• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERMASALAHAN PENDIDIKAN IPA

Dalam dokumen BAB I Apa yang bener (Halaman 36-42)

Dalam pasal 3 UU No. 2 Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional, tertera bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Selanjutnya pasal 4 tentang tujuan pendidikan nasional menggariskan, bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Dari rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang dikemukakan di atas, jelas sekali besar tanggung jawab kita dalam merencanakan, melaksanakan dan mengelola pendidikan pada umumnya, pendidikan sains pada khususnya di negara tercinta ini.

Lebih lanjut UU No. 2 Tahun 1989 mengenal tiga jenjang pendidikan; pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Masing-masing jenjang telah ditegaskan tugasnya, dan jenjang pendidikan yang lebih rendah merupakan persiapan bagi pendidikan yang lebih tinggi jenjangnya, dan juga sebagai persiapan memasuki dunia kerja. Untuk keperluan modul ini hanya jenjang pendidikan dasar yang akan diuraikan lebih lanjut tugasnya, yaitu :

Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah. (Pasal 15 aya 1).

Dengan membahas Permasalahan Pendidikan IPA tentang beberapa aspek pendidikan sains, diharapkan dalam modul ini akhirnya dapat dikemukakan beberapa gagasan dalam menyongsong tugas yang ditimpakan pada kita semua untuk mengembangkan kurikulum pendidikan sains untuk pendidikan dasar 9 tahun.

1. Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)

Kalau kita perhatikan betapa terkenalnya gagasan CBSA dalam dunia pendidikan pada umumnya, pendidikan sains pada khususnya, dalam beberapa tahun terakhir ini, kita tentu berharap bahwa kualitas pendidikan kita akan meningkat. Tetapi ternyata tidak demikian. Apakah sebabnya? Cukup sulit untuk menjawabnya.

Beberapa hasil pengamatan dapat dikemukakan di bawah ini. Mungkin karena konsep CBSA itu tidak begitu besar bagi sebagian guru, ada yang menganggap mengutip pelajaran dari papan tulis sudah merupakan CBSA, dan ada yang menganggap siswa baru aktif bila ia terlibat dalam pemecahan masalah. Demikian pula CBSA bertitik tolak dari anggapan bahwa siswa memiliki potensi untuk berpikir sendiri, dan untuk itu ia harus diberi kesempatan. Bagaimana pelaksanaannya dilapangan? Guru membiarkan para siswa melakukan kegiatan-kegiatan tanpa diberi bimbingan, apakah itu berupa pertanyaan, sebab dengan membimbing kesempatan untuk berpikir sendiri dikurangi. Apa pula guru yang mengasosiasikan CBSA dengan belajar kelompok. Jadi, kalau siswa belajar secara kasikal, maka CBSA tidak dapat diterapkan. Yang lebih hebat lagi ialah mengasosiasikan CBSA dengan macam bangku sekolah. Bila bangku sekolah itu seperti dijaman dahulu, yaitu tidak dapat dipindah-pindahkan, karena berat, maka CBSA tidak dapat dilaksanakan. Dan yang lebih mengejutkan lagi ialah foto yang dimuat dalam koran KOMPAS dua atau tiga tahun yang lalu tentang pelajaran CBSA yang berlangsung di salah satu sekolah dasar di Cianjur, dan foto itu menunjukkan ada seorang siswa yang naik ke atas meja, dan inilah yang rupanya menjadi ukuran keaktifan siswa itu. Pada hal keaktifan dalam rangka CBSA meliputi keaktifan normal, meskipun untuk mencapai maksud ini dalam banyak hal dipersyaratkan keterlibatan langsung dalam berbagai bentuk keaktifan fisik (Raka Joni, 1980:2). Selanjutnya dikemukakan pula, bahwa dalam melaksanakan CBSA para siswa hendaknya diberi banyak kesempatan berpikir sendiri. Tetapi masalahnya ialah para siswa itu pada umumnya tidak begitu saja dapat berpikir sendiri, kalau para guru tidak memberi rangsangan ke arah itu, yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang meminta mereka berpikir, bukan pertanyaan hafalan. Dan inilah yang masih kurang sekali kita berlangsung didalam kelas. Kalau guru bertanya, pada umumnya pertanyaan itu berupa pertanyaan “apa”. Jarang kita mendengar pertanyaan “mengapa” atau “bagaimana”, yang meminta para siswa untuk berpikir dalam memberikan jawaban. Salah satu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa, 90% pertanyaan guru merupakan pertanyaan yang meminta siswa menghafal (Carin and Sund, 1970). Tidak mustahil kalau hal ini juga ditemukan di negara kita dewasa ini.

Perlu dikemukakan, bahwa usaha ke arah menggalakkan CBSA dalam pendidikan pada umumnya ditekankan lagi oleh Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita pada sambutan pembukaan Rapat Kerja Nasional (1989) untuk sekolah dasar. Yang masih dipertanyakan ialah sejauh mana keinginan Bapak Menteri dan para penulis buku itu menjadi kenyataan dalam kelas.

2. Pendekatan Keterampilan Proses

Selain CBSA dunia pendidikan kita juga mendengung-dengungkan penggunaan pendekatan keterampilan proses. Apakah seharusnya pendekatan keterampilan proses itu?

Conny Semiawan, dkk. (1985) mengemukakan bahwa, dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproseskan perolehan (mengamati, menghitung, mengukur, mengklasifikasi, mencari hubungan ruang/waktu, membuat hipotesis, merencanakan penelitian/eksperimen, mengendalikan variabel, menafsirkan data, menyusun kesimpulan sementara, meramalkan, menerapkan, mengkomunikasikan), anak akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Proses belajar mengajar semacam ini akan menciptakan kondisi cara belajar siswa aktif. Jadi apa yang dikemukakan terdahulu tentang CBSA lebih diperjelas oleh pendekatan ketrampilan proses ini.

Dalam pendidikan sains keterampilan proses itu sudah dipermasalahkan sejak tahun 1980. Paada Bulan September 1980 tim pendidikan sains dari BP3K dengan bantuan dari British Council mengadakan seminar Lokakarya dengan tujuan agar para guru sains di Sekolah Dasar lebih memberikan perhatian pada pengembangan keterampilan-keterampilan proses sains. Dari wawancara dengan para guru yang berada disekitar kota Cianjur dan observasi yang dilakukan di beberapa sekolah dasar di daerah itu diketahui betapa miskinnya pengetahuan guru tentang keterampilan-keterampilan proses sains ini, apalagi tentang pengembangannya pengembangan keterampilan proses itu dalam pendidikan sains (Wayne Harlen & Rana Dahar, 1981). Dalam tahun-tahun berikutnya diadakan penataran bagi para guru di daerah ini untuk menyadarkan mereka betapa pentingnya pengembangan keterampilan proses itu dalam pendidikan sains.

Beberapa prinrip yang mendasari pendekatan keterampilan proses dalam pendidikan sains adalah :

1) Dalam menyusun strategi mengajar, pengembangan keterampilan proses integrasi dengan pengembangan produk sains (konsep-konsep perlu diseleksi, untuk menghindari banyaknya materi yang harus diajarkan), sebab perkembangan ilmiah anak pada hakikatnya merupakan interaksi antara konsep-konsep, keterampilan-keterampilan proses sains, serta nilai-nilai dan sikap-sikap yang timbul akibat dimilikinya konsep dan keterampilan proses itu.

2) Keterampilan-keterampilan proses sains, mulai dari mengamati hingga mengajukan pertanyaan tidak perlu merupakan suatu urutan atau hirarki yang harus diikuti dalam mengajar sains. Kedelapan keterampilan-keterampilan proses sains itu merupakan sejumlah keterampilan proses sains yang diperkirakan sesuai dengan tingkat perkembangan anak di sekolah dasar dan sekolah menengah.

3) Setiap pendekatan atau metode mengajar yang diterapkan dalam pendidikan sains dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan proses sains. Jumlah dan macam keterampilan proses sains tidak perlu sama untuk setiap metoda atau pendekatan yang digunakan guru, asal sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan materi yang akan diajarkan.

4) Pendekatan keterampilan proses tidak menunjukkan suatu dikhotomi, tetapi menunjukan suatu kontinum, dengan metode ceramah yang dapat mengembangkan keterampilan proses sains yang paling sedikit hingga metode memecahkan masalah atau pendekatan inkuiri bebas yang paling bebas.

5) Dalam satu satuan waktu, apakah itu satu catur wulan atau satu smester, seluruh keterampilan proses sains harus pernah dikembangkan, dan tersebar pada seluruh materi yang diajarkan dalam satu satuan waktu itu. Pengembangannya hendaknya semaksimal mungkin sesuai dengan waktu pelajaran yang tersedia, dan memperhatikan keseimbangan antara keterampilan-keterampilan proses sains yang dikembangkan. (Ratna Dahar, 1985). Perlu ditambahkan bahwa pertanyaan guru memegang peranan penting dalam menerapkan pendekatan keterampilan proses ini.

3. Konstruktivisma dalam belajar mengajar

Pandangan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian ialah pandangan, bahwa pandangan itu dibangun dalam pikiran anak. Inilah pandangan yang dianut para konstruktivisma.

Berdasarkan penelitiannya tentang bagaimana anak-anak memperoleh pengetahuan, Piaget sampai pada kesimpulan, bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak. Penelitiannya inilah yang menyebabkan ia dikenal sebagai konstruktivis pertama (Bodner, 1986). Ia mempelajari perkembangan berpikir anak-anak, sebab menurutnya ini adalah satu-satunya cara untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana kita memperoleh pengetahuan”(Kamis, 1980). Piaget mengemukakan, bahwa pengetahuan itu dibangun sambil anak (yang belajar) mengatur pengalaman-pengelamannya yang terdiri atas struktur-struktur mental atau skema-skema yang sudah ada padanya. Sebagai epistemolog Piaget membedakan antara pengetahuan fisik (physical knowledge), pengetahuan logikomatematik (logico-matematical knowledge), dan pengetahuan sosial (sosial knowledge).

Pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang benda-benda yang ada “di luar” dan dapat diamati dalam kenyataan eksternal. Mengenal fakta bahwa sebuah bola memantul bila dijatuhkan ke lantai, sedangkan suatu gelas pecah bila jatuh ke lantai, merupakan pengetahuan fisik. Sumber pengetahuan fisik terdapat dalam benda itu sendiri, yaitu dalam cara benda itu memberikan pada subyek hubungan yang diciptakan subyek dan diintroduksikan pada obyek-obyek. Contoh dari suatu hubungan ialah perbedaan antara gelas merah dan gelas hijau, demikian pula tidak dapat ditemukan dimana saja dalam kenyataan eksternal. Perbedaan ini hanya terdapat dalam kepala orang yang menempatkan kedua objek itu dalam hubungan ini, dan bila orang itu tidak dapat menciptakan hubungan ini, perbedaan itu tidak akan ada padanya. Pengetahuan sosial, seperti pada hari Minggu anak-anak tidak bersekolah, didasarkan pada perjanjian sosial, suatu perjanjian atau kebiasaan yang dibuat oleh manusia.

4. Konstruktivisma dan peta konsep

Gagasan para penanut konstruktivis merupakan dasar teoretis bagi perbedaan antara belajar bermakna (meaningful learning) dan belajar hafalan (rote learning) menurut Ausubel. (Ausubel, 1978). Dalam belajar bermakna pengetahuan baru dikaitkan pada konsep-konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif. Bila dalam struktur kognitif tidak ada terdapat konsep-konsep yang relevan, pengetahuan baru dipelajari secara hafalan. Jadi, menurut Ausubel penting bagi guru untuk mengetahui apa yang telah diketahui para siswa sebelum ia memulai suatu pelajaran. Tetapi Ausubel belum menyediakan suatu alat atau cara bagi guru yang dapat digunakan untuk mengetahui apa yang telah dapat diketahui siswa. Novak (1985) dalam bukunya Learning how to learn mengemukakan bahwa hal itu dapat dilakukan dengan pertolongan peta konsep.

Peta konsep memperlihatkan bagaimana konsep-konsep saling terkait. Untuk menyusun peta konsep dibutuhkan konsep-konsep atau kejadian-kejadian dan kata atau kata-kata penghubung yang akan mengaitkan konsep-konsep menjadi proposisi yang bermakna. Proposisi-proposisi inilah yang disimpan dalam struktur kognitif. Sebagai suatu contoh proposisi : Air dibutuhkan makhluk hidup, dimana air dan makhluk hidup merupakan konsep, sedangkan dibutuhkan merupakan kata penghubung. Dengan memiliki berbagai proposisi yang menyangkut konsep air. Misalnya air dapat berubah tingkat wujud, dan air itu terdiri atas molekul-molekul, maka meningkatlah makna dan ketelitian makna bagi konsep air itu pada diri siswa.

Menurut Novak pembuatan peta konsep merupakan suatu teknik untuk mengungkapkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi. Pengungkapan ini dapat digunakan guru untuk mengetahui apa yang telah diketahui para siswa sebelum ia mulai mengajarkan pokok bahasan baru. Dengan demikian guru dapat mengajar dengan bertitik tolak dari apa yang telah diketahui siswa mengenai topik yang akan diajarkannya. Inilah yang menjadi dasar pemikiran para konstruktivis, dan ini pula yang menjadi dasar belajar bermakna yang dikemukakan Ausubel, dan yang kita harapkan terjadi pada anak-anak kita.

Sekarang mari kita perhatikan kegunaan peta konsep bagi para siswa. Cara yang paling baik untuk menolong para siswa belajar bermakna ialah dengan dengan menolong mereka secara eksplisit melihat sifat dan peranan konsep-konsep dan hubungan antara konsep-konsep sebagaimana itu terdapat dalam pikiran mereka dan sebagaimana itu terdapat di luar mereka. Dalam buku-buku pelajaran dan pelajaran yang diberikan guru. Hal ini kelihatannya sederhana, tetapi sulit untuk menyadarkan para siswa bahwa apa yang mereka lihat, dengar, rasa atau cium sebagian tergantung pada konsep-konsep atau gagasan-gagasan yang mereka miliki dalam pikiran mereka. Lagi pula bukan hanya di sekolah mereka harus berlaku demikian, melainkan juga di rumah waktu mereka belajar. Di rumah bukan guru yang mereka hadapi, melainkan buku-buku pelajaran. Karena apa yang tersimpan dalam struktur kognitif ialah

proposisi-proposisi, bukan kata-kata yang membentuk kalimat-kalimat seperti yang tertulis dalam buku, maka untuk benar-benar memahami buku pelajaran, para siswa harus berusaha mengeluarkan konsep-konsep dari dalam buku yang sedang mereka pelajari, kemudian menempatkan konsep-konsep yang paling inklusif dibagian atas pada peta konsep. Lalu mereka mencoba menghubung-hubungkan konsep-konsep itu secara hirarki dengan menggunakan kata penghubung sehingga terbentuk proposisi-proposisi yang bermakna. Inilah cara pembuatan peta konsep yang mencerminkan bagaimana siswa membangun pengetahuannya. Membangun peta konsep secara hirarki memerlukan berfikir secara aktif, secara aktif menghubungkan pengetahuan baru ke dalam kerangka konseptual yang sudah ada. Sambil mempelajari materi pelajaran tertentu siswa dapat melihat hubungan-hubungan baru antara topik-topik yang sebelumnya mungkin kelihatan tidak berhubungan. Siswa yang kreatif akan melihat berbagai cara untuk menyajikan hubungan-hubungan konsep-konsep dan hirarki-hirarki.

Diantara beberapa orang anak yang telah manggunakan peta konsep dalam belajar yang saya amati. Ada yang mengatakan bahwa cara ini benar-benar dapat membuat mereka berfikir; ada pula yang mengemukakan bahwa cara ini benar-benar membuat mereka berfikir; ada pula yang selama ini tidak mereka lihat, ada pula yang berkata dengan membuat peta konsep mereka menjadi lebih siap menghadapi ulangan atau ujian.

Sekarang yang menjadi masalah, beberapa orang siswa yang mau membuat peta konsep, tanpa dianjurkan oleh para guru. Apakah suasana belajar di dalam kelas menghendaki para siswa untuk mengaitkan konsep-konsep baru yang diajarkan guru dengan konsep-konsep yang mereka telah miliki agar belajar bermakna terjadi? Seberapa jauh guru mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki para siswa sebelum ia memulai pelajarannya? Dan juga apakah penggunaan buku-buku yang hanya berisi rangkuman yang paling laku meminta para siswa berfikir, meminta para siswa membangun pengetahuan mereka? Semua pertanyaan-pertanyaan ini hendaknya menjadi pemikiran kita dalam merencanakan kurikulum untuk pendidikan dasar 9 tahun.

5. Sains, teknologi dan masyarakat

Setelah membaca 1985 Year Book of The National Science Teacher Association mengenai pendidikan sains yang harus dihubungkan dengan teknologi dan masyarakat (Science Technology Society disingkat STS) di Amerika Serikat, saya berpendapat bahwa untuk pendidikan dasar 9 tahun kita belum perlu memikirkan kurikulum sejauh itu. Mungkin untuk tingkat yang lebih tinggi hal itu dapat kita perhatikan. Saya berpendapat bahwa unifying concepts untuk STS itu merupakan konsep-konsep yang belum dapat diberikan pada anak-anak kita yang berumur antara 7-15 tahun, dengan pengetahuan sainsnya yang sangat terbatas.

6. Rekomendasi

Setelah memberikan uraian diatas, saya menyarankan hal-hal berikut bagi pengembangan kurikulum 9 tahun.

1) Selama ini kurikulum kita dikatakan yang kurikulum yang overloaded. Hal ini terbukti dari kegiatan guru yang mengajar terutama dengan metoda ceramah tanpa menghiraukan CBSA, pendekatan keterampilan proses, apalagi memperhatikan gagasan-gagasan apa yang telah dimiliki para siswa.

2) Pendidikan sains di pendidikan dasar hendaknya ditekankan pada pengembangan kemampuan berpikir. Apa yang kita capai selama ini dalam pendidikan yang kita berikan kepada anak-anak kita ialah mereka malas berpikir.

3) Buku-buku pelajaran yang digunakan untuk menanamkan konsep hendaknya jangan yang berupa rangkuman. Anak-anak kita sedini mungkin kita biasakan membaca buku, dan dapat mengeluarkan dan dapat mengeluarkan konsep-konsep yang penting, kemudian mengaitkannya dengan konsep-konsep yang telah mereka miliki. Peta konsep dapat mereka gunakan untuk menolong belajar bagaimana belajar.

Dalam dokumen BAB I Apa yang bener (Halaman 36-42)

Dokumen terkait