• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan yang Dihadapi

INTEGRASI NASIONAL

E. Permasalahan yang Dihadapi

Sejarah telah mencatat bahwa Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada tahun 1928 adalah suatu perwujudan solidaritas sosial begitu kental merasuk dalam kalbu antar golongan pemuda. Tidak perlu dipertanyakan darimana asal-usul suku bangsa, ras, agama, bahasa dan lain sebagainya. Mereka bergabung, membaur, menyatu, dalam kadar solidaritas yang tinggi, menuju terwujudnya integrasi sosial dan integrasi nasional.

Bangsa dan budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu. Kenyataannya adanya berbagai suku bangsa, ras dan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya, sehingga menjadi modal dasar terwujudnya integrasi nasional.

Sudah menjadi takdir bangsa Indonesia, bahwa negara ini terdiri atas masyarakat yang heterogen, masyarakat majemuk. Kenyataan ini merupakan kenyataan bagi bangsa Indonesia dan sekaligus menciptakan tantangan-tantangan. Sejarah telah membuktikan kepada kita, bahwa perjalanan masyarakat nusantara menuju terwujudnya kesatuan bangsa tidak selalu berjalan mulus, melainkan kadang-kadang berhadapan dengan berbagai masalah.

Secara umum terdapat tiga masalah besar yang harus dikaji dengan serius untuk mencapai integrasi nasional yang mantap, yaitu:

1. Pembauran Bangsa

Pembauran bangsa (dalam hal ini bangsa Indonesia) Merupakan usaha untuk yang utuh atau pemaduan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi satu bangsa baru, yaitu Indonesia.

91

Bersatu sebagai satu bangsa tidak hanya berdasarkan atas kesamaan ras, suku, bangsa, bahasa, agama, kepentingan atau batas-batas geografis, tetapi berdasarkan pada kesamaan perasaan, kesamaan niat yang timbul sebagai akibat pengorbanan yang telah dialami di masa

lampau, masa kini, dan akan dialami bersama-bersama di masa mendatang. Masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa, tidak hanya merupakan federasi antara

kelompok-kelompok manusia nusantara yang masing-masing memiliki ciri khas, melainkan merupakan satu kesatuan baru dan mewujudkan ikatan solidaritas yang mencakup segenap manusia-manusia Indonesia seluruhnya. Dengan demikian ikatan solidaritas itu bukan lagi karena persamaan suku bangsa, ras agama, maupun golongan, melainkan berdasarkan ikatan kejiwaan, solidaritas, dan kesetiakawanan seluruh rakyat Indonesia yang berkeyakinan sebagai satu bangsa Indonesia (Sukanto, 1984: 730).

2. Kerukunan antar Umat Beragama

Sudah menjadi pendapat umum pada tingkat nasional ataupun tingkat internasional, bahwa Republik Indonesia adalah negara yang mempunyai penganut Agama Islam terbesar di dunia. Dari data statistik sering diungkapkan bahwa dari 148 juta (tahun 1984) penduduk indonesia, 90% menganut Agama Islam.

Akan tetapi sejak Indonesia merdeka kedudukan islam dalam area politik nasional seringkali menjadi persoalan yang menimbulkan pertentangan, sehingga mengakibatkan kemacetan politik, pemberontakan berlatar belakang agama dan kedaerahan, juga pertentangan sosial lainnya. Di kalangan umat islam dalam kenyataannya terdapat berbagai derajat kaum muslimin, dari yang saleh sampai mereka yang abangan. Sedangkan di barisan orang-orang saleh pun terdapat bermacam-macam aliran. Dengan kondisi seperti itu, menjadikan masalah islam di Indonesia sebagai persoalan yang cukup rumit.

Bersaman dengan isu Kristianisasi di kalangan umat islam belum kunjung lenyap, dan belakangan ini muncul isu Islamisasi di kalangan umat kristen. Semua ini menunjukkan betapa berkembangnya solidaritas sempit yang membawa kemrosotan semangat kebangsaan Indonesia, dengan demikian kesadaran untuk menumbuhkan sikap saling pengertian kesulitan yang dihadapi masing-masing kelompok agama masih sangat rendah. Walaupun di masa, Orde Baru, konflik antara umat Islam dan Kristen juga kerap terjadi, namun setelah tahun 1998, konflik antara dua kelompok agama ini mengalami eskalasi yang sangat signifikan dengan tingginya jumlah korban jiwa (Tadjoeddin 2004).

92 Pada bulan Oktober 2002, ledakan bom di daerah wisata Kuta di Bali merupakan serangan sekelompok oknum terbesar kedua setelah tragedi 11 September 2001 di New York, karena memakan korban hampir sekitar 200 orang, sekaligus menjadi peristiwa paling berdarah yang menyangkut gerakan Islam radikal di tanah air. Konflik kekerasan bukanlah hal yang baru dalam episode sejarah Indonesia. Sejak masa keemasan kerajaan Majapahit, hingga era kolonialisme dan perjuangan kemerdekaan, dinamika konflik kekerasan selalu lekat mengiringi. Karenanya, Indonesianis sekaliber Ben Anderson tidak segan-segan untuk berpendapat bahwa kultur kekerasan bukanlah monopoli penguasa Orde Baru saja, tetapi sudah sejak lama diidap oleh semua lapisan di dalam masyarakat (Anderson, 2001).

3. Perubahan Nilai-nilai

Dari mulai Indonesia merdeka sampai sekarang ini, masih terdapat pandangan umum bahwa ada kesulitan untuk menentukan nilai-nilai Indonesia, akibat adanya kesenjangan yang bersifat struktural dalam masyarakat. Kesenjangan itu semakin terasa manakala arus budaya barat masuk dengan deras tak tertahan ke persada Nusantara. Lebih tragis lagi karena ketidaksiapan dan ketidakmatangan budaya domestik untuk merangkul budaya barat yang disebut budaya modern itu.

Akibat dari perkembangan teknologi komunikasi juga muncul kelompok masyarakat yang merasa mandiri, kemudian muncul egoisme, asalkan saya selamat, yang lain masa bodoh. Bila kita sampai pada pemikiran seperti itu akan sampai pada satu bahaya besar, karena akan terjadi disintegrasi yang tidak tampak. Disintegrasi seperti itu baru akan terlihat bila kita telah mengalami suatu musibah besar perpecahan politik etau serangan dari luar. Jika ini terjadi, negara hanyalah tinggal sebagai kerangka tetapi isinya keropos.

Sekelompok pakar berpendapat bahwa proses pembangunan di negara-negara berkembang berpotensi untuk menjadi violent-generating process (proses pembentukan kekerasan). Olson misalnya menyatakan bahwa perubahan secara cepat di dalam teknik produksi dan prilaku ekonomi akan membawa masyarakat pada situasi anomy yang dicirikan dengan perasaan hilangnya pijakan dan hilangnya norma-norma (Olson 1997). Ironi dari bangsa Indonesia hari ini adalah rontoknya tradisi meritokrasi dan hilangnya kapasitas visioner yang diiringi dengan menggejalanya “tradisi instan” di segala lapisan masyarakat.

93 Belajar dari pengalaman negara-negara di Amerika Latin, suatu sistem politik yang didominasi oleh kalkulasi materi dan agenda-agenda politik yang pragmatis, tidaklah memiliki kemampuan jangka panjang untuk mengantarkan suatu negara bangsa mencapai fase demokrasi yang terkonsolidasi.

F. Pertanyaan

1. Refleksi Pribadi

a. Apa yang telah Anda lakukan untuk membangun integritas nasional di Indonesia? b. Bagaimana Anda menyikapi keanekaragaman yang ada di Republik Indonesia ini

dalam konteks integritas nasional?

c. Bagaimana Anda mengimplementasikan integritas nasional di Indonesia dalam bidang kebudayaan?

2. Diskusi Kelompok

Bagaimana cara Anda mengimplementasikan integritas nasional di Indonesia dalam bidang politik dan agama?

94 G. Referensi

Abdulkarim, Aim. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Warga Negara yang

Demokratis. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Dikti. (2012) Buku Modul Kuliah Kewarganegaraan. Diakases pada 10 Desember 214 pada https://docs.google.com/document/d/10a1LL9gWFt9ehdgFMrdQ3l8YQJ5kKx3lDl57 6yvU8RQ/edit?pli=1.

Info-83. 2011. “Integritas Nasional”. Diakses pada 11 Desember 2014 pada http://info-83.blogspot.com/2011/11/integrasi-nasional.html.

Pipa Biru. 2010. “Integritas Sosial dan Nasional”. Diakses pada 11 Desember 2014 pada http://pipa-biru.blogspot.com/2014/01/integrasi-sosial-dan-integrasi-nasional.html. Pribadi, Arti. (2009). “Integrasi”. Diakses pada 11 Desember 2014 pada

https://artypribadi.wordpress. com/2013/09/13/integrasi/ .

Puspita. 2014. Diakses pada 11 Desember 2014 pada http://blograipuspita.blogspot.com/ 2014/03/integrasi-nasional.html.

Putri Windu. 2012. “Integritas Nasional”. Diakses pada 11 Desember 2014 pada https://putriwindu.wordpress.com/2012/04/29/integrasi-nasional/.

Sumarsono, S, dkk. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005.

95

BAB X