• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM

C. Perlindungan Terhadap Rekanan Pemasok TBS Akibat

Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah “zoon politicon”, makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, oleh karena tiap anggota masyarakat mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Sebagai makhluk sosial maka sadar atau tidak sadar manusia selalu melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dan hubungan

hukum (rechtsbetrekkingen).65

Perbuatan hukum (rechtshandeling) diartikan sebagai setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja/atas kehendaknya untuk menimbulkan hak dan kewajiban yang akibatnya diatur oleh hukum. Perbuatan hukum terdiri dari perbuatan hukum sepihak seperti pembuatan surat wasiat atau hibah, dan perbuatan hukum dua pihak seperti jual-beli, perjanjian kerja dan lain-lain.

Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih subyek hukum, hubungan mana terdiri atas ikatan antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.66

Tiap hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing-masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan kepentingan yang berbeda-beda dan saling berhadapan atau berlawanan, untuk mengurangi ketegangan dan konflik maka tampil hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum.67

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain

65R. Soeroso,

Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 49.

66Uti Ilmu Royen,Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/ Buruh Outsourcing(Studi Kasus

Di Kabupaten Ketapang), Tesis, rogram Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hal. 52.

67

perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

Perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan konsep rechtstaat atau konsep Rule of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, konseprechtsct muncul di abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl.Pada saatnya hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of Law) yang dipelopori oleh A.V.Dicey.

Konseprechtstaatmenurut Julius Stahl secara sederhana dimaksudkan dengan negara hukum adalah negara yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahannya didasarkan pada hukum. Konsep Negara hukum atauRechtsataatmenurut Julius Stahl mencakup 4 elemen, yaitu :68

1. Perlindungan hak asasi manusia; 2. Pembagian kekuasaan;

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; 4. Peradilan tata usaha Negara.

Sedangkan menurut A.V.Dicey menguraikan adanya 3 (tiga) ciri penting negara hukum yang disebut denganRule of Law, yaitu :

1. Supermasi hukum, artinya tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga

68 Prajudi Atmosoedirjo, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah

seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.

2. Kedudukan yang sama didepan hukum, baik bagi rakyat biasa atau pejabat pemerintah.

3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan.69 Keberadaan hukum dalam masyarakat sangatlah penting, dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalisme, yaitu menjamin kebebasan dan hak warga, maka mentaati hukum dan konstitusi pada hakekatnya mentaati imperatif yang terkandung sebagai subtansi maknawi didalamnya imferatif. Hak-hak asasi warga harus dihormati dan ditegakkan oleh pengembang kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, ataupun juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk mengetahui jalannya proses pembuatan kebijakan publik.70

Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dilandasi dua prinsip negara hukum, yaitu :

1. Perlindungan hukum yang preventif

Perlindungan hukum kepada rakyat yang diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah menjadi bentuk yang menjadi definitife.

69

Ibid., hal. 4.

70 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty

2. Perlindungan hukum yang reprensif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Kedua bentuk perlindungan hukum diatas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia serta berlandaskan pada prinsip Negara hukum.71

Demikian juga halnya dalam hal perjanjian jual beli TBS kelapa sawit antara PTPN II Kwala Sawit dengan pihak penjual CV. Bina Mandiri, dimana akibat keterlambatan pembayaran oleh PTPN II Kwala Sawit terhadap harga jual TBS kelapa sawit mengakibatkan kerugian bagi pihak penjual.

Apabila ditelaah isi surat perjanjian jual beli TBS kelapa sawit antara PTPN II Kwala Sawit dengan CV. Bina Mandiri maka dapat dilihat isi pokok surat perjanjian hanya memberikan kesempatan kepada pihak pemasok yaitu CV. Mandiri untuk menjual TBS kelapa sawit kepada pihak lain apabila pihak PTPN II tidak melaksanakan pembayaran sampai dengan dua periode berturut-turut.72

Hanya satu pasal saja yaitu Pasal 8 ayat (2) yang memberikan kesempatan kepada pihak CV. Mandiri untuk dapat menjual TBS kelapa sawit miliknya kepada PKS lainnya. Kondisi ini tentunya memberikan suatu pemahaman bahwa perjanjian yang dibuat dalam kerangka mengatur kepentingan para pihak dalam perjanjian jual beli TBS kelapa sawit belum mencerminkan perlindungan hukum khususnya bagi

71Zahirin Harahap,

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001). hal. 2.

72Pasal 8 ayat (2) Perjanjian Jual Beli TBS Kelapa Sawit antara PTPN II Kwala Sawit dengan

pihak penjual akibat keterlambatan pembayaran.

Pasal 8 perjanjian jual beli TBS kelapa sawit tersebut juga menjelaskan bahwa pihak kedua dapat menghentikan pengiriman TBSnya kepada pihak pertama sampai adanya pembayaran tagihan 2 (dua) periode tersebut. Sedangkan berapa lama sampai ada pembayaran tersebut tidak ada diatur sehingga dapat saja menjadi peristiwa yang berlarut-larut.

Selanjutnya terhadap Pasal 6 perjanjian jual beli TBS kelapa sawit antara PTPN II Kwala Sawit dengan CV. Bina Mandiri terlihat dengan jelas bahwa pihak kedua dapat mengalihkan penjualan TBSnya kepada PKS lain. Kenyataan yang terjadi apabila PKS Kwala Sawit mengalami proses over produksi dari perkebunannya sendiri maka pihak penjual harus melakukan pengangkutan TBS kelapa sawitnya ke PKS lain secara mandiri. Pelaksanaan pengangkutan ini tentunya merugikan pihak penjual TBS.

Pada kondisi ini maka dapat dilihat suatu ketidakpastian penyelesaian khususnya perlindungan hukum dalam hal terjadinya keterlambatan pembayaran TBS kelapa sawit yang dijual oleh pemasok.

Hukum pada dasarnya memberikan jalan keluar dalam pelaksanaan perlindungan hukum bagi siapapun yang terikat dalam hutang piutang termasuk dalam kajian keterlambatan pembayaran dalam jual beli TBS kelapa sawit.

Dalam hukum perdata dikenal tiga macam prestasi yaitu, memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Apabila si Debitur tidak melaksanakan prestasi seperti tidak melakukan pembayaran atau terlambat melakukan pembayaran, maka si Debitur dapat dinyatakan wanprestasi oleh Kreditur. Debitur yang wanprestasi

wajib memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 dan Pasal 1239 KUHPerdata.

Pengantian biaya, kerugian, atau bunga oleh debitur harus dibuktikan dengan adanya kelalaian seorang debitur dalam hal ini mengenai keterlambatan pembayaran, seorang debitur barulah menjadi wajib untuk membayarkan sebuah ganti biaya, rugi, dan bunga apabila dirinya telah dinyatakan lalai. Demikian sebagaimana diatur Pasal 1243 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi: “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”

Pernyataan lalainya seorang Debitur harus dibuktikan dengan surat perintah seperti surat peringatan pembayaran atau surat sejenis lainnya, sebagaimana Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Untuk mengetahui lebih khusus mengenai pemenuhan Bunga oleh Debitur, dapat telaah tiga jenis bunga dalam hukum Indonesia. Sebagaimana dikutip dari buku Hukum Perikatan yang ditulis oleh J.Satrio, ada tiga jenis bunga yaitu:

1. Bunga Moratoir, yaitu bunga yang terhutang karena Debitur terlambat memenuhi kewajiban membayar sejumlah uang;

3. Bunga Kompensatoir, yaitu semua bunga, di luar bunga yang diperjanjikan.73 Berdasarkan pengertian di atas Bunga Moratoir merupakan Bunga Kompensatoir, sehingga dalam pengertiannya terdapat Bunga Moratoir Kompensatoir, Bunga Konventional dan Bunga Kompensatoir bukan Moratoir, berikut penjelasan dan perbedaan dari 3 hal tersebut.

1. Bunga Moratoir Kompensatoir

Bunga moratoir merupakan ganti rugi dalam wujud sejumlah uang, sebagai akibat dari tidak atau terlambat dipenuhinya perikatan yang berisi kewajiban pembayaran sejumlah uang oleh debitur.74 Hal ini diatur khusus pada Pasal 1250 paragraf (1) KUHPerdata yang menyatakan: Dalam tiap-tiap perikatan yang semata- mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.”

Bunga yang ditentukan berdasarkan undang-undang adalah bunga sebesar 6% (enam) persen setahun, hal ini dilihat dari S.1848: No. 22.75

Pada prinsipnya, bunga moratoir ini tidak perlu dibuktikan adanya suatu kerugian oleh Kreditur, namun untuk pengenaan Bunga Moratoir hanya harus dibayar

73 J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), (Bandung: Citra Aditya Bakti,

Bandung. 1993), hal. 11.

74

Ibid., hal. 12.

75 Hukum Online.com, “Aturan Pengenaan Bunga Kepada Debitur yang Lalai”,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt505747d665ed5/aturan-pengenaan-bunga-kepada-debitur- yang-lalai-,Diakses tanggal 2 Desember 2013.

terhitung mulai dari diminta di muka Pengadilan, kecuali dalam hal-hal yang mana undang-undang menetapkan bahwa ia berlaku demi hukum. Demikian ketentuan Pasal 1250 paragraf (3) KUHPerdata.

Kesimpulan dari bunga moratoir adalah bunga yang diharapkan menjadi keuntungan atas akibat kelalaian pelaksanaan suatu prestasi Debitur, menjadi Kompensatoir apabila bunga tersebut menjadi pengganti kerugian sehingga menjadi bersifat kompensatoir.

2. Bunga Konventional

Bunga Konventional adalah bunga yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1767 KUHPerdata, dan karenanya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ganti rugi.76Bunga ini diberikan bukan sebagai ganti rugi, tetapi karena disepakati oleh para pihak dan karenanya mengikat para pihak. Hal ini didasari pada asas kebebasan berkontrak yang tercantum pada Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Mengenai besaran Bunga Konventional ini, karena bunga ini timbul berdasarkan kesepakatan para pihak, maka besarannya dapat ditentukan bersama oleh para pihak dengan mengenyampingkan besaran bunga menurut undang-undang.

Perlu diperhatikan bahwa dalam menyepakati Bunga Konventional ini para pihak yang menyepakati wajib membuat membuat perjanjian dalam bentuk tertulis.

76

Hal ini sebagaimana dinyatakan pada kutipan Pasal 1767 KUHPerdata: “Bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang. Besarnya bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian harus ditetapkan secara tertulis.”

3. Bunga Kompensatoir Bukan Moratoir

Bunga Kompensatoir adalah semua bunga yang bukan Bunga Konvensional dan bukan bunga moratoir. Yang membedakan antara Bunga Kompensatoir dengan Bunga Moratoir adalah kepentingan perlunya pembuktian atas kerugian. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bagian A, bunga moratoir tidak perlu dibuktikan adanya kerugian oleh Kreditur. Sedangkan, untuk Bunga Kompensatoir bukan Moratoir harus ada kerugian riil atau dianggap ada. Bunga Kompensatoir ini pada dasarnya diberikan untuk mengganti kerugian atau pembayaran bunga-bunga yang telah dikeluarkan oleh Kreditur sebagai akibat dari wansprestasinya debitur.77

Menjawab pertanyaan tentang bunga atas keterlambatan atau penundaan pembayaran, dengan tidak ada surat pernyataan atas pengenaan bunga tersebut, kami mengasumsikan bahwa perjanjian jual-beli di antara para penjual dan pembeli tidak mencantumkan bunga sebagai salah satu prasyarat pengganti kerugian atas keterlambatan pembayaran. Sehingga, dapat dipastikan dalam hal ini, Bunga yang dikenakan bukanlah Bunga Konservatoir, melainkan kemungkinannya adalah Bunga

77Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja.Seri Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya.

Moratoir Kompensatoir, atau Bunga Kompensatoir bukan Bunga Moratoir.78

Untuk menelaah lebih dalam lagi, perlu diketahui apakah Kreditur dalam meminta bunga dari debitur karena timbulnya kerugian yang riil akibat kelalaian tersebut, atau kerugian itu karena semata-mata keuntungan yang diharapkan oleh Kreditur.

Apabila ternyata kerugian adalah suatu pengharapan keuntungan dari Kreditur (opportunity loss), maka Bunga Moratoir lah yang mungkin dikenakan kepada Debitur. Namun, untuk meminta Bunga Moratoir tersebut perlu suatu putusan dari Pengadilan. Sedangkan apabila Bunga Kompensatoir, Kreditur harus benar-benar membuktikan telah terjadi kerugian terhadapnya akibat lalainya Debitur, sehingga penggantian kerugian tersebut dapat diberikan kepada Kreditur.79

Kesimpulannya, setiap tidak dilaksanakannya suatu prestasi oleh Debitur, atau dalam hal ini tidak melakukan pembayaran/keterlambatan melakukan pembayaran sebagaimana permasalahan yang dipertanyakan, maka Debitur dapat dikenakan penggantian biaya, kerugian, dan bunga oleh Kreditur.

Namun, mengingat tidak disepakati mengenai besarnya bunga atas keterlambatan pembayaran tersebut, maka Kreditur tidak dapat meminta penggantian bunga kompensatoir tanpa kejelasan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa benar-benar terjadi suatu keadaan lalainya Debitur yang tidak melakukan pembayaran/atau terlambatnya pembayaran dengan lewatnya waktu yang telah

78Hukum Online.com,Op.Cit. 79

ditetapkan,

2. Adanya suatu surat perintah pembayaran, disertai dengan informasi kerugian riil yang diderita oleh Kreditur untuk meminta suatu bunga sebagai penggantian kerugian (Kompensatoir) akibat kelalaian Debitur.80

Apabila ditelaah uraian di atas dengan wujud perlindungan hukum yang dapat dikaitkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 36/Pdt.G/2009/PN- RAP tanggal 27 Agustus 2010 yang amarnya adalah:

1. Mengabulkan gugatan Rekonpensi Penggugat untuk sebahagian;

2. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang telah diletakkan dalam perkara ini.

3. Menyatakan Tergugat telah Ingkar Janji/Cidera Janji (Wan Prestasi) atas kesepakatan antara Penggugat dan Terguat dengan cara tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar pelunasan pasokan TBS sawit sebagaimana dalam surat pernyataan Tergugat tanggal 20 April 2009.

4. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat secara tunai harga pembelian TBS Sawit yang telah dipasok oleh Penggugat ke PMKS CV. Sawit Inti Jaya di Damuli, sebagaimana tertuang di dalam Surat Pernyataan Tergugat tanggal 20 April 2009 yang jumlahnya sebesar Rp826.436.825,- (delapan ratus dua puluh enam juta empat ratus tiga puluh enam ribu delapan ratus dua puluh lima Rupiah) paling lambat 8 (delapan) hari setelah Putusan dalam perkara ini mempunyai

kekuatan hukum tetap.

5. Menghukum Tergugat untuk membayar denda kepada Penggugat secara tunai atas Ingkar Janji/Cidera Janji (Wan Prestasi) sebesar 1 % setiap bulannya dari jumlah Nominal yang seharusnya dibayarkan oleh Tergugat terhitung sejak tanggal 20 April 2009 hingga Putusan dalam perkara ini Berkekuatan Hukum Tetap, paling lambat 8 (delapan) hari setelah Putusan dalam perkara ini Berkekuatan Hukum Tetap.81

Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat/Pembanding putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan dengan putusan No. 138/PDT/2011/PT-MDN tanggal 07 Juni 2011. Demikian juga halnya dengan Putusan Mahakamh Agung No. 413 K/Pdt/2012 Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : H. BANGKIT DALIMUNTHE tersebut.82

Sita jaminan sebagai permohonan pihak penggugat dalam kasus di atas amat sangat penting bagi pelaksanaan perlindungan penjual TBS akibat keterlambatan pembayaran yang dilakukan oleh pembeli TBS.

Istilah conservatoir beslag telah dialihbahasakan ke dalam bahasa hukum menjadi sita jaminan. Hal ini ditetapkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 05 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975. Dalam bahasa hukum istilah conservatoir beslag adalah sita yang diletakkan terhadap harta kekayaan tergugat, yang bertujuan untuk memberi jaminan kepada penggugat. Harta yang disengketakan

81Putusan Mahkamah Agung No. 413 K/Pdt/2012, halaman 12. 82

atau harta milik tergugat, tetap ada dan utuh, sehingga sita itu memberi jaminan kepada pihak penggugat bahwa kelak gugatannya tidakilussoir atau tidak hanya satu putusan yang diseksekusi (dilaksanakan).83

Sudikno Mertokusumo, dijelaskan bahwa sebelum gugatan yang diajukan penggugat dikabulkan nantinya untuk menjamin hak penggugat supaya untuk menjaminkan hak tersebut dengan penyitaan. Penyitaan inilah yang biasanya disebut dengan sita conservatoir. Sita jaminan (conservatoir beslag) merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk dapat menjamin dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat. Penyitaan ini hanya dapat terjadi berdasarkan perintah Ketua Pengadilan atas permintaan penggugat (Pasal 227 ayat (1) HIR, Pasal 261 ayat (1) RBg). Dalam konkretonya permohonan diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan, jadi bukan kepada Ketua Pengadilan, oleh karena sita jaminan itu pada hakekatnya sudah menilai pokok sengketa, dan hakim yang memeriksa perkara itu pulalah yang memerintahkan dengan surat penetapan.84

Dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) pada Pasal 227 ayat (1) Jo RBg (Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura) pada Pasal 261 ayat (1) disebutkan : bila ada dugaan yang berdasar, bahwa

83M. Yahya Harahap,

Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan Dan Arbitrase Dan Standar Hukum Eksekusi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 3.

84Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hal.

seorang debitur yang belum diputus perkaranya atau telah diputus kalah perkaranya tetapi belum dapat dilaksanakan, kemudian berusaha untuk memindahkan barang- barang bergerak ataupun barang tetap, agar dapat dihindarkan jatuh ke tangan kreditur, maka atas surat permintaan pihak yang berkepentingan, Ketua Pengadilan dapat memberi perintah, agar menyita barang-barang tersebut untuk menjamin hak orang yang memasukkan permintaan tersebut, dan sekaligus memberitahukan kepadanya supaya menghadap di Pengadilan Negeri pada suatu hari yang ditentukan untuk mengajukan gugatannya serta menguatkannya.

Abdulkadir Muhammad, menyatakan bahwa Sita jaminan (conservatoir beslag) adalah sita yang dapat dilakakukan oleh pengadilan atas permohonan penggugat untuk mengamankan barang yang sedang disengketakan, atau dipindah tangankan sebelum perkara itu berakhir.85

Untuk menjamin hak bagi orang yang membutuhkan keadilan, maka hukum memberikan jalan dengan hak baginya untuk mengajukan permohonan sita terhadap barang-barang yang disengketakan atau yang dijadikan jaminan.86 Sita jaminan dapat dilakukan atas harta yang disengketakan status kepemilikannya, dengan obyek barang bergerak maupun tidak bergerak. Permohonan sita jaminan harus disertai alasan: a. Tergugat dikhawatirkan akan memindahtangankan atau menjual barang-barang

yang disengketakan.

85 Abdulkadir Muhammad,

Hukum Acara Perdata Indonesia. (Bandung: Alumni, Bandung, 1978), hal. 57-58.

86 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka

b. Terdapat tanda-tanda atau fakta yang mendasari fakta tersebut.87

Sedangkan untuk pelaksanaan sita jaminan haruslah berdasarkan permohonan Penggugat, dan biasanya sudah dicantumkan dalam surat gugatan dengan menyebutkan alasan-alasannya. Demikian juga harus berdasar pada apa yang disebutkan dalam HIR Pasal 197-199 Jo RBg Pasal 208-214. Dalam SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 05 Tahun 1975 tentang sita jaminan, juga diterangkan mengenai pelaksanaan sita jaminan (conservatoir beslag).

Dalam perkara utang piutang atau ganti rugi dapat diterapkan alternatif sebagai berikut:

1. Meliputi seluruh harta kekayaan tergugat

Sepanjang utang atau ganti rugi tidak dijamin dengan agunan tertentu, sita jaminan dapat diletakkan di atas seluruh harta kekayaan tergugat. Penerapan yang demikian bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata Jo. Pasal 227 ayat (1) HIR. Yang menegaskan:

a. Segala kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, menjadi tanggungan untuk segala peerikatan perseorangan (Pasal 1131 KUHPerdata);

b. Barang tergugat baik yang bergerak maupun tidak bergerak dapat diletakkan sita jaminan untuk pembayaran utangnya atas permintaan penggugat.

Akan tetapi, kebolehan menyita seluruh harta milik tergugat dalam sengketa utang

piutang atau ganti rugi harus memperhatikan prinsip yang digariskan Pasal 197 ayat (8) HIR, Pasal 211 RBg: dahulukan barang bergerak, jadi yang pertama-tama disita adalah barang bergerak. Apabila barang bergerak yang disita sudah mencukupi untuk melunasi gugatan, penyitaan dihentikan. Apabila barang yang bergerak tidak mencukupi jumlah tuntutan, maka dibolehkan meletakkan sita jaminan terhadap barang tidak bergerak.

2. Terbatas pada barang agunan.

Jika perjanjian utang piutang dijamin dengan agunan barang tertentu, maka:

a. Sita jaminan dapat langsung diletakkan di atasnya meskipun bentuknya barang tidak bergerak.

b. Dalam perjanjian kredit yang dijamin dengan barang tertentu, pada barang tersebut melekat sifat spesialiatas yang memberi hak separatis kepada kreditur, oleh karena itu prinsip mendahulukan penyitaan barang bergerak disingkirkan oleh perjanjian kredit yang dijamin dengan agunan.

Sita jaminan pada dasarnya bertujuan untuk melindungi atau menjamin agar putusan Hakim sekiranya tuntutan dalam pokok perkara dikabulkan, dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tidak hampanya putusan Hakim karena barang yang disengketakan telah tiada, rusak atau dipindah tangankan pada pihak ketiga.88

Supaya hak-hak penggugat dari tergugat atas barang-barang yang dijatuhi sita jaminan tidak dapat diuangkan atau dijual oleh salah satu pihak yang bersengketa.