• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA MASA MENDATANG. Masalah dan Tantangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRUKTUR HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA MASA MENDATANG. Masalah dan Tantangan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR HUBUNGAN INDUSTRIAL

DI INDONESIA

MASA MENDATANG

Masalah dan Tantangan

Alan J. Boulton

Agustus 2001

(2)

Terbit pertama tahun 2002

Hak cipta publikasi Kantor Perburuhan Internasional dilindungi oleh protokol 2 dari Konvensi Hak Cipta Dunia (Universal Copyright Convention). Walaupun begitu, kutipan singkat yang diambil dari publikasi tersebut dapat diperbanyak tanpa otorisasi dengan syarat agar menyebutkan sumbernya. Untuk mendapatkan hak perbanyakan dan penerjemahan, surat lamaran harus dialamatkan kepada Publications Bureau (Rights and Permissions), International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland. Kantor Perburuhan Internasional akan menyambut baik lamaran tersebut.

Perpustakaan, lembaga dan pengguna lainnya yang terdaftar dalam Kantor Lisensi Hak Cipta (Copyright Licensing Agency) di Inggris dengan alamat 90 Tottenham Court Road, London W1T 4LP (Fax: (+44) (0) 20 7631 5500; e-mail: cla@cla.co.uk), Pusat Pengesahan Hak Cipta (Copyright Clearance Center) di Amerika Serikat dengan alamat 222 Roseword Drive, Danvers, MA 01923 [Fax: (+1) (978) 750 4470; e-mail: info@copyright.com] atau Organisasi Hak Perbanyakan (Reproduction Rights Organizations) terkait di negara lain, dapat membuat fotokopi sesuai dengan ijin lisensi yang dikeluarkan bagi mereka untuk keperluan tersebut.

______________________________________________________________________________________ Alan J. Boulton

Struktur Hubungan Industrial di Indonesia Masa Mendatang Jakarta, Kantor Perburuhan Internasional, 2002

ISBN

Gambar sampul :

_____________________________________________________________________________________ Sesuai dengan tata cara Perserikatan Bangsa-bangsa, pencantuman informasi dalam publikasi-publikasi ILO beserta sajian bahan tulisan yang terdapat di dalamnya sama sekali tidak mencerminkan opini apapun dari Kantor Perburuhan Internasional (International Labour Office) mengenai informasi yang berkenaan dengan status hukum suatu negara, daerah atau wilayah atau kekuasaan negara tersebut, atau status hukum pihak-pihak yang berwenang dari negara tersebut, atau yang berkenaan dengan penentuan batas-batas negara tersebut.

Dalam publikasi-publikasi ILO tersebut, setiap opini yang berupa artikel, kajian dan bentuk kontribusi tertulis lainnya, yang telah diakui dan ditandatangani oleh masing-masing penulisnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing-masing penulis tersebut. Pemuatan atau publikasi opini tersebut tidak kemudian dapat ditafsirkan bahwa Kantor Perburuhan Internasional menyetujui atau menyarankan opini tersebut. Penyebutan nama perusahaan, produk dan proses yang bersifat komersil juga tidak berarti bahwa Kantor Perburuhan Internasional mengiklankan atau mendukung perusahaan, produk atau proses tersebut. Sebaliknya, tidak disebutnya suatu perusahaan, produk atau proses tertentu yang bersifat komersil juga tidak kemudian dapat dianggap sebagai tanda tidak adanya dukungan atau persetujuan dari Kantor Perburuhan Internasional.

Publikasi-punlikasi ILO dapat diperoleh melalui penyalur-penyalur buku utama atau melalui kantor-kantor perwakilan ILO di berbagai negara atau langsung melalui Kantor Pusat ILO dengan alamat ILO Publica-tions, International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland atau melalui Kantor ILO di Jakarta dengan alamat Gedung PBB, Lantai 5, Jl. M.H. Thamrin 14, Jakarta 10340. Katalog atau daftar publikasi terbaru dapat diminta secara cuma-cuma pada alamat tersebut.

_____________________________________________________________________________________ Dicetak di Jakarta, Indonesia

(3)

P

RAKATA

Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Dasar di Tempat Kerja adalah wujud kesungguhan komitmen ILO dan negara anggotanya untuk menghormati, meningkatkan dan melaksanakan prinsip-prinsip dan hak-hak dasar yang tertuang dalam delapan Konvensi Inti ILO. Hak-hak-hak tersebut mencakup kebebasan berserikat dari para pengusaha dan pekerja serta haknya untuk melalakukan perundingan bersama.

Indonesia telah meratifikasi ke-delapan Konvensi Inti dari ILO dan berkomitmen untuk menuangkan standar-standar ini dalam perundangan dan prakteknya. Dengan maksud tersebut, Indonesia telah memulai suatu program pembaruan hukum perburuhan serta kebijakannya.

Proyek Deklarasi ILO/USA untuk Mempromosikan dan Merealisasikan Kebebasan Berserikat dan Perundingan Bersama secara khusus bertujuan untuk:

l Membantu pemerintah, pekerja dan pengusaha untuk memahami

dan melaksanakan hak secara hukum dan kewajibannya yang baru.

l Memperkuat kemampuan lembaga-lembaga dan sistem perburuhan

agar mereka dapat menjalankan perannya dalam mempromosikan hubungan industrial yang sehat dan harmonis.

l Mendorong dan mengukuhkan dialog serta tripartitisme terutama

antara pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat pekerja. Kertas kerja ini telah dipersiapkan bagi proyek oleh Hakim Agung Alan Boulton, Wakil Presiden Senior dari Komisi Hunungan Industrial Australia, yang juga seorang spesialis mengenai standar perburuhan internasional serta hubungan industrial komparatif, yang kemudian diangkat sebagai Direktur Kantor ILO di Jakarta.

(4)

Selama periode proyek, sejumlah makalah para pakar akan diterbitkan. Mereka mencakup aspek-aspek berbeda dari hukum perburuhan, hubungan industrial, serta administrasi ketenagakerjaan. Diharapkan bahwa makalah-makalah tersebut akan menjadi narasumber dan referensi bagi semua yang terlibat atau tertarik akan hukum perburuhan dan hubungan perburuhan di Indonesia.

Carmelo C. Noriel Ketua Penasehat Teknis Proyek Deklarasi ILO/USA di Indonesia

(5)

D

AFTAR

I

SI

Halaman

Prakata iii

Daftar Isi iv

Pendahuluan 1

Bab Satu: Hubungan Industrial di Indonesia

Latar Belakang 3

Perkembangan Undang-undang Perburuhan Baru 4 Bab Dua: Undang Undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Penjelasan 9

Kemungkinan Bantuan dan Kegiatan Proyek 14 Bab Tiga: RUU Penyelesaian Perselisihan Industrial

Penjelasan 18

Kemungkinan Bantuan dan Kegiatan Proyek 25 Bab Empat: RUU Pengembangan dan Perlindungan

Tenaga Kerja

Penjelasan 30

(6)
(7)

P

ENDAHULUAN

Tujuan dari kertas kerja ini adalah untuk membantu kegiatan awal Proyek Deklarasi ILO/USA (selanjutnya disebut Proyek) di Indonesia melalui pemaparan terkini menyangkut hubungan industrial di Indone-sia.

Kertas kerja ini mendeskripsikan keadaan terkini undang-undang yang mengatur tentang hubungan industrial di Indonesia serta latar belakangnya. Selanjutnya akan dikaji pula undang-undang perburuhan yang baru, dimana dua diantaranya masih dibahas dalam lembaga legislatif, yaitu:

l Undang Undang (UU) Serikat Buruh/Serikat Pekerja (UU

No.21/2000)

l Rancangan Undang Undang Penyelesaian Perselisihan

Indus-trial (RUU-PPI)

l Rancangan Undang Undang Pengembangan dan Perlindungan

Ketenagakerjaan (RUU-PPTK).

Disamping itu kertas kerja ini juga akan mengajukan sejumlah gagasan menyangkut bantuan dan kegiatan yang dapat dilakukan Proyek dalam rangka persiapan, implementasi, sosialisasi dan pengawasan undang-undang perburuhan yang baru tersebut.

(8)

Latar Belakang

Dewasa ini undang-undang perburuhan di Indonesia telah berkembang secara pesat. Sebuah undang-undang baru yang mengatur tentang serikat buruh (UU No.21/2000) telah diberlakukan. Disamping itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga kini tengah menggodok rancangan undang-undang baru tentang pengembangan dan perlindungan tenaga kerja dan tentang penyelesaian perselisihan indus-trial.

Krisis keuangan yang melanda Indonesia tidak hanya menghasilkan perubahan di bidang politik, melainkan juga memunculkan tuntutan dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan reformasi ekonomi dan sosial, termasuk penghargaan yang lebih besar terhadap HAM dan hak pekerja. Undang-undang perburuhan baru diatas sedikit banyak adalah bagian dari respon terhadap tuntutan tersebut.

Memperbaharui undang-undang perburuhan merupakan tugas yang penuh tantangan. Kompleksitas pelaksanaan reformasi serta lingkungan yang tidak kondusif adalah sebagian penyebabnya. Lebih lagi, seperti nampak dalam perkembangan saat ini, reformasi perburuhan akan dapat mengundang banyak kontroversi.1

B

AB

S

ATU

UNDANG-UNDANG PERBURUHAN

DI INDONESIA

1 Hal ini semakin jelas jika mengingat pengalaman perumusan UU Ketenagakerjaan

No.25/1997 dan penundaan pemberlakuannya. Demikian pula halnya dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-150/Men/2000 tentang Pemutusan Hubunga Kerja.

(9)

Keadaan undang-undang dan lembaga perburuhan saat ini menimbulkan sejumlah tantangan yang serius bagi proses reformasi. Apalagi karena proses reformasi yang diharapkan itu pada hakekatnya bersifat mendasar dan memiliki ruang lingkup yang luas. Oleh karenanya konsultasi secara intensif perlu dilakukan guna memperjelas arah reformasi dan demi menjamin dukungan dari kelompok-kelompok utama dalam masyarakat terhadap undang-undang perburuhan yang baru.

Hingga kini proses reformasi masih berjalan dalam ketidakpastian politik dan ekonomi, akibat ketidakjelasan arah pemerintahan dan kepemimpinan. Di lembaga legislatif undang-undang tersebut mengalami pembahasan dan penulisan ulang yang mendalam. Persoalan pengalihan kekuasaan dan fungsi-fungsi tertentu kepada pemerintah daerah dan kabupaten,2 khususnya implikasinya terhadap administrasi

undang-undang perburuhan, semakin mempersulit keadaan.

Sekarang adalah saat dimana Indonesia menjalani perubahan-perubahan besar di bidang politik, ekonomi and sosial. Reformasi undang-undang perburuhan ada dalam kerangka perubahan ini. Kendati perumusan dan implementasinya tidak mudah, namun ia tetap menjadi bagian penting dalam perkembangan ekonomi dan sosial di Indonesia. Dalam arti ini, bantuan terhadap proses pembaharuan undang-undang perburuhan niscaya memberi manfaat yang besar bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perkembangan Undang Undang Perburuhan Baru

Undang-undang perburuhan di Indonesia telah berkembang secara ad-hoc. Kerangka normatif yang berlaku saat ini dapat dilacak dalam berbagai undang-undang, peraturan dan ketetapan yang sebagian dibuat pada tahun 1948. Beberapa diantaranya adalah Undang-undang Tenaga Kerja 1948, Undang-undang tentang Kesepakatan Kerja Bersama 1954 Undang-undang Perselisihan Perburuhan 1957, disamping berbagai

2 Masih belum jelas apakah ia akan dialihkan kepada 370 kabupaten sebagaimana

direncanakan Presiden Habibie, atau kepada 29 propinsi seperti yang diinginkan oleh Presiden Megawati. Agaknya desentralisasi kepada 370 kabupaten akan terus berlanjut, namun kekuasaan untuk menetapkan pajak dan pinjaman akan dibatasi, dan kebijakan-kebijakan akan dikoordinasi melalui propinsi.

(10)

peraturan pemerintah dan keputusan menteri. Bayangkan, untuk menemukan undang-undang yang aplikatif saja sudah merupakan sebuah tantangan!

Telah diakui bahwa undang-undang perburuhan perlu disatukan secara utuh, dan bahwa seperangkat undang-undang perburuhan perlu disiapkan. UU Ketenagakerjaan No.25/1997 merupakan wujud kesadaran diatas. Akan tetapi proses perumusan dan pembahasannya di DPR telah membuat undang-undang ini tidak dihormati. Pemberlakuan UU No.25/1997 telah dua kali mengalami penundaan, terakhir diputuskan untuk ditunda hingga 1 Oktober 2002 (lihat UU No.28/ 2000).

Proses reformasi telah bergerak melampaui UU No.25/1997. Di akhir masa pemerintahan Suharto, gema reformasi yang terus bergaung di segala penjuru, persyaratan yang diajukan lembaga keuangan internasional dalam memberikan bantuan selama krisis berlangsung, dan desakan untuk memajukan HAM dan hak-hak kaum pekerja turut berjasa dalam perubahan tersebut. Kini berbagai pihak mengakui pentingnya memperbaharui undang-undang perburuhan yang sudah usang itu, dan menyiapkan kerangka hubungan industrial yang modern dan efektif.

Sebagai langkah awal pemerintah meratifikasi beberapa Konvensi ILO, termasuk Konvensi Kebebasan Berserikat yang diratifikasi pada bulan Juni 1998. Kebutuhan untuk menyesuaikan ketentuan yang berlaku dengan Konvensi ILO yang telah diratifikasi, desakan untuk merumuskan undang-undang baru serta ketidakpuasan terhadap UU No.25/1997 telah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perumusan undang-undang baru. Selain itu, ada satu alasan yang agaknya bersifat lebih mendasar, yaitu kebutuhan yang dirasakan oleh lingkungan ekonomi, sosial dan politik yang baru atas pembentukan kerangka hukum demi terbinanya hubungan in-dustrial yang adil, efektif dan sanggup membantu penyelesaian perselisihan indus-trial.

Selama masa pemerintahan Suharto hubungan industrial dikendalikan secara ketat oleh pemerintah. Praktek tersebut merupakan bagian dari agenda pertumbuhan ekonomi yang lebih menekankan pada upaya menarik investasi asing dan pertumbuhan industri baru daripada penegakan hak-hak pekerja. Termasuk dalam praktek pengendalian ini adalah intervensi militer dalam perselisihan industrial dan pembatasan

(11)

hak berserikat. Satu-satunya serikat buruh yang diakui oleh pemerintah adalah FSPSI, yang nota bene merupakan organisasi sokongan pemerintah.

Kini telah banyak perubahan yang terjadi. Sejak tahun 1998 pemerintah mengijinkan pembentukan organisasi buruh selain FSPSI, dan hingga bulan Agustus 2001 tercatat sebanyak 59 serikat buruh telah dibentuk di Indonesia.3 Keterlibatan militer dan polisi dalam masyarakat

sipil telah ditinjau kembali, dan alhasil kini mereka tidak lagi terlalu berminat untuk mengintervensi urusan perburuhan. Mekanisme penyelesaian perselisihan yang ada (Panitia Penyelesaian Perselisihan) tidak akan berfungsi dengan baik di tengah-tengah lingkungan yang baru ini.4

Dewasa ini Indonesia tengah menghadapi kombinasi situasi, antara peningkatan kegiatan serikat, potensi nyata perubahan perselisihan in-dustrial dan aksi protes menjadi kerusuhan, serta kekhawatiran pengusaha menyangkut perselisihan industrial dan dampaknya terhadap investasi. Akibatnya muncul kebutuhan akan sistem yang lebih efektif dalam menangani hubungan dan perselisihan industrial. Dalam konteks ini, undang-undang perburuhan yang baru akan menyediakan kerangka normatif bagi sistem tersebut.

Secara ringkas kebutuhan akan undang-undang perburuhan yang baru di Indonesia timbul akibat beberapa faktor, yaitu:

l Perubahan pola pikir masyarakat di masa pasca-Suharto

mengenai hak-hak pekerja;

l Pengakuan atas hak berserikat dan perkembangan serikat buruh; l Kegiatan serikat untuk mewakili pekerja yang terkena pengaruh

krisis keuangan, kenaikan harga serta menyempitnya kesempatan kerja;

3 Ada 2 konfederasi dan 59 federasi yang terdaftar di tingkat nasional. Selain itu, sebanyak

150 serikat buruh nasional telah terdaftar, antara lain serikat buruh yang dibentuk di perusahaan-perusahaan besar seperti bank. Akan tetapi tidak ada data yang akurat menyangkut jumlah serikat buruh tingkat unit kerja yang terdaftar di tingkat daerah, kendati berdasarkan data kompilasi sebelumnya diperkirakan kurang lebih 11.000 serikat tingkat unit kerja telah terdaftar.

4 Sebagai contoh, di sebagian besar propinsi unsur pekerja dalam lembaga tripartit, seperti

(12)

l Perselisihan industrial dan aksi protes yang potensial

menimbulkan kerusuhan;

l Kekhawatiran atas dampak perselisihan industrial terhadap

kegiatan usaha dan investasi asing;

l Kekhawatiran akan intervensi militer dan polisi dalam

perselisihan industrial, dan kesulitan Indonesia dalam membedakan antara kegiatan serikat yang sah dan bebas dari intervensi di satu sisi, dengan pemeliharaan ketertiban dan hukum di sisi lain;

l Tidak efektifnya mekanisme penyelesaian perselisihan yang ada.

Saat ini Indonesia sedang memasuki era baru dalam hubungan in-dustrial, dimana sebuah kerangka hukum sangat dibutuhkan. Kerangka bagi undang-undang yang baru tersebut telah dirancang –dan dijadwalkan secara ambisius– pada tahun 1998. Ia mencakup:

l Undang-undang baru tentang serikat buruh untuk

menindaklanjuti ratifikasi Konvensi Kebebasan Berserikat, dan untuk mengganti peraturan pemerintah tentang serikat buruh tahun 1998;

l Undang-undang baru mengenai penyelesaian perselisihan

in-dustrial dalam rangka menyiapkan mekanisme resolusi;

l Revisi atas beberapa bagian UU Ketenagakerjaan No.25/1997

sebelum ia diberlakukan.

Dalam perkembangannya UU No.25/1997 diputuskan untuk diganti seluruhnya, meskipun beberapa bagian telah diserap kedalam, atau sedikitnya digunakan sebagai landasan untuk mengembangkan, undang-undang perburuhan yang baru. Proses ini ditindaklanjuti oleh Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) dengan merumuskan ketentuan baru melalui forum konsultasi tripartit, dan dengan melibatkan departemen-departemen pemerintah lainnya.5

Akhirnya tiga buah RUU diserahkan ke DPR, yaitu:

5 Proses ini dipaparkan secara lebih rinci dalam, Demystifying The Core Conventions of

the ILO Through Social Dialogue: The Indonesian Experience, International Labour Organi-zation, Kantor Jakarta, Oktober 1999, hal. 15-21.

(13)

l RUU Serikat Buruh yang disetujui menjadi UU No.21/2000

tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan telah diberlakukan;

l RUU-PPI yang masih dibahas dan sedianya akan diberlakukan

dalam waktu dekat; dan

l RUU-PPTK yang juga masih dalam pembahasan di DPR.

Dalam menerapkan undang-undang perburuhan yang baru, tantangan terbesar ada pada proses pembentukan dan pengembangan lembaga. Lembaga-lembaga yang baru meliputi organisasi perwakilan pekerja dan pengusaha, peradilan industrial, jasa konsiliasi dan agen-agen pemerintah yang bertanggung jawab dalam pendaftaran dan pengawasan serikat buruh. Dalam banyak hal penilaian atas keberhasilan undang-undang baru tersebut akan mengacu pada kualitas dan efektivitas lembaga-lembaga yang akan dibentuk, dan sumbangsihnya terhadap kemajuan ekonomi dan sosial di Indonesia.

Dengan demikian, salah satu sumbangan penting yang dapat diberikan Proyek adalah di bidang pembentukan lembaga tersebut. Termasuk didalamnya adalah membantu pembentukan lembaga-lembaga baru serta pengoperasinnya secara efektif, melalui pelatihan dan pengembangan para hakim dan pengurus di lembaga-lembaga tersebut. Pemahaman pekerja, pengusaha dan masyarakat secara umum atas peran dan kegiatan lembaga-lembaga tersebut, serta hak dan kewajiban yang diatur dalam undang-undang perburuhan yang baru perlu semakin ditingkatkan.

Disamping itu juga perlu dibangun kerja sama dengan pemerintah. Mereka membutuhkan bantuan dalam hal perencanaan pembentukan dan pengoperasian sistem yang baru, dan dalam penerapan undang-undang perburuhan yag baru secara efektif –termasuk komitmen mereka untuk membentuk dan memfungsikan sistem secara efektif.

(14)

Penjelasan

Undang-undang ini disetujui oleh DPR pada bulan Juli 2000 dan mulai diberlakukan pada tanggal 4 August 2000. Ia merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan Indonesia menyusul diratifikasinya Konvensi ILO No.87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berorganisasi. Ia menggantikan berbagai peraturan pemerintah sebelumnya mengenai pendaftaran organisasi buruh.

Undang-undang ini membuka berbagai kesempatan, antara lain:

l bagi pekerja untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat; l bagi serikat untuk melindungi, membela dan memperjuangkan

kesejahteraan pekerja dan keluarganya; dan

l perlindungan kepada pekerja dari tindakan diskriminasi dan

intervensi anti-serikat.

Serikat buruh harus didaftarkan di lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas urusan perburuhan. Mereka juga dituntut untuk memenuhi sejumlah persyaratan menyangkut AD/ART, hak dan kewajiban anggota maupun pengurus, administrasi keuangan, pemilikan properti serta pembubaran organisasi.

Undang-undang ini dibagi menjadi 15 bab dengan perincian sebagai berikut:

Bab I mengatur tentang Ketentuan Umum. Serikat pekerja atau serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk oleh dan untuk pekerja/buruh. Istilah “pekerja/buruh” mengacu pada setiap orang yang bekerja untuk

B

AB

D

UA

UNDANG-UNDANG SERIKAT PEKERJA/

SERIKAT BURUH (UU NO.21/2000)

(15)

memperoleh upah atau bentuk pendapatan lain.

Bab II mengatur Dasar Hukum, Sifat dan Tujuan serikat. Serikat diharuskan menerima, dan dasar hukumnya tidak boleh bertentangan dengan, ideologi negara Pancasila dan UUD 1945 (lihat Pasal 2). Pasal 3 menyatakan bahwa serikat harus bersifat “bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab”. Fungsinya adalah untuk membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB), menyelesaikan perselisihan industrial, mewakili pekerja di berbagai dewan dan badan yang terkait dengan urusan perburuhan, dan membela hak dan kepentingan anggotanya (lihat Pasal. 4).

Bab III mengatur tentang Bentuk serikat. Undang-undang ini mengatur adanya tiga tingkatan dalam organisasi serikat, yaitu: serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi. Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi anggota dari sebuah serikat pekerja/serikat buruh. Serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki anggota minimal 10 orang pekerja (Pasal 5).

Serikat Pekerja/Serikat Buruh dapat membentuk dan menjadi anggota dari sebuah federasi. Sebuah federasi harus dibentuk oleh mini-mal 5 serikat pekerja/serikat buruh (Pasal 6). Federasi dapat membentuk dan menjadi anggota dari sebuah konfederasi. Sebuah konfederasi harus dibentuk minimal oleh 3 federasi (Pasal 7).

Pengaturan serikat harus meliputi berbagai ketentuan, antara lain nama dan simbol, dasar peraturan dan tujuan, tanggal pembentukan, alamat sekertariat, keanggotaan dan administrasi, sumber pendanaan dan pertanggungjawaban, serta ketentuan tentang perubahan peraturan organisasi (Pasal 11). Serikat pekerja/serikat buruh yang menjadi anggota sebuah federasi dapat memakai peraturan federasinya. Demikian pula federasi dapat memakai peraturan konfederasi dimana ia bergabung (lihat Penjelasan Undang-undang).

Bab IV menyatakan bahwa Keanggotaan Serikat harus diatur berdasarkan peraturan organisasi (Pasal 13). Kendati demikian, serikat tidak boleh membatasi keanggotaannya atau melakukan tindakan diskriminasi atas dasar “paham politik, agama, etnis atau jenis kelamin” (Pasal 12).

Seorang pekerja tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh (Pasal 14), dan pekerja yang duduk dalam berbagai

(16)

posisi manajerial di tempat kerja tidak boleh menjadi pengurus serikat (Pasal 15). Seorang pekerja dapat memutuskan keanggotaannya dari sebuah serikat secara tertulis (Pasal 17).

Sebuah serikat pekerja/serikat buruh hanya boleh bergabung dengan satu federasi, dan demikian pula sebuah federasi hanya dapat menjadi anggota dari satu konfederasi (Pasal 16).

Bab V mengatur tentang Surat Pemberitahuan dan Pendaftaran. Serikat yang telah dibentuk harus mendaftarkan diri ke lembaga pemerintah yang menangani urusan perburuhan.

Surat pemberitahuan melampirkan juga daftar nama anggota pendiri dan pengurusnya, serta satu buah salinan peraturan organisasi (Pasal 18). Badan pemerintah setempat harus mencatat serikat yang telah memenuhi persyaratan dan memberikan nomor pendaftaran kepadanya dalam kurun waktu 21 hari kerja setelah tanggal pemberitahuan (Pasal 20 (1)).

Apabila sebuah serikat belum memenuhi persyaratan yang diminta, alasan penundaan pendaftaran dan pemberian nomor pendaftaran harus diserahkan oleh badan pemerintah setempat dalam tenggang waktu 14 hari setelah tanggal penerimaan surat pemberitahuan (Pasal 20 (2) dan (3)).

Serikat harus memberitahukan lembaga pemerintah diatas bila terjadi perubahan dalam peraturan organisasinya (Pasal 21). Badan pemerintah tersebut harus menjamin bahwa buku pendaftaran serikat terbuka untuk diperiksa dan dapat diakses oleh masyarakat luas (Pasal 22).

Serikat yang telah memiliki nomor pendaftaran wajib menyerahkan surat pemberitahuan kepada pengusaha terkait (Pasal 23).

Dalam bab ini juga diterangkan bahwa prosedur pendaftaran serikat dapat diatur melalui Keputusan Menteri (Pasal 24). Keputusan Menteri No.16/MEN/2001 tentang Prosedur Pendaftaran Resmi Serikat Buruh/ Serikat Pekerja mengatur tentang prosedur dan formulir yang digunakan dalam menyusun surat pemberitahuan kepada badan pemerintah tingkat kabupaten dimana serikat yang bersangkutan berdomisili, serta tugas lembaga pemerintah untuk melakukan pencatatan dan pelaporan.

Ia mengatur sejumlah kewajiban yang harus dilaporkan serikat, yaitu:

(17)

l pembentukan organisasi;

l perubahan AD/ART atau domisili;

l bantuan keuangan dari sumber pendanaan di luar negeri; dan l pembubaran organisasi.

Ia juga mengharuskan badan pemerintah setempat untuk memberi laporan triwulan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) mengenai jumlah serikat yang sudah terdaftar di tingkat kabupaten, perubahan domisili atau AD/ART serikat, bantuan dana dari luar negeri dan pembubaran serikat (Pasal 10 dan Lampiran XI Kep. No.16/Men/2001).

Bab V mengatur tentang Hak dan Kewajiban Serikat. Serikat yang sudah memiliki nomor pendaftaran berhak melakukan perundingan PKB dengan pihak manajemen, mewakili pekerja dalam menyelesaikan perselisihan industrial di dewan dan lembaga perburuhan, dan mengadakan kegiatan perburuhan selama tidak bertentangan dengan ketentuan hukum (Pasal 21).

Serikat wajib melindungi anggota dari pelanggaran terhadap hak-haknya, meningkatkan kesejahteraan anggota dan keluarganya, serta menjalankan tugas sesuai peraturan (Pasal 27). Ia dapat bergabung dan/ atau bekerja sama dengan serikat buruh internasional atau organisasi internasional lainnya, selama tidak bertentangan dengan ketentuan hukum nasional (Pasal 26).

Bab VII6 mengatur tentang Perlindungan atas Hak Berorganisasi. Setiap

orang dilarang terlibat dalam tindakan yang bertujuan untuk mencegah pekerja membentuk serikat, menjadi atau tidak menjadi anggota atau pengurus serikat, maupun melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan serikat. Tindakan yang dimaksud antara lain: pemecatan, skorsing atau tindakan yang merugikan pekerja sehubungan dengan pekerjaannya, menahan atau mengurangi upah, melakukan intimidasi dan berkampanye menentang pembentukan serikat (Pasal 28).

Pengusaha harus memperbolehkan pengurus dan anggota serikat yang meminta ijin dari pekerjaannya, guna melangsungkan kegiatan

(18)

serikat sebagaimana ditentukan dalam PKB, atau seperti yang telah disetujui kedua belah pihak (lihat Pasal 29 dan Penjelasannya).

Bab VIII mengatur tentang Keuangan dan Aset. Keuangan dan aset serikat harus dikelola sesuai dengan peraturan organisasi (Pasal 33), dan harus dipisahkan dari keuangan serta aset pengurus dan anggota (Pasal 32). Pengurus serikat bertanggung jawab atas penggunaan atau pengelolaan keuangan dan aset tersebut, dan wajib mencatat serta menyerahkan laporan keuangan kepada anggotanya (Pasal 34).

Pengurus serikat harus melaporkan kepada badan pemerintah di bidang perburuhan mengenai bantuan dana tanpa syarat dari luar negeri, sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan nasional. Bantuan ini harus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota (Pasal 31).

Bab IX mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan antar-Serikat. UU No.21/2000 mengatur tentang perselisihan keanggotaan serta pelaksanaan hak dan kewajiban serikat (Pasal 1 dan 35). Ia juga menetapkan bahwa perselisihan tersebut harus diselesaikan sesuai hukum (Pasal 36).

Bab X mengatur tentang Pembubaran Serikat. Serikat buruh dibubarkan apabila: (1) dinyatakan oleh anggota sebagaimana diatur dalam AD/ART, (2) perusahaan tempat anggotanya bekerja ditutup, sehingga hubungan kerja berakhir dan pengusaha telah memenuhi kewajibannya kepada pekerja, atau (3) diputuskan oleh pengadilan (Pasal 37).

Pengadilan dapat membubarkan serikat bila dasar hukumnya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, atau jika pengurus dan/ atau anggotanya dihukum karena tindak kejahatan terhadap Keamanan Negara (lihat Penjelasan), dan dijatuhi hukuman penjara lima tahun atau lebih (Pasal 38).

Bab XI mengatur tentang Pengawasan dan Penyelidikan. Bab ini mengatur tentang pelaksanaan peran pengawas ketenagakerjaan dari pemerintah (Pasal 40), serta fungsi dari kelompok pegawai negeri tertentu sebagai penyidik dalam kaitannya dengan masalah kriminal (Pasal 41). Bab XII mengatur tentang Hukuman sehubungan dengan pelanggaran terhadap undang-undang ini. Hukuman yang dimaksud

(19)

meliputi: (1) pencabutan nomor pendaftaran apabila serikat yang bersangkutan gagal memenuhi syarat-syarat tertentu (misalnya mengumumkan perubahan AD/ART atau melaporkan bantuan keuangan internasional) (Pasal 42), (2) denda dan hukuman penjara bagi mereka yang melanggar Pasal 28, yaitu intervensi terhadap hak berorganisasi (Pasal 43).

Bab XIII berisi tentang Peraturan-peraturan Lain. Dalam Pasal 44 (1) disebutkan bahwa, “Pegawai negeri memiliki kebebasan untuk berkumpul dan hak untuk berorganisasi.” Pelaksanaan atas hak-hak tersebut akan diatur oleh undang-undang yang terpisah.

Terakhir, Bab XIV mengatur tentang berbagai penataan transisional dan Bab XV megatur tentang pemberlakuan undang-undang ini.

Perlu dicatat bahwa ada beberapa hal yang masih gamang dalam UU No.21/2000. Sejumlah kalangan telah mengakui bahwa undang-undang ini mengandung banyak “celah” yang akan menimbulkan kesulitan dalam penerapannya (misalnya mengenai kewajiban badan pemerintah pusat, propinsi dan daerah setempat, serta bagaimana menerapkan kewajiban-kewajiban tertentu menurut undang-undang ini). Di samping itu, ada laporan yang menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan dan inkonsistensi dalam proses pendaftaran di tingkat yang berbeda.

Ia juga tidak mengatur secara rinci berbagai hal menyangkut administrasi serikat (misalnya penyelenggaraan pemilihan dan pemeriksaan keuangan), dan perundingan bersama (misalnya bila dijumpai lebih dari satu serikat yang terdaftar di satu perusahaan). Oleh karena itu pertimbangan secara seksama amat dibutuhkan dalam melaksanakan, mengawasi dan, bila mungkin, merevisi undang-undang ini di masa mendatang.

Kemungkinan Bantuan dan Kegiatan Proyek

Dalam hubungannya dengan Undang-undang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, ruang lingkup kegiatan yang dapat dilakukan Proyek akan bersifat terbatas. Tindakan yang perlu diambil sebaiknya mengarah pada paket reformasi undang-undang perburuhan.

(20)

Implikasi penting dari UU No.21/2000 adalah sebagai berikut:

l Bagi badan pemerintah di bidang perburuhan tingkat

nasional dan propinsi: penerimaan surat pemberitahuan tentang pembentukan serikat, memastikan dipenuhinya persyaratan pendaftaran oleh serikat, mengeluarkan nomor pendaftaran, serta menyimpan dan memperbaharui data-data pendaftaran serikat.

l Bagi pekerja dan serikat: memahami hak dan kewajibannya

sehubungan dengan surat pemberitahuan, mengembangkan AD/ ART organisasi, administrasi dan laporan keuangan yang tepat, dan peran serikat dalam mewakili anggota membuat PKB dan menyelesaikan perselisihan industrial.

l Untuk pengusaha: memahami kewajiban mereka untuk tidak ikut

campur dalam pembentukan atau pengoperasian serikat, ataupun melakukan tindakan diskriminatif terhadap anggota dan pengurus serikat, dan untuk berhubungan dengan serikat-serikat yang baru dalam setiap masalah industrial dan perundingan.

Guna menunjang pelaksanaan serta memahami hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang ini, hal-hal berikut dapat dipertimbangkan untuk menjadi kegiatan Proyek:

1. Penyusunan Buku Panduan berupa ringkasan dari ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Buku ini juga dapat memuat informasi tentang:

l Prosedur dan bentuk surat pemberitahuan menurut

undang-undang No.21/2000; dan

l Contoh AD/ART serikat

2. Penyusunan Alat Informasi tentang undang-undang ini. Media yang satu ini meliputi Buku Panduan dan bahan-bahan lain (misalnya salinan undang-undang dan peraturan atau keputusan menteri yang terkait; salinan Konvensi ILO yang relevan; informasi tentang pembentukan dan pengoperasian serikat, termasuk contoh AD/ ART dan pemberitahuan administrasi keuangan; serta informasi tentang federasi dan konfederasi serikat). Alat informasi ini secara khusus dapat digunakan oleh:

l Pegawai pemerintah pusat dan daerah yang terkait dengan

(21)

l Pekerja yang ingin mendirikan serikat; dan

l Serikat dalam memenuhi kewajiban mereka berdasarkan

undang-undang ini.

3 (a) Bantuan untuk Menakertrans dan badan pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi administratif berdasarkan undang-undang. Hal ini mencakup:

l Penyusunan buku petunjuk administrasi; l Pelatihan bagi para pegawai; dan

l Masukan tentang penyusunan dan penyimpanan data di tingkat

propinsi dan nasional.

Pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut akan menjamin konsistensi penerapan undang-undang ini di tingkat propinsi dan kabupaten. 3 (b)Menakertrans juga dapat menyediakan Layanan Konsultasi (hot

line) yang bertugas memberi saran seputar undang-undang ini kepada:

l pekerja dan serikat;

l pegawai pemerintah daerah; dan l pengusaha.

4. Berbagai kegiatan dapat dilakukan untuk membantu serikat dalam merealisasikan hak dan kewajiban mereka berdasarkan undang-undang ini. Beberapa kegiatan dapat disampaikan dalam proyek-proyek lain (misalnya pelatihan manajemen dan administrasi serikat). Akan tetapi pelatihan dan informasi dasar mengenai undang-undang ini agaknya merupakan kegiatan yang paling berguna untuk saat ini.

5. Ketentuan penting undang-undang ini mengatur tentang perlindungan atas hak berorganisasi (Pasal 28). Ketentuan ini dapat memperbanyak jumlah tuntutan kriminal di pengadilan terhadap pengusaha dan pihak lain (lihat Pasal 43). Di negara-negara lain ketentuan ini menimbulkan perselisihan dan delik hukum, karena para pengurus atau anggota serikat diduga di-PHK sehubungan dengan keanggotaan atau keterlibatan mereka dalam kegiatan serikat. Ada kemungkinan perselisihan dan masalah serupa akan terjadi juga di Indonesia.

(22)

hal-hal berikut:

l menyadarkan pengusaha akan kewajiban mereka menurut

undang-undang;

l mengijinkan petugas pemeriksa (Pasal 40) untuk berperan dalam

mencegah terjadinya pelanggaran, serta dalam menyelesaikan perselisihan yang timbul; dan

l memastikan bahwa pengadilan memberlakukan undang-undang

ini secara tepat dan adil.

Kegiatan dimaksud mencakup pembuatan dokumen tentang tindakan yang dilarang dan kegiatan pemeriksaan dalam rangka mencegah tindakan tersebut (misalnya program pendidikan dan pembinaan).

6. Bantuan untuk Menakertrans melalui: (a) publikasi informasi/data statistik serikat; (b) memantau pelaksanaan undang-undang ini; dan (c) identifikasi dan koreksi atas setiap masalah yang timbul dalam pelaksanaan undang-undang ini, terutama di tingkat daerah. Langkah ini mungkin perlu dipertimbangkan oleh Forum Tripartit Nasional.

7. Kegiatan-kegiatan proyek akan dilaksanakan di tingkat pusat (Jakarta) dan di beberapa daerah. Proyek harus memastikan bahwa masyarakat luas mengetahui kegiatan-kegiatan tersebut, dan yang lebih penting lagi, mengetahui undang-undang ini serta kemajuan yang telah dicapai dalam melaksanakan hak kebebasan berserikat di Indonesia. Untuk tahap ini, pernyataan media dan keterangan pers merupakan bagian dari kegiatan utama dan penerbitan publikasi. Di samping itu, perlu juga dipikirkan metode peningkatan kesadaran masyarakat, termasuk melalui penyelenggaraan Kursus Informasi atau Apel tentang berbagai aspek dalam UU No.21/2000. Walaupun targetnya adalah praktisi hubungan industrial (pengusaha, serikat dan pekerja, pegawai pemerintah, advokat industri, dll), namun ia juga terbuka bagi LSM, akademisi dan pihak-pihak terkait lainnya.

(23)

Penjelasan

Hingga buku ini selesai ditulis, Rancangan Undang Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial (RUU-PPI) masih diproses di DPR. Analisa dan penjelasan yang diketengahkan disini mengacu pada draf RUU yang diserahkan ke DPR.

RUU-PPI merupakan bagian dari paket reformasi undang-undang perburuhan di Indonesia. RUU ini diharapkan dapat mengefektifkan penyelesaikan perselisihan dibanding undang-undang sebelumnya (UU No.22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Peruruhan).

Berdasarkan UU No.22/1957, prosedur penyelesaian perselisihan diatur sebagai berikut:

l Pihak-pihak yang bersengketa harus berupaya mencari

penyelesaian;

l Apabila tidak dicapai kesepakatan, kedua pihak dapat

menyerahkan permasalahannya kepada arbitrator atau dewan arbitrator;

l Apabila perselisihan tidak juga dapat diselesaikan, salah satu

atau kedua belah pihak dapat menunjuk konsiliator (staf Menakertrans);

l Apabila perselisihan masih belum bisa diselesaikan melalui proses

mediasi, konsiliator harus menyerahkan masalah ini ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Pekerja di Daerah (P4D);

l P4D harus berupaya keras menyelesaikan perselisihan melalui

B

AB

T

IGA

RUU PENYELESAIAN

(24)

mediasi, dan jika gagal ia dapat mengeluarkan rekomendasi atau keputusan yang bersifat mengikat;

l (Pemberian) keputusan P4D dapat dilaksanakan oleh pengadilan

apabila ia tidak dihargai oleh kedua belah pihak dalam tempo 14 hari, kecuali jika banding diajukan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Pekerja di tingkat Pusat (P4P); dan

l Keputusan P4P bersifat mengikat dan dapat dilaksanakan dalam

waktu 14 hari, kecuali jika Menakertrans menunda atau membatalkan keputusan tersebut dengan alasan pemeliharaan ketertiban atau perlindungan kepentingan negara.

PHK merupakan bagian penting dari tugas yang diemban oleh P-4D. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha dan organisasi pekerja atau pekerja yang terkait, pengusaha harus meminta ijin –kecuali dalam beberapa hal, seperti masa percobaan atau kontrak kerja– untuk melakukan PHK ke P-4D (untuk PHK perseorangan) atau P4P (untuk PHK massal, yaitu pemecatan 10 pekerja atau lebih dalam jangka waktu satu bulan).

Sistem penyelesaian perselisihan industrial di Indonesia belakangan ini tidak dapat bekerja dengan baik. Hal ini disebabkan oleh berbagai alasan, dari mulai masalah kinerja Panitia (P4D/P4P) sampai dengan perubahan-perubahan mendasar yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan perekonomian. Keterlambatan Panitia dalam menyelesaikan perselisihan dan campur tangan pemerintah dalam proses tersebut melalui hak veto Menakertrans untuk menunda atau membatalkan keputusan Panitia terbukti telah mendatangkan masalah. Masalah lainnya adalah tantangan hukum yang diajukan di Pengadilan Administrasi dan pengadilan tinggi terhadap keputusan Panitia. Disamping itu, komposisi Panitia juga berpotensi menimbulkan masalah, terutama karena ketua Panitia adalah perwakilan dari Menakertrans dan wakil unsur pekerja di sejumlah Panitia secara sepihak masih dipegang oleh FSPSI (tidak mencakup perwakilan dari serikat buruh yang baru).

Mengingat negeri ini sedang bergerak menuju masyarakat yang demokratis, dimana intervensi pemerintah, militer dan polisi dalam perselisihan industrial diminimalisir, kebutuhan akan sistem yang baru semakin dirasakan. Sistem tersebut harus dapat dipercaya oleh kalangan

(25)

industri, dan mampu memberi penyelesaian secara adil dan tepat. Di samping itu, pengawasan pemerintah berkaitan dengan PHK dan prosedur perijinan yang dirasa oleh kalangan pengusaha tidak praktis semakin dipertanyakan kelayakannya dalam perekonomian modern sekarang ini.

RUU-PPI bermaksud menyediakan sebuah sistem penyelesaian persilisihan industrial yang lebih efektif, dengan prosedur yang “sederhana, cepat, adil dan tidak mahal.” Ia akan menggantikan UU No.22/1957 dan UU No.12/1964 mengenai Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.

RUU ini menetapkan 4 jenis perselisihan industrial, yaitu:

l perselisihan kepentingan, misalkan penetapan upah dan syarat

kerja

l perselisihan tentang hak normatif, misalnya kepatuhan terhadap

PKB, peraturan perusahaan dan ketentuan perundang-undangan

l perselisihan atas PHK

l konflik antar-serikat di perusahaan yang sama, menyangkut

pelaksanaan hak dan kewajiban serikat.

Ia mencakup perselisihan yang terjadi di perusahaan-perusahaan swasta, Badan Usaha Milik Negara dan badan-badan sosial.

RUU-PPI menetapkan proses penyelesaian perselisihan seperti berikut:

Negosiasi dua pihak (Bipartit)

l Pada tingkat pertama, penyelesaian perselisihan harus diupayakan

oleh pengusaha dan pekerja yang terlibat, bersama organisasi perwakilan masing-masing (Pasal 3).

l Catatan tentang perundingan tersebut harus disimpan (Pasal 7)

dan setiap kesepakatan harus dicatat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak (Pasal 8 (1)). Perjanjian tertulis ini bersifat mengikat kedua belah pihak secara hukum (Pasal 8 (2)).

l Apabila konflik kepentingan, perselisihan tentang PHK atau

perselisihan antar-serikat tidak dapat diselesaikan melalui perundingan bipartit, penyelesaian harus dilakukan melalui mediasi, arbritase

(26)

indus-trial atau pengadilan indusindus-trial (Pasal 5). Sedangkan perselisihan atas hak harus diselesaikan melalui pengadilan industrial (Pasal 4).

Mediasi

l Kedua pihak dapat meminta secara resmi seorang mediator untuk

membantu menyelesaikan perselisihan (Pasal 9). Mediator adalah pegawai badan pemerintah untuk urusan perburuhan, yang ditunjuk oleh menteri untuk melakukan mediasi. (Pasal 1)

l Mediator harus menyelidiki penyebab perselisihan dan

mengadakan pertemuan mediasi (Pasal 10). Apabila proses mediasi tidak dapat menyelesaikan perselisihan, mediator harus mengeluarkan surat rekomendasi kepada kedua pihak (Pasal 13). Apabila rekomendasi tersebut ditolak oleh salah satu pihak, perselisihan harus diselesaikan oleh pengadilan industrial. (Pasal 14).

l Batas waktu untuk membuat dan menerima rekomendasi adalah

14 hari (lihat Pasal 13), sedangkan batas waktu penyelesaian mediasi adalah 30 hari (Pasal 15). Prosedur pengangkatan mediator dan proses mediasi diatur melalui keputusan menteri (Pasal 16).

Arbitrase Industrial (Sukarela)

l Dalam hal konflik kepentingan, PHK atau perselisihan

antar-serikat, kedua pihak dapat menyetujui secara tertulis proses penyelesaian melalui arbitrase industrial. (Pasal 17).

l Kedua belah pihak harus sepakat mengangkat seorang

arbitra-tor industrial yang terdaftar di badan pemerintah untuk urusan perburuhan (lihat Pasal 18-20). Apabila kedua pihak tidak setuju, salah satu atau kedua belah pihak dapat meminta pengadilan industrial untuk mengangkat seorang arbitrator (Pasal 21).

l Keputusan arbitrasi industrial bersifat mutlak dan mengikat kedua

belah pihak secara hukum, dan dapat dilaksanakan di pengadilan negeri (Pasal 23). Namun aplikasi keputusan tersebut dapat ditinjau ulang oleh Mahkamah Agung (MA) apabila salah satu pihak menduga bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan hukum, ketertiban masyarakat atau moralitas, dan tidak berdasarkan pada materi yang tepat. (lihat Pasal 25).

(27)

l Prosedur pendaftaran dan prosedur kerja untuk arbitrator

in-dustrial diatur melalui keputusan menteri (Pasal 27). Pengadilan Industrial

l Pembentukan dan Komposisi. Pengadilan industrial harus

dibentuk di setiap pengadilan negeri di ibukota propinsi, dan di MA (Pasal 28 dan 29).

l Pengadilan industrial terdiri dari hakim, hakim ad hoc, hakim MA

dan panitera (Pasal 30). Hakim-hakim pengadilan industrial di pengadilan negeri harus diangkat oleh Ketua MA (Pasal 31 dan 32).

l Hakim-hakim ad-hoc harus diangkat melalui keputusan presiden

berdasarkan rekomendasi Ketua MA (Pasal 33 (1)). Rekomendasi diberikan berdasarkan nama yang diajukan oleh organisasi pengusaha dan pekerja yang telah disetujui oleh Menakertans (Pasal 33 (2)).

l Persyaratan pengangkatan hakim ad hoc antara lain:

berpengalaman minimal 5 tahun di bidang hubungan industrial, dan bergelar master di bidang hukum (Pasal 34). Mereka diangkat untuk masa jabatan 5 tahun dan dapat diperpanjang (Pasal 37). Ketentuan tentang PHK atau pemecatan hakim-hakim ad hoc dalam situasi tertentu telah dilakukan. (Pasal 36-39, 42).

l Pengawasan: Tugas hakim, hakim ad hoc dan panitera

pengadilan industrial dan pengadilan negeri diawasi oleh Ketua Pengadilan Negeri terkait. Pengawasan ini tidak ditujukan untuk mempengaruhi kebebasan dan kemandirian hakim dan hakim ad hoc dalam menjalankan tugasnya. Pengawasan demikian juga berlaku terhadap hakim agung, yang dilakukan oleh Ketua MA (lihat Pasal 42). Prosedur pengangkatan dan pemberhentian hakim ad hoc ditetapkan melalui peraturan pemerintah (Pasal 42), sedangkan upah dan tunjangan yang diberikan kepadanya ditetapkan melalui keputusan presiden (Pasal 43).

l Sub-pendaftaran: Kantor pendaftaran didirikan di setiap

pengadilan industrial bekerjasama dengan pengadilan negeri, dan diketuai oleh wakil panitera dibantu beberapa panitera pengganti (Pasal 44).

Kantor ini melaksanakan tugas-tugas administratif, seperti pencatatan kasus perselisihan yang sudah didaftarkan dan pelaksanaan

(28)

sidang pengadilan industrial (lihat Pasal 45-50 secara umum). Untuk tahap awal, wakil panitera dan panitera pengganti dijabat oleh pegawai badan pemerintah untuk urusan perburuhan (Pasal 47 dan 51).

l Penyelesaian Perselisihan Melalui Hakim: Hakim

pengadilan industrial di pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan membuat keputusan atas:

l Perselisihan hak;

l Perselisihan kepentingan; l Perselisihan atas PHK; dan

l Perselisihan antar-serikat di perusahaan yang sama (Pasal 53).

Pasal 1 menyebutkan bahwa “perselisihan hak” adalah perselisihan yang timbul dari kegagalan untuk memenuhi hak sesuai perjanjian kerja, peraturan perusahaan, PKB atau ketentuan undang-undang. Hakim berwenang untuk memeriksa dan membuat putusan atas perselisihan hak “di tingkat pertama dan terakhir” (Pasal 53 (a)).

“Perselisihan kepentingan” terjadi karena tidak ada kesepakatan menyangkut kepegawaian atau perubahan persyaratan kerja yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, PKB atau ketentuan undang-undang (lihat Pasal 1 dan Penjelasannya). Sedangkan “perselisihan atas PHK” timbul akibat tidak adanya kesepakatan menyangkut kebijakan PHK (Pasal 1).

Hakim berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perselisihan kepentingan atau PHK “di tingkat pertama” (Pasal 53 (b) dan (c)). Putusan hakim tersebut harus tunduk pada keputusan banding Pengadilan In-dustrial di MA (Pasal 71).

“Perselisihan antar-serikat” adalah perselisihan yang terjadi diantara serikat dalam perusahaan yang sama, menyangkut pelaksanaan hak dan kewajiban serikat (Pasal 1). Perselisihan ini ditangani oleh hakim Pengadilan Industrial “di tingkat pertama dan terakhir” (Pasal 53 (d)), dan putusan yang diambil bersifat mutlak dan tetap (Pasal 70).

l Prosedur dan Proses: Prosedur dan proses penanganan

perselisihan industrial dijelaskan oleh undang-undang. Undang-undang Prosedur Sipil dapat digunakan di pengadilan industrial (Pasal 54). Dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal penerimaan permohonan, ketua Pengadilan Negeri harus membentuk majelis hakim guna memeriksa dan memutuskan perkara tersebut.

(29)

Majelis yang dimaksud terdiri dari seorang hakim yang diangkat sebagai ketua, dan dua orang hakim ad hoc sebagai hakim anggota (satu diangkat berdasarkan rekomendasi organisasi pekerja, dan yang lainnya diangkat berdasarkan rekomendasi organisasi pengusaha) (Pasal 55). Persidangan dilaksanakan dalam waktu 7 hari setelah tanggal pembentukan majelis hakim, dan kedua belah pihak dapat dipanggil untuk menghadiri sidang (Pasal 56).

Majelis hakim berwenang untuk memanggil saksi atau saksi ahli (Pasal 57), dan dapat memaksa pihak perorangan untuk membantu proses penyelidikan guna mempermudah penyelesaian sengketa, termasuk melalui penyusunan laporan dan dokumen (Pasal 58 dan 78). Perlu dibuat ketentuan menyangkut penundaan dan pendaftaran ulang kasus perselisihan, pemberhentian dan pelaksanaan sidang (Pasal 60-62).

Majelis hakim harus mengambil putusan dalam waktu 90 hari setelah sidang pertama digelar (Pasal 65). Keputusan tersebut harus mempertimbangkan “undang-undang, perjanjian, konvensi dan keadilan” (Pasal 63) dan dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum serta diberikan kepada kedua belah pihak. (Pasal 64, 66-69).

l Pengajuan Banding: Permohonan banding ke MA dapat

dilakukan atas putusan perselisihan kepentingan atau perselisihan PHK. Permohonan banding harus diajukan dalam waktu 14 hari setelah pengumuman atau pembacaan keputusan (Pasal 71).

l Banding di MA: Permohonan banding yang diajukan atas

putusan Pengadilan Industrial akan ditangani oleh hakim agung di Mahkamah Agung Industrial (Pasal 74). Apabila banding dilakukan, maka perselisihan tersebut harus diselesaikan dalam rentang waktu 30 hari setelah permohonan banding diterima (Pasal 76). Prosedur pengajuan banding dan penyelesaian perselisihan di MA harus sesuai dengan peraturan dan undang-undang (Pasal 75).

l Mogok dan Larangan Kerja: RUU ini menetapkan ketentuan

khusus berkaitan dengan aksi mogok dan larangan kerja. Apabila kedua belah pihak melakukan proses mediasi, arbitrase industrial atau penyelesaian melalui Pengadilan Industrial, mereka yang bertanggung jawab atas aksi mogok dan larangan kerja harus mengakhiri kegiatannya. Aksi mogok atau larangan kerja harus sudah dihentikan pada waktu perundingan dimulai, atau sejak ada kesepakatan bahwa perselisihan

(30)

tersebut akan diajukan ke mediator, arbitrator atau pengadilan indus-trial (Pasal 77). Kegagalan dalam memenuhi kewajiban untuk menghentikan aksi mogok atau larangan kerja merupakan tindak pelanggaran kriminal (Pasal 78).

l Penataan Transisional: RUU-PPI menyatakan bahwa P-4P

dan P-4D harus terus melaksanakan tugas dan fungsinya hingga pengadilan industrial dibentuk. Setelah pengadilan industrial terbentuk, ia akan menangani perselisihan dan banding yang diajukan ke Panitia namun tidak dapat diselesaikan (Pasal 80).

l Tanggal Pemberlakuan: RUU-PPI akan mulai berlaku dua

tahun setelah diumumkan (Pasal 82). Masa persiapan untuk mengangkat hakim dan membangun struktur serta infrastruktur guna penerapan pengadilan industrial –termasuk pembangunan kantor dan ruang pertemuan– telah ditetapkan (lihat Penjelasannya).

Kemungkinan Bantuan dan Kegiatan Proyek

RUU-PPI akan menghasilkan perubahan yang fundamental dalam sistem hubungan industrial di Indonesia, termasuk pembentukan lembaga-lembaga baru di bidang penyelesaian perselisihan industrial.

Keberhasilan dalam memperkenalkan dan menerapkan sistem yang baru tersebut merupakan hal yang sangat penting. Ia mengganti susunan lama yang tidak efektif dan tidak dipercaya kalangan industri dan masyarakat.

Sistem yang baru ini sudah berkembang dan telah menghasilkan beberapa perubahan mendasar, antara lain: komitmen terhadap standar perburuhan internasional tentang kebebasan berserikat dan perundingan kolektif, pembentukan, pembaharuan serta peremajaan fungsi serikat, dan kebijakan pemerintah yang kaku di bidang hubungan industrial dan kegiatan pekerja, termasuk campur tangan militer dan polisi dalam perselisihan industrial.

Tidak dapat dihindari bahwa perselisihan industrial akan terjadi di lingkungan industri yang baru. Perselisihan-perselisihan tersebut dikhawatirkan akan berakhir dengan kekerasan atau tindakan destruktif. Perselisihan industrial juga dikhawatirkan akan mempengaruhi proses

(31)

pemulihan ekonomi dan kemampuan menarik investasi dalam dan luar negeri. Oleh karenanya perlu segera disusun wacana yang adil dan efektif guna membantu penyelesaian perselisihan industrial.

Dalam beberapa hal sistem yang baru ini merupakan langkah awal yang penting dari wacana yang sudah ada, yaitu Panitia Penyelesaian Perselisihan. Secara khusus ia memberi peran kepada hakim-hakim di pengadilan negeri dan MA untuk terlibat dalam menyelesaikan perselisihan industrial. Di tingkat Pengadilan Negeri, hakim akan duduk bersama hakim ad hoc yang diangkat berdasarkan rekomendasi pengusaha dan serikat.

Keterlibatan mereka dimaksudkan untuk memberi tempat yang tinggi kepada pengadilan industrial, dan untuk mencegah timbulnya masalah akibat ketidakpuasan terhadap putusan Panitia. Keterlibatan hakim juga akan ikut menghapuskan kekhawatiran akan praktek korupsi dalam sistem ini, dan menjamin bahwa sidang dapat dilaksanakan secara adil.

Akan tetapi keberhasilan sistem yang baru ini sangat tergantung pada tingkat kepercayaan kalangan industri dan masyarakat secara umum, yang hanya bisa dicapai jika ia mampu beroperasi secara adil, cepat dan efektif dalam menyelesaikan perselisihan. Banyak hal tergantung pada hakim, prosedur dan pendekatan dalam penyelesaian perselisihan, kemampuan pengadilan industrial untuk menghasilkan putusan yang dapat diterima, dan ketepatan waktu dalam proses penyelesaian perselisihan industrial.

Banyak cara yang dapat dilakukan Proyek dalam rangka memperkenalkan sistem yang baru tersebut, yaitu:

l proses pemilihan dan pengangkatan hakim dan hakim ad hoc; l proses pemilihan dan pengangkatan mediator dan arbitrator; l pelatihan untuk hakim, mediator dan arbitrator;

l pelatihan untuk pegawai pemerintah, pengusaha dan serikat

buruh tentang pengoperasian sistem ini, termasuk advokasi in-dustrial;

l bantuan terhadap susunan administrasi dan pelaksanaan

pengadilan industrial serta layanan mediasi, termasuk pelatihan bagi panitera dalam membuat peraturan dan prosedur pencatatan perselisihan dan pengumuman sidang serta

(32)

putusannya, prosedur sidang, dll.; serta

l penyusunan dokumen tentang undang-undang dan sistem yang

baru ini, termasuk buku panduan tentang cara penerapannya (walaupun buku tersebut harus menunggu hingga RUU-PPI diberlakukan).

Pada tahap awal diusulkan agar bantuan diberikan kepada daerah-daerah prioritas terlebih dahulu. Pengoperasian susunan yang baru ini kemungkinan akan dipercepat karena jumlah perselisihan industrial dikhawatirkan akan semakin meningkat. Jika itu terjadi, pemberian bantuan di daerah-daerah tersebut akan semakin mendesak.

1. Rencana strategis untuk lembaga yang baru: Bantuan untuk Menakertrans serta menteri-menteri terkait lainnya (misalnya Menteri Kehakiman) tentang berbagai persoalan yang dapat timbul akibat pembentukan pengadilan industrial dan pengangkatan hakim.

Transparansi dalam proses pengangkatan dan pemilihan hakim ad hoc sangat penting agar masyarakat percaya pada pengadilan indus-trial. Bahkan jika mungkin Proyek dapat membantu merumuskan peraturan dan prosedur persidangan dalam pengadilan industrial.

2. Pelatihan bagi mediator: Pelatihan ini akan dikembangkan berdasarkan pengalaman dan kursus pelatihan yang pernah diselenggarakan bagi pegawai pemerintah yang kini telah diangkat sebagai mediator.

3. Pelatihan untuk hakim dan hakim ad hoc pengadilan industrial: Pelatihan mencakup pengembangan paket pelatihan untuk para hakim yang belum berpengalaman dalam bidang perselisihan in-dustrial. Di samping itu, mengingat undang-undang ini tidak menjelaskan tata cara penanganan dan pembuatan keputusan (misalnya melalui konsiliasi, arbitrase, keputusan pengadilan atau kombinasi ketiganya) dan prosedur yang dapat diterapkan, paket pelatihan perlu dikembangkan di lembaga peradilan dan terhadap para pembuat kebijakan. Pada tahap awal, pembahasan mengenai bantuan yang dapat diberikan akan melibatkan MA dan pengadilan negeri. Pelatihan diselenggarakan di tingkat pusat dan di beberapa daerah.

Penyelenggaraan Kursus Diploma Universitas tentang Undang-undang Tenaga Kerja dan Konsilisasi serta Arbitrase perlu mendapat perhatian, terutama yang dirancang khusus bagi hakim pengadilan industrial yang

(33)

baru (atau mereka yang dinominasikan untuk mengisi jabatan tersebut). Kursus ini dapat mengikutsertakan konsiliator dan pihak terkait lainnya, misalnya advokat industrial. Kursus diploma dapat diadakan di semua universitas terkemuka di Indonesia, atau melalui kerjasama dengan uni-versitas di luar negeri.

Ia merupakan kursus singkat (misalnya 8 minggu) dan meliputi berbagai topik, misalnya undang-undang perburuhan, standar internasional, ekonomi buruh, hubungan industrial dan manajemen sumber daya manusia. Ia juga mencakup program pelatihan praktis mengenai konsiliasi dan arbitrase di bidang industri dan perselisihan industrial. Ia merupakan kendaraan utama Proyek dalam mengadakan pelatihan bagi hakim dan hakim ad hoc di pengadilan industrial.

Pengalaman membentuk Panitia Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrasi di Afrika Selatan, serta berbagai bantuan yang diberikan oleh ILO berguna untuk dipelajari. Selain itu, bantuan dapat diberikan oleh anggota Panitia Hubungan Industrial Australia melalui pelatihan hakim pengadilan industrial dan mediator.

4. Penyusunan dokumen tentang sistem yang baru: Penyusunan dokumen dan buku panduan tentang sistem yang baru dapat dilakukan melalui kerja sama dengan Menakertrans. Dokumen dan buku panduan tersebut harus disediakan untuk kalangan industri (pengusaha, pekerja dan perwakilan mereka) dan harus melampirkan salinan undang-undang terkait dan peraturan pengadilan industrial.

5. Kursus informasi untuk pengusaha dan serikat tentang sistem yang baru: Kursus ini berisi penjelasan singkat kepada pegawai pemerintah, pengusaha dan perwakilan pekerja tentang sistem yang baru dan tugas mediator, arbitrator serta pengadilan industrial. Kursus ini dapat diadakan di beberapa daerah melalui kerja sama dengan Menakertrans dan pengadilan. Jangka waktu pelaksanaannya singkat (misalnya satu hari) dan dapat dilanjutkan dengan kursus yang lebih intensif bagi para pelaku dalam sistem dan advokat industrial.

6. Pelatihan lanjutan untuk kalangan industri dan advokat: Kursus informasi ini bertujuan untuk memberi gambaran dan pengertian umum tentang pelaksanaan sistem dan lembaga yang baru. Kursus pelatihan yang lebih komprehensif dapat dikembangkan untuk pemerintah, pengusaha dan serikat sebagai pihak yang terlibat langsung

(34)

dalam pelaksanaan sistem tersebut.

7. Dorongan untuk membentuk komisi pemantau: Komisi pemantau atau penasehat yang terdiri dari perwakilan pemerintah, pengusaha dan serikat, serta hakim pengadilan industrial dapat dibentuk guna membantu memperkenalkan sistem yang baru dan memberi nasehat tentang penerapannya. Peran ini dapat diemban oleh Dewan Konsultasi Tripartit Nasional. Pengadilan industrial di Pengadilan Negeri juga dapat didorong untuk membentuk badan konsultasi yang melibatkan wakil dari pihak-pihak yang terlibat dalam sistem ini.

8. Kesadaran masyarakat: Kegiatan Proyek harus dipublikasikan secara luas agar masyarakat memahami sistem ini, serta langkah-langkah yang perlu ditempuh guna menyusun sistem dan pelaksanaan undang-undang. Untuk itu siaran pers harus dicanangkan sebagai bagian dari kegiatan utama dan publikasi dokumen Proyek.

9. Propinsi: Perhatian khusus perlu diberikan pada masalah-masalah yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan sistem ini di daerah, termasuk kebutuhan akan konsistensi pendekatan serta hasil yang telah dicapai oleh sistem ini di beberapa tingkat yang berbeda. Termasuk didalamnya adalah program pelatihan yang tengah dikembangkan bagi pegawai pemerintah, perwakilan pengusaha dan serikat setempat.

(35)

Penjelasan

Seperti juga RUU-PPI, hingga buku ini selesai ditulis Rancangan Undang Undang Pengembangan dan Perlindungan Tenaga Kerja (RUU-PPTK) masih dalam proses pembahasan di DPR. Analisa dan penjelasan yang akan diketengahkan dibawah ini mengacu pada RUU yang diajukan ke DPR pada bulan Agustus 2001.

RUU ini sedianya akan menggantikan UU No.25/1997. Ia mengatur berbagai hal seputar pekerjaan dan hubungan industrial, khususnya perlindungan atas hak dasar pekerja termasuk upah, jaminan sosial dan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

Ruang lingkup RUU-PPTK dapat dilihat dari judul bab-bab berikut:

l Bab III Kesempatan yang Sama

l Bab IV Rencana dan Informasi Tenaga Kerja l Bab V Pelatihan Kerja

l Bab VI Penempatan Kerja

l Bab VII Penempatan Tenaga Asing l Bab VIII Hubungan Kerja

l Bab IX Perlindungan, Upah dan Kesejahteraan l Bab X Hubungan Industrial

l Bab XI Pemutusan Hubungan Kerja

l Bab XII Pengembangan Kegiatan Tenaga Kerja l Bab XIII Pengendalian

B

AB

E

MPAT

RUU PENGEMBANGAN DAN

(36)

l Bab XIV Penyelidikan

l Bab XV Tindak Kriminal dan Sanksi Administratif.

Bab III, VIII, IX, X, dan XI RUU-PPTK mengatur hal-hal yang termasuk dalam undang-undang kepegawaian atau peraturan dasar perburuhan di sejumlah negara.

Bab III mengatur kesempatan yang sama dan melarang pengusaha melakukan tindakan diskriminasi dalam menawarkan pekerjaan (Pasal 5) atau dalam pekerjaan (Pasal 6). Diskriminasi yang dimaksud meliputi diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, etnis, ras, agama atau paham politik, serta perlakuan yang adil bagi orang-orang cacat (lihat Penjelasan). Bab VIII mengatur hubungan kerja dan cara menyusun perjanjian kerja antara pengusaha dengan individu pekerja (Pasal 63-76). Hal-hal yang harus dimasukkan dalam perjanjian kerja telah ditentukan, dan syarat perjanjian yang berhubungan dengan upah dan persyaratan kerja tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum dan peraturan perusahaan, PKB atau undang-undang yang relevan (Pasal 67 (2)).

Bab IX menetapkan berbagai hal yang berhubungan dengan upah dan persyaratan kerja. Bagian pertama bab ini berisi ketentuan tentang:

l Tenaga kerja di bawah umur (lihat Pasal 78-84), termasuk

larangan untuk mempekerjakan anak di bawah usia 15 tahun. (Pasal 82);

l Perlindungan untuk pekerja cacat (Pasal 77);

l Pembatasan kerja malam bagi pekerja wanita (Pasal 85); l Jam kerja dan lembur (Pasal 86-88), masa istirahat (Pasal 89 dan

95), masa ibadah (Pasal 90), cuti (Pasal 91), dan hari libur umum;

l Perlindungan terhadap pekerja wanita (Pasal 92-95), termasuk

cuti hamil yang dibayar (Pasal 93 dan 95) dan cuti haid (Pasal 92 dan 95);

l Perlindungan umum menyangkut K3 (Pasal 97 dan 98) dan

per-lakuan yang baik, yaitu perlindungan dari pelecehan dan pelang-garan seksual, serta perlakuan yang mencerminkan rasa hormat terhadap martabat manusia dan nilai-nilai agama (Pasal 97).

(37)

Mengingat banyaknya masalah yang hendak ditangani (misalnya K3, penyediaan ruang menyusui di tempat kerja, hak cuti, jam kerja dan tenaga kerja dibawah umur), maka pengaturan secara lebih spesifik diserahkan pada peraturan pemerintah atau keputusan menteri.

Bagian dua Bab IX memuat ketentuan tentang pembayaran upah, yakni: upah minimum tingkat propinsi atau kabupaten dirancang berdasarkan konsep kebutuhan hidup yang layak (Pasal 99-100); upah yang besarnya melebihi ketentuan upah minimum akan dirundingkan antara pengusaha dengan pekerja (Pasal 101-103); cuti sakit yang dibayar dan hak cuti lainnya (Pasal 104); pembayaran upah yang terlambat (Pasal 105); dan pembentukan Dewan Sistem Pengupahan tingkat Nasional dan Daerah guna merumuskan kebijakan pengupahan (Pasal 108). Sebagian besar hal-ikhwal diseputar masalah pembayaran upah ini akan diatur lebih jauh dalam peraturan pemerintah.

Bagian tiga bab IX mengatur tentang kesejahteraan pekerja dengan mengacu pada sistem jaminan sosial yang diatur oleh undang-undang (Pasal 109). Disamping itu RUU ini juga mengatur perumusan peraturan pemerintah menyangkut penyediaan fasilitas kesejahteraan oleh pengusaha, serta dorongan untuk mendirikan koperasi pekerja (Pasal 110-111).

Bab X memuat ketentuan tentang hubungan industrial. Bab ini mengacu pada peran pemerintah, pekerja dan pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial (Pasal 113), sekaligus menegaskan hak dasar pekerja dan pengusaha untuk membentuk dan menjadi anggota dari organisasi-organisasi perwakilan (Pasal 115-118)

Dalam bab ini juga diatur tentang pembentukan forum kerjasama bipartit di setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 pekerja atau lebih, yang berfungsi sebagai “forum komunikasi, konsultasi dan pertimbangan guna menyelesaikan masalah ketenagakerjaan” (Pasal 119). Selain itu, Lembaga Kerjasama Tripartit juga dapat dibentuk untuk memberi rekomendasi kepada pemerintah dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam pembuatan kebijakan dan pemecahan masalah di bidang perburuhan (Pasal 120).

RUU-PPTK mengharuskan perusahaan membuat serangkaian ketentuan dan peraturan perusahaan yang akan disahkan oleh Menakertrans atau pegawai pemerintah yang diangkat (Pasal 121, 125 sampai 128). Ketentuan dan peraturan tersebut harus dirumuskan setelah

(38)

berkonsultasi dengan perwakilan pekerja (Pasal 123), dan harus berisi penjelasan atas berbagai masalah, antara lain:

l hak dan kewajiban pengusaha; l hak dan kewajiban pekerja; l persyaratan kerja; dan

l disiplin perusahaan dan peraturan tentang perilaku (Pasal 124).

Ketentuan dan peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan berlaku selama masa pemberlakuannya, kecuali bila PKB dirundingkan kembali.(Pasal 124).

PKB diatur dalam Pasal 129-141. Kesepakatan ini dilakukan antara serikat yang telah resmi terdaftar dengan pihak pengusaha (Pasal 129). Setiap perusahaan hanya memiliki satu PKB (Pasal 130).

Apabila PKB didukung oleh lebih dari separuh jumlah pekerja di perusahaan tersebut, ia akan dinyatakan berlaku bagi seluruh pekerja di perusahaan itu. Jika ia tidak didukung oleh lebih dari separuh pekerja di perusahaan tersebut, PKB dinyatakan hanya berlaku bagi pekerja yang menyetujuinya (Pasal 131).

Masa berlaku PKB maksimal dua tahun dan dapat diperpanjang tidak lebih dari satu tahun melalui perjanjian tertulis antara pengusaha dan serikat (Pasal 132). PKB dinyatakan berlaku sejak saat penandatangannya, kecuali jika dalam kesepakatan dinyatakan lain. Ia harus didaftarkan ke badan pemerintah yang bertanggung jawab atas urusan perburuhan (Pasal 140).

PKB harus ditandatangani dan harus mengatur hak dan kewajiban pengusaha, serikat dan pekerja serta masa berlakunya (Pasal 133 (1)). Ketentuan dalam PKB tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, dalam arti ia tidak boleh berada dibawah standar yang ditetapkan undang-undang tentang masalah yang sama (Pasal 133 (2), (3) dan Penjelasannya). Disamping itu, perjanjian kerja atau kontrak kerja perorangan tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah ditentukan dalam PKB (Pasal 136).

Pengusaha dan serikat harus memberitahukan pekerja tentang isi PKB (Pasal 135 (2)). Pengusaha dan serikat harus melaksanakan kesepakatan ini (Pasal 135 (1)) dan pengusaha tidak boleh menggantinya dengan Peraturan Perusahaan selama ada serikat di perusahaan tersebut (Pasal 138 (1)). Walaupun ada peraturan lain yang dipakai, namun

(39)

ketentuan dalam peraturan tersebut tidak boleh lebih rendah dari apa yang telah ditentukan dalam PKB (Pasal 138 (2)).

Apabila terjadi pergantian kepemilikan perusahaan (atau pembubaran serikat), PKB akan tetap berlaku hingga masa berlakunya berakhir (Pasal 139 (1)). Jika terjadi penggabungan (merger) antar-perusahaan, maka PKB yang memberi keuntungan lebih besar kepada pekerja akan diberlakukan di kedua perusahaan tersebut (Pasal 139 (2) dan (3)).

Syarat untuk membuat, memperpanjang, menambah dan mendaftarkan PKB akan diatur melalui keputusan menteri (Pasal 141). RUU ini mengatur tentang fungsi dan kewajiban pemerintah dalam hubungan industrial. Pemerintah harus memastikan kepatuhan dan pemberlakuan undang-undang yang relevan (Pasal 143). Tujuan hubungan industrial di Indonesia menurut penjelasan pasal ini adalah seperti berikut:

“a. Menciptakan ketenangan bagi pekerja di tempat kerja dan bagi pengusaha dalam melaksanakan usahanya;

b. Menyeimbangkan dan menyesuaikan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha;

c. Melindungi hak pekerja dan pengusaha;

d. Mendorong pengembangan dan pertumbuhan sikap mental yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.”

Pemerintah juga bertanggung jawab untuk meningkatkan pemahaman tentang hubungan industrial di tengah-tengah masyarakat pada umumnya dan di kalangan industri pada khususnya (Pasal 154-159). Hal ini harus diiringi dengan kerjasama antara pemerintah, serikat dan organisasi pengusaha serta lembaga-lembaga lainnya (Pasal 158).

Penyelesaian Perselisihan Industrial diatur dalam Pasal 144-153 RUU-PPTK. Pasal-pasal tersebut mencakup ketentuan tentang mogok dan larangan kerja.

Pengusaha dan pekerja/serikat harus berupaya menyelesaikan perselisihan melalui musyawarah. Apabila musyawarah tidak tercapai, perselisihan dapat diselesaikan melalui konsiliasi, mediasi, arbitrase atau pengadilan industrial (Pasal 144). Mekanisme penyelesaian perselisihan industrial ditetapkan oleh undang-undang yang terpisah (Pasal 145).

(40)

secara “damai” dan “tertib”, yang berarti tidak boleh mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, atau mengancam kehidupan, keselamatan serta properti pengusaha/perusahaan atau anggota masyarakat (Pasal 146 (2) dan Penjelasannya). Pengusaha dilarang memecat/mengganti pekerja yang melakukan mogok (Pasal 146 (3)).

Mogok tidak boleh dilakukan di perusahaan-perusahaan tertentu yang melayani kepentingan masyarakat, termasuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi, listrik, gas dan air minum (Pasal 147 (1)). Hak mogok dibatasi untuk pekerja yang menyediakan berbagai layanan masyarakat, termasuk petugas yang berwenang mengatur lalu lintas udara, lalu lintas perairan, petugas pemadam kebakaran, penjaga palang kereta api dan karyawan rumah sakit (Pasal 147 (2)). Perusahaan dan jabatan-jabatan dimana aksi mogok dilarang atau dibatasi akan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah.

Pekerja dan serikat yang bermaksud melakukan pemogokan harus menyerahkan surat pemberitahuan kepada pengusaha dan badan pemerintah untuk urusan perburuhan setempat (Pasal 148). Surat pemberitahuan harus mencantumkan waktu dan tanggal pelaksanaan mogok beserta alasan-alasannya, dan harus diserahkan minimal 7 hari sebelum aksi mogok dilakukan (Pasal 149).

Ketentuan serupa juga dirancang bagi pengusaha, yakni tentang larangan kerja oleh pengusaha. Larangan kerja tidak boleh dilakukan di beberapa industri tertentu. Perusahaan yang beroperasi untuk kepentingan masyarakat –misalnya perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi, pelistrikan, gas, air minum dan rumah sakit– dilarang menutup usahanya baik sebagian maupun secara keseluruhan karena menolak tuntutan pekerja (Pasal 151).

Pengusaha harus menyerahkan surat pemberitahuan tentang usulan larangan kerja. Pengusaha yang ingin melakukan larangan kerja harus memberitahukan pekerja/serikat yang bersangkutan, serta badan perburuhan setempat, minimal 7 hari sebelum larangan kerja dilakukan (Pasal 152 dan 153).

Bab XI mengatur tentang PHK. RUU-PPTK berupaya mendorong pengusaha, pekerja dan serikat untuk menghindari PHK. Bila kebijakan PHK dirasa tidak lagi dapat dihindari, maka masing-masing pihak harus mengadakan perudingan (Pasal 160).

(41)

Pengusaha dilarang memecat pekerja dengan alasan tertentu, yaitu:

l absen karena sakit;

l melakukan tugas kenegaraan; l melaksanakan ibadah;

l menikah atau hamil;

l hubungan keluarga dengan pekerja lain di perusahaan yang

sama;

l bergabung atau berpartisipasi dalam kegiatan serikat (Pasal 161).

Apabila terjadi PHK, pengusaha harus memberi uang pesangon atau membayar sebagai imbalan atas jasa dan kompensasi, kecuali bila pekerja diberhentikan selama masa percobaan, akhir masa kontrak kerja, atau telah mencapai usia pensiun (Pasal 162). Pekerja yang berhenti bekerja berhak atas uang jasa bila sudah bekerja selama 3 tahun atau lebih, dan atas uang kompensasi (Pasal 164). Jumlah pembayaran ini akan diatur melalui peraturan pemerintah.

Pengusaha dapat memecat seorang pekerja atas serangkaian tindak pelanggaran (“kesalahan besar”), yakni: mencuri, tidak jujur, memakai obat-obatan terlarang, berjudi di tempat kerja, melakukan tindakan amoral, melakukan atau mengancam akan melakukan tindak kekerasan terhadap pengusaha atau sesama pekerja, merusak properti perusahaan, bekerja dengan ceroboh atau dengan cara yang tidak aman, dan membocorkan rahasia atau merusak reputasi perusahaan. Dalam hal ini RUU-PPTK tidak mewajibkan pengusaha untuk memberi uang pesangon kepada pekerja tersebut (Pasal 165).

Pengusaha juga dapat memecat pekerja yang sedang bebas tugas tanpa perlu memberi uang pesangon kecuali uang jasa dan kompensasi (Pasal 166). Secara khusus ditetapkan bahwa pembayaran kompensasi diberikan kepada semua pekerja yang telah diberhentikan, “tanpa mempertimbangkan alasan pemberhentian mereka” (Pasal 167).

Uang pesangon, uang jasa dan kompensasi dapat dibayarkan kepada pekerja yang mengundurkan diri dari pekerjaannya akibat tindakan-tindakan tertentu, yakni:

l perlakuan buruk pengusaha;

l pembayaran upah yang tidak tepat waktu;

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan pada aktivitas spesifik manganese superoxide dismutase dan kadar malondialdehyde ginjal tikus, melainkan pada

Važno je napomenuti da tijekom homeostaze proteina postoji ravnoteža između sinteze, smatanja, transportiranja, agregacije i degradacije (razgradnje) proteina.

Statistik Deskritif Variabel Berdasarkan hasil analisis statistik deskritif, maka berikut dalam tabeltabel hasil analisis deskritif masing-masing variabel yang terdiri dari

Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman burung air yang mempergunakan hamparan lumpur dan lahan basah yang terdapat di Bagan Percut sebagai tempat

Taaldocent of docent ontwikkelingspsychologie Taaldocent of docent ontwikkelingspsychologie De student is verwonderd over en heeft aandacht voor het taalverwervingsproces bij

Untuk mengetahui kualitas media pembelajaran berbasis android dengan Program Adobe Flash CS5.5 untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMP Kelas VIII pada

TUGAS MATA KULIAH STUDI SOFTWARE HADIS. Dosen

Pada bagian terakhir, penulis akan menganalisis tantangan-tantangan yang dihadapi oleh civil society Islam dalam peranannya sebagai agen demokratisasi, bertolak dari argumen