• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegagalan dan Prospek Kepemimpinan Politik Islam di Indonesia

Dalam dokumen Ekspresi Politik Dan Umat Islam (Halaman 97-100)

Pascareformasi

Ahmad-Norma Permata

Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

97

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu model bagi demokrasi di negara mayoritas Muslim. Sebagaimana yang telah diakui oleh berbagai kalangan, baik domestik maupun internasional, keberhasilan Indonesia dalam membangun demokrasi politik yang stabil merupakan perkembangan baru yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia Islam modern. Selama ini, dunia Islam dianggap sebagai tanah tandus bagi demokrasi, karena berbagai alasan.

Huntington, dalam tesisnya yang terkenal, menganggap budaya Islam yang tertutup dan bersifat doktriner sebagai biang keladi pupusnya setiap upaya membangun demokrasi. Sementara Oliver Roy melihat kegagalan Islam dalam membangun sistem politik yang stabil lebih dikarenakan faktor struktural, yaitu ketidakmampuan pemerintah menyeimbangkan pertumbuhan demografis dan perkembangan ekonomi—yang jamak dialami negara-negara dunia ketiga. Sedangkan John Sidel melihat poin ini lebih kepada counter-discourse aktor-aktor politik Islam terhadap ketidak-simetrisan politik internasional.

Indonesia tampaknya dapat lolos dari ketiga perangkap historis di atas, dan terbukti mampu membangun sistem politik yang berbasis kehendak publik. Semua pihak juga mengakui bahwa keberhasilan Indonesia dalam membangun demokrasi tidak lepas dari peran penting aktor- aktor Muslim. Hal ini paling jelas dalam fase transisi demokrasi, ketika kekuatan politik alternatif yang berpihak kepada kepentingan publik berhasil menumbangkan kekuatan rezim Orde Baru yang sudah bercokol lebih dari tiga dekade.

Para tokoh dari kalangan Islam menjadi figur-figur utama yang mendorong dan mengawal gerakan reformasi. Namun demikian, ketika memasuki fase konsolidasi demokrasi, yaitu upaya membangun tata pemerintahan yang efektif, kepemimpinan politik Islam tampak memudar. Para pimpinan politik Islam yang figurnya menjulang tinggi di awal reformasi berubah menjadi figur karikatur yang hanya gagal meletakkan landasan kebijakan politik yang efektif, dan hanya meninggalkan kebijakan yang anekdotal, serta tidak berhasil membangun tradisi kepemimpinan yang berkelanjutan.

98

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

di pentas nasional lebih banyak bermain sebagai penari latar yang kehilangan kemandirian politik. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih sistematis mengapa kepemimpinan dari kalangan politik Islam gagal memainkan peran utama dalam panggung yang mereka sendiri ikut membangunnya. Dan perlu untuk melakukan kalkulasi bagaimana prospek kepemimpinan Islam di Indonesia, agar stempel demokrasi Muslim tetap dapat dipertahankan.

Ideal Kepemimpinan Politik: Legitimasi, Efektivitas, Akuntabilitas Kepemimpinan merupakan salah satu topik paling penting, menarik, dan kontroversial dalam kajian politik. Hal ini karena kepemimpinan merupakan titik sambung antara legitimasi di satu sisi dan kebijakan di sisi lain. Legitimasi merupakan landasan fundamental dalam kehidupan politik, karena politik sejatinya berurusan dengan perebutan kepentingan di ruang publik, yang mencakup berbagai persoalan komunal sebuah bangsa, yang sangat kompleks dan rumit, sehingga tidak akan mampu dipahami oleh sebagian besar warga bangsa itu sendiri.

Politik-demokrasi menjadi jembatan untuk mengkomunikasikan persoalan publik yang kompleks tersebut dengan berbagai penyederhanaan, baik melalui identitas komunal, visi ideal, maupun figur- figur personal. Melalui ketiga perangkat tersebut publik dapat memahami alternatif-alternatif kebijakan yang ditawarkan, dan kepada siapa mereka menyerahkan otonomi pilihan. Kekuatan menarik pilihan publik secara sukarela inilah yang secara konsep kita kenal dengan istilah “legitimasi”— yaitu akseptabilitas di mata publik.

Namun demikian, legitimasi baru separoh cerita dari proses politik demokrasi, karena demokrasi adalah siklus permainan yang berulang (repeated game), dimana publik secara berkala menyampaikan dan mengevaluasi pendapat dan pilihan mereka baik melalui Pemilu, Referendum, maupun jajak pendapat publik lainnya. Jika pilihan yang diambil membawa kepada hasil yang diinginkan—atau paling tidak masih dianggap lebih baik dari alternatif yang ada—maka publik akan mempertahankan posisi. Namun jika pilihan yang diambil tidak membawa konsekuensi seperti yang diharapkan, atau adanya alternatif yang dianggap lebih baik, maka besar kemungkinan publik akan mengevaluasi dan berganti pilihan.

99

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Kemampuan pimpinan politik memenuhi harapan publik, atau dalam bahasa yang lebih teknis: kemampuan memenuhi janji yang diberikan, adalah yang dikenal dengan istilah kinerja dalam politik. Kinerja kepemimpinan politik mencakup paling tidak tiga aspek:

Pertama, membangun stabilitas politik. Stabilitas di sini bukan berarti status quo yang statis—meskipun banyak yang mengartikannya demikian— melainkan adanya pola komunikasi dan interaksi antar elemen-elemen kepentingan politik yang dapat mencegah terjadinya penggunaan kekerasan atau penghilangan hak kesetaraan antar elemen-elemen tersebut.

Kedua, membangun sistem birokrasi yang profesional. Birokrasi merupakan perangkat yang digunakan oleh sebuah unit pemerintahan dalam menjalankan kebijakan dan menyediakan layanan publik. Secara organisatoris birokrasi memiliki watak yang khas, yang berjalan di atas asas impersonalitas, pendelegasian wewenang, dan hierarki berjenjang— yang menjadikannya cenderung berkinerja lamban.

Ketiga, menyusun kebijakan yang responsif terhadap kepentingan publik. Secara definisi “kebijakan” adalah apa yang dilakukan dan yang tidak dilakukan oleh pemerintah: membangun atau tidak membangun, mensubsidi atau tidak mensubsidi, dll. Sehingga kebijakan selalu merupakan pilihan dari sangat banyak alternatif. Kebijakan yang responsif adalah kemampuan menentukan prioritas program yang paling mendesak dan memiliki efek politik luas.

Terakhir, ada faktor yang tidak bisa ditinggalkan dalam kepemimpinan ideal yaitu akuntabilitas, yang merujuk kepada keselarasan antara legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dengan efektivitas kinerja yang dicapainya. Pemerintahan yang efektif namun kebijakan yang diambil melenceng dari ideal legitimasi (ideologi) dari sebuah kepemimpinan akan membingungkan publik, dan akan menghilangkan nilai legitimasi kepemimpinan tersebut.

Dalam dokumen Ekspresi Politik Dan Umat Islam (Halaman 97-100)