• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Kinerja Tanpa Komitmen Ideolog

Dalam dokumen Ekspresi Politik Dan Umat Islam (Halaman 103-112)

Generasi kedua kepemimpinan politik Islam merupakan kelanjutan langsung dari kepemimpinan generasi pertama, meskipun dalam proses kemunculannya ada yang melalui pergulatan dan konflik yang memang jamak di dunia politik. Pada konteks sekarang figur-figur ini mencakup para pimpinan partai berbasis Islam seperti PPP, PKS, PBB maupun partai berbasis Muslim seperti PAN dan PKB. Yang menarik adalah, generasi kedua pimpinan politik Islam mencoba belajar dari kegagalan generasi pertama yaitu efektivitas kinerja, namun di saat yang sama justru mengabaikan apa yang dimiliki generasi pertama yaitu legitimasi yang berbasis komitmen ideologis.

Secara personal figur kepemimpinan politik Islam generasi pertama belum bisa menandingi popularitas dan kebesaran citra generasi pertama, dan bahkan masih berlindung kepada citra mereka. Misalnya, Muhaimin Iskandar sebagai pewaris tahta PKB masih jauh di bawah figur Abdurrahman Wahid dalam kapasitas personal maupun radius jejaring. Demikian pula Hatta Rajasa sebagai ketua PAN masih selalu memerlukan dukungan Amien Rais dalam persoalan-persoalan otoritas dan legitimasi politik. Suryadharma Ali sebagai ketua PPP juga belum memiliki kharisma seperti tokoh partai yang sempat bertarung di era Orde Baru. Yang agak berbeda barangkali adalah generasi dari HMI yang muncul dalam sosok Anas Urbaningrum yang secara figur dapat disejajarkan dengan Akbar Tanjung di kala muda. Dan juga pimpinan PKS yang memiliki beberapa figur utama dan tidak memiliki leluhur langsung dalam percaturan politik di Indonesia.

Namun demikian, generasi kedua kepemimpinan politik Islam berhasil belajar dari kegagalan angkatan pertama. Mereka terlihat sudah memahami logika aturan main demokrasi dan logika kinerja birokrasi dalam satu kesatuan paket yang tidak terpisahkan. Berbeda dengan generasi pertama yang mengandalkan legitimasi untuk mendorong kebijakan publik yang mereka canangkan, generasi kedua justru berangkat dari sisi sebaliknya yaitu berjuang mengamankan pos-pos jabatan publik kepemerintahan—

103

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

terutama portofolio kabinet kementrian—sebagai upaya untuk menguasai otoritas penggunaan anggaran publik.

Dengan cara ini mereka mampu secara efektif mengumpulkan sumberdaya untuk secara internal membangun jaringan dan kaderisasi politik, meskipun belum sepenuhnya mampu mendorong kinerja birokrasi ke arah yang mereka canangkan. Namun langkah ini memiliki konsekuensi serius yang menggerogoti legitimasi mereka di mata konstituen politik Islam. Karena kepemimpinan pemerintahan tidak di tangan kelompok berbasis Islam, maka upaya mendapatkan portofolio jabatan publik hanya dapat dilakukan dengan merapat kepada pemenang pemilu dan menyesuaikan diri dengan program politik yang mereka miliki. Akibatnya pimpinan politik Islam lebih banyak bermain sebagai backing vocal dari pentas politik nasional.

Parahnya lagi, perkembangan demokrasi di Indonesia baru pada tahap prosedural, dengan diberlakukannya aturan main politik yang disepakati oleh para pemain dan disahkan di hadapan publik melalui UU, dan belum pada tahap substantif dimana manfaat kebijakan pemerintah dapat dirasakan oleh publik. Upaya generasi kedua kepemimpinan politik Islam untuk menghayati aturan main demokrasi menyeret mereka pada permainan beresiko tinggi, dalam upaya mengekstrak sumberdaya publik untuk kepentingan politik mereka. Satu-persatu pimpinan politik Islam terseret kasus korupsi, dan terancam pidana karena melanggar aturan main yang sedang mereka coba mainkan dengan lihai.

Pada saat ini terlihat bahwa pimpinan politik Islam tidak lagi dapat dibedakan dari pimpinan politik yang bukan berbasis komunitas Islam— meskipun mereka secara personal mungkin juga Muslim—baik secara kinerja maupun keterpaparan resiko. Secara kinerja, karena bernaung di bawah panji kabinet yang sama, maka pimpinan politik Islam yang menjadi pejabat negara sekedar sebagai pembantu presiden yang harus melakukan hal yang sama dengan pembantu presiden yang lain. Dan secara resiko, pimpinan politik Islam juga terpapar ancaman yang sama dari penyalahgunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok sebagaimana pimpinan politik kelompok lain. Inilah yang menjadikan kepemimpinan politik Islam generasi dua semakin kehilangan legitimasi di mata pendukungnya.

104

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Perolehan Pemilu Partai-partai Islam

Prospek Masa Depan: Menuju Akuntabilitas

Sebenarnya, jika diamati dengan detail, politik Islam Indonesia memiliki varian yang dapat dikenal yaitu Tradisionalis, Modernis, dan Islamis serta memiliki basis sosiologis yang relatif mapan yaitu komunitas rural, urban dan kelompok sosial baru. Dan menariknya, visi kebijakan partai politik berbasis Islam yang ada relatif konsisten dengan aspirasi basis komunitas masing-masing. Ini artinya bahwa urat legitimasi politik berbasis Islam masih tetap ada, hanya saja karena generasi kedua kepemimpinan politik Islam tenggelam dalam permainan politik demokrasi prosedural yang mengedepankan efektivitas kinerja dan mengabaikan legitimasi, maka urat tersebut tampak makin melemah.

Ke depan, satu-satunya harapan politik Islam untuk dapat memainkan peran kepemimpinan nasional adalah dengan memadukan kekuatan legitimasi yang pernah dimiliki oleh tokoh politik Islam generasi pertama, dengan kemampuan kinerja yang sudah dirintis oleh kepemimpinan generasi kedua, dan meraih akuntabilitas politik di mata konstituen politik Islam.

Untuk menuju ke sana ada tiga agenda yang perlu disiapkan oleh para pimpinan politik Islam. Pertama, memperbaiki dan meningkatkan efektivitas kinerja politik dengan mempersiapkan manajemen peluang dan pengelolaan resiko yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Politik adalah permainan perebutan kepentingan yang penuh dengan persaingan dan intrik, sehingga aktor politik pasti akan dihadapkan pada situasi dan

105

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

pilihan yang beresiko, baik secara administratif, hukum, maupun moral. Apa yang terjadi pada kasus mantan presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq dan mantan ketua umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum adalah ilustrasi ketika resiko politik menjadi residu yang tidak dapat tereduksi oleh sistem yang memunculkannya. Upaya ini bahkan perlu ditingkatkan dengan mentarget pos-pos di pemerintahan yang lebih strategis, terutama terkait dengan SDA, moneter, dan pertahanan keamanan. Pimpinan politik Islam harus secara sistematis melahirkan SDM yang kapabel untuk pos-pos yang semakin strategis.

Kedua, mengembalikan legitimasi di hadapan konstituen dengan mengembangkan program-program yang selaras dengan kebutuhan dan aspirasi mereka, terutama melalui program-program layanan publik. Ini bukan berarti memanfaatkan sumber daya publik untuk kepentingan sektarian, melainkan menjadikan identitas politik sebagai kerangka pengambilan prioritas kebijakan.

Ketiga, keberanian menjalin komunikasi dan bahkan membangun koalisi dengan sesama kekuatan politik Islam. Ada beberapa strategi koalisi yang bisa ditempuh. Pertama, koalisi ideologis, yaitu kesepakatan politik berbasis kesamaan idealisme dan basis konstituen. Elit partai Islam perlu mencari rumusan yang mampu merangkum keragaman aspirasi umat Islam ke dalam suatu paket program dan kebijakan. Memang akan ada hambatan psikologis, karena baik elit maupun massa pendukung partai Islam masih terbiasa dengan perspektif sektarian.

Alternatif kedua adalah koalisi programatis, yaitu koalisi yang tidak lagi normatif, mencoba mencari titik temu aspirasi pemilih dari kalangan Islam, melainkan lebih kepada merumuskan program-program kongkret yang akan menjawab persoalan yang secara bersama—atau pada umumnya—dialami oleh konstituen Islam, namun dengan pendekatan dan wacana yang dikembangkan secara indipenden oleh masing-masing partai Islam. Resikonya, kemungkinan akan ada asimetri dan ketidak- sinkronan wacana.

Alternatif ketiga sebagai jalan terakhir adalah koalisi strategis, yaitu kerjasama politik secara ad-hoc tanpa mengasumsikan kesamaan idealisme maupun program, dan hanya fokus kepada upaya untuk sama-sama bisa survive. Strategi ini dapat dilakukan dengan mencoba merumuskan “musuh bersama”, baik dalam sosok parpol pesaing ataupun realitas

106

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

status quo politik yang ada, dan mengeksploitasi sisi negatif-nya untuk dijadikan basis melakukan konsolidasi dan mobilisasi.

107

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Referensi

Allen, Pamela M. “Challenging diversity?: Indonesia’s Anti-Pornography- Bill.” Asian Studies Review, 31. 2 (1967).

Amir, Zainal Abidin. Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, Jakarta: LP3ES, 2003. Baswedan, Anis. “Votes Circulation in 2004 Election”, paper pressented at

Conference on Democracy and Election in Southeast Asia, Johnhopkins University, 12 May 2004.

Barton, Greg. Abdurrahman Wahid, Muslim Democrat, Indonesian President: a View from the Inside, Singapore: ISEAS, 2002.

Basyaib, Hamid. Mengapa Partai Islam Kalah [Why Islamic Parties Failed], Jakarta; Alvabet, 1999.

Bernard, Platzdach. Islamism in Indonesia: Politics in the emerging Democracy, Singapore: ISEAS, 2009.

Buehler, Michael. “The Rise of Sharia by-laws in Indonesia Districts: An Indication for Changing Patterns of Power and Political Corruption”, dalam Fritz Schulze and Holger Warnk, Islam und Staadt in den Laendern Suedostasien, frankfurt: Harrasowitz Verlag, 2010.

Bush, Robin. “Islam and Civil Society in Indonesia,” unpublished article, 2005. __________. “Regional Sharia Regulation in Indonesia: Anomaly or Symptom?

Jakarta: The Asia foundation, 2008.

Doherty, Ivan. “Democracy Out of Balance: Civil Society Can’t Replace Political Party,” Policy Review, April-May. (2001): 25-35.

Easton, David.”An Approach to the Analysis of Political system”, World Politics. pp. (1957): 383-400.

Giora, Eliraz. Islam in Indonesia: Modernism, Radicalism, and The Middle East Dimension, Sussex Academic Press, 2004.

Heffner, Robert. Civil Islam: Muslims and Democratizations in Indonesia, Princeton University Press, 2000.

Hilmy, Masdar. Islamism and Democracy: Piety and Pragmatism, Singapore: ISEAS, 2010.

Huntington, Samuel. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Norman: University of Oklahoma Press, 1991.

108

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Katz, Steven and Peter Mair. “The Evolution of Party Organization: Three Faces of Political Party,” American Review of Politics, No 14 (1993): 593-617. Kazhim, Musa dan Alfian Hamzah. 5 Partai dalam Timbangan, Bandung: Pustaka

Hidayah, 1999.

Klingeman, Hans-Dieter, Richard Hofferbert, Ian Budge. Parties, Policies and Democracy, Boulder: WestView Press, 1994.

Lawson, Kay. “When Linkage Fails,” dalam K. Lawson and P.H Merkel (ed),

When Parties Fails: Emerging Alternatives Organization, Princeton University Press, 1988.

Liddle, William and Saiful Mujani. “Leadership, party and religion: Explaining voter behavior in. Indonesia”. Comparative Political Studies. 40.7 (2002). Machmudi, Yon. Partai Keadilan Sejahtera: Wajah Baru Islam Politik Indonesia,

Bandung: Harakatuna Publishing, 2005.

Majelis Pertimbangan Pusat PKS. Memperjuangkan Masyarkat Madani: Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS, Jakarta: PKS, 2008.

Permata, Ahmad-Norma. “The Prosperous Justice Party (PKS) and the Decline of Political Islam in the 2009 Election in Indonesia,” in Remy Madinier (ed.) Islam and the 2009 Indonesian Election: Political and cultural Issues, Bangkok: IRASEC, 2010.

Poguntke, Thomas. “Parties Without firm social Roots? Party Organization Linkage,”Keele University Working Paper No. 14, 2002.

Sabaniah, Dini Anitasari dan Melly Setyawati. Penelitian Analisis Kebijakan

Pemberdayaan Perempuan tentang “Ide dan Konsep Pemberdayaan

Perempuan Oleh Pemerintah: Potret Kebijakan dan Implementasi Pemberdayaan Perempuan di Indonesia”, Semarak Cerlang Nusa- Consultancy, Research and Education for Transformation, 2009. Saragih, Bungaran, “Sambutan Menteri Pertanian dan Kehutanan” pada Acara

Serah Terima Jabatan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Kabinet Persatuan Nasional, 29 Agustus 2000 di Jakarta

Syaukani, Luthfi. Islam and the Secular State in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2009.

109

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013 2009, Jakarta: Kompas, 2004.

Ufen, Andreas. “The Evolution of Cleavages in Indonesian Party System,”

GIGA Working Paper, Hamburg, 2008.

Usman, Marzuki. Makalah “Memposisikan Hutan Rakyat Sebagai Aktualisasi Ekonomi Kerakyatan”. Disampaikan dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh MPI Reformasi di Riau, 11 April 2001

Von der Mehden, Fred R. “Islam in Indonesia in the Twenty-First Century” in John L. Esposito, John O. Voll, Osman Bakar (ed)Asian Islam in the 21st Century, Oxford UP, 2008.

Dokumen-dokumen

Renstra Departemen Pendidikan Nasional RI Periode 2004-2009 Renstra Departemen Perhubungan RI Periode 2004-2009 Renstra Departemen Pertanian RI Periode 2004-2009

Renstra Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI Periode 2004 2009

Depkes RI, 2002, “Profil Kesehatan Indonesia 2001: Menuju Indonesia Sehat 2010”, Jakarta

Tanfidz Muktamar Luar Biasa PKB di Ancol Jakarta, 2-4 Mei 2008

Media dan Internet

jimly.com marzukiusman.blogspot.com www.beritaindonesia.co.id www.depkeu.go.id www.depnakertrans.go.id www.detiknews.com www.dpp-pkb.org www.kemenpera.go.id www.kemlu.go.id www.litbang.deptan.go.id www.mahfudmd.com

110

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013 www.pan.or.id www.ristek.go.id www.setneg.go.id www.swabisnis.8m.com www.tempo.co.id www.tokohindonesia.com

111

Abstrak

Memetakan kelas menengah sangatlah penting bagi upaya pencarian pemimpin masa depan Indonesia. Sebagai bagian masyarakat yang memiliki penghasilan lebih dari yang diperlukan, kelas menengah lebih mandiri dan lugas dalam pandangan atau sikap politik. Mereka tidak bisa dengan mudah tertipu dengan rayuan-rayuan politik uang ataupun manipulasi simbol-simbol primordial. Karena persentuhan mereka yang cukup intens dengan globalisasi, selera dan gaya hidup kelas menengah biasanya tidak bisa dipisahkan dari tren-tren yang berkembang di tingkat global. Fenomena kelas menengah Indonesia menjadi khas dan unik karena persentuhan mereka dengan simbol- simbol Islam yang hadir semakin mencolok di arena publik. Menariknya, meskipun berupaya mengekspresikan identitas keagamaan, mereka tidak lagi mempertanyakan legitimasi sistem politik yang ada, dan ingin menghilangkan prasangka kesenjangan antara Islam dan modernitas dengan memanfaatkan simbol-simbol Islam sebagai legitimasi moral untuk gaya hidup yang semakin konsumtif. Pada saat yang sama, mereka secara konsisten berharap melihat sistem demokrasi yang diterapkan di

Kelas Menengah Muslim dan Pemimpin

Dalam dokumen Ekspresi Politik Dan Umat Islam (Halaman 103-112)