• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan Dalam Pengawasan Pengadaan Barang, Dan Pengelolaan Keuangan Blud

Dalam dokumen TINJAUAN MENGENAI KONSEP DAN PERMASALAHA (Halaman 44-51)

1. SISTEM PENGAWASAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DALAM SKPD ATAU UNIT KERJA BERBENTUK BLUD

4.3 Permasalahan Dalam Pengawasan Pengadaan Barang, Dan Pengelolaan Keuangan Blud

Pengelolaan keuangan dalam BLUD pada awalnya merupakan suatu pemutakhiran dari konsep oengelolaan keuangan Negara dan daerah demi memajukan layanan umum yang bersifat output centris.61Memang pada normative nya banyak sekali hal positif yang dapat diambil dari pemberlakuan sistem ini. namun, seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa kesiapan entitas – entitas yang dicalonkan sebagai BLUD maupun BLUD jauh dari kata memadai. Hal ini yang dikemudian hari menjadi semacam bom waktu bagi tata kelola keuangan di Negara ini. Bagaimana tidak, belakangan ini makin marak diungkap kasus korupsi terhadap dana bantuan ke BLUD. Pengelolaan keuangan yang digadang-gadang pemerintah itu justru terkesan memberikan angin segar bagi para oknum untuk dapat dengan mudah menyelewengkan keuangan BLUD itu sendiri. Masih segar dalam ingatan kita kasus

59Pasal 2 jo pasal 16 UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemer iksaan dan Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negar a Jo Pasal 6 UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemer iksa Keuangan.

60 Muhammad Djafar Saidi, op.cit, hlm.147

korupsi dana hibah UN habitat yang dilakukan oleh BLUD GLH di Solo yang menyebabkan kerugian Negara yang diduga sebesar Rp 1,7 milliar. 62Dalam kurun waktu 2010 hingga 2013 saja, sebanyak 6 entitas berstatus BLUD yang telah diperiksa oleh BPK RI perwakilan Jawa Tengah belum menunjukkan rapor yang baik terhadap kinerja maupun operasional nya.63Hal yang sama juga terjadi di berbagai provinsi yang lain dan cenderung merata di seluruh Indonesia.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa peraturan perundang-undangan menajdikan dewan pengawas sebagai solusi dari pengendalian dan pembinaan BLUD itu sendiri. Namun, pada nyatanya, keberadaan BLUD bukan merupakan syarat mutlak berdirinya suatu BLUD. Sehingga apabila suatu BLUD tidak mencapai syarat yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan, maka dewan pengawas tidak diperlukan bahkan tidak dapat dibentuk. Lalu timbul pertanyaan bagaimana cara pemerintah mengawasi BLUD di masa transisi seperti sekarang ini?

selain itu, terlebih lagi bahwa dewan pengawas dalam BLUD diajukan oleh kepala daerah atau kepala BLUD bersangkutan. Hal ini kemudian akan menjadikan mekanisme pengawasan tidak sepenuhnya independen. Beruntung dalam sistem pengawasan yang lazim di Indonesia menerapkan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh lembaga lain di luar lembaga bersangkutan. Namun, pada faktanya karena kerancuan fleksibilitas sistem dalam BLUD ini, menyebabkan ketidaksepahaman persepsi terhadap pola pengelolaan keuangan yang seharusnya.

62http:/ / www.solopos.com/ 2014/ 03/ 19/ kasus-dana-glh-kejakti-jateng-tangani-kasus-dana-hibah-un-habitat-497034di akses ter akhir tanggal 25 Agustus 2014 pukul 14.50 wib

63LHP pemer iksaan dengan tujuan ter tentu semester II tahun 2012 dan 2013, diper oleh dar i Sub. Bagian Sekr etar iat Kepala Per wakilan BPK RI Pr ovinsi Jawa tengah pada tanggal 27 Agustus 2014

Salah satu kasus yang sering terjadi adalah ketidak sepahaman BPK dalam memeriksa pengelolaan keuangan BLUD. Hal – hal yang menjadi temuan dalam BPK pada umumnya terletak dalam kesimpangsiuran adminitrasi yang diakibatkan salah kaprah oleh BLUD bersangkutan. Kesulitan manajemen dalam menyusun SOP Keuangan karena output dari SOP tersebut merupakan panduan manajemen dalam menyusun laporan keuangan berbasis Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Tidak banyak bagian keuangan di RSUD yang familiar dengan SAK, karena mereka biasanya lebih familiar dengan SAP (Standar Akuntansi Pemerintah). 64 Oleh karena itu BPK dalam memeriksa pengelolaan keuangan BLUD cenderung menyimpangi ketentuan yang baru dengan alasan permakluman terhadap BLUD yang masih dalam masa transisi tersebut.

Salah satu tipe idealnya peraturan adalah sifatnya yang dapat diterapkan secara terus-menerus atau berulang-ulang.65 Aturan tentang pengawasan BLUD memang sudah ditetapkan permendagri terkait BLUD, namun apabila pelaksanaannya belum mencapai apa yang diinginkan apalagi belum menjadi norma yang secara berulang dilakukan bukan berarti tidak ada langkah kongkrit yang dapat dilakukan.

Dalam hal ini penulis ingin menyatakan bahwa bukan hanya kualitas SDM dalam BLUD saja yang harus diperbaiki namun juga aturan mengenai pengawasan ini diperjelas. BPK sebagai salah satu penyelenggara pengawasan ekstern bagi BLUD, diharapkan juga mampu memberikan kuota yang lebih besar terhadap BLUD dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu di semester II nya. Hal ini dirasa merupakan hal

64Ar tikel per masalahan umum dalam BLUD dalam www.PPKBLUD.com

diunggah penulis pada tanggal 14 Apr il 2014 diakses pada tanggal 9 September 2014 pukul 21.00 WIB

yang baik dalam mengawal lembaga baru ini untuk segera menjadi badan yang stabil seperti BUMN maupun BUMD.

Kerancuan peraturan mengenai pengawasan juga sangat terlihat dalam pasal 1 angka 23 Permendagri no 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah “Dewan Pengawas BLUD, yang selanjutnya disebut Dewan Pengawas, adalah organ BLUD yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pengelolaan BLUD”. Kemudian dalam pasal 44 di permendagri yang sama, kemudian tugas dewan pengawas diperluas sehingga Dewan pengawas bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan BLUD yang dilakukan oleh pejabat pengelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahwa dalam hal tersebut terjadi distorsi makna yang terjadi dalam Permendagri tersebut. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pengawasan dan pembinaan merupakan dua fungsi yang sama sekali berbeda. Namun, penamaan lembaga tersebut dijadikan satu oleh pembentuk undang-undang dalam dewan pengawas. Terjadi kesimpangsiuran pengertian antara pengawasan dan pembinaan dalam pengaturannya. Hal ini juga sedikit banyak sangat mempengaruhi wewenang dan kinerja dari dewan pengawas dalam mengawal BLUD.

Dalam pengadaan barang dan jasa, konsep BLUD dalam permendagri 61 tahun 2007 emnjadi sangat rancu. Hal ini terkait dengan ketentuan pasal 99 dan 100 yang berbunyi sebagai berikut:

PasaI 99

(1) Pengadaan barang dan/atau jasa pada BLUD dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi pengadaan barang/jasa pemerintah.

(2) Pengadaan barang dan/atau jasa dilakukan berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan, bersaing, adil/tidak diskriminatif, akuntabel dan praktek bisnis yang sehat.

Pasal 100

(1) BLUD dengan status penuh dapat diberikan fleksibilitas berupa pembebasan sebagian atau seluruhnya dari ketentuan yang berlaku umum bagi pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), apabila terdapat alasan efektivitas dan/atau efisiensi.

Pasal 99 merekomendasikan BLUD untuk mengacu pada regulasi yang berlaku umum untuk pengadaan barang dan jasa. Regulasi dimaksud adalah adalah Perpres 54 tahun 2010. Pasal 2 Perpres 54/2010 angka 1 huruf a , menyatakan dengan tegas klausul sebagai berikut:

“Ruang lingkup Perpres ini meliputi Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari

APBN/APBD.”

Bahwa seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa dalam BLUD terdapat aliran APBD sebagai salah satu pendapatan BLUD. Sehingga akan menjadi norma yang sangat bertentangan ketika pasal 100 permendagri tersebut memberikan kewenangan kepada BLUD untuk mengatur kebijakan pengadaan sendiri untuk pengadaan yang sumber dananya berasal dari pendapatan layanan kesehatan, hibah, kerjasama, dan lain-lain pendapatan BLUD yang sah. Walaupun terdapat adagium hukum lex specialis derogate legi generale yang berarti norma hukum yang spesifik akan

permendagri merupakan aturan hukum yang bersifat spesifik untuk BLUD mengalahkan norma dalam PP 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang, namun hal ini rupanya belum menyelesaikan masalah. Karena norma dalam PP 54 tahun 2010 juga merupakan norma yang bersifat khusus. Sehingga terhadap ketentuan tersebut berlaku lagi asas specialis sistematis. Lalu dalam hal tersebut, yang menjadi masalah adalah bagaimana suatu aturan itu ditetapkan lebih specialis daripada peraturan lainnya. Mengingat kedudukan perpres itu lebih tinggi daripada permendagri.66Lalu aturan manakah yang dapat menjustifikasi perbuatan hukum berkenaan dengan pengadaan barang dan jasa dalam BLUD?

Selain itu, terdapat beberapa konsep dalam BLUD yang dianggap kurang matang dalam proses pembuatannya. Pengelolaan kas BLUD menghambat pembentukan Treasury Single Account sebagaimana diamanatkan UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sesuai dengan Permendagri no 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah pasal 83, BLUD menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengelolaan kas. Aturan ini menjadi tidak sesuai dengan pasal 12 ayat (2) dan pasal 13 ayat (2) UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran Negara/ Daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara/Daerah.

Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007, keseluruhan proses penganggaran SKPD tetap mengikuti mekanisme yang telah ada sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 yang diperbaharui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007. Artinya Rencana Bisnis Anggaran (RBA) SKPD berstatus BLUD khusus yang

66Lex Super ior der ogat legi lex Infer ior ’ kaidah huku yang lebih tinggi akan mengalahkan kaidah hukum yang lebih r endah.

pembiayaannya berasal dari APBD akan dituangkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) dan menjadi bagian dari RAPBD pemerintah daerah. Untuk SKPD yang pembiayaannya masih memerlukan subsidi dari kas daerah, semestinya dalam RKA harus dipisahkan penganggaran belanja yang didanai dari pendapatan yang dikelola langsung dan belanja yang didanai dari kas daerah.

Sayangnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 belum mengatur mengenai hal tersebut. Padahal, pemisahan kedua penganggaran tersebut dalam format RKA berguna bagi pemerintah daerah dalam rangka pengendalian pelaksanaan anggaran pada SKPD, yaitu pada saat diajukannya pengesahan pendapatan dan belanja kepada Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) setiap bulannya. Pada saat penyampaian pertanggungjawaban belanja kepada SKPKD, fungsi perbendaharaan pada SKPKD akan dapat mengetahui apakah pertanggungjawaban belanja yang menggunakan dana dari pendapatan yang dikelola langsung telah melampaui ambang batas yang diperkenankan dan dapat mengetahui adanya pengeluaran belanja yang menggunakan alokasi dana bersumber dari kas daerah padahal seharusnya diambil dari alokasi dana yang bersumber dari pendapatan yang dikelola langsung.67

Permasalahan lainnya, klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 berbeda dengan klasifikasi belanja sebagaimana yang diatur dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 atau Permendagri Nomor 59 Tahun 2007. Selain itu, diperbolehkannya SKPD melakukan investasi dan hutang mendatangkan pertanyaan apakah SKPD boleh menganggarkan pembiayaan dan

67www.war ungBLUD.com diakses pada tanggal 5 September 2014 pukul 18.30 WIB

belanja bunga dalam RKA-nya. Seperti diketahui kewenangan untuk menganggarkan belanja bunga dan pembiayaan hanya dimiliki oleh SKPKD.

Pada kenyataannya antara perencanaan anggaran dengan realisasinya sangat besar kemungkinan timbul selisih atau varians. Varians timbul karena BLUD dapat menghimpun dana selain dari APBN/APBD dan dapat “dikelola langsung” untuk membiayai belanja BLUD. Kondisi semacam ini dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan terutama apabila varian ini digunakan baik oleh BLUD maupun kementerian Negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah guna menghimpun dana non budgeter (dana taktis) yang secara tegas, dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. 68 celah seperti ini seharusnya dapat diantisipasi terlebih dahulu oleh pemerintah dengan cara memberikan petunjuk teknis yang lebih rinci terhadap pengelolaan keuangan Negara yang merujuk pada uu no 1 tahun 2004.

Dalam dokumen TINJAUAN MENGENAI KONSEP DAN PERMASALAHA (Halaman 44-51)

Dokumen terkait