• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA II.1. Teori Tinjauan Pustaka

II.1.3. Permasalahan Gizi Balita

Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu penyebab yang menonjol diantaranya karena keadaan gizi yang kurang baik atau bahkan buruk. Kondisi gizi anak-anak Indonesia rata-rata lebih buruk dibanding gizi anak-anak dunia dan bahkan juga dari anak-anak Afrika (Anonim, 2006).

Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas nutrisi. Sebuah riset juga menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena kekurangan gizi serta buruknya kualitas makanan (Anonim, 2008).

Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 54 persen kematian anak disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk. Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari 80 persen kematian anak (WHO, 2011).

Status gizi buruk pada balita dapat menimbulkan pengaruh yang sangat menghambat pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berpikir yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja. Balita hidup penderita gizi buruk dapat mengalami penurunan kecerdasan (IQ) hingga 10 persen. Keadaan ini memberikan petunjuk bahwa pada hakikatnya gizi yang buruk atau kurang akan berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia. Selain itu, penyakit rawan yang dapat diderita balita gizi buruk adalah diabetes (kencing manis) dan penyakit jantung koroner. Dampak paling buruk yang diterima adalah kematian pada umur yang sangat dini (Samsul, 2011).

II.1.4. Kemiskinan

Data BPS (2016) menunjukkan data bahwa, pada bulan Maret 2015 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen), bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 yang sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen).

Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2014 sebesar 8,16 persen, naik menjadi 8,29 persen pada Maret 2015. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan naik dari 13,76 persen pada September 2014 menjadi 14,21 persen pada Maret 2015.

Selama periode September 2014–Maret 2015, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik sebanyak 0,29 juta orang (dari 10,36 juta orang pada September 2014 menjadi 10,65 juta orang pada Maret 2015), sementara di daerah perdesaan naik sebanyak 0,57 juta orang (dari 17,37 juta orang pada September 2014 menjadi 17,94 juta orang pada Maret 2015).

Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2015 tercatat sebesar 73,23 persen, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi September 2014 yaitu sebesar 73,47 persen.

Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di perkotaan relatif sama dengan di perdesaan, diantaranya adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir, tempe, tahu, dan kopi. Sedangkan, untuk komoditi bukan makanan diantaranya adalah biaya perumahan, bensin, listrik, pendidikan, dan perlengkapan mandi.

Pada periode September 2014–Maret 2015, baik Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) cenderung mengalami kenaikan.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2004 menggunakan kriteria kesejahteraan keluarga untuk mengukur kemiskinan. Lima pengelompokkan tahapan keluarga sejahtera menurut BKKBN adalah sebagai berikut :

1. Keluarga Pra Sejahtera

Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan.

2. Keluarga Sejahtera I

Keluarga sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Indikator yang digunakan, yaitu :

a. Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut. b. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih. c. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah,

bekerja/sekolah dan bepergian.

d. Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

e. Bila anak atau anggota keluarganya yang lain sakit dibawa ke sarana/ petugas kesehatan.

3. Keluarga Sejahtera II

Keluarga selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya. Indikator yang digunakan terdiri dari lima indikator pada Keluarga Sejahtera I ditambah dengan sembilan indikator sebagai berikut :

a. Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang dianut masing-masing.

b. Sekurang-kurangnya sekali seminggu keluarga menyediakan daging atau ikan atau telur sebagai lauk pauk.

c. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir.

d. Luas lantai rumah paling kurang 8,0 m2 untuk tiap penghuni rumah.

e. Seluruh anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir berada dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-masing.

f. Paling kurang satu orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke atas mempunyai penghasilan tetap.

g. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin.

h. Seluruh anak berusia 6-15 tahun saat ini (waktu pendataan) bersekolah.

i. Bila anak hidup dua orang atau lebih pada keluarga yang masih PUS, saat ini mereka memakai kontrasepsi (kecuali bila sedang hamil).

4. Keluarga Sejahtera III

Keluarga telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dan kebutuhan

sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi

kebutuhanpengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya. Mereka harus memenuhi persyaratan indikator pada Keluarga Sejahtera I dan II serta memenuhi syarat indikator sebagai berikut : a. Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.

c. iasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar-anggota keluarga.

d. Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.

e. Mengadakan rekreasi bersama di luar rumahpaling kurang sekali dalam enam bulan.

f. Memperoleh berita dengan membaca surat kabar, majalah, mendengarkan radio atau menonton televisi.

g. Anggota keluarga mampu mempergunakan sarana transportasi. 5. Keluarga Sejahtera III Plus

Keluarga selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dan

kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi kebutuhan

pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat. Keluarga-keluarga tersebut memenuhi syarat-syarat indikator pada Keluarga Sejahtera I sampai III dan ditambah dua syarat berikut :

a. Keluarga atau anggota keluarga secara teratur memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi.

b. Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan, yayasan, atau institusi masyarakat lainnya.

Dokumen terkait