitu kemungkinan adanya ganti kerugian dalam Pasal 14c sebagaimana tertulis dalam tabel sebelumnya. Hal yang perlu untuk dicermati di sini yaitu berkaitan dengan kapan keharusan mengganti kerugian ini timbul yang mana terbuka bila pidana yang dijatuhkan merupakan pidana percobaan. Selain penetapan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat pula menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari masa percobaannya, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Penggantian kerugian baik seluruh maupun sebagian oleh terpidana kepada korbannya belumlah dapat dikatakan sebagai bentuk sanksi pidana, namun seolah-olah hanya merupakan pengganti pidana pokok saja.68

68 Cahyono, Kebijakan Pemberian Ganti Kerugian Terhadap Korban Kejahatan dalam Perkara Pidana

di Masa Mendatang, Varia Peradilan, No. 282 Mei 2009, h. 49, dikutip dari Reni Yulia, Melihat

(40)

52 Barda Nawawi Arief bahkan menyatakan bahwa dalam aturan umum KUHP tidak dikenal jenis pidana ganti rugi. Ganti rugi bukan sebagai salah satu bentuk/jenis pidana, tetapi justru hanya sebagai syarat bagi terpidana untuk tidak menjalani pidana pokok atau dengan kata lain bahwa ide dasar pidana bersyarat dalam KUHP tetap berorientasi pada pelaku tindak pidana dan tidak berorientasi pada korban tindak pidana.69 Sehingga dapat dikatakan bahwa ganti rugi dalam KUHP bukan merupakan sanksi pidana yang bisa berdiri sendiri dikarenakan tidak dapat dijatuhkan apabila hakim tidak terlebih dahulu menjatuhkan pidana bersyarat.

Jika tetap melihat perundang-undangan di luar KUHP, sanksi semacam pidana ganti rugi hanya dapat diberikan untuk tindak pidana tertentu saja, seperti:70

1) untuk tindak pidana ekonomi (sebagai “tindakan tata tertib” berdasarkan Pasal 8msub d UU No. 7 Drt. 1955 yang berupa kewajiban “memperbaiki akibat-akibat atas biaya si terhukum”);

2) untuk tindak pidana korupsi (sebagai “pidana tambahan” berupa pembayaran uang pengganti” berdasarkan Pasal 34 sub c UU No. 3/1971 yang telah diubah menjadi Pasal 18 UU 31/1999);

3) untuk tindak pidana lingkungan hidup (sebagai “tindakan tata tertib” berdasarkan Pasal 47 sub c,d,e UU No 23/1997 berupa “perbaikan akibat tindak pidana”, “mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak”, dan/atau meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak”);

4) untuk tindak pidana perlindungan konsumen (sebagai pidana tambahan berupa “pembayaran ganti rugi”, Pasal 63 UU No. 8/1999.

Oleh Maya Indah, ganti rugi dalam hal-hal tertentu tersebut di atas merupakan bentuk perlindungan korban secara langsung namun bersifat kolektif karena

oleh Jaksa Penuntut Umum), dalam Syaiful Bakhri dkk., Hukum Pidana Masa Kini, Total Media,

Yogyakarta, 2014, h. 175.

69 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan..., Loc.Cit., h. 62. 70 Ibid., h. 63.

Gambar

Tabel 2.2.1. Perbandingan perlindungan korban KUHP, KUHAP, UU PSK, dan  Declaration of Basic Principle of Justice for Victim and Abuse of Power  Peraturan

Referensi

Dokumen terkait

Menuju babak 8 besar tim mendapat libur 1 hari, sehingga bisa mendapatkan waktu untuk memulihkan kondisi fisik dan mental setelah 3 hari berturut-turut bermain di tiga

Liu dan Tian (2012) menemukan bahwa pemegang saham pengendali dengan hak arus kas kecil dalam struktur kepemilikan piramida tidak hanya menyediakan

Pada gambar diatas, penerapan Kriteria Image of Space dengan konsep fun with culture pada penataan massa bangunan yaitu pada bagian paling depan terdapat massa utama ( ) yang

keterampilan tersebut tunanetra dapat mengaplikasikan.. keterampilannya pada masyarakat. Untuk menunjukannya, objek rancang dilengkapi ruang praktek keterampilan

154 Adapun metode yang digunakan dalam sistem pendukung keputusan ini adalah metode Simple Additive Weighting (SAW), metode ini dipilih karena metode ini menentukan nilai

 beberapa kekurangan, kekurangan, diantaranya adalah diantaranya adalah hipotesa ini hipotesa ini tidak dapat tidak dapat menjelaskan efek menjelaskan efek yang yang lama

Isi modul ini : Ketakbebasan Linier Himpunan Fungsi, Determinan Wronski, Prinsip Superposisi, PD Linier Homogen Koefisien Konstanta, Persamaan Diferensial Linier Homogen

Maka dari itu para produsen media cetak bersaing saling merebut hati khalayaknya dengan adanya gambar karikatur dengan nama maupun tokoh yang mudah diingat oleh masyarakat,