• Tidak ada hasil yang ditemukan

Marginalisasi dan Eksklusi dalam Masyarakat Islam: Sebuah Analisis

Dalam dokumen Ekspresi Politik Dan Umat Islam (Halaman 130-145)

Berbasis Ekonomi-Politik Kritis

Airlangga Pribadi Kusman

130

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Kata Kunci: Islam, Politik Islam, Marjinalisasi, Eksklusi, Identitas

Subaltern, Analisis Ekonomi-Politik.

Tulisan ini akan mengangkat secara teoritik problema marjinalisasi dan eksklusi di masyarakat Islam Indonesia melalui pendekatan ekonomi- politik kritis. Di tengah begitu meluasnya diskursus tentang marjinalisasi dan eksklusi dalam kajian ilmu sosial, wacana intelektual Islam terutama di Indonesia kurang memberikan porsi terhadap persoalan eksklusi dan marjinalisasi secara lebih serius, sementara persoalan ini telah menjadi bagian dari dialektika sosial dalam kehidupan masyarakat Muslim Indonesia. Melalui pendekatan ekonomi-politik kritis, tulisan ini melihat bahwa proses marginalisasi yang dihadapi oleh masyarakat Islam sangat terkait dengan kontestasi dan negosiasi kepentingan di antara elit-elit lokal maupun nasional untuk mempertahankan dan mengakumulasi baik kekuasaan maupun sumber-sumber daya material yang diperebutkan dalam ruang politik desentralisasi dan demokrasi lokal.

Artikel ini ingin memperlihatkan bahwa pendekatan kultural yang melihat marjinalisasi atas yang berbeda sebagai efek dari problem literalitas pembacaan atas teks, problem social capital nilai-nilai toleransi dan inklusivitas, serta tendensi fanatisme keagamaan terlihat mengesampingkan peran fundamental dari persoalan asimetris kekuasaan dan manuver elit dominan yang berkuasa di dalam ruang politik kenegaraan untuk memperebutkan aset publik dan mempertahankan kekuasaan melalui manipulasi atribut dan simbol kultural maupun mengkooptasi elemen-elemen strategis dari umat Islam sebagai penyebab utama dari proses eksklusi sosial terhadap yang berbeda.

Pendekatan Kulturalis Islam dan Kritik Terhadapnya

Terkait dengan kajian Muslim pro-demokrasi di Indonesia yang cenderung menggunakan kajian kultural (Robert W Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, 2000; Luthfi Assyaukanie,

Islam and The Secular State in Indonesia, 2009; dan Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia, 2007), perspektif kultural ini memiliki persoalan setidaknya dalam tiga aspek: Pertama, asumsi bahwa kalangan Muslim demokrat dalam dirinya adalah

131

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013 agensi utama yang mempromosikan nilai-nilai civic culture dan toleransi, sehingga dengan sendirinya kehadiran mereka akan menjadi penggerak bagi proses demokratisasi di Indonesia. Meskipun karya Robert W. Hefner dalam Civil Islam juga menyinggung aspek sosial ekonomi dan persoalan politik kuasa, namun demikian unsur tersebut tidak menjadi kerangka teorinya dalam menganalisis kaum Civil Islam di Indonesia. Dalam perspektif strukturalis, pendekatan kultural ini problematik, karena seperti diutarakan Salwa Ismail dalam Rethinking Islamist Politics: Culture, The State and Islamism (2006; 16-17), diskursus Muslim dan aktor yang mengartikulasikannya terikat pada situasi historis yang spesifik, dimana makna dan tindakan ditentukan dalam hubungannya dengan kondisi basis material dan hubungan-hubungan institusional maupun posisi dari tiap-tiap aktor dalam kekuasaan. Ketika kita melupakan relasi antara wacana yang diartikulasikan baik dengan kondisi material maupun posisi agensi dalam kekuasaan, maka kita melupakan apa hambatan-hambatan sosial yang membatasi bergulirnya suatu wacana maupun kesempatan-kesempatan yang disediakan oleh struktur ekonomi-politik untuk mendukung bergulirnya sebuah gagasan dalam ruang sosial. Kehadiran sebuah diskursus progresif tidak serta merta mampu membangun konsolidasi gerakan sosial progresif ketika basis material, ruang publik dan aliansi sosial yang ada tidak memungkinkan terbangunnya aliansi gerakan yang solid bagi terbangunnya sebuah gerakan sosial.

Kedua, kajian atas wacana Islam dan demokrasi di Indonesia yang menekankan pengaruh gagasan, orientasi etis dan wacana dalam memengaruhi ruang publik di Indonesia juga tidak memertimbangkan bagaimana interaksi dialektik antara gagasan dan kondisi sosial yang dihadapi memengaruhi posisi wacana dalam proses politik yang terjadi.

Seperti diutarakan Vedi R. Hadiz dan Khoo Boo Teik dalam Critical

Connections: Islamic Politics and Political Economy in Indonesia and Malaysia

(2010), memahami politik Islam tidak dapat dijelaskan merujuk pada Islam itu sendiri maupun hanya pada variabel budaya saja. Pembacaan yang seksama tentang realitas politik Islam, harus terintegrasi dengan basis sosial dari kelompok Islam, transformasi kapitalisme yang berjalan, kebijakan negara, kontur kehidupan ekonomi dan dinamika kebangkitan kekuatan Islam yang bekerja.

132

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Pandangan ini sejalan dengan analisis mendiang Fred Halliday, professor kajian Hubungan Internasional asal London School of Economics and Political Theory (LSE), dalam karyanya The Middle East and International Relations: Power, Politics and Ideology (2005), ketika ia mengritik beberapa pendekatan esensialis tentang Islam Politik yang menggunakan nilai-nilai kultural Islam sebagai variabel utama untuk menjelaskan politik Islam di Timur Tengah. Menurut Halliday, ketika kita menyadari pentingnya variabel budaya dalam politik bukan berarti kita menempatkannya sebagai faktor utama yang menentukan analisis politik kita atas suatu subyek seperti Islam Politik. Dalam bingkai analisis ekonomi-politik, berbagai faktor seperti kepentingan, konfigurasi kelas, struktur kuasa yang menyejarah harus mendapatkan posisi penting dalam membaca dinamika politik Islam. Dalam analisis seperti yang diuraikan oleh Fred Halliday di atas bahwa praktik-praktik marjinalisasi yang dialami oleh sekelompok warga bukan semata-mata imbas dari praktik eksklusi atas nama pemahaman keberagamaan yang eksklusif, namun tidak dapat dilepaskan dalam konfigurasi kekuasaan yang spesifik, kekuatan dominan menjalankan strategi-strategi politik tertentu untuk memaksimalkan baik kepentingan mereka maupun mekanisme politik dimana mereka bisa tetap eksis sebagai elit.

Ketiga, determinasi variabel modal sosial (social capital) dalam karya- karya mereka tentang Islam dan demokrasi membuatnya mengabaikan pengaruh struktur sosial yang timpang, yang berpengaruh atas peran modal sosial dalam membangun tradisi demokrasi. Gagasan tentang modal sosial sendiri awalnya digunakan oleh Pierre Bourdeau dalam artikelnya berjudul Le Capital sociale: notes provisoires (1980), sebagai elemen dalam formasi kapital yang mempengaruhi pembentukan konfigurasi sosial dan pertarungan kelas dalam wahana budaya. Robert Putnam dalam Making Democracy Works: Civic Traditions in Modern Italy (1993), kemudian memodifikasi dan memotong tendensi konflik dan pertarungan kelas dengan mendefinisikannya sebagai sifat dari organisasi sosial seperti jejaring (network), norma, kepercayaan sosial (social trust) yang memfasilitasi kerjasama untuk mencapai keuntungan bersama. Gagasan ini selanjutnya bergaung besar dan digunakan sebagai elemen utama dalam proyek-proyek pembangunan Good Governance.

Seperti diutarakan oleh John Harris dalam Depoliticizing Development: The World Bank and Social Capital (2002; 6), yang mengritik penggunaan

133

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013 variabel modal sosial dalam diskursus pembangunan, bahwa analisis modal sosial digunakan dalam kajian pembangunan maupun analisis sosial untuk mempertemukan aparatus negara, agensi pembangunan dan aktor bisnis untuk membangun aksi kolektif. Karena itu, analisis yang berpijak pada variabel modal sosial ini melupakan variabel struktural relasi kuasa yang eksis (existing power relationship) yang memengaruhi ketimpangan sosial maupun posisi tawar dari masing-masing aktor. Bagi Harris, modal sosial adalah instrumen anti-politik dalam narasi pembangunan untuk menempatkan kajian pembangunan semata- mata sebagai proses kolaborasi antara aktor strategis pembangunan dan melupakan pengaruh dari distribusi kekuasaan maupun variabel dominasi elite politik dalam tatanan sosial yang eksis di dalamnya. Dalam konteks struktur ekonomi politik yang korup yang ditandai dengan hadirnya oligarkhi ekonomi-politik yang menentukan ruang publik paska rezim otoriter, maka pendekatan modal sosial bukan saja tidak dapat bekerja namun aktivasi nilai-nilai tersebut di dalamnya berpeluang menjadi bagian dari alat kooptasi politik dan memperkuat bekerjanya tatanan sosial yang cenderung korup tersebut di tengah pengabaian terhadap persoalan asimetris kekuasaan.

Problem Eksklusi dan Marjinalisasi

Berangkat dari analisis di atas, artikel ini tidak bermaksud untuk mengesampingkan pentingnya internalisasi ide-ide toleransi, pluralisme dan nilai-nilai inklusivitas di dalam praktik keseharian masyarakat Islam. Yang menjadi titik perhatian dari analisis ekonomi-politik kritis dalam artikel ini adalah tanpa perhatian terhadap bentuk dan artikulasi kekuasaan yang hadir dalam konstalasi politik lokal, akan sangat memengaruhi proses marjinalisasi yang berlangsung di masyarakat Muslim sehingga perjuangan untuk memajukan kesetaraan ekonomi- politik, pluralisme dan penghormatan terhadap perbedaan berhadapan dengan dua persoalan mendesak yaitu Pertama, perjuangan untuk membangun kesetaraan politik melupakan hadirnya The tiger in the room

(macan di dalam ruangan) yaitu relasi jejaring kuasa predatoris yang dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya menjadi aktor utama dari proses-proses marjinalisasi sosial. Kedua, problem lemahnya basis sosial bagi konsolidasi kekuatan Muslim inklusif maupun kalangan aktor-aktor pro-demokrasi lainnya dalam memerjuangkan problem

134

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

marjinalisasi dalam konstalasi politik demokrasi di Indonesia.

Dalam konteks demikian, maka analisis struktural yang berpijak pada operasi kepentingan dari elit predatoris dominan memberikan cara pandang baru kepada kita, bahwa yang dihadapi bukanlah semata- mata sekelompok kaum fanatik keagamaan yang memaksakan cara pandang mereka terhadap yang lain. Lebih daripada itu eksistensi dan menyebarnya gagasan fanatik dalam ruang publik tidak terlepas dari pertautan kepentingan kekuatan elit dominan yang menempatkan dukungan mereka atas proyek fanatisme keagamaan sebagai bagian dari upaya mereka mempertahankan kepentingan ekonomi-politik mereka dalam kekuasaan.

Terkait dengan analisis tentang marjinalisasi, tulisan ini menggunakan pemahaman atas konsep marjinal dari perspektif neo-marxist seperti Manuel Castells, Janice Perlman yang telah mengembangkan pandangan tentang marjinal semenjak tahun 1970-an dan kemudian dielaborasi lebih mendalam oleh Asef Bayat (2013). Secara umum mereka melihat bahwa orang miskin dan pinggiran berada dalam posisi marjinal karena secara ekonomi mereka tereksploitasi, secara politik mengalami represi, secara sosial terstigmatisasi dan secara kultural tereksklusi dalam sistem sosial yang tertutup. Dalam analisis neo-marxist, proses marjinalisasi yang dihadapi oleh suatu komunitas identik dengan proses pemiskinan, perampasan dan subordinasi secara struktural yang terjadi dari proses benturan antara kekuatan-kekuatan sosial di dalam arena politik.

Perbedaan posisi antara kaum neo-marxist dan marxist orthodoks adalah dalam fokusnya terhadap kelas pekerja sebagai agen sentral dari transformasi social. Banyak kalangan Marxist ortodoks tidak melihat secara proporsional posisi-posisi dari subjek sosial lainnya seperti

kaum miskin kota yang dianggap sebagai lumpenproletariat1. Dalam

perkembangan studi tentang kaum marjinal dan proses marjinalisasi, maka proses marjinalisasi di era globalisasi meluas dan melibatkan berbagai posisi spesifik dari subyek sosial seperti posisi gender, etnisitas, agama maupun orientasi seksual (Bayat 2012; 19-20). Namun demikian melalui analisis atas problematika marjinalisasi di masyarakat Muslim 1 Dalam tradisi Marxist, “Lumpenproletariat” dikenal sebagai kaum yang yang tidak memproduksi nilai tambah

dari kerja yang mereka lakukan. Mereka memeroleh hajat hidupnya melalui kerja-kerja seperti mencuri, memeras dan melakukan tindakan-tindakan kriminal. Dalam analisis Marx, kaum ini adalah kaum yang rentan dan tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap perjuangan kelas yang dilakukan oleh kelas pekerja.

135

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013 Indonesia, artikel ini tetap melihat relevansi kerangka pendekatan marxian yang melihat bahwa proses marjinalisasi yang dialami oleh korban yang berangkat pada posisi subyek sosial beragam tidak dapat dilepaskan dari praktik-praktik spesifik formasi ekonomi-politik yang khas dalam operasi kekuasaan dari elit politik dominan.

Dalam melihat bagaimana proses marjinalisasi dan eksklusi berlangsung di masyarakat Islam di Indonesia, artikel ini melihat hal itu adalah ekses dari aktivitas premanisme, tindakan fanatisme maupun hadirnya orang-orang kuat lokal yang hadir dan terfasilitasi oleh aliansi patronase elit yang membentuk jejaring secara vertikal sampai pada aparatus politik dan ruang kenegaraan. Kondisi demikian terjadi dalam konteks penguasaan jejaring aparatus negara dan institusi-institusi politik oleh kekuatan-kekuatan politik yang berhasil membangun patronase politik sampai ke bawah dan melibatkan kelompok-kelompok anti-toleransi sebagai bagian penting dari aliansi politik mereka. Konsekuensi kritis dari pandangan tentang peran aktif dari jejaring predatoris negara dalam kasus-kasus marjinalisasi terhadap kelompok subaltern, artikel ini menolak pandangan tentang negara diam, bungkam dan pasif terhadap bentuk-bentuk tendensi fasisme religius yang berlangsung di masyarakat. Pendekatan tentang bungkam dan diamnya negara terhadap persoalan- persoalan fanatisme bahwa tendensi premanisme sebagai imbas dari kuatnya—secara historisitas budaya—elemen-elemen orang kuat lokal dan premanisme yang membentuk jejaring patronase kultural di tingkat masyarakat. Kondisi ini kemudian membuat negara gagal atau tidak mampu berperan efektif menghadapi persoalan-persoalan kekerasan, represi dan problem-problem yang muncul di masyarakat. Analisis yang melihat pasif dan tidak efektifnya negara dalam menghadapi persoalan kekerasan dan intoleransi ini mengesampingkan kemungkinan peran entitas negara khususnya elit-elit oligarkhis lokal dan nasional yang mengokupasi aparatus pemerintahan dan ruang politik sebagai pelaku aktif dan salah satu akar dari persoalan dalam konstelasi politik Indonesia pascaotoritarianisme.

Di sisi lain artikel ini juga mempertimbangkan pendekatan dari Asef Bayat (2010) dalam Life as Politics: How Ordinary People Change the Middle East

tentang proses marjinalisasi. Ia tidak hanya melihat marjinalisasi secara pasif sebagai proses penindasan dan eksklusi namun juga pembentukan

136

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

ruang-ruang alternatif bagi kalangan subaltern untuk membangun counter- power dan perlawanan terhadap elit. Proses marjinalisasi juga dapat menjadi awal dari momen bagi pembentukan ruang pembebasan serta penguatan solidaritas baru di antara komunitas. Namun demikian di sisi lain artikel ini juga memberikan sedikit evaluasi terhadap pemahaman Asef Bayat di atas tentang proses marjinalisasi. Dalam pemahaman penulis pendekatan yang dilakukan oleh Asef Bayat memiliki beberapa persoalan yaitu: Pertama, proses marjinalisasi sebagai ruang perlawanan kurang melihat secara dialektis bagaimana aliansi elit dominan mengantisipasi dan memanipulasi arena politik sebagai respon terhadap artikulasi sosial dan politik terhadap kaum marjinal.

Kedua, dari pembacaan yang kurang berimbang terhadap proses pertarungan sosial antara kekuatan sosial dominan dan kaum marjinal atas proses-proses marjinalisasi yang berlangsung, pendekatan Asef Bayat tidak memberikan klarifikasi yang jelas tentang bagaimana sebuah artikulasi politik kaum marjinal yang terkonsolidasikan dan menjadi manifestasi perlawanan terhadap kaum elit dominan dengan model- model perlawanan yang masih berupa umpatan dan ejekan dan belum terartikulasi sebagai sebuah gerakan perlawanan yang mampu menantang dominasi elit yang berkuasa di dalam negara (Sidel 1999).

Berangkat dari analisis di atas, maka problem artikulasi politik dari kaum marjinal harus dilihat dari totalitas dalam konteks perjuangan warga dalam merebut hak-haknya maupun manuver politik dari kaum elit predator dalam menghambat perkembangan dan eskalasi politik dari gerakan kaum marjinal tersebut. Dari pemahaman tersebut, maka kita dapat melihat bahwa gambaran yang berlangsung di dalam ruang publik Indonesia, khususnya dalam tiap-tiap arena lokalitas tidaklah bebas dan merupakan efek dari pertarungan dari kekuatan sosial dan kepentingan yang eksis dalam arena politik (Hadiz 2010; 33).

Kasus Pengusiran Warga Syiah di Sampang

Relevansi atas pentingnya analisis ekonomi-politik atas problem marjinalisasi di masyarakat Islam—yang secara permukaan dipandang semata-mata sebagai problem kultural—dapat kita telusuri ketika kita dudukkan pada kasus-kasus secara spesifik. Tulisan ini secara sekilas akan mendiskusikan kasus-kasus yang dapat membuka lebih luas analisis yang

137

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013 dapat mendudukkan kasus-kasus marjinalisasi berbasis agama tidak saja sebagai persoalan kultural namun juga menjadi bagian dari persoalan ekonomi-politik. Yaitu persoalan yang menjadi dampak dari manuver politik dari elit-elit dominan dalam memajukan kepentingan sosialnya dan mengeksklusi kepentingan-kepentingan yang bertolak belakang dari kepentingan kekuatan sosial dominan dalam arena politik lokal.

Dari kondisi di atas, maka yang perlu diklarifikasi dalam kasus-kasus marjinalisasi berbasis agama dan pertautannya dengan manuver elit tersebut adalah kepentingan apa yang hadir dalam proses-proses marjinalisasi tersebut, manuver politik apa yang dilakukan oleh elit dominan untuk memenuhi kepentingan mereka dalam setiap proses politik yang berlangsung, dan bagaimana elit-elit politik dominan menjalankan manuvernya untuk membelokkan proses politik lokal dari substansi persoalan yang muncul dalam kondisi asimetris kekuasaan serta kontestasi dan negosiasi politik yang berlangsung dalam arus politik lokal.

Salah satu kasus yang menarik terkait bagaimana dimensi kultural dari marjinalisasi terhadap kaum subaltern bertautan dengan kepentingan ekonomi-politik dari aliansi elit politik baik tingkat nasional dan lokal dapat dilihat pada kasus pengusiran warga Syiah di Sampang Madura. Proses marjinalisasi atas kaum Syiah di Jawa Timur dalam bentuk penolakan atas faham tersebut dari otoritas keagamaan dominan teartikulasikan baik dari Fatwa MUI Jawa Timur terkait sesatnya faham Syiah, dukungan dari beberapa tokoh strategis dari ormas keagamaan seperti dari kalangan Nahdlatul Ulama di Jawa Timur beserta ruang baik secara legal-formal—Pergub Jawa Timur no 55 tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur— maupun dalam tindakan-tindakan konkret yang dilakukan oleh kepala daerah Jawa Timur terkait kebijakan relokasi—pengusiran—warga Syiah keluar dari Sampang Madura.

Dalam konstruksi analisis kultural, problema-problema intoleransi terhadap kaum minoritas ini dianggap sebagai artikulasi dari kalangan eksklusif anti-keragaman atas mereka yang berbeda, dimana negara bersikap pasif dan mendiamkan fenomena tersebut. Analisis kultural seperti ini tidak melihat bahwa negara sebagai sebuah institusi politik yang menjadi arena bagi kondensasi pertarungan di antara kekuatan-kekuatan

138

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

sosial yang ada, menempatkan elit politik beserta jejaringnya berperan aktif untuk memajukan kepentingan-kepentingan partikularnya.

Seperti disampaikan dalam siaran pers Setara Institute (20 Juni 2013), bahwa pengusiran paksa warga Syiah Sampang adalah bagian dari desain kolaboratif antara Pemerintahan Kabupaten Sampang, Gubernur Jawa Timur dan Pemerintah Pusat dengan instrumen ulama dan massa sebagai alat penekan. Dimana aksi istighotsah adalah tindakan yang dilakukan oleh orang-orang kuat lokal maupun massa di Sampang untuk mengintimidasi warga Syiah. Meskipun di permukaan tindakan pengusiran maupun eksklusi secara kultural dilakukan oleh kekuatan dan tokoh masyarakat— misalnya melalui peluncuran fatwa sesat—, namun kondisi demikian berarti aparatus-aparatus negara dan elit dominan di dalamnya menjadi aktor pasif yang bungkam terhadap tindakan intoleransi yang dilakukan oleh masyarakat.

Setidaknya ada beberapa indikator yang memperlihatkan keterlibatan negara dan elit-elit dominan sebagai pelaku aktif yaitu: Pertama, aktor-aktor negara sebagai otoritas yang berwenang untuk mengambil kebijakan terhadap persoalan publik dan hajat hidup warganya mengambil keputusan untuk melakukan relokasi (pengusiran) terhadap warga Syiah Sampang di tengah pilihan-pilihan politik lain yang masih memungkinkan. Kebijakan untuk melakukan relokasi ini diambil perwakilan pemerintahan pusat Menkopolhukam Djoko Suyanto, Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Ketua DPR Marzuki Alie bertemu pada tanggal 19 Juni 2013 sebelum terjadinya pengusiran tersebut pada tanggal 20 Juni 2013. Dalam konstelasi perbenturan wacana di ruang publik, tindakan aktor-aktor negara ini menunjukkan bahwa mereka lebih mengedepankan aspirasi dari kelompok dominan anti-toleransi dibandingkan dengan aspirasi kalangan masyarakat sipil maupun kelompok-kelompok akar rumput yang mengharapkan negara mengambil langkah tegas untuk melindungi secara penuh para korban pengusiran warga Syiah di Sampang yang sejalan dengan pemenuhan hak-hak dasar mereka sebagai warga negara.

Kedua, terkait dengan prosesi awal bermula kasus marjinalisasi Syiah Sampang, aktor-aktor dominan dalam tubuh pemerintahan lokal, khususnya yang direpresentasikan oleh Gubernur Soekarwo mengambil langkah legal-yuridis-formal yang lebih mengakomodasi aspirasi kelompok

139

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013 anti-toleransi seperti yang diartikulasikan oleh Fatwa MUI Jawa Timur tentang kesesatan ajaran Syiah. Langkah yuridis anti-toleransi dari negara ini tampak dengan penetapan Peraturan Gubernur Jawa Timur nomor 55 tahun 2012 tentang pembinaan dan pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur yang memfasilitasi kelompok dominan untuk memberi stigma sesat terhadap suatu kaum dan memberi ruang kepada mereka untuk melakukan marjinalisasi sosial terhadap bagian dari warga negara berdasarkan pandangan dan keyakinan yang mereka anut. Secara yuridis formal lahirnya Pergub Jatim nomor 55 tahun 2012 bersamaan dengan Fatwa kesesatan Syiah oleh MUI Jawa Timur memperlihatkan terjadinya tindakan aliansi politik antara aktor elit dominan di pemerintahan dengan kelompok-kelompok anti-toleransi yang mengklaim memegang otoritas keagamaan di masyarakat. Dalam banyak kesempatan langkah legal- formal yang telah dilakukan oleh pemerintahan Jawa Timur kerapkali digunakan sebagai dalih oleh kalangan dominan untuk memberangus dan membatasi hak setiap warga untuk memiliki keyakinan secara bebas dengan tekanan terhadap warga untuk menstigma kalangan tertentu sebagai sesat dan mendorong mereka untuk memeluk keyakinan

mainstream mayoritas.

Ketiga, di tengah kontestasi antara kalangan anti-toleransi yang mendukung pengusiran terhadap warga dan mereka yang mendukung pemulihan hak-hak dasar warga negara, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menggunakan argumentasi sosiologi kultural terkait dengan budaya keras Warga Sampang namun menolak adanya realitas-realitas lain yang memperlihatkan penerimaan secara budaya warga Sampang Madura

Dalam dokumen Ekspresi Politik Dan Umat Islam (Halaman 130-145)