• Tidak ada hasil yang ditemukan

l Bab XIV Penyelidikan

l Bab XV Tindak Kriminal dan Sanksi Administratif. Bab III, VIII, IX, X, dan XI RUU-PPTK mengatur hal-hal yang termasuk dalam undang-undang kepegawaian atau peraturan dasar perburuhan di sejumlah negara.

Bab III mengatur kesempatan yang sama dan melarang pengusaha melakukan tindakan diskriminasi dalam menawarkan pekerjaan (Pasal 5) atau dalam pekerjaan (Pasal 6). Diskriminasi yang dimaksud meliputi diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, etnis, ras, agama atau paham politik, serta perlakuan yang adil bagi orang-orang cacat (lihat Penjelasan). Bab VIII mengatur hubungan kerja dan cara menyusun perjanjian kerja antara pengusaha dengan individu pekerja (Pasal 63-76). Hal-hal yang harus dimasukkan dalam perjanjian kerja telah ditentukan, dan syarat perjanjian yang berhubungan dengan upah dan persyaratan kerja tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum dan peraturan perusahaan, PKB atau undang-undang yang relevan (Pasal 67 (2)).

Bab IX menetapkan berbagai hal yang berhubungan dengan upah dan persyaratan kerja. Bagian pertama bab ini berisi ketentuan tentang:

l Tenaga kerja di bawah umur (lihat Pasal 78-84), termasuk larangan untuk mempekerjakan anak di bawah usia 15 tahun. (Pasal 82);

l Perlindungan untuk pekerja cacat (Pasal 77);

l Pembatasan kerja malam bagi pekerja wanita (Pasal 85);

l Jam kerja dan lembur (Pasal 86-88), masa istirahat (Pasal 89 dan 95), masa ibadah (Pasal 90), cuti (Pasal 91), dan hari libur umum;

l Perlindungan terhadap pekerja wanita (Pasal 92-95), termasuk cuti hamil yang dibayar (Pasal 93 dan 95) dan cuti haid (Pasal 92 dan 95);

l Perlindungan umum menyangkut K3 (Pasal 97 dan 98) dan per-lakuan yang baik, yaitu perlindungan dari pelecehan dan pelang-garan seksual, serta perlakuan yang mencerminkan rasa hormat terhadap martabat manusia dan nilai-nilai agama (Pasal 97).

Mengingat banyaknya masalah yang hendak ditangani (misalnya K3, penyediaan ruang menyusui di tempat kerja, hak cuti, jam kerja dan tenaga kerja dibawah umur), maka pengaturan secara lebih spesifik diserahkan pada peraturan pemerintah atau keputusan menteri.

Bagian dua Bab IX memuat ketentuan tentang pembayaran upah, yakni: upah minimum tingkat propinsi atau kabupaten dirancang berdasarkan konsep kebutuhan hidup yang layak (Pasal 99-100); upah yang besarnya melebihi ketentuan upah minimum akan dirundingkan antara pengusaha dengan pekerja (Pasal 101-103); cuti sakit yang dibayar dan hak cuti lainnya (Pasal 104); pembayaran upah yang terlambat (Pasal 105); dan pembentukan Dewan Sistem Pengupahan tingkat Nasional dan Daerah guna merumuskan kebijakan pengupahan (Pasal 108). Sebagian besar hal-ikhwal diseputar masalah pembayaran upah ini akan diatur lebih jauh dalam peraturan pemerintah.

Bagian tiga bab IX mengatur tentang kesejahteraan pekerja dengan mengacu pada sistem jaminan sosial yang diatur oleh undang-undang (Pasal 109). Disamping itu RUU ini juga mengatur perumusan peraturan pemerintah menyangkut penyediaan fasilitas kesejahteraan oleh pengusaha, serta dorongan untuk mendirikan koperasi pekerja (Pasal 110-111).

Bab X memuat ketentuan tentang hubungan industrial. Bab ini mengacu pada peran pemerintah, pekerja dan pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial (Pasal 113), sekaligus menegaskan hak dasar pekerja dan pengusaha untuk membentuk dan menjadi anggota dari organisasi-organisasi perwakilan (Pasal 115-118)

Dalam bab ini juga diatur tentang pembentukan forum kerjasama bipartit di setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 pekerja atau lebih, yang berfungsi sebagai “forum komunikasi, konsultasi dan pertimbangan guna menyelesaikan masalah ketenagakerjaan” (Pasal 119). Selain itu, Lembaga Kerjasama Tripartit juga dapat dibentuk untuk memberi rekomendasi kepada pemerintah dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam pembuatan kebijakan dan pemecahan masalah di bidang perburuhan (Pasal 120).

RUU-PPTK mengharuskan perusahaan membuat serangkaian ketentuan dan peraturan perusahaan yang akan disahkan oleh Menakertrans atau pegawai pemerintah yang diangkat (Pasal 121, 125 sampai 128). Ketentuan dan peraturan tersebut harus dirumuskan setelah

berkonsultasi dengan perwakilan pekerja (Pasal 123), dan harus berisi penjelasan atas berbagai masalah, antara lain:

l hak dan kewajiban pengusaha;

l hak dan kewajiban pekerja;

l persyaratan kerja; dan

l disiplin perusahaan dan peraturan tentang perilaku (Pasal 124). Ketentuan dan peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan berlaku selama masa pemberlakuannya, kecuali bila PKB dirundingkan kembali.(Pasal 124).

PKB diatur dalam Pasal 129-141. Kesepakatan ini dilakukan antara serikat yang telah resmi terdaftar dengan pihak pengusaha (Pasal 129). Setiap perusahaan hanya memiliki satu PKB (Pasal 130).

Apabila PKB didukung oleh lebih dari separuh jumlah pekerja di perusahaan tersebut, ia akan dinyatakan berlaku bagi seluruh pekerja di perusahaan itu. Jika ia tidak didukung oleh lebih dari separuh pekerja di perusahaan tersebut, PKB dinyatakan hanya berlaku bagi pekerja yang menyetujuinya (Pasal 131).

Masa berlaku PKB maksimal dua tahun dan dapat diperpanjang tidak lebih dari satu tahun melalui perjanjian tertulis antara pengusaha dan serikat (Pasal 132). PKB dinyatakan berlaku sejak saat penandatangannya, kecuali jika dalam kesepakatan dinyatakan lain. Ia harus didaftarkan ke badan pemerintah yang bertanggung jawab atas urusan perburuhan (Pasal 140).

PKB harus ditandatangani dan harus mengatur hak dan kewajiban pengusaha, serikat dan pekerja serta masa berlakunya (Pasal 133 (1)). Ketentuan dalam PKB tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, dalam arti ia tidak boleh berada dibawah standar yang ditetapkan undang-undang tentang masalah yang sama (Pasal 133 (2), (3) dan Penjelasannya). Disamping itu, perjanjian kerja atau kontrak kerja perorangan tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah ditentukan dalam PKB (Pasal 136).

Pengusaha dan serikat harus memberitahukan pekerja tentang isi PKB (Pasal 135 (2)). Pengusaha dan serikat harus melaksanakan kesepakatan ini (Pasal 135 (1)) dan pengusaha tidak boleh menggantinya dengan Peraturan Perusahaan selama ada serikat di perusahaan tersebut (Pasal 138 (1)). Walaupun ada peraturan lain yang dipakai, namun

ketentuan dalam peraturan tersebut tidak boleh lebih rendah dari apa yang telah ditentukan dalam PKB (Pasal 138 (2)).

Apabila terjadi pergantian kepemilikan perusahaan (atau pembubaran serikat), PKB akan tetap berlaku hingga masa berlakunya berakhir (Pasal 139 (1)). Jika terjadi penggabungan (merger) antar-perusahaan, maka PKB yang memberi keuntungan lebih besar kepada pekerja akan diberlakukan di kedua perusahaan tersebut (Pasal 139 (2) dan (3)).

Syarat untuk membuat, memperpanjang, menambah dan mendaftarkan PKB akan diatur melalui keputusan menteri (Pasal 141). RUU ini mengatur tentang fungsi dan kewajiban pemerintah dalam hubungan industrial. Pemerintah harus memastikan kepatuhan dan pemberlakuan undang-undang yang relevan (Pasal 143). Tujuan hubungan industrial di Indonesia menurut penjelasan pasal ini adalah seperti berikut:

“a. Menciptakan ketenangan bagi pekerja di tempat kerja dan bagi pengusaha dalam melaksanakan usahanya;

b. Menyeimbangkan dan menyesuaikan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha;

c. Melindungi hak pekerja dan pengusaha;

d. Mendorong pengembangan dan pertumbuhan sikap mental yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.”

Pemerintah juga bertanggung jawab untuk meningkatkan pemahaman tentang hubungan industrial di tengah-tengah masyarakat pada umumnya dan di kalangan industri pada khususnya (Pasal 154-159). Hal ini harus diiringi dengan kerjasama antara pemerintah, serikat dan organisasi pengusaha serta lembaga-lembaga lainnya (Pasal 158).

Penyelesaian Perselisihan Industrial diatur dalam Pasal 144-153 RUU-PPTK. Pasal-pasal tersebut mencakup ketentuan tentang mogok dan larangan kerja.

Pengusaha dan pekerja/serikat harus berupaya menyelesaikan perselisihan melalui musyawarah. Apabila musyawarah tidak tercapai, perselisihan dapat diselesaikan melalui konsiliasi, mediasi, arbitrase atau pengadilan industrial (Pasal 144). Mekanisme penyelesaian perselisihan industrial ditetapkan oleh undang-undang yang terpisah (Pasal 145).

secara “damai” dan “tertib”, yang berarti tidak boleh mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, atau mengancam kehidupan, keselamatan serta properti pengusaha/perusahaan atau anggota masyarakat (Pasal 146 (2) dan Penjelasannya). Pengusaha dilarang memecat/mengganti pekerja yang melakukan mogok (Pasal 146 (3)).

Mogok tidak boleh dilakukan di perusahaan-perusahaan tertentu yang melayani kepentingan masyarakat, termasuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi, listrik, gas dan air minum (Pasal 147 (1)). Hak mogok dibatasi untuk pekerja yang menyediakan berbagai layanan masyarakat, termasuk petugas yang berwenang mengatur lalu lintas udara, lalu lintas perairan, petugas pemadam kebakaran, penjaga palang kereta api dan karyawan rumah sakit (Pasal 147 (2)). Perusahaan dan jabatan-jabatan dimana aksi mogok dilarang atau dibatasi akan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah.

Pekerja dan serikat yang bermaksud melakukan pemogokan harus menyerahkan surat pemberitahuan kepada pengusaha dan badan pemerintah untuk urusan perburuhan setempat (Pasal 148). Surat pemberitahuan harus mencantumkan waktu dan tanggal pelaksanaan mogok beserta alasan-alasannya, dan harus diserahkan minimal 7 hari sebelum aksi mogok dilakukan (Pasal 149).

Ketentuan serupa juga dirancang bagi pengusaha, yakni tentang larangan kerja oleh pengusaha. Larangan kerja tidak boleh dilakukan di beberapa industri tertentu. Perusahaan yang beroperasi untuk kepentingan masyarakat –misalnya perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi, pelistrikan, gas, air minum dan rumah sakit– dilarang menutup usahanya baik sebagian maupun secara keseluruhan karena menolak tuntutan pekerja (Pasal 151).

Pengusaha harus menyerahkan surat pemberitahuan tentang usulan larangan kerja. Pengusaha yang ingin melakukan larangan kerja harus memberitahukan pekerja/serikat yang bersangkutan, serta badan perburuhan setempat, minimal 7 hari sebelum larangan kerja dilakukan (Pasal 152 dan 153).

Bab XI mengatur tentang PHK. RUU-PPTK berupaya mendorong pengusaha, pekerja dan serikat untuk menghindari PHK. Bila kebijakan PHK dirasa tidak lagi dapat dihindari, maka masing-masing pihak harus mengadakan perudingan (Pasal 160).

Pengusaha dilarang memecat pekerja dengan alasan tertentu, yaitu:

l absen karena sakit;

l melakukan tugas kenegaraan;

l melaksanakan ibadah;

l menikah atau hamil;

l hubungan keluarga dengan pekerja lain di perusahaan yang sama;

l bergabung atau berpartisipasi dalam kegiatan serikat (Pasal 161). Apabila terjadi PHK, pengusaha harus memberi uang pesangon atau membayar sebagai imbalan atas jasa dan kompensasi, kecuali bila pekerja diberhentikan selama masa percobaan, akhir masa kontrak kerja, atau telah mencapai usia pensiun (Pasal 162). Pekerja yang berhenti bekerja berhak atas uang jasa bila sudah bekerja selama 3 tahun atau lebih, dan atas uang kompensasi (Pasal 164). Jumlah pembayaran ini akan diatur melalui peraturan pemerintah.

Pengusaha dapat memecat seorang pekerja atas serangkaian tindak pelanggaran (“kesalahan besar”), yakni: mencuri, tidak jujur, memakai obat-obatan terlarang, berjudi di tempat kerja, melakukan tindakan amoral, melakukan atau mengancam akan melakukan tindak kekerasan terhadap pengusaha atau sesama pekerja, merusak properti perusahaan, bekerja dengan ceroboh atau dengan cara yang tidak aman, dan membocorkan rahasia atau merusak reputasi perusahaan. Dalam hal ini RUU-PPTK tidak mewajibkan pengusaha untuk memberi uang pesangon kepada pekerja tersebut (Pasal 165).

Pengusaha juga dapat memecat pekerja yang sedang bebas tugas tanpa perlu memberi uang pesangon kecuali uang jasa dan kompensasi (Pasal 166). Secara khusus ditetapkan bahwa pembayaran kompensasi diberikan kepada semua pekerja yang telah diberhentikan, “tanpa mempertimbangkan alasan pemberhentian mereka” (Pasal 167).

Uang pesangon, uang jasa dan kompensasi dapat dibayarkan kepada pekerja yang mengundurkan diri dari pekerjaannya akibat tindakan-tindakan tertentu, yakni:

l perlakuan buruk pengusaha;

l pembayaran upah yang tidak tepat waktu;

kepadanya;

l memerintahkan untuk melakukan pekerjaan yang tidak aman atau tidak bermoral (Pasal 168).

Pertimbangan DPR tentang ketentuan PHK dalam rancangan undang-undang ini akan menimbulkan masalah dalam ketentuan yang kini berlaku, yaitu Keputusan Menteri No. Kep-150/Men/2000 maupun terhadap ketentuan perubahan atas keputusan tersebut (No. Kep-171/ Men/2000 dan No. Kep-77/Men/2001).

Kemungkinan Bantuan dan Kegiatan Proyek

Kegiatan-kegiatan Proyek yang berhubungan dengan RUU-PPTK harus dilaksanakan setelah RUU tersebut disetujui oleh DPR dan tanggal pelaksanaannya sudah ditetapkan.

Kegiatan-kegiatan ini dapat dilakukan sebagai bagian dari program pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang undang-undang perburuhan yang baru, dan implikasinya terhadap pengusaha dan pekerja. Program ini perlu dikembangkan melalui masukan dari pemerintah, pengusaha, serikat dan LSM yang relevan. Ia dapat dikoordinir dan/atau dilaksanakan melalui kerja sama dengan Menakertrans dan pemerintah daerah.

Kegiatan yang dimaksud dikelompokan dalam lima kategori, yaitu: (i) Publikasi tentang undang-undang baru dan hak serta kewajiban pengusaha dan pekerja.

Publikasi meliputi brosur/selebaran yang dirancang oleh Proyek dan/atau Menakertrans dengan bantuan Proyek, menyangkut hak dan kewajiban dasar pekerja dan pengusaha berdasarkan undang-undang, penyelesaian perselisihan industrial, mogok dan larangan kerja, perundingan PKB, kesempatan kerja yang sama, dan PHK. Publikasi ini bertujuan untuk mempromosikan hubungan industrial yang harmonis di Indonesia, dengan cara memberi penjelasan yang mudah dimengerti tentang undang-undang perburuhan ini kepada pekerja, pengusaha, pegawai pemerintah dan pihak-pihak lainnya.

guna membantu pengusaha dan pekerja adalah buku panduan tentang pengembangan dan isi peraturan perusahaan serta PKB.

(ii) Bantuan teknis kepada Menakertrans dalam menyusun peraturan pelaksana undang-undang ini, dan tindakan lain guna menjamin efektivitasnya di tingkat nasional dan daerah. Bantuan teknis ini mencakup kegiatan di bidang rancangan naskah dan konsultasi menyangkut keputusan tentang hak pekerja (Bab IX), syarat untuk menyusun dan mendaftarkan PKB (Pasal 141) dan hak atas pembayaran PHK (Bab XI).

Selain itu ia juga meliputi program yang akan dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh Menakertrans dalam rangka mensosialisasikan RUU-PPTK dan fungsi badan perburuhan setempat, kepada pegawai kantor ketenagakerjaan di daerah.

(iii) Kegiatan penyadaran guna meningkatkan pemahaman pekerja, pengusaha dan masyarakat tentang undang-undang yang baru.

Kegiatan yang dimaksud meliputi penyelenggaraan kursus dan semi-nar tentang undang-undang yang baru dan implikasinya terhadap pengusaha dan pekerja. Bagian penting dari kegiatan ini adalah membuat siaran pers, artikel atau pernyataan singkat tentang undang-undang tersebut untuk dipublikasikan melalui media massa.

Dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan, ketentuan mengenai “hubungan industrial” dalam RUU-PPTK perlu ditekankan. Akan tetapi program penyadaran ini harus juga mengarah pada pengakuan terhadap pentingnya ketentuan baru mengenai kesempatan yang sama dan hak bagi pekerja wanita. Peningkatan pemahaman mengenai hal tersebut merupakan hal yang paling penting.

(iv) Pelatihan untuk pegawai pemerintah, pengusaha, pemimpin serikat, dll. (misalnya arbitrator, konsiliator, hakim dan advokat industrial) tentang pelaksanaan undang-undang baru.

Pelatihan ini meliputi penyelenggaraan kursus pelatihan mendalam dengan materi yang terfokus pada aspek-aspek yang terkandung dalam undang-undang yang baru, misalnya hubungan industrial dan penyusunan PKB, mekanisme penyelesaian perselisihan industrial dan

masalah PHK.

(v) Pemantauan pelaksanaan undang-undang yang baru serta peningkatan hubungan industrial yang harmonis.

Bantuan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya mendorong secara terus menerus dialog tripartite-plus tentang reformasi perburuhan dan peningkatan hubungan industrial yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan melalui Lembaga Kerjasama Tripartit yang diusulkan atau forum-forum lainnya.

Mengingat RUU-PPTK merupakan bagian akhir dari reformasi undang-undang perburuhan, maka evaluasi kritis perlu dilakukan setelah satu tahun ia dinyatakan berlaku, agar wakil pemerintah, pengusaha, pekerja serta LSM/akademisi tergerak untuk mengkaji kemajuan yang dicapai dan mempertimbangkan langkah yang perlu ditempuh guna menjamin manfaat dari undang-undang tersebut.

Dokumen terkait