• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspresi Politik Dan Umat Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ekspresi Politik Dan Umat Islam"

Copied!
255
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

1

Penanggung Jawab Ahmad Syafii Maarif

Jeffrie Geovanie Rizal Sukma Pemimpin Umum Fajar Riza Ul Haq Pemimpin Redaksi Ahmad Fuad Fanani Wakil Pemimpin Redaksi Muhd. Abdullah Darraz Dewan Redaksi Clara Juwono

M. Amin Abdullah Haedar Nashir Luthfi Assyaukanie Ahmad–Norma Permata Hilman Latief

Ahmad Najib Burhani Sekretaris Redaksi M. Supriadi

Redaktur Pelaksana Khelmy K. Pribadi, Pipit Aidul Fitriyana Design Layout Deni Murdiani

Keuangan Henny Ridhowati, Muslima Ertansiani Sirkulasi Awang Basri, Pripih Utomo

Alamat Redaksi MAARIF Institute for Culture and Humanity Jl. Tebet Barat Dalam II No. 6, Jakarta 12810 Telp +62-21 8379 4554 Fax +62-21 8379 5758 website : www.maarifinstitute.org

email : maarif@maarifinstitute.org

foead79@yahoo.com

darrazophy@yahoo.com

Donasi dapat disalurkan melalui rekening :

Yayasan A. Syafii Maarif

BNI MH. Thamrin (Wisma Nusantara)

0114179273

(3)

2

Pengantar Redaksi

Membaca Ulang Ekspresi Politik Umat Islam;

Sebuah Pengantar ... 4 Ahmad Fuad Fanani & Muhd. Abdullah Darraz

Artikel Utama

Arah Baru Politik Islam di Indonesia:

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam

Partisipatoris-Transformatif ... 14 Andar Nubowo

Masa Depan Politik Kaum Islamis di Indonesia ... 38 Pradana Boy ZTF

Menakar Komitmen Peaceful Way Hizbut Tahrir Indonesia

dalam Konsolidasi Demokrasi ... 55 Mujahiduddin

Dilema Partai Politik Islam: Terpuruk dalam Kegagalan atau Menjawab Tantangan? ... 72 Ahmad Fuad Fanani

Kegagalan dan Prospek Kepemimpinan Politik Islam

di Indonesia ... 96 Ahmad Norma Permata

Kelas Menengah Muslim dan Pemimpin Indonesia ... 111 Noorhaidi Hasan

Marginalisasi dan Eksklusi dalam Masyarakat Islam:

Sebuah Analisis Berbasis Ekonomi-Politik Kritis ... 129 Airlangga Pribadi Kusman

Islam dan Transisi Demokrasi:

Perbandingan Indonesia dan Mesir ... 144 Zuhairi Misrawi

Civil Society Islam dalam Konsolidasi Demokrasi di

Indonesia ... 165 Hurriyah

(4)

3

Relasi Kiai, Masyarakat, dan Negara: Konfigurasi Politik

Pemilu pada Masa Orde Baru di Madura ... 183 Yanwar Pribadi

Khazanah Lokal

Teologi Cinta Romo Carolus ... 202 Deni Muliya Barus dan Khelmy K. Pribadi

Pustaka

Membaca Islam Indonesia ... 213 Ali Noer Zaman

Refleksi

Kepemimpinan Politik dan Visi Filantropi Kemanusiaan 231 Fajar Riza Ul Haq

(5)

4

Ekspresi Islam dalam Pergulatan Politik Indonesia

Relasi Islam dan politik di Indonesia senantiasa menarik untuk diperbincangkan dari dulu hingga sekarang. Selain karena umat Islam menjadi warga mayoritas di negeri ini, juga karena aspirasi politik umat Islam di Indonesia tidaklah bersifat homogen. Aspirasi politik umat Islam di Indonesia sangat heterogen dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan, semenjak era sebelum kemerdekaan, aspirasi politik umat Islam di pentas politik nasional tidaklah tunggal. Dan hingga hari ini, aspirasi politik umat Islam bersifat heterogen dan bahkan terus terjadi kontestasi di internal umat Islam sendiri.

Sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, sebagian kaum Muslim mendesak bahwa Islam haruslah berpartisipasi secara aktif dan mendapatkan keistimewaan di bidang politik. Ketika menjelang kemerdekaan, meskipun para pendiri bangsa ini menerima Pancasila sebagai dasar negara, namun ada sebagian dari mereka yang meminta agar posisi Islam tercantum secara eksplisit dalam Konstitusi negara ini. Aspirasi itu tercantum dalam Piagam Jakarta yang mendukung Pancasila sebagai Dasar Negara, namun dengan penambahan kata-kata “Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya” (Bahtiar Effendy,

Membaca-ulang Ekspresi Politik Umat

Islam; Sebuah Pengantar

(6)

5

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

2003).

Piagam Jakarta yang awalnya disetujui masuk dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai bentuk kompromi dengan umat Islam itu, ternyata tidak diterima secara bulat oleh agggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Beberapa anggota dari kelompok sekuler dan nasionalis tidak menyetujuinya. Sehingga, pada 18 Agustus 1945, setelah para anggota BPUPKI dari kelompok Islam didekati dan dilobi oleh para anggota dari kelompok nasionalis dan non Muslim, akhirnya Piagam Jakarta ditarik dari Pembukaan UUD 1945. Kompromi politik ini dilakukan karena saat itu ada ancaman bahwa Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri dari Indonesia jika Piagam Jakarta itu tetap dicantumkan. Jadi, kelompok Islam menyetujui pencabutan karena demi menyelamatkan bangsa dan kepentingan nasional (Greg Fealy, 2003). Sebagai kompromi lebih lanjutnya, Sila Pertama dari Pancasila berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Meskipun para founding fathers dari kalangan Islam saat itu menyetujui tentang penarikan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945, namun tidak semua umat Islam menyetujui kompromi politik itu. Bagi sebagian tokoh dan umat Islam, penarikan Piagam Jakarta adalah awal mula kekalahan umat Islam di pentas politik nasional yang terus berlanjut hingga hari ini. Oleh karenanya, aspirasi untuk menegakkan syariat Islam terus terjadi dan dilakukan terus menerus, semenjak zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi. Menurut mereka, aspirasi umat Islam dalam politik nasional secara formal adalah sebuah keharusan. Sebab, umat Islam adalah pemilik saham mayoritas dalam pendirian bangsa ini. Dan aspirasi itu, terus digelorakan dan diperjuangkan, baik secara formal maupun non formal.

(7)

6

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

dan memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk berkembang serta menjamin hak-hak sosial dan politiknya. Berdasarkan cara pandang seperti ini, dalam beberapa hal aspirasi politik kelompok ini berbenturan atau bersinggungan dengan kelompok Islamis yang disebutkan di atas.

Dua Kutub Politik Islam di Indonesia

Dalam peta politik Islam kontemporer, terutama pasca reformasi, kontestasi antara kelompok Islam politik dan politik Islam –atau antara Islam formalis dan Islam substantif– terus terjadi dan berjalan secara dinamis. Kelompok Islamis –atau dikenal juga dengan Islam Politik atau sering pula disebut sebagai kelompok Islam Syariat dalam karya Haedar Nashir– adalah sebuah kelompok dalam umat Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam secara formal, meyakini Islam sebagai sebuah keyakinan hidup (belief system) yang sempurna, dan mencita-citakan berdirinya sebuah sistem Islam atau Islamic state, terus berusaha menyebarkan pengaruhnya di Indonesia. Kelompok Islam politik ini dalam banyak hal diwakili oleh kelompok Muslim oleh sebagian orang disebut sebagai bagian dari Islam transnasional. Kelompok ini banyak beraktivitas dalam organisasi seperti: Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), dan kelompok Tarbiyah yang banyak berinduk dalam PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Dalam beberapa hal, partai politik Islam seperti PBB (Partai Bulan Bintang) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), juga dikelompokkan dalam kelompok ini. Kedua partai inilah yang ketika amandemen UUD 1945 tahun 2002 mendesak penerapan syariat Islam secara formal dalam Konstitusi Indonesia. Hingga hari ini, kelompok-kelompok itu, dengan caranya masing-masing, terus menyuarakan aspirasi politik Islam secara formal, baik di tingkat negara maupun peraturan-peraturan daerah. Berbeda dengan aspirasi umat Islam mainstream di negara ini, kelompok yang disebut sebagai Islam Syariat ini, banyak mengagendakan terwujudnya sistem Islam di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Haedar Nashir dalam disertasinya yang diterbitkan dengan judul Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Maarif Institute & Mizan, 2013), mengkaji secara mendalam tentang geneologi, konsep, metode, dan cita-cita politik kelompok Islam ini.

(8)

7

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

pemahaman dan aspirasi politik Islam yang lebih moderat. Kelompok ini dalam banyak hal direpresentasikan oleh organisasi Islam moderat seperti Muhammadiyah dan NU. Pada bagian lain, kelompok ini juga diwakili oleh partai-partai yang berbasiskan organisasi Islam, tapi berdasarkan visi kebangsaan, seperti Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa. Hingga hari ini, organisasi Muslim terbesar di Indonesia yang diwakili oleh Muhammadiyah dan NU tidak menyetujui penerapan syariat Islam secara formal di level negara seperti pencantuman Piagam Jakarta. Kelompok ini juga menyatakan bahwa Pancasila adalah Dasar Negara Indonesia yang wajib dijaga oleh seluruh komponen bangsa. Kelompok Islam substantif ini juga diwakili oleh sebagian aktivis Islam yang aktif di berbagai organisasi masyarakat sipil (civil society) dan partai nasionalis. Di sini tampak bahwa ada pergeseran Muslim Indonesia terkait dengan aspirasi politiknya. Mereka berpikir bahwa aspirasi politik Islam bisa disalurkan lewat partai lain yang bervisi inklusif dan kebangsaan (Anies Baswedan: 2004). Jadi aspirasi politik Islam tidak identik dengan partai Islam atau Islam Politik. Fenomena sebetulnya bukanlah hal yang baru, tapi sudah dimulai di Partai Golkar semenjak era 1980-an ketika partai ini banyak merekrut para aktivis Islam sebagai pengurus dan kadernya. Jargon Cak Nur yang menyatakan: Islam Yes, Partai Islam No!, banyak menjadi inspirasi dan legitimasi dalam fenomena ini. Dan pasca reformasi, fenomena ini semakin berkembang karena banyak pimpinan inti partai-partai nasionalis yang berasal dari kaum santri. Bahkan, PDI Perjuangan dan Demokrat juga membuat sayap organisasi Islam. Kita bisa menjumpai eksistensi Baitul Muslimin di PDIP dan Majlis Dzikir Nurussalam di Partai Demokrat. Bahkan, Partai Gerindra pun melakukan hal yang sama. Dari situ tampak bahwa suara dan simbol Islam pun saat ini banyak dipakai oleh partai-partai nasionalis.

(9)

8

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

kekaburan visi dari partai Islam bisa dibandingkan partai nasional lainnya. Tidak heran jika suara partai Islam terus menurun dan tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan. Pada level calon pemimpin nasional pun, dalam banyak survey terakhir, juga tidak tampak ada pimpinan partai Islam yang popularitas dan elektabilitasnya tampil secara meyakinkan.

Namun, diskusi tentang ekpresi politik umat Islam tentu tidak bisa hanya dibatasi pada soal partai Islam saja. Banyak aspek dalam politik Islam yang menarik untuk dikaji lebih mendalam lagi. Bahkan, riset yang dilakukan oleh Sunny Tanuwidjaya menunjukkan bahwa dari fenomena yang terjadi di Indonesia pasca reformasi, nampak jelas Islam telah dan terus memainkan posisi penting dalam politik Indonesia meskipun suara partai Islam terus turun secara signifikan (‘Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidence of Islam’s Political Decline’, 2010). Hal itu misalnya tampak pada fenomena dukungan partai-partai nasionalis terhadap agenda perda-perda syariat di berbagai daerah. Juga pada dukungan partai-partai di parlemen terhadap undang-undang yang menjadi aspirasi umat Islam seperti RUU Sisdiknas tahun 2003, RUU Pornografi dan Pornoaksi, RUU Zakat, dan sebagainya. Meskipun warna undang-undang itu masih bisa diperdebatkan apakah mewakili suara moderat atau justru mewakili kaum Islamis, tapi jelas bahwa ada warna Islam yang dimainkan di sana.

(10)

9

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Berdasarkan uraian dan fakta-fakta yang dikemukakan di atas, maka Jurnal MAARIF Vol. 8, No. 2, 2013 ini berusaha untuk memetakan lebih jauh tentang ekpresi politik umat Islam di Indonesia. Edisi ini bermaksud mengulas secara mendalam berbagai ekspresi politik umat Islam, kontestasi politik umat Islam, peran Islam dalam konsolidasi politik di Indonesia, aspek Islam dalam politik luar negeri Indonesia, Islam dan kepemimpinan nasional, dan masa depan Islam dalam politik nasional.

Kegagalan Politik Islam atau Islam Politik?

Bagian awal jurnal ini dibuka dengan sebuah ulasan kritis Andar Nubowo, yang menelanjangi praktek dan agenda Islam politik akhir-akhir ini. Tesis utama tulisan ini menegaskan bahwa kekuatan Islam Politik dipandang telah gagal mewujudkan cita-cita luhur keadilan dan kesejahteraan bagi umat Islam Indonesia. Apalagi dalam perjalanannya, gerakan Islam Politik tidak kebal dari cacat moral dan dosa politik sehingga memupuskan harapan dan kepercayaan publik pada umumnya, dan umat Islam khususnya. Kekuatan Islam Politik yang direpresentasikan oleh partai-partai politik Islam seperti PKS, PBB, dan PPP, semakin terdegradasi dari legitimasi dan perhatian publik. Hal ini berimbas pada semakin menyusutnya dukungan publik terhadap partai-partai yang melabeli dirinya dengan partai Islam tersebut.

(11)

10

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

argumentasi inilah yang dipandang menguatkan tesis bagaimana proyek Islam politik di Indonesia akan mengalami kebuntuan bahkan kegagalan di masa yang akan datang.

Artikel Mujahiduddin yang secara khusus mendedah perilaku politik Hizbut Tahrir Indonesia sebagai sebuah gerakan Islam Politik terbuka, menyimpulkan secara tegas bahwa keberadaan gerakan ini tidak sesuai dengan alam demokrasi Indonesia. Meskipun agitasi politik mereka tidak secara vulgar memakai cara-cara kekerasan fisik dan tindakan terorisme. Namun dalam kenyataannya, gerakan ini telah menggunakan model kekerasan lain, yakni kekerasan struktural dan kekerasan simbolik/verbal (violent rhetoric), yang dalam batas-batas tertentu telah turut merusak sistem demokrasi yang sedang dibangun saat ini. Artikel ini menandaskan, meskipun HTI tetap diperbolehkan hidup dalam alam demokrasi Indonesia, namun keberadaannya lambat laun hanya akan menghambat proses konsolidasi demokrasi yang tengah berjalan sementara ini.

Tulisan Ahmad Fuad Fanani secara lebih khusus mempertanyakan prospek keberadaan kekuatan Politik Islam yang diwakili oleh partai-partai Islam dalam pertaruhan kontestasi Pemilu 2014 yang akan datang. Dengan melihat kecenderungan trend beberapa waktu terakhir ini, berdasarkan serangkaian survei yang dilakukan, kita mengetahui bahwa popularitas partai-partai Islam sedang mengalami penyusutan. Beberapa hasil survei ini lebih jauh seolah telah memprediksikan masa depan partai-partai Islam jelang pemilu 2014. Seperti kita ketahui bersama, suara partai Islam semakin menurun dari Pemilu ke Pemilu. Misalnya, perolehan suara partai-partai Islam di Pemilu Legislatif 2009 memang mengalami penurunan drastis. Dalam artikel ini, Fuad Fanani mencoba menawarkan sebuah jalan baru alternatif bagi partai-partai Islam agar mereka bisa melakukan reposisi politik dan menentukan orientasi politik yang lebih baik. Dengan jalan baru itu, diharapkan partai-partai Islam bisa menjadi faktor penentu dan kekuatan baru pada peta politik Indonesia ke depan

(12)

11

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

di pentas nasional di era awal Reformasi –yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, Akbar Tanjung, dan Hamzah Haz, dipandang telah gagal dalam menciptakan sistem kepemimpinan politik Islam yang berkelanjutan dan merealisasikan proyek kesejahteraan bersama umat Islam. Adapun kepemimpinan politik Islam generasi selanjutnya tidak banyak beranjak dari kegagalan generasi pertama dalam upaya pewujudan cita-cita luhur keadilan sosial dan kesejahteraan umat. Satu hal yang dipandang berhasil dari generasi ini adalah upaya efektivitas kinerja dalam membangun jaringan dan kaderisasi politik, sehingga stabilitas dan sustainibilitas sistem kepemimpinan relatif bisa lebih terjaga.

Bahasan di atas dilengkapi oleh artikel Noorhaidi Hasan terkait kepemimpinan Indonesia masa depan dan kemunculan kelas menengah Muslim yang berupaya untuk mengikis kesenjangan antara Islam dan demokrasi. Dalam pandangan Hasan, kelas menengah Muslim di Indonesia berpotensi menjadi pewaris kepemimpinan Indonesia di masa depan. Dengan menggunakan analisis Asef Bayat, kelas menengah Muslim Indonesia saat ini bisa dikategorikan sebagai kelompok ‘Post-Islamisme’ yang dikonsepsikan sebagai bagian dari upaya dan strategi melampaui Islamisme di ranah sosial, politik, dan intelektual. Lebih jauh post-islamisme dipandang sebagai upaya untuk memadukan prinsip-prinsip religiusitas dan kebebasan., sehingga mampu membuat agama menjadi realitas plural dengan banyak pemaknaan dengan turut mengakomodasi gagasan-gagasan demokrasi, pluralism, multikulturalisme, dan hak asasi manusia. Dalam konteks Indonesia kontemporer perubahan ke arah ini tengah berproses seiring mencuatnya kelompok menengah Islam dewasa ini.

(13)

12

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

proses marginalisasi dan eksklusi yang dilakukan oleh elit-elit politik – termasuk elit politik Islam– terhadap kelompok minoritas di Indonesia dalam perspektif politik-ekonomi dengan mengambil studi atas kasus pengusiran warga Syiah di Sampang Madura.

Tulisan Zuhairi Misrawi dengan judul Islam dan Transisi Demokrasi: Perbandingan Indonesia dan Mesir, menganalisis tantangan-tantangan konsolidasi demokrasi dalam transisi demokrasi di dua Negara Muslim, Mesir dan Indonesia. Tantangan yang paling menohok dalam transisi demokrasi kedua Negara ini tidak lain berasal dari munculnya gerakan-gerakan Islam Politik pengusung Syariat Islam dalam kehidupan demokrasi yang tengah dibangun di dalamnya. Dengan memanfaatkan kendaraan demokrasi, gerakan-gerakan ini dipandang telah mencederai proses demokratisasi untuk mencapai pada cita-cita pembentukan “Negara Islam” yang kemungkinan besar muaranya akan bertentangan dengan hakikat demokrasi itu sendiri.

Untuk melengkapi perspektif dalam artikel utama jurnal ini, redaksi menurunkan sebuah ulasan tentang kekuatan masyarakat sipil Islam dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Artikel ini ditulis oleh Hurriyah dengan menganalisis fenomena munculnya kelompok Islam politik (undemocratic civil society) sebagai tantangan bagi upaya-upaya dan kontribusi yang sedang dilakukan oleh kelompok civil society Islam dalam proses demokratisasi di Indonesia.

Dalam rubrik Riset, redaksi menurunkan sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Yanwar Pribadi dengan judul Relasi Kiai, Masyarakat, dan Negara: Konfigurasi Politik Pemilu pada Masa Orde Baru di Madura. Sedangkan pada bagian Khazanah Lokal, jurnal MAARIF edisi kali ini mencantumkan hasil reportase Deni Mulya Barus dan Khelmy K. Pribadi terkait sosok seorang teolog bernama Romo Carolus yang di tengah gegap gempita alam politik kita yang kumuh, ia berhasil meniupkan semangat perubahan di tengah-tengah masyarakat terpinggirkan di daerah Cilacap Jawa Tengah. Dengan frasa ‘Teologi Cinta’, Romo Carolus bekerja dan berkarya untuk menjaga kebhinnekaan dan nalar kemanusiaan kita dewasa ini.

(14)

13

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Dijk ini lebih jauh mengulas tentang perkembangan Islam di Indonesia, terutama setelah masa keruntuhan Rezim Orde Baru. Buku ini mencoba menunjukkan pada publik tentang wajah Islam Indonesia yang warna-warni dengan model keberagamaan yang beragam. Namun demikian buku ini tidak banyak mengakomodasi kajian tentang dinamika politik Islam Indonesia, perkembangan partai-partai Islam di Indonesia, dan perkembangan ekspresi Islam dalam seni dan budaya.

Jurnal edisi kali ini diakhiri oleh sebuah catatan reflektif Fajar Riza Ul Haq mengenai isu kepemimpinan politik di Indonesia dan visi filantropi kemanusiaan. Tulisan ini mencoba memberikan paparan kritis terhadap masa depan kepemimpinan nasional di Indonesia dan pentingnya memperkuat visi kemanusiaan yang utuh dalam konteks keindonesiaan yang tengah mengalami perubahan dan transisi.

Sebagai catatan akhir, ulasan-ulasan dalam jurnal edisi Desember 2013 ini diarahkan pada upaya pembacaan ulang atas fenomena politik Islam di Indonesia, terutama prospek kekuatan-kekuatan Islam Politik yang selama 15 tahun terakhir telah menghiasi wajah politik Indonesia. Selain juga mencoba untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada kekuatan Politik Islam jelang perhelatan akbar Pemilu 2014. Kami berharap dengan mendiskusikan ekpresi politik Islam di ruang akademik dan publik yang lebih terbuka, maka masyarakat akan mempunyai wawasan yang luas dalam membaca ekpresi politik umat Islam dan memberikan kontribusi yang signifikan pada penguatan kebangsaan dan kebhinnekaan di negara ini. Selamat membaca.

(15)

14

ABSTRAK

Pascareformasi, Islam Politik di Indonesia menemukan dan mengisi ruang publik dengan serangkaian agenda dan aksi. Reproduksi mitos syariatik dilakukan secara terang dan terbuka—dengan terutama mengintroduksi sejarah kekalahan Negara Syariat pada awal Kemerdekaan Indonesia serta membangun mistifikasi syariat sebagai the one and only solution bagi persoalan kebangsaan. Nalar syariatik ini lalu secara cukup terbuka mendapatkan ruang manifestasinya di alam demokrasi Post-Soeharto. Namun, limabelas tahun Reformasi justru menelanjangi nalar dan agenda syariatik di Indonesia sebagai telah kurang berhasil –atau gagal, mewujudkan cita-cita kesejahteraan lahir dan batin bagi umat Islam. Akibatnya, partai Islam semakin tidak menarik bagi publik Muslim dan terus mengalami erosi dukungan elektoral dari pemilu ke pemilu. Hal ini disebabkan fakta menonjol bahwa Islam politik atau partai Islam tidak bisa membedakan dirinya secara ideologis, politik dan etika-spritual dengan partai-partai nasional-sekuler lainnya. Selain itu, Islam Politik atau partai Islam telah meninggalkan basis-basis komunitasnya dan terjebak pada konsep syariatik yang sempit dan anakronistik. Untuk itu, perlu upaya reorientasi paradigma dan aksi politik (umat) Islam Indonesia dari yang bernalar syariatik menuju transformasi sosial, politik

Arah Baru Politik Islam di Indonesia:

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam

Partisipatoris-Transformatif

Andar Nubowo

(16)

15

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

dan ekonomi yang partisipatoris.

Kata Kunci: Islam Politik, Politik Islam, Reformasi, Syariat Islam, Nalar Syariatik, Islam Partisipatoris, Transformasi, Basis Sosial Muslim.

Limabelas tahun Reformasi dan demokrasi menyajikan fakta baru Islam Politik1 di Indonesia. Ketika legislasi di tingkat regional sebagian

dimenangkan oleh aspirasi-aspirasi syariatik, publik Islam tampaknya mulai tidak percaya dengan Islam Politik dan gagasan-gagasannya. Erosi atau krisis kepercayaan ini terekam dalam survei-survei yang dilakukan

sejumlah lembaga survei sejak tahun 2004,2 di mana secara politik,

partai politik Islam yang mengusung syariat mengalami erosi dukungan elektoral. Survei terakhir mengunci posisi partai Islam di Indonesia pada urutan terbawah pada skala popularitas dan elektabilitas pada Pemilu 2014.3

Pada saat bersamaan, skandal-skandal korupsi, gratifikasi uang dan perempuan yang menimpa elite-elite partai Islam PKS semakin memperburuk partai Islam atau Islam Politik di Indonesia. Skandal korupsi dan aroma gratifikasi perempuan di baliknya mengungkap aib moral sekaligus cacat politik sebuah partai dakwah yang dikenal dengan jargonnya “bersih, peduli dan profesional”. Kepercayaan dan harapan publik (Islam) terhadap PKS jatuh. Terkuaknya skandal ini memperlemah tingkat kepercayaan dan harapan publik terhadap partai Islam. Partai-partai Islam semakin tidak diminati oleh pemilih karena gagal membedakan dirinya secara ideologis dengan partai-partai lainnya.

1 Dalam tulisan ini saya menggunakan istilah Islam Politik untuk merujuk pada parFadigma dan aksi kelompok Islam yang mencita-citakan penegakan Syariat Islam atau Negara Islam, baik melalui jalur partai politik atau pun gerakan politik non parlementer. Untuk lebih jelasnya mengenai Islam politik, baca sejumlah sumber kepustakaan, antara lain; Are Knudsen, Political Islam in Middle East (Norway: Chr. Michelsen Institute, 2003), hlm. 2-3; Hirschkind, “What is political Islam?” (Middle East Report, Okt/Des 1997), hlm. 12-14; Bjørn Olav Utvik, “Islamism: Digesting Modernity the Islamic Way” (Forum for Development Studies 2), hlm. 201; Olivier Roy, l’Echec de l’Islam Politique (Paris: Collection Esprit/Seuil, 1992); Olivier Roy, Geneologie de l’islamisme (Paris: Hachette Literature, 1995).

Adapun istilah Politik Islam dalam tulisan ini merefleksikan paradigma, gagasan, perilaku, aksi dan identitas politik masyarakat Muslim secara umum, yang juga memayungi ragam dan corak keagamaan dan orientasi politik umat Islam; mulai dari fundamentalisme, radikalisme, moderatisme, integrisme, dan hingga apolitisme-quetis. Baca buku Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997).

2 Jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2007 mengungkapkan bahwa 57% Muslim Indonesia menolak penerapan syariat Islam. Tercatat hanya 33% saja yang setuju syariat. Hasil survei yang dilakukan pada tahun 2005 dan 2006 juga mengungkapkan degradasi dukungan terhadap partai-partai politik Islam. Lembaga Survei Indonesia, “Trend Orientasi Nilai-Nilai Politik Islamis vs Nilai-Nilai Politik Sekuler dan Kekuatan Islam Politik”, Oktober 2007.

(17)

16

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Catatan kegagalan politik Islam, dalam diskursus dan praktek politik

Islam di era Reformasi, sebagaimana dicatat Remy Madinier4 dan Vedi

R Hadiz,5 berimplikasi pada citra partai Islam di mata pemillih. Setahun

menjelang Pemilu 2014, tepat 15 tahun setelah Reformasi, partai-partai Islam justru ditandai oleh eksodus elektoral pendukungnya ke partai nasionalis-sekuler. Tak pelak, hal ini menimbulkan pertanyaan dan pemikiran mendalam mengenai sebab musabab kegagalan politik Islam dan juga rute baru politik Islam (Muslim) di Indonesia.

Reproduksi Mitos Syariatik

Semenjak sebelum berdirinya Republik Indonesia, di dalam tubuh umat Islam terdapat perdebatan apakah Syariah Islam harus menjadi dasar negara atau tidak, apakah Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim akan menjadi Negara Islam atau Negara Sekular. Debat itu berkulminasi pada penghapusan tujuh kata dalam Pancasila, sila pertama, ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’. Muslim demokrat seperti Mohammad Roem dari Partai Masyumi melihat penghapusan tersebut tidak mengkhianati aspirasi Islam. Roem juga menilai Pancasila tidak bertabrakan dengan ajaran Islam. Ia juga memahami bahwa tidak ada satupun ayat Qur’an dan

Hadis Nabi yang meniscayakan sebuah Negara Islam.6

Kisah penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta ini mempengaruhi hubungan Islam dan negara. Hubungan keduanya berlangsung fluktuatif, pasang surut, penuh kehati-hatian, cinta dan benci. Soekarno membubarkan Partai Masyumi pada 1960, atas tuduhan PRRI. Soeharto melakukan depolitisasi atas Islam politik dan marjinalisasi terhadap politik Islam selama tiga dekade. Namun dalam fluktuasi hubungan itu, terselip hubungan mesra Soekarno dan Soeharto pada akhir masa jabatannya dengan salah satu kelompok Islam: Soekarno menjalin

4 Remy Madinier, “Kegagalan Islam Politik atau Kemenangan Instrumentalisasi Politik Islam?”. 5 Vedi R Hadiz, “Kebuntuan Politik Partai-Partai Islam di Indonesia: Perbandingan PKS dan AKP”.

(18)

17

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

kehangatan dengan kalangan Muslim tradisionalis NU7---sebagai unsur

‘agama’ dalam NASAKOM, dan Soeharto menjalin keakraban politik dengan faksi Islam modernis, yang tergabung dalam ICMI. Sebuah pola identik dari instrumentalisasi agama untuk kepentingan politik status quo.

Pada saat katup aspirasi Islam politik ditutup oleh rejim, kelompok Islamis yang hak-hak politiknya dikebiri mengalihkan energi politiknya pada dakwah Islam. Situasi inilah yang menyebabkan proses ‘pengerasan

ideologis’ (raidisement ideologique) sejumlah tokoh Masyumi seperti

Mohammad Natsir dan Mohammad Roem yang sebelumnya dikenal sebagai Muslim demokrat sejati. Tokoh-tokoh Masyumi yang dididik di Barat dan demokrat sejati lalu mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada 1967. DDII merupakan etape penting dalam pembentukan nalar syariatik di Indonesia.

Indonesianis Andree Feillard dan Remy Madinier menandai pendirian DDII sebagai tidak hanya mutasi ideologis demokrat Muslim menuju gagasan politik sektarian. DDII diketuai Mohammad Natsir lalu mengamplifikasi kritik atas ajaran mistik Kejawen dan kebencian terhadap

Yahud, Amerika Serikat dan Barat.8 Elegi ‘tujuh kata’ disajikan secara

dramatis sebagai sebuah ‘mihnah kubro’ umat Islam Indonesia. Akibatnya, penghadap-hadapan Pancasila versus Syariat Islam tak bisa dihindarkan. Yang pertama dipersepsikan sebagai buah karya manusia yang profan, sedang kedua diyakini kemutlakan ilahiahnya. Pemahaman dikotomik ini meluapkan emosi ‘korban’ di kalangan islamis dan menggelorakan spirit ‘balas dendam’ atas negara yang tidak syariatik.

Nalar syariatik makin menguat ketika Soeharto mewajibkan Pancasila

sebagai asas tunggal9 melalui UU Ormas No. 8 tahun 1985. Ormas

dan partai politik wajib berasas Pancasila dalam AD/ART-nya sebagai

7 Pada Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia di Cipanas, Jawa Barat tahun 1953 (awal tahun 1954), NU memberi gelar kepada Presiden Soekarno sebagai “Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukah” (pemimpin berkuasa yang harus dipatuhi). Gelar ini mempertegas dukungan NU kepada Presiden Soekarno di masa-masa revolusi. Pemberian gelar ini dikecam oleh partai Islam modernis, karena Indonesia bukanlah negara Islam, Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 341-344.

8 William Liddle, “Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesia”, in Mark R. Woodward (éd.), Toward a New Paradigm. Recent Development in Indonesian Islamic Thought, (Temple: Arizona State University, 1996), hlm. 323-356.

(19)

18

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

dasar organisasi/partai. Penolakan terhadapnya yang disertai opresi dan represifitas rejim terhadap umat Islam di Tanjung Priok membakar spirit syariatik dan nalar perlawanan terhadap rejim. Semenjak itu, kelompok-kelompok radikal di Indonesia tumbuh berkecambah, yang antara lain ditandai dengan diimpornya aliran Islam transnasional ke Indonesia seperti Ikhwanul Muslimin (PKS), Hizbut Tahrir, serta Salafisme Wahabi

di awal tahun 1980-an.10 Radikalisme Islam menanamkan nalar syariatik

dan elegi ‘kekalahan-penderitaan’ umat Islam secara sembunyi melalui kaderisasi usrah.11

Pasca tumbangnya Soeharto, nalar syariatik Islam Politik menemukan momentumnya. Jika sebelumnya, hasrat kuasa diredam dalam sekam Orde Lama dan Orde Baru, Reformasi memungkinkan mereka untuk mengaplikasikan nalar syariatiknya dalam tata kelola politik dan kenegaraan. Situasi demokrasi yang tak kunjung menyejahterakan, menihilkan konflik dan kekerasan, mengurangi ketimpangan dan kemiskinan serta patologi sosial, politik, ekonomi, dan budaya lainnya menambah keyakinan penganut Islam politik pada gagasan Negara Syariah dan berjuang untuk mengimplementasikannya.

Islam Politik benar-benar menikmati arus keterbukaan dan demokrasi. Dalam sebuah sistem dan situasi yang mereka haramkan karena ke-Baratannya itu, mereka mengorganisir diri dalam wujud partai politik atau perkumpulan sosial dakwah. Tujuannya cukup jelas, yakni menghidupkan kembali ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta, dan atau

10 Pada awal tahun 1980-an, mahasiswa Indonesia yang pulang ke Indonesia dari Timur Tengah mengimpor aliran Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Salafisme Wahabi di Indonesia. Mereka itulah yang menyebarkan paham keagamaan dan politiknya di Nusantara. Andrée Feillard et Rémy Madinier, La fin de l’innocence..., hlm. 101.

(20)

19

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

menggantikan Pancasila dengan sistem Islam atau khilafah.12 Dalam cita

dakwah dan politik mereka, terwujudnya ‘negara syariatik’ merupakan– meminjam teori Jacques Lacan, phallic and surplus jouissance dari sebuah jihad panjang dan melelahkan yang selama ini mereka lakukan.

Untuk mewujudkan “kesenangan surplus” itu, secara struktural kelompok Islam politik melakukan proyek politik Syariatik melalui legislasi perda-perda ‘syariatik’. Praktis, kurang lebih dalam kurun sepuluh tahun, kelompok Islam Politik –yang didukung pula oleh elite-elite partai sekuler, berhasil meratifikasi lebih dari 60 peraturan-peraturan daerah yang dikenal dengan ‘perda-perda Syariah’ di berbagai daerah kabupaten/ kota di Indonesia. Perda-perda Syariah itu lahir pasca penerapan UU Otonomi Daerah No. 10 Tahun 2004 tentang penyusunan peraturan

daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah13

yang memungkinkan daerah-daerah berbasis Islam seperti Aceh, Padang-Sumatera Barat, Banten, Cianjur, Tangerang, Jombang, Bulukumba Sulawesi Selatan dan Sumbawa untuk menerapkan peraturan daerah berbasis Syariah. Meskipun perda-perda tersebut tidak secara resmi bernama Syariah, substansi perda tersebut merujuk dan dipengaruhi oleh hukum-hukum Islam (fikih).

Kampanye Islam Politik untuk penegakan syariat Islam di Indonesia cukup mendapat respon antusias di daerah-daerah yang memiliki sejarah kuat pemberontakan Darul Islam seperti Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan ‘mitos Syariah’ masih cukup berpengaruh di daerah tersebut. Mitos Syariah dihidupkan oleh kelompok Islam Politik di parlemen atau di luar melalui penyebaran ceramah-ceramah keagamaan, pemanfaatan media konvensional ataupun media sosial, dan publikasi buku-buku kaum Islam Politik. Isinya, perlu penegakan Syariah

12 Islam Politik yang paling militan memperjuangkan penegakan Syariat Islam di Indonesia, adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dipimpin oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Sebelum pecah dari MMI dan mendirikan Jamaah Anshar wa Tauhid, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir adalah Amirul Mu’minin MMI sejak pendiriannya tahun 2000. Kajian mengenai perjuangan penegakan Syariat Islam yang dilakukan MMI, baca antara lain Andar Nubowo, Un Mouvement islamiste post-Soeharto: Le Conseil des Moudjahidines Indonesiens et Son Combat pour l’Application de la charia (Paris: EHESS, 2008), tesis tidak dipublikasikan.

Adapun pejuang penegak khilafah Islam di Indonesia adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI adalah Islam Transnasional yang didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani untuk merebut kembali tanah Palestina dan menegakkan Khilafah Islamiyyah pasca keruntuhan Turki Usmani pada tahun 1924. Tulisan mengenai HTI bisa dirujuk antara lain; Greg Fealy, “Globalised Islamism: Hizbut Tahrir in Indonesia”, makalah dipresentasikan di Centre for Muslim States and Societies, The University of Western Australia (Perth), 25 februari 2006; Ken Ward, “Non-violent Extremist? Hizbut Tahrir Indonesia” (Australian Journal of International Affairs, Vol. 62, No. 2, Juni 2009), hlm. 149-164.

(21)

20

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

dan penghapusan Pancasila. Pancasila dianggap kelompok penegak syariat Islam sebagai sebuah ideologi yang dilahirkan untuk sengaja

menghalangi penerapan Syariah Islam di Indonesia.14

Islam Politik juga membangun ‘wacana tanding’ atas demokrasi, HAM, gender, kebebasan dan kesetaraan, dan pluralisme. Wacana-wacana tersebut dianggap Islam Politik bertentangan dengan Islam, karena ke-Barat-annya yang dipengaruhi Judeo-Kristiani dan sekularisme-liberalisme. Islam Politik melihat kelompok yang mengusung agenda-agenda tersebut sebagai agen sekularisme, pluralisme dan liberalisme (SIPILIS), yang pada tahun 2005 diharamkan secara resmi oleh fatwa

MUI.15 Untuk itu, mereka giat mengampanyekan antipaham SIPILIS

dan proyek-proyek syariatik melalui perda-perda syariat, masjid, dan lembaga pendidikan.

Islam Politik juga bermimpi menjadikan Islam sebagai pondasi kebangsaan dan kenegaraan. Cita-cita Islam yang totalitas dan sempurna (syamil wa kamil) ini dipoles secara apik melalui serangkaian mitologisasi politik tentang keadilan, kesejahteraan, kesetaraan dan kedamaian di dunia dan akhirat---yang hanya dapat terwujud dan dirasakan secara adil dan merata dalam naungan perjuangan partai-partai Islam. Dalam bungkus mitos itu, sanggahan terhadapnya dianggap sebagai sebuah tabu, hujatan dan celaan terhadap Islam secara keseluruhan. Mitos dan tabu itulah yang ditanamkan, dilestarikan dan diwariskan secara turun temurun semenjak kaum Islam Politik gagal menjadikan Islam sebagai platform bersama pada awal Kemerdekaan.

Kegagalan Islam Politik yang berulang-ulang, malah memupuk mitos Negara Syariat. Kampanye “Islam is a solution” kian nyaring terdengar di ruang publik. Persoalan bangsa dan negara hanya dapat diselesaikan dengan Syariat Islam, karena ia adalah obat mujarab (panacea). Islam Politik meyakini kemakmuran dan kesejahteraan rakyat segera terwujud, jika ideologi Pancasila digantikan oleh Islam. Dalam frame berpikir semacam itulah, produk perundangan-undangan dan tatanan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak sempurna dianggap sebagai bukti

14 Opini Abu Bakar Ba’asyir tentang Pancasila dan Syariat Islam, Risalah Muhajidin, Shafar 1428/ Maret 2007, hlm. 31.

(22)

21

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

nyata kegagalan ‘produk’ manusia yang harus diganti hukum Tuhan yang abadi.

Fakta sosial politik dan ekonomi yang terjadi dalam 15 tahun belakangan ini memperkuat logika mitologis Islam Politik. Islam Politik memperburuk citra demokrasi yang tengah terseok dalampraktek politik yang kumuh dengan meminggirkan cit-cita kesejahteraan umum. Korupsi, kolusi dan nepotisme, konflik dan kekerasan sosial dan agama, radikalisme dan terorisme, serta kesulitan ekonomi yang kian akut dianggap sebagai hasil nyata dari demokrasi. Kondisi kebatinan rakyat yang tak sabar dan lelah tersebut dimanfaatkan oleh Islam politik untuk mencoba memaksakan ideologi syariatiknya di Indonesia. Propaganda kaum syariatik sebagaimana kaum elite oligarki-plutokratik cukup terang: demokrasi tidak membuahkan kesejahteraan dan keteraturan, tetapi ketidakteraturan.

Mitologisasi syariat ini tampaknya cukup berhasil memengaruhi publik Muslim. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta memublikasikan sebuah survei tentang “Sikap Sosial-Keagamaan Masyarakat di Jawa” yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Agustus

2008,16 di mana sekitar 62,4% dari responden (guru agama Islam)

menolak wacana memiliki pemimpim publik non Muslim. Sekitar 68,6% dari responden menentang non Muslim menjadi Kepala Sekolah di tempat mereka mengajar. Sekitar 33,8% dari responden menentang mempunyai guru non-Muslim di sekolah tempat mereka mengajar. Sekitar 73,1% dari responden tidak menginginkan pemeluk agama lain mendirikan rumah ibadah di sekitar tempat tinggal mereka. Sekitar 85,6% dari responden melarang siswa-siswinya merayakan peristiwa besar yang jelas-jelas merupakan bagian dari tradisi Barat.

Survei ini juga mengungkap, sekitar 87% dari responden melarang siswa-siswinya mempelajari agama-agama lain. Sekitar 48% dari responden lebih memilih adanya pemisahan kelas antara pelajar putra dan putri. Sekitar 75,4% dari responden meminta siswa-siswinya untuk mengajak guru yang beragama bukan Islam untuk memeluk agama Islam. Sekitar 61,1% dari responden menolak sekte baru dalam Islam. Sekitar 67,4% dari responden mengatakan, mereka lebih merasa sebagai Muslim

(23)

22

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

dibanding sebagai orang Indonesia. Sekitar 58,9% dari responden mendukung rajam sebagai hukuman bagi berbagai jenis tindakan kriminal. Sekitar 47,5% dari responden mengatakan, hukuman bagi pencuri adalah dengan dipotong tangannya. Sekitar 21,3% dari responden menginginkan hukuman mati bagi mereka yang murtad dari Islam. Sekitar 51% dari responden lebih mementingkan mengajarkan akhlak mulia. Hanya sekitar 3% dari responden mengatakan merupakan tugas mereka menghasilkan pelajar yang toleran, dan hanya sekitar 0,3% dari responden yang mengajarkan menjadi warga negara yang baik.

Fakta di atas makin mengukuhkan ambisi dan hasrat elite politik untuk menjadikan Islam dan syariat sebagai instrumen politik. Elite politik melihat peluang elektabilitas jika dirinya dapat meraih simpati pemilih Muslim dengan berpihak pada isu dan kepentingan kelompok Islam, meski secara simbolik. Sekarang, kurang lebih 60 propinsi dan kabupaten telah menerapkan peraturan berbasis Syariah. Keberhasilan ini bukan hanya disebabkan oleh dukungan partai Islam saja tetapi juga partai nasional sekuler seperti Partai Golkar dan PDIP. Hal ini sekaligus memberitahukan instrumentalisasi Islam oleh partai-partai sekuler nasionalis dan partai Islam membuktikan bahwa nalar syariatik diterima secara luas oleh publik.

Kritik Nalar Syariatik

Semarak Reformasi dan demokrasi yang dikecap bangsa Indonesia memungkinkan kontestasi ideologi dan politik berlangsung secara terbuka. Gagasan dan tuntutan penerapan syariat Islam bukan hanya diwadahi, tetapi juga telah menginspirasi perda-perda ‘Syariah’ di berbagai daerah. Dalam ruang demokratik itulah, warga memperoleh kesempatan untuk merasakan, mengalami dan menilai sejauhmana otentisitas dan efektifitas produk hukum Syariah bagi kemaslahatan publik. Seruan-seruan penerapan syariat tidak lagi berada di ruang mitos, tetapi telah mewujud dalam bangunan empirisme politik, sosial, hukum dan kebudayaan: apakah klaim keunggulan, kemenyeluruhan dan kemampuannya mengabdi dan menyejahterakan urusan publik terbukti ataukah sekedar mitos dan tabu yang dipelihara secara paksa.

(24)

23

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

konsepsi hukum syariat (qanun) masih terjebak pada konsepsi syariat Abad Pertengahan Islam, di mana hukum-hukum fikih yang ditawarkan tampak tidak mampu mencakup persoalan baru abad ke-21. Perda-perda syariat tersebut, secara umum, mengatur tiga aspek kehidupan publik ; (1) pemberantasan kejahatan sosial, terutama prostitusi dan perjudian, (2) penghormatan pada ibadah wajib umat Islam seperti membaca Al-Quran, shalat berjamaah hari Jumat dan puasa Ramadhan, dan (3) peraturan cara berpakaian di ruang publik, terutama jilbab bagi

perempuan.17 Sementara, urusan publik yang lebih luas hampir tidak

mendapatkan perhatian, seperti isu lingkungan hidup dan kerusakan alam, kemiskinan, dan perburuhan, isu HAM, korupsi, kolusi dan nepotisme dan sebagainya. Karena itulah, dapat dipahami, penerapan perda-perda Syariah di berbagai daerah di Indonesia lebih banyak membangun kesalihan individual, yang seringkali bersifat dangkal dan terjebak pada banalitas simbolisme relijius yang tidak substantif dan esensial.

Dalam logika syariatik ini, banalitas simbolisme keagamaan yang ditandai dengan maraknya pembangunan tempat ibadah, pengajian dan majelis taklim, lautan baju takwa dan jilbab di mal-mal, jalan dan ruang publik merupakan buah manis dari meningkatnya kesadaran publik Muslim terhadap syariat. Sementara, pada saat yang sama, banalitas korupsi, kolusi dan nepotisme, regresi moralitas dan integritas politik, pembalakan tambang dan hutan, kemungkaran ekonomi dan ketidakadilan kebijakan negara yang digerakkan oleh elite oligarki luput dari perhatian perda-perda bernalar syariatik tersebut. Karena itu, alih-alih menciptakan masyarakat yang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghoffur”, “tata titi tentrem karto raharjo, gemah ripah loh jinawi” sebagaimana mandat universal Islam, yang terjadi malah instrumentalisasi Islam dan Syariah oleh elite politik-ekonomi-bisnis dan ---dalam beberapa hal, media untuk kepentingan egoistik industrial politik mereka.

Secara kultural, perda-perda syariatik tampaknya kurang menumbuhkan relijiusitas paripurna, yakni keimanan dan kesalehan partisipatif Muslim terhadap berbagai persoalan keseharian. Ia malah menumbuhkan sikap dan perilaku keagamaan yang dikotomik dan sekuler; yakni membedakan antara yang sakral dan profan, urusan privat dan publik, agama dan non

(25)

24

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

agama, muslim dan non-muslim. Sebagian Muslim---terutama generasi mudanya yang haus pengetahuan agama, memperlihatkan kecenderungan untuk menjalankan agama secara simbolik dan ritualistik.

Seakan-akan beragama Islam yang baik adalah menepati aspek eksoteris ritual Islam, bukan pada aspek esoteris moral-spiritual Islam yang mendukung pelibatan Muslim pada persoalan-persoalan masyarakat aktual dari masalah korupsi hingga kebersihan. Dalam hal ini, praktik keagamaan Islam yang dilestarikan oleh partai-partai politik sebenarnya menumbuhkembangkan sikap kebudayaan sekuler-dikotomik; kefasihan membaca Al-Qur’an, jenggot, dan isbal (celana conkrang), lautan jilbab, tetapi acuh pada problematika korupsi, kolusi, dan nepotisme serta ketidaktaatan publik pada hukum yang berlaku.

Dalam posisi dan situasi seperti ini, Indonesia tampaknya tengah mengalami transformasi kultural dan politik menuju Negara Syariah. Namun, gagasan dan cita politik Negara Syariah tampaknya sulit diwujudkan. Penyebabnya, pada level praktis, tidak ada konsensus (ijma’) di kalangan para pengusung ideologi Syariah tentang formulasi Syariah yang akan dijadikan sebagai hukum positif, sebab tiap penegak syariat mempunyai metode formulasi Syariah sendiri (istinbath al-ahkam). Pandangan keagamaan (kalam, teologi) dan mazhab hukum fikih di kalangan umat Islam juga majemuk; Sunni dan Syiah secara teologis (kalam), dan aliran Hambali, Maliki, Hanafi dan Syafii (fikih). Belum lagi aliran politik di kalangan Muslim yang juga variatif.18

Dalam tradisi yurisprudensi Islam, dua terminologi tersebut dibedakan secara jelas; yang pertama merujuk pada nilai-nilai dan pesan universal Islam seperti kesetaraan (al-musawah), keadilan (al-‘adalah), kebebasan (al-hurriyah), kebenaran (al-haq), musyawarah (al-syura), perlindungan HAM (himayatu huquq al-insan) dan sebagainya, sementara yang kedua merupakan kontekstualisasi dan implementasi prinsip-prinsip umum tersebut menjadi sebuah hukum atau peraturan yang dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, budaya dan ekonomi masyarakat Muslim setempat. Syariah, dengan demikian, bersifat otonom dan abadi (shalih li

(26)

25

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

kulli zaman wa makan),19 sedangkan fikih dibatasi oleh ruang dan waktu

tertentu (muqayyadun bi al-dhuruf).

Ketidakmampuan dalam membedakan Syariah (nilai universal agama) dengan fikih (hukum yang diambil dari prinsip Syariah) memicu “kontestasi” dan perebutan otoritas di kalangan para pengusung Negara Syariah sendiri. Ketika penerapan Syariah Islam diajukan oleh sebuah organisasi pro-Syariah tertentu, maka organisasi pro-Syariah lainnya akan menawarkan formula Syariah yang berbeda. Tidak heran, produk Syariah Islam akan ‘mati’ sesaat setelah ditetapkan, karena kerapuhan dan kontestasi di kalangan Islam Politik sendiri. Muhammad As Sewed, tokoh berpengaruh Forum Komunikasi Ahlus Sunah Wal Jamaah/ Laskar Jihad menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna yang memperjuangkan syariat melalui jalur politik sebagai ahli bid’ah yang dikutuk Islam.20

Abu Bakar Ba’asyir, sebagai anggota Ikhwanul Muslimin, menurutnya, adalah seorang ‘néo-khawarij’ (khawarij gaya baru), yakni aliran Islam Politik radikal yang menggunakan

jalan kekerasan untuk mencapai tujuannya.21

Panglima Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib menyatakan bahwa Abu Bakar Ba’asyir menyebarkan paham jihad yang keliru dan ekstrimis, sehingga ia bisa disebut sebagai penganut paham hizbiyah: MMI-ABB satu-satunya penegak syah Syariah Islam di Indonesia, sementara yang menentang atau tidak sejalan

dengannya dianggap musuh Islam, atau agen musuh Islam.22

Abu Bakar Ba’asyir-MMI sebaliknya menuduh Laskar Jihad sebagai salafi fundamentalis yang dimanfaatkan oleh agen rahasia MOSSAD, untuk

menciptakan perpecahan di kalangan gerakan Islam Indonesia.23 Konflik

kedua tokoh penganut nalar syariatik ini menjalar hingga persaingan di medan konflik di Poso antara Laskar Jihad dengan Laskar Mujahidin

19 Olivier Roy menyatakan bahwa Syariat itu bersifat otonom dan abadi. Ia otonom karena tidak tergantung pada institusi seperti masjid atau majelis ulama, sedangkan fatwa fikih yang bisa menafsirkan suatu hal di luar apa yang disebut oleh teks bersifat sementara, temporal dan dapat dibatalkan oleh fatwa berikutnya. Syariah tidaklah bersifat tertutup, karena ia tidak tersusun dari bangunan konsep, tetapi himpunan pesan-pesan yang bersifat umum, kadang-kadang khusus, yang mencakup totalitas tindakan manusia melalui pemahaman induktif, analogi, komentar dan penafsiran. Prinsip-prinsip Syariah tidak bisa diganggu gugat, adapun fikih dapat dipersoalkan kembali, karena bersifat kasuistik. Olivier Roy, L’Echec de l’Islam… , hlm. 23.

20 www.tukpencarialhaq.wordpress.com; www.salafi.or.id 21 www.tukpencarialhaq.wordpress.com; www.salafi.or.id

22 Ja’far Umar Thalib, “Salafi Mesti Berani”, Gatra No. 31 14 Juni 2007.

(27)

26

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

(MMI). Laskar Jihad memilih strategi pertempuran langsung, sedangkan Laskar Mujahidin yang berjumlah sedikit memilih taktik perang gerilya. Mereka juga bersaing merebut simpati dari kalangan Muslim di wilayah konflik tersebut. Perselisihan memanas ketika Ja’far Umar Thalib yang menghadiri undangan Wapres Jusuf Kalla dalam penyelesain konflik di

Poso dinilai oleh MMI sebagai agen rahasia Pemerintah Indonesia.24

Proyek dan nalar syariatik makin tidak populer, manakala Muhammadiyah dan NU menolak. Kedua ormas ini lebih tertarik pada persoalan harian masyarakat Islam daripada penegakan Syariat Islam. Sejak tahun 2000 misalnya, Muhammadiyah dan NU bekerjasama dengan The Partnership memimpin kampanye anti korupsi. Keduanya juga berkonsentrasi pada pengembangan sumberdaya manusia melalui

peningkatan pendidikan di seluruh tanah air.25

Karena visi kebangsaan inilah, kedua ormas Islam terbesar ini malah mengokohkan Pancasila sebagai common platform kehidupan bangsa dan Negara. Melalui tokoh-tokohnya di awal Kemerdekaan, Muhammadiyah dan NU mengakui bahwa setiap sila dalam Pancasila selaras dengan ajaran Islam. Kelima sila Pancasila tersebut secara berurutan adalah prinsip Syariah Islam, yakni tauhid (ketuhanan), musawah baina nas (kemanusian), ittihad wa al-ukhuwah (persatuan dan kesatuan), al-syura (permusyawaratan), dan al-‘adalah (keadilan).

Oleh karena itu, Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sikap meragukan atau menolak Pancasila bisa dianggap menolak ajaran-ajaran luhur Islam. Buya Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, menilai bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia

akan membahayakan Pancasila dan heterogenitas masyarakat Indonesia.26

Begitu juga Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin yang melihat pentingnya pelembagaan substansi nilai Islam, bukan bentuk luarnya.27

Pada setiap 1 Juni, PP Muhammadiyah mengadakan peringatan Harlah Pancasila di Gedung Muhammadiyah Jakarta dengan

24 Risalah Mujahidin, 6 Shafar 1428/ Maret 2007, hlm. 28-29.

25 Kerja sama pemberantasan korupsi ditandatangani oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Ma’arif, Direktur The Partnership Indonesia HS. Dillon dan Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi di Jakarta pada tahun 2000.

(28)

27

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

mengundang tokoh-tokoh nasional dan publik luas.

Dari kalangan NU, KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua Tanfidziyah PBNU, meminta pemerintah daerah tidak mengundangkan sebuah peraturan yang berbasis pada Syariah Islam; karena Syariah harus diterapkan di atas prinsip kebebasan beragama, sehingga mustahil Syariah Islam menjadi

hukum positif Republik Indonesia.28 Mantan Ketua PBNU sekaligus

Presiden RI Abdurahman Wahid berpendapat keras bahwa penerapan syariat Islam bertentangan dengan UUD 1945. ‘’Kita bukan berada di Negara Islam. Oleh karena itu, tidak boleh merubah peraturan apapun hanya berdasarkan Islam,” tegasnya.29

Selain kedua ormas Islam terbesar itu, penolakan terhadap proyek Syariah dari kalangan Islam yang anti Pancasila datang dari intelektual dan cendekiawan Muslim Indonesia yang berasal dari Universitas Islam Negeri (UIN) seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, Kautsar Azhari Noer dan sebagainya. Para kaum cerdik pandai Muslim tersebut menolak Syariah Islam dan membela Pancasila sebagai sebuah ideologi bersama yang dapat menjamin realitas heterogen bangsa Indonesia. Dukungan serupa terhadap Pancasila juga datang dari kaum muda Islam NU dan Muhammadiyah yang tergabung

dalam Jaringan Islam Liberal (JIL)30 dan Jaringan Intelektual Muda

Muhammadiyah (JIMM) 31 serta LSM-LSM pro demokrasi lainnya. Pada

setiap 1 Juni, kelompok intelektual dan LSM tersebut mengadakan aksi memperingati Hari Lahirnya Pancasila. Kampanye dukungan terhadap Pancasila juga dilakukan melalui publikasi di media massa, situs internet, konferensi, kongres dan seminar-seminar.

Politik Islam Partisipatoris

Fenomena kegagalan Islam Politik, tampaknya, bukan kekhasan Indonesia. Penggulingan Presiden Mesir Mohammad Mursi, tokoh

28 www.menkokesra.go.id 29 www.menkokesra.go.id

30 Baca tentang JIL dalam Muhammad Ali, “The Rise of Liberal Islam Network (JIL)”, The American Journal of Islamic Social Sciences 22:1.

(29)

28

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Ikhawanul Muslimin, pada 1 Juli 2013 menjadi contoh menarik. Selama 1 tahun berkuasa, pemerintahannya terjebak pada nalar syariatik, yakni mengganti Konstitusi lama dengan Konstitusi Syariah. Padahal, bukan Syariah yang menjadi jawaban krisis multidimensional pasca penggulingan Presiden Hosni Mobarak dua tahun lalu. Kebijakan-kebijakan Morsi yang syariatik dijawab oleh ketidakpuasan rakyat dengan kudeta militer.

Reformasi dan demokrasi di Indonesia juga menguak mitos nalar syariatik dari Islam Politik. Jika pada masa Orde Baru, mitos ‘Islam is one and only solution” menjadi mimpi yang harus direalisasikan, maka Reformasi memungkinkan realisasi mitos tersebut dan sekaligus menelanjanginya. Mimpi mitologis Syariah ternyata tidak seperti yang dimitoskan sebelumnya: ia telah gagal merealisasikan gagasan-gagasan syariatik dalam sistem kehidupan yang lebih menyejahterakan. Sebaliknya, seperti dibahas di muka, nalar syariatik terjebak pada conflicts of interest para pengusungnya sendiri, dan juga ketidakberterimaan mayoritas publik Muslim terhadap gagasan Negara Syariat.

Selain itu, ini yang paling substantif, Islam Politik gagal mentransformasikan nalar syariatik dalam sistem dan institusi politik yang lebih baik,32 karena

terjebak pada konsepsi fikih abad pertengahan Islam. Akibatnya, partai politik Islam dan produk perda-perda Syariah tidak dapat menjawab persoalan keseharian rakyat, seperti pengangguran, problem perumahan, urbanisasi, kemiskinan, rendahnya indeks prestasi SDM, kasus korupsi, kolusi dan nepotisme, HAM, problem gender, dan sebagainya. Diperparah oleh instrumentalisasi Islam untuk tujuan-tujuan elektoralis, Islam dan Syariah menjadi tidak ‘berdaya tarik’ di mata publik Muslim sendiri.

Nalar syariatik terbukti tidak mampu menangkap tanda dan problematika jaman. Ia tidak cerdas dan aspiratif, karena terpasung pada paradigma normatif deduktif. Ia tak mampu menjadi tumpuan harapan, tuntutan dan kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu, wajar, jika Islam Politik malah jatuh pada langgam kuasa kaum elite oligarkis yang mengebiri dan merusak narasi reformasi dan demokrasi di Indonesia. Ruang-ruang publik---tempat di mana partisipasi kewargaan tumbuh dan berkembang,

(30)

29

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

dikooptasi oleh kepentingan elit untuk tujuan-tujuan penguasaan kapital politik-ekonomi, dan sosial-budaya. Partai politik—tak terkecuali partai Islam, mendominasi setiap proses pengambilan keputusan dan kebijakan strategis, sehingga menyuburkan praktek gelap politik transaksional yang tak berkeadaban.

Konsekuensinya, seperti halnya elite politik nasionalis-sekuler, Islam Politik tidak berdaya ketika gurita liberalisme ekonomi menjepit kehidupan rakyat yang semakin sulit. Islam Politik juga “buta-tuli” terhadap ketidakteraturan sosial dan budaya yang diakibatkan bangkitnya feodalisme-egoisme dalam nadi kehidupan rakyat: penindasan, pemaksaan kehendak, intoleransi, konflik dan kekerasan atas orang lain. Realitas yang kini tengah mengitari dan mengotori nurani sehat dan akal budi seluruh anak bangsa tersebut, pada kenyataannya, menggerus dan bahkan membabat habis prinsip dan nilai pengabdian pada urusan publik (res-publika).

Republikanisme inilah yang menjadi dasar berdirinya Republik Indonesia. Para pendiri bangsa menyadari pentingnya republikanisme dalam setiap proses penyelenggaraan kekuasaan negara, supaya kepentingan umum diutamakan di atas kepentingan pribadi dan atau golongan. Republikanisme juga mensyaratkan partisipasi kewargaan (popular participation) dalam setiap pengambilan kebijakan. Di sinilah pentingnya agama dan politik (Islam) berkontribusi mendorong warganya untuk berpartisipasi dalam setiap pengambilan dan penyelenggaraan kebijakan negara.

Etika dan etos Islam ini merupakan spirit kemajuan, yang mendorong umatnya untuk berpartisipasi aktif membangun peradaban dunia. Umat Islam dan penganut agama yang lainnya tidak boleh berpangku tangan, sekedar menjadi penonton hiruk pikuk perubahan dunia yang dahsyat. Sebab, sikap acuh dan cuek terhadap dunia menjadikan dunia kehilangan ruh spiritualitasnya dan kering nilai-nilai transendental. Pembangunan yang kering dari nilai-nilai moral dan keimanan akan melahirkan krisis kemanusiaan dan disorientasi keberpihakan pada rakyat miskin, wong cilik. Proyek-proyek yang dilangsungkan hanya berorientasi akumulasi modal dan penyingkiran dan pemiskinan kaum miskin dan mustad’afin.

(31)

30

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

boleh hanya menganggap ibadah mahdlah seperti shalat, puasa, zakat dan haji sebagai one way to paradise, tetapi juga perlu diintegrasikan pada kesalehan dan kebajikan dalam makna berpartisipasi dan berkontribusi sebagai aktor utama pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, orang yang beriman adalah yang tidak saja beribadah di tempat ibadah, tetapi juga tanggap sasmita terhadap lingkungan sekitar, dalam proyek sosial, politik dan ekonomi, dan tekun aktif dalam proses pembangunan. Inilah figur ideal seorang insan kamil, manusia paripurna.

Dus, persoalan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dewasa ini, menurut Kuntowijiyo, bukan terletak pada persoalan teologis ataupun ideologis, yakni persoalan Syariah atau tidak, melainkan persoalan empiris sosial, politik dan ekonomi. Pendekatan teologis dan ideologis-syariatik terbukti dalam 15 tahun belakangan tidak mampu menjawab dan memecahkan problem keumatan, kebangsaan dan kenegaraan, malah sebaliknya semakin memperkeruh dan memperlama proses konsolidasi dan transisi demokrasi Indonesia. Karena itu, masalah-masalah tersebut mesti dipecahkan dan dicarikan solusinya melalui

pendekatan ilmiah-empiris.33 Dalam hal ini, Islam sebagai sumber etika

politik Islam perlu didekati secara transformatif melalui pisau bedah ilmu-ilmu sosial profetik dan Islam Transformatif—seperti yang pernah dikembangkan Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman.

Gagasan ‘ilmu sosial profetik’-nya Kuntowijoyo dan Islam Transformatif-nya Moeslim Abdurrahman, sebenarTransformatif-nya, sebagai kritik cerdas terhadap Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid yang lebih membahas Islam dalam perspektif teologis dan fikih. Kedua pendekatan kajian keagamaan itu tampaknya tidak mampu menangkap Islam dalam pergaulan empiris sosial politik. Pemikiran-pemikiran keislaman Nurcholis Madjid bahkan dinilai cenderung mengukuhkan kebijakan pembangunan Orde Baru dan hegemoni modernitas Barat. Baik Ilmu Sosial Profetik maupun Islam Transformatif adalah sebuah pisau bedah sosial atas pesan-pesan profetik Islam, yang mampu menggerakkan rakyat di bawah untuk mengubah

(32)

31

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

dirinya dan berperan dalam perubahan sosial yang mendasar.34 Di sini,

Islam dimaknai sebagai sumber refleksi dan aksi gerakan transformasi sosial untuk memecahkan problem ketertindasan, keterbelakangan sebagai efek dari globalisasi dan neoliberalisasi. Islam Transformatif menghendaki agama sebagai ruang transformasi sosial yang mampu melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, Islam dapat menemukan ruang artikulasi baru yang mampu menciptakan praksis sejarah yang lebih adil.

Untuk itulah, perlu pemaknaan baru (reproducing new significances) terhadap teks-teks otoritatif Islam, Al-Quran dan Sunnah Nabi, secara kritis dan hermeneutis. Pemaknaan baru ini diperlukan, supaya terma-terma agama, dapat dikontekskan maknanya untuk sebuah gerakan pembebasan rakyat dan dapat memberikan inspirasi untuk sebuah anti-hegemoni atau bahkan counter anti-hegemoni terhadap sistem yang menindas. Farid Essac misalnya memberikan makna hermeneutik pada konsep taqwa, tauhid, al-nâs, al-mustadl’afûn, ‘adl, dan jihâd. Kunci-kunci hermeneutik (hermeneutical keys) ini dipahami dan dimaknai kembali dengan titik tekan pada pengembalian fungsi kemanusiaan untuk pembebasan dan

penegakan keadilan.35 Kuntowijoyo juga pernah menawarkan lima

program reinterpretasi Al-Qur’an; tafsir struktural bukan individual, tafsir subjektif menjadi objektif, tafsir yang normatif menjadi teoritis, ahistoris menjadi historis dan formulasi general normatif menjadi spesifik empiris.36

Dalam menghadapi realitas ketimpangan sosial, ketertindasan saat ini, umat Islam harus melakukan social struggle untuk menciptakan reformasi struktural yang menyejahterakan. Caranya adalah, menurut Moeslim Abdurrahman, melakukan penyadaran kolektif dalam diri masyarakat dengan mekanisme praksis; yakni pembentukan jaringan atau cluster

34 Gagasan Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman tersebar dalam buku dan tulisan-tulisan antropologisnya, antara lain: Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995); Moeslim

Abdurrahman, Kang Thowil dan Siti Marjinal (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995); Moeslim Abdurrahman, Semarak Islam Semarak Demokrasi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), dan Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003).

35 Dalam konteks perjuangan rakyat Afrika Selatan melawan rejim Apharteid, Farid Esack secara cerdas berhasil melakukan reproduksi makna atas teks-teks mormatif Islam sebagai senjata teologis menghadapi kaum apharteid bersama kaum beragama lainnya. Selengkapnya baca Bab 3 dan 4 Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas (Bandung: Mizan, 2000).

(33)

32

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

sosial seperti buruh, nelayan, petani dan pedagang asongan, regrouping melalui institusi keagamaan seperti masjid, pesantren, surau, jamah pengajian atau majelis taklim, dan pembentukan komunitas-komunitas masyarakat termarjinalkan seperti kaum difabel, LGBT, dan kelompok minoritas agama. 37

Islam diharapkan dapat bersentuhan langsung dengan problem, isu, dan kepentingan publik. Pada saat yang sama, publik atau masyarakat Muslim dapat berkontribusi pada pemecahan masalah, isu dan kepentingan publik aktual dan berpartisipasi pada pengawalan aspirasi-aspirasi kerakyatan tersebut menjadi kebijakan publik yang maslahat. Dalam hal ini, politik umat Islam mengadvokasi dan mengagregasi kepentingan publik pada pemangku dan pengambil kebijakan di tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif. Singkat kata, politik Islam ke depan adalah politik advokasi dan agregasi isu dan kepentingan publik yang digali dari basis, komunitas atau kelas sosial.

Reaktualisasi dan Transformasi Basis Sosial Muslim

Berpijak pada argumen di atas, perlu reorientasi Politik Islam, terutama di bidang politik ekonomi dan sosial. Reorientasi Politik Islam bukan saja difokuskan pada mainstreaming paham-paham moderat dalam beragama, tetapi juga bagaimana agama itu dapat berperan dan berkontribusi positif bagi pembentukan insan kamil Indonesia yang saleh sekaligus kader bangsa Indonesia yang mempunyai kepedulian partisipatoris terhadap persoalan politik, sosial dan budaya serta memiliki kemandirian ekonomi yang kokoh. Islam di Indonesia diharapkan tidak hanya berperan dalam bidang-bidang yang selama ini telah digarap seperti pendidikan, kesehatan, dan amal sosial lainnya, tetapi diperluas pada kaderisasi politik dan ekonomi Indonesia.

Dalam bidang politik praktis, ketidaktautan antara partai politik (Islam) dan gerakan sosial dan basis-basis popularnya perlu segera dipungkasi. Partai politik perlu dikembalikan pada fungsi dan peran strategisnya dalam demokrasi, yakni advokat dan agregator aspirasi rakyat, sebab raison d’etre dari partai politik adalah mewadahi dan menyalurkan aspirasi publik. Dalam perspektif ini, partai politik dituntut menjadi

(34)

33

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

laboratorium kaderisasi politik sekaligus penyemai pendidikan politik, demokrasi serta pemberdayaan ekonomi rakyat secara berkelanjutan dan sistematis. Nalar dan nafas partai politik yang berlalu lalang dari pemilu ke pemilu adalah sebuah kesesatan berpikir dan berstrategi: penghambaan pada kekuasaan yang binal, bukan pada kebijakan dan kebajikan publik yang banal.

Dalam bidang ekonomi kerakyatan, partai politik perlu membangun paradigma, program dan aksi yang memberdayakan dan menyejahterakan manusia Indonesia seutuhnya, lahir dan batin, jasmani dan rohani. Hal ini penting mengingat, ketimpangan dan ketidakadilan distribusi ekonomi masih cukup tinggi. Angka kemiskinan, pengangguran, pemecatan akibat dari liberalisme ekonomi Indonesia tercatat tinggi. Islam dan politik Islam harus terlibat dalam pengentasan problem ekonomi yang mendera umat. Upaya memisahkan gerakan politik Islam dan gerakan sosial-kewargaan dalam upaya pemantapan demokrasi, disadari atau tidak, dapat memicu ketidakseimbangan transformasi sosial dan politik dan memberikan keleluasaan bagi elite oligarkis untuk menancapkan kepentingan politik, ekonomi dan bisnisnya.

Dengan kata lain, Politik Islam perlu melakukan gerakan pemberdayaan dan pencerahan masyarakat. Menyatupadukan gerakan politik dan sosial dapat dimulai dengan menghidupkan kembali basis-basis popular kerakyatan yang memiliki peran strategis, yakni tempat ibadah, balai desa/ kelurahan, dan pasar tradisional. Ketiga lapak kerakyatan itu penting untuk dihidupkan kembali, mengingat di situlah ruang berkumpul, bersilaturahmi dan berdialog antar warga. Di ketiga lapak itu pulalah, petani, buruh, nelayan, hingga pedagang, saudagar, dan para pegawai bertukar sapa.

(35)

34

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

umat. Dalam hal ini, perlu kaderisasi dai dan para pengkhotbah agama yang memahami agama tidak hanya sebagai kekuatan moral-spiritual tetapi juga mendorong umatnya untuk hidup secara sangkil dalam koridor falsafah Indonesia yang berbhineka tunggal ika.

Selain tempat ibadah, balai desa merupakan tempat berkumpul semua warga, forum sosialisasi sekaligus aktualisasi diri antar warga berdasarkan semangat saling menghargai dan nilai-nilai kegotongroyongan. Balai desa musti dibebaskan dari kuptasi politik golongan, sehingga tercipta masyarakat sadar sosial, politik, sekaligus budaya yang menggerakkan mereka pada kemajuan dan kesejahteraan bersama. Sebagai penggerak ekonomi rakyat, pasar menjadi tempat transaksi ekonomi yang bebas dari syahwat mencari untung sendiri sambil mencekik orang lain, merdeka dari libido kapitalistik yang menghisap habis sumber dan laba ekonomi rakyat.

Tempat ibadah, balai desa, dan pasar rakyat adalah simbol etika-moral-spiritual, politik gotong royong, dan ekonomi kerakyatan yang kini secara berurutan didominasi oleh fundamentalisme dan radikalisme, politik golongan, dan kapitalisme-neoliberal. Oleh karena itu, politik Islam dapat menjadi pelopor reaktualisasi peran empirik dan transformatif Islam melalui agenda aksi politik, ekonomi dan sosial kebudayaan. Upaya ini memungkinkan politik Islam dapat terbebas dari ambisi dan nalar syariatik yang menghalangi terwujudnya transformasi sosial, politik dan ekonomi Islam yang rahmatan lil’alamin, rahmat bagi seru sekalian alam.

(36)

35

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Referensi

Ahmad Najib Burhani, “JIMM: Pemberontakan Anak-anak Muda Terhadap Aktivisme, Skripturalisme, dan Orientasi Struktural di Muhammadiyah,” dalam Neng Dara Afifah (ed) Reformasi Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Jakarta: Balitbang Depag RI. Ahmad Syafii Ma’arif, “Demi Keutuhan Bangsa”, Republika, le 11 juillet 2006. Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan

Tarbiyah Movement di Indonesia. Bandung: Teraju, 2003.

Andar Nubowo, Un Mouvement islamiste post-Soeharto: Le Conseil des Moudjahidines Indonesiens et Son Combat pour l’Application de la charia (Paris: EHESS, 2008), tesis tidak dipublikasikan.

Andrée Feillard et Rémy Madinier, La fin de l’innocence ? L’islam indonésien face à la tentation radicale de 1967 à nos jours, Irasec (Les indes savantes), Paris, 2006.

Are Knudsen, Political Islam in Middle East. Norway: Chr. Michelsen Institute, 2003.

Bjørn Olav Utvik, “Islamism: Digesting modernity the Islamic way” (Forum for Development Studies 2).

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional. Bandung: Mizan, 2000.

Douglas Ramage, Politics in Indonesia : Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. New York : Routledge, 1995.

Dewi Candraningrum, Unquetioned Gender Lens in Contemporary Indonesian Sharia Ordinance (Perda Syariah), Al-Jami‘ah, Vol. 45, No. 2, 2007 M/1428 H.

Greg Fealy, “Globalised Islamism: Hizbut Tahrir in Indonesia”, makalah dipresentasikan di Centre for Muslim States and Societies, The University of Western Australia (Perth), 25 februari 2006.

Hirschkind, “What is political Islam?” (Middle East Report, Okt/Des 1997). International Crisis Group, Recycling Militants in Indonesia: Darul Islam and the

Australian Embassy Bombing, 22 Februari 2005.

(37)

36

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/Munas VII/MUI/11/2005 TentangPluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme Agama.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991. __________, Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997.

Lembaga Survei Indonesia, “Trend Orientasi Nilai Politik Islamis vs Nilai-Nilai Politik Sekuler dan Kekuatan Islam Politik”, Oktober 2007.

Lingkaran Survey Indonesia, “Krisis Capres dan Cawapres Partai Islam: Siapakah Pasangan Capres-Cawapres Terkuat pada Pemilu 2014?”, 17 maret 2013. Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995. ___________, Kang Thowil dan Siti Marjinal. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995. ___________, Semarak islam Semarak Demokrasi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. ___________, Islam Sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Erlangga, 2003.

___________, Islam Sebagai Kritik Sosial Jakarta: Erlangga, 2003.

Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas

Bandung: Mizan, 2000.

Olivier Roy, l’Echec de l’Islam Politique Paris: Collection Esprit/Seuil, 1992. _________, Geneologie de l’islamisme. Paris: Hachette Literature, 1995.

_________, L’Islam Mondialise Paris: Seuil, 2002; Olivier Roy, Geneologie de l’Islamisme Paris: Hachette Litterature, 1995.

Muhammad Ali, “The Rise of Liberal Islam Network (JIL)”, The American Journal of Islamic Social Sciences 22:1.

Salman, “The Tarbiyah Movement: Why People Join This Indonesian Contemporary Islamic Movement”, Studia Islamika, Vol. 13, No. 2, (2006) William Liddle, “Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political

Thought and Action in New Order Indonesia”, in Mark R. Woodward (éd.), Toward a New Paradigm. Recent Development in Indonesian Islamic Thought, Temple: Arizona State University, 1996.

(38)

37

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Gatra No. 31, 14 Juni 2007

Gatra No.34, 5 Juli 2007.

Rakyat Merdeka, 17 Desember 2006

Risalah Mujahidin, 6 Shafar 1428/ Maret 2007 The Jakarta Post online, 26 November 2008 www.menkokesra.go.id

Gambar

Tabel 1Hasil Penghitungan Suara untuk Kursi di DPRD II di Seluruh Kabupaten di Madura
Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

Darmasaba. Tradisi ini sampai sekarang masih dipertahan dan tradisi ini dilakukan setiap wrespati ngepik yaitu hari kamis. Tradisi Ngerebeg masih bertahan sampai

Dari masalah ini lah penulis tertarik untuk mempelajari faktor apa yang memengaruhi cara Grab dalam menguasai pangsa pasar, sehingga dapat unggul dalam industri ride

Berbagai tayangan televisi ritual-religius selama Ramadhan yang dikemas dalam beragam program acara terjebak dalam pemahaman Islam yang simbolis-verbalis (dalam Surya

Penentuan blok permukiman didasarkan pada persamaan keteraturan (pola) dan kepadatan dari sekelompok permukiman yang dibatasi oleh jaringan jalan atau sungai.

Pada siklus II ini, guru merubah proses pembelajaran yaitu dengan kegiatan kelompok atau diskusi yang dilanjutkan dengan proses pembuatan Mind Mapping, guru juga

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa : 1.Penerapan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 yang dilakukan oleh Hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan sanksi hukuman kepada Terdakwa