• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 11. Permasalahan Pelayanan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Sasaran Renstra Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan

Kabupaten/Kota

No. Menengah Renstra OPD Sasaran Jangka Kabupaten/Kota Permasalahan Pelayanan OPD Provinsi Faktor Penghambat Pendorong 1. 2. Pengembangan Desa Mandiri Pangan Peningkatan populasi ternak.

Masih tingginya tingkat kerawanan pangan di Jawa Barat.

Masih rendahnya populasi ternak :

a. Semakin terbatasnya lahan untuk pengembangan peternakan

b. Makin tingginya harga agroinput sebagai salah satu faktor produksi c. Terbatasnya

kemampuan modal peternak

d. Masih lemahnya daya tawar

peternak/kelompok peternak terhadap pedagang agroinput dan pasca produksi hewan, dan daging sapi g. Masih tingginya tingkat

ketergantungan akan produk impor, khususnya bahan baku pakan, obat-obatan hewan, dan daging sapi e. Timbulnya

penyakit-penyakit hewan yang menular strategis dan zoonosa

Tidak semua Kabupaten/kota memiliki data kerawanan pangan.

Belum tercapainya kinerja peternakan yang berkualitas :

a. Keterbatasan anggaran menjadi permasalahan tersendiri dalam mendukung upaya pembangunan peternakan b. Belum optimalnya pelaksanaan tupoksi

Dukungan Anggaran yang bersumber dari APBN.

a. Komitmen pimpinan daerah dalam peningkatan ternak b. Banyaknya perusahaan agroinput, pengolahan produk ternak, penggemukan sapi dan sebagainya yang berdomisili di Jawa Barat sehingga bisa mendorong perkembangan peternakan c. Provinsi Jawa Barat

tidak hanya sebagai sumber produksi ternak, sekaligus juga sebagai pasar produk peternakan karena tingginya jumlah penduduk di Jawa Barat

d. Provinsi Jawa Barat berbatasan langsung dengan DKI Jakarta yang berkorelasi positif bagi perdagangan ternak.

Renstra Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat 3.4 Telaahan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Sedangkan kawasan adalah wilayah yang memilki fungsi utama lindung atau budidaya.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang selama ini masih diandalkan oleh Negara Indonesia karena sektor pertanian mampu memberikan pemulihan dalam mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia. Keadaan inilah yang menampakkan bahwa sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang andal dan mempunyai potensi besar untuk berperan sebagai pemicu pemulihan ekonomi nasional melalui salah satunnya adalah ketahanan pangan nasional. Dengan demikian diharapkan kebijakan untuk sektor pertanian lebih diutamakan. Namun setiap tahun untuk luas lahan pertanaian selalu mengalami alih fungsi lahan dari lahan sawah ke lahan non sawah.

Pengurangan lahan sawah (konversi) baik secara nasional maupun menurut propinsi dan kabupaten menunjukkan angka yang bervariasi. Dari hasil penelitian ini, dengan menggunakan data hasil Survey Pertanian (SP) diperoleh gambaran bahwa dalam kurun waktu 18 tahun (1981-1998) di Jawa telah terjadi pengurangan lahan sawah seluas 1 juta hektar atau rata-rata sekitar 55 ribu hektar per tahun.

Namun karena adanya kegiatan pencetakan lahan sawah baru, maka luas lahan sawah yang tersedia di Jawa sebenarnya menyusut sekitar 484 ribu hektar atau sekitar 27 ribu hektar per tahun.

Secara umum konversi lahan sawah lebih banyak terjadi pada propinsi atau kebupaten/kota yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang relatif tinggi, serta kabupaten/kota yang merupakan penyangga pusat-pusat pertumbuhan. Di Jawa Barat adalah Kab. Bogor, Kab. Bekasi, Kab. Karawang, Kota Bogor, Kota Bekasi dan Kota Depok.

Kegiatan konversi lahan sawah cenderung menimbulkan penurunan produksi per satuan lahan yang semakin besar dari tahun ketahun, sebaliknya pencetakan sawah cenderung memberikan dampak peningkatan produksi per satuan lahan yang semakin kecil.

Kecenderungan demikian terjadi karena konversi lahan sawah sesmakin bergeser ke daerah dengan teknologi usahatani yang cukup tinggi, sedangkan pencetakan lahan sawah semakin bergeser ke daerah dengan teknologi usahatani yang semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan sumberdaya alam (lahan dan air) yang potensial bagi pencetakan sawah semakin terbatas.

Dengan demikian, pada kenyataannya bahwa penurunan produksi Padi tidak bisa dihindarkan. Akibat konversi lahan sawah di Jawa selama kurun waktu 18 tahun (1981-1998) diperhitungkan secara akumulasi telah hilang sebesar 50,9 juta ton gabah atau sekitar 2,82 juta ton gabah per tahun. Bila dihitung setara beras, maka kehilangan produksi pangan tersebut adalah sekitar 1,7 juta ton beras pertahun. Jumlah kehilangan produksi beras tersebut hampir sebanding dengan jumlah impor beras pada tahun 1984-1997 yang berkisar 1,5 – 2,5 juta ton beras per tahun. Artinya, apabila konversi lahan sawah dapat ditekan, maka hal itu akan memberikan dampak yang cukup besar bagi pangadaan beras nasional. Upaya pengendalian konversi lahan sawah ini menjadi cukup mendesak mengingat pertumbuhan produksi pada akhir-akhir ini mengalami stagnasi akibat kendla kejenuhan teknologi.

Renstra Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat Pengurangan produksi akibat terjadinya konversi lahan sawah terbesar adalah di propinsi Jawa Timur dengan proporsi 44,2 persen (22,5 juta ton Padi) dari total pengurangan produksi di Jawa. Sedangkan urutan kedua dan ketiga adalah di Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing 15,9 dan 10,8 juta ton Padi.

Sudah cukup banyak upaya pemerintah untuk pengendalian konversi lahan sawah ini. Namun pendekatan yang diterapkan baru sebatas pendekatan hukum (law enfercement) yang masih banyak kelemmahannya. Sehingga peraturan-peraturan tentang lahan belum mampu mengendalikan kegiatan konversi lahan sawah di Jawa. Tiga kelemahan mendasar adalah : (1) obyek lahan yang dilindungi dari kegiatan konversi terutama ditentukan olehkondisi fisik lahan (contoh: irigasi teknis) padahal kondisi fisik tersebut begitu mudah untuk dimodifikasi dengan rekayasa tertentu; (2) Pertaturan-peraturan yang bertujuan untuk mencegah konversi lahan secara umum lebih bersifat himbauan dan tidak dilengkapi dengan sangsi yang jelas, baik yang menyangkut besarnya sangsi maupun pihak yang dikenai sangsi; (3) Kelemahan-kelemahan tersebut pada gilirannya membuka peluang bagi aparat daerah tertentu untuk meraih keuntungan pribadi dari kegiatan konversi lahan dengan dalih untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Implikasi Kebijakan Fakta empirik membuktikan bahwa konversilahan sawah di Jawa telah memberikan dampak yang sangat nyata bagi penyediaan pangan (beras). Oleh karena itu peningkatan kapasitas produksi pangan menjadi kata kunci, baik melalui pencetakan sawah maupun meningkatan kapasitas irigasi seperti rehabilitasi jaringan irigasi dan investasi pompa.

Khususnya di Jawa, dalam pengendalian konversi lahan sawah disamping pendekatan lawnemforcement yang selama ini sudah berjalan, perlu didukung oleh peraturan lainnya pengawasan dan penerapan sangsi yang adil. Disamping itu pendekatan ekonomi seperti melalui kompensasi, dan pajak adalah perlu dipertimbangkan.

Berdasarkan hasil telaahan Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis seperti pada tabel berikut :

Tabel 12.

Hasil Analisis Terhadap Dokumen KLHS Provinsi

No. Aspek Kajian Ringkasan KLHS Implikasi Terhadap Pelayanan SKPD Catatan Bagi Perumusan Program dan Kegiatan SKPD (1) (2) (3) (4) (5) 1. Kecukupan pangan sampai ditingkat individu - Dinamika pembangunan memberi pengaruh terhadap alih fungsi lahan, keterbatasan infrastruktur, konservasi tanah dan air - Potensi bencana cukup tinggi Ketahanan pangan wilayah harus tetap terjaga. Peningkatan ketersediaan, Stabilisasi harga, keamanan pangan dan pencapaian skor PPH.

Renstra Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat

No. Aspek Kajian Ringkasan KLHS Implikasi Terhadap Pelayanan SKPD Catatan Bagi Perumusan Program dan Kegiatan SKPD 2. Peningkatan Konversi lahan pertanian menjadi non pertanian

Sebagian besar lahan sawah yang terkonversi itu pada mulanya beririgasi teknis/semiteknis dengan produktivitas yang tinggi. Secara langsung maupun tidak langsung konversi lahan sawah mempunyai potensi ancaman yang nyata terhadap kapasitas nasional dalam mewujudkan pasokan pangan yang aman untuk mendukung ketahanan pangan yang mantap. Oleh sebab itu kebijaksanaan yang secara khusus ditujukan untuk mengendalikan konversi lahan sawah ke penggunaan lain sangat dirasakan urgensinya. Agar implementasi kebijaksanaan efektif, sistem perhitungan mengenai kerugian akibat konversi lahan sawah harus komprehensif dan pada saat yang sama diperlukan perbaikan dalam sistem pemantauan, pendataan, dan dokumentasi mutasi lahan.

- Penurunan Produksi Pangan - Konversi lahan sawah di Jawa telah memberikan dampak yang sangat nyata bagi penyediaan pangan (beras) Pengendalian konversi lahan sawah disamping pendekatan law emforcement yang selama ini sudah berjalan, perlu didukung oleh peraturan lainnya, pengawasan dan penerapan sangsi yang adil. Disamping itu pendekatan ekonomi seperti melalui kompensasi, dan pajak

adalah perlu

dipertimbangkan.

Sebagian besar lahan sawah yang terkonversi itu pada mulanya beririgasi teknis/semi teknis dengan produktivitas yang tinggi. Konversi lahan sawah juga mengakibatkan degradasi kualitas irigasi pada lahan sawah sekitarnya. Secara langsung maupun tidak langsung konversi lahan sawah mempunyai potensi ancaman yang nyata terhadap kapasitas nasional dalam mewujudkan pasokan pangan yang aman untuk mendukung ketahanan pangan yang mantap. Oleh sebab itu kebijaksanaan yang secara khusus ditujukan untuk mengendalikan konversi lahan sawah ke penggunaan lain sangat dirasakan urgensinya. Agar implementasi kebijaksanaan efektif, system perhitungan mengenai kerugian akibat konversi lahan sawah harus komprehensif dan pada saat yang sama diperlukan perbaikan dalam sistem pemantauan, pendataan, dan dokumentasi mutasi lahan.

3.5 Penentuan Isu-isu Strategis

Isu strategis yang tertuang di dalam RPJMD Provinsi Jawa Barat mencakup aksesibilitas dan mutu pelayanan pendidikan masyarakat, pelayanan kesehatan masyarakat, ketersediaan dan pelayanan infrastruktur, penanganan kemiskinan dan pengangguran, penanganan bencana alam, pengendalian lingkungan hidup, penanganan ketenagakerjaan, pemerintahan dan politik, pengendalian kependudukan, pemberdayaan ekonomi, apresiasi budaya daerah dan pemerintahan otonom.

Renstra Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat Memperhatikan isu-isu strategis Pemerintah Provinsi Jawa Barat, terkait dengan dinamika perkembangan masalah pembangunan ketahanan pangan dan peternakan di Provinsi Jawa Barat baik kualitas maupun kuantitasnya, maka terdapat beberapa isu strategis yaitu :

1. Pangan belum terdistribusikan dengan baik dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat 2. Masih rendahnya kualitas konsumsi protein hewani di masyarakat

3. Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap pangan pokok beras 4. Tingginya ketergantungan impor pangan strategis

5. Masih rendahnya ketahanan pangan rumah tangga di wilayah rawan pangan 6. Masih ditemukannya kasus ketidakamanan pangan

7. Belum optimalnya produksi dan produktivitas ternak

8. Masih terbatasnya sumber daya manusia pangan dan ternak

9. Tingginya alih fungsi lahan untuk pangan dan tidak adanya kepastian lahan peruntukan peternakan 10. Lemahnya perlindungan terhadap peternak

11. Terbatasnya aksesbilitas peternak terhadap sarana produksi, pemasaran dan permodalan; 12. Masih tingginya ancaman terhadap penyakit hewan menular strategis dan zoonosis;

Tabel 13. Permasalahan Pelayanan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Telaahan Rencana Tata Ruang Wilayah Serta Faktor Penghambat dan Pendorong Keberhasilan Penanganannya

No

Rencana Tata Ruang Wilayah Terkait Tugas

dan Fungsi Dinas Ketahanan Pangan dan

Peternakan Permasalahan Pelayanan Dinas Peternakan Prov Jabar Faktor Penghambat Pendorong 1. 2. Pengembangan Desa Mandiri Pangan Pengembangan PKN, PKW dan pusat pengembangan yang berada di wilayah

pengembangan Provinsi

Jawa Barat mempersempit lahan peternakan sehingga diperlukan inovasi baru dalam budi daya ternak

Masih tingginya tingkat kerawanan pangan di jawa barat.

Pelayanan belum dapat

dilaksanakan secara

optimal

1. Tidak semua

Kab./Kota memiliki data desa rawan pangan. 2. Belum sinerginya pelayanan karena lemahnya koordinasi antar instansi 3. Masih kurangnya tenaga teknis peternakan 4. Semakin terbatasnya lahan untuk peternakan 1. Adanya dukungan anggaran APBN 2. Adanya dukungan

pemerintah pusat dan

provinsi untuk

mengembangkan investasi

3. Adanya kebutuhan

investor dan calon

investor akan jasa

layanan Dinas

Peternakan

Tabel 14. Permasalahan Pelayanan OPD Berdasarkan Analisis KLHS serta Faktor Penghambat dan Pendorong Keberhasilan Penanganannya

No. KLHS terkait tugas pokok dan fungsi Pelayanan OPD Permasalahan Faktor

Penghambat Pendorong

1.

2.

Kondisi iklim yang tidak stabil (anomali iklim) dapat mengakibatkan terjadinya gagal panen

yang menimbulkan

kondisi Rawan Pangan

Banyaknya daerah

Belum semua Desa

memiliki lumbung pangan

masyarakat untuk

mengantisipasi terjadinya Rawan Pangan

Lambannya antisipasi

Belum terdatanya lumbung pangan yang dibangun oleh masyarakat

Terbenturnya birokrasi dalam

Dukungan Anggaran yang bersumber dari APBN

Renstra Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat No. KLHS terkait tugas pokok dan fungsi Pelayanan OPD Permasalahan Faktor

Penghambat Pendorong

3.

rawan bencana alam

Kontribusi sektor

peternakan terhadap

perekonomian Jawa

Barat Penyerapan

tenaga kerja di sektor

peternakan Dampak

investasi sektor

peternakan Kerjasama

antar instansi

Pengurangan efek

rumah kaca dari sektor peternakan

dalam penyaluran

bantuan pangan terhadap korban bencana alam

a. Belum maksimalnya pelaksanaan tupoksi yang dikaitkan dengan RT/RW b. Seringkali terhambatnya program karena dibatasi tahun anggaran

penyaluran cadangan pangan

a. Belum optimalnya akses informasi peternakan

b. Rendahnya tingkat

partisipasi generasi

penerus yang mau

berusaha di bidang

peternakan

c. Ada beberapa regulasi

yang menghambat

perkembangan sektor

peternakan, misalnya

masalah pencemaran

udara, retribusi ataupun pajak

d. Sebagai sektor penghasil

limbah, sektor

peternakan sering

menjadi tumpuan

kesalahan penyebab

polusi sehingga sektor ini harus mempunyai rentah yang cukup jauh dengan permukiman penduduk

pangan pemerintah dalam jumlah yang cukup

a. Sudah diterbitkannya

Undang-undang peternakan yang baru sebagai pedoman bagi sektor peternakan b. Banyak peternak dan

perusahaan peternakan

yang telah

memanfaatkan teknologi penanganan limbah menjadi biogas ataupun kompos

Tabel 14. Skor Penentuan Isu Strategis

1 Kriteria Bobot

1 Memiliki pengaruh yang lebih besar/signifikan terhadap pencapaian sasaran

Renstra Ditjen PKH atau Renstra Provinsi 20

2 Merupakan tugas dan tanggungjawab 20

3 Dampak yang ditimbulkannya terhadap publik 20

4 Mempunyai daya ungkit untuk pembangunan daerah 15

5 Kemungkinan atau kemudahannya untuk ditangani 10

6 Prioritas janji politik yang perlu diwujudkan 15

Total 100