• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasal 14 ayat (1) huruf i, huruf k dan ayat (2) (1) Narapidana berhak:

5. Pernyataan KPK mengenai Pemberian Remisi

Tempo.co memberitakan pada 18 Juni 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi menilai Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 terkait pemberian remisi rawan

83

dikorupsi. Kerawanan itu muncul karena tidak jelasnya indikator pemberian pemotongan masa penjara kepada napi. Liputan lengkapnya sebagai berikut :63

"Setelah kami review itu memiliki risiko transaksional," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, di kantornya, Senin, 17 Juni 2019. Febri menuturkan dalam aturan tersebut pihak lapas masih dilibatkan dalam menilai napi yang layak mendapatkan remisi. Selain itu, indikator dalam pemberian remisi juga tidak objektif. Maka itu, KPK meminta Kemenkumham segera merevisi aturan tersebut. "Pemberian remisi harus dilakukan berdasarkan sistem, bukan subjektifitas pejabat," kata Febri. Dia mengatakan kajian terhadap beleid itu dilakukan KPK setelah melakukan operasi tangkap tangan terhadap Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen. Wahid dihukum 8 tahun penjara karena menerima suap supaya napi bisa pelesiran ke luar lapas. Pascaoperasi, KPK dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham menandatangani tiga kesepakatan perbaikan pengelolaan lapas. Pertama, soal pemindahan napi koruptor kelas kakap ke Lapas Nusakambangan, evaluasi pedoman teknis sistem permasyarakatan, dan revisi aturan soal remisi. Ketiganya harusnya sudah dilaksanakan Kemenkumham pada Juni ini. KPK berharap Ditjen Pemasyarakatan secara konsisten melakukan perjanjian tersebut. "Hanya dengan penerapan dan pelaksanaan rencana aksi secara konsisten itulah perbaikan Lapas bisa kita lakukan," kata Febri.

C. ANALISIS

Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan diatas, penelitian ini menggunakan pendekatan normatif. Penulis memahami bahwa dalam bagian analisisa ini, Penulis harus memberikan penjelasan tentang alasan-alasan pentingnya perlindungan terhadap hak asasi masyarakat sehubungan dengan pemberian hak remisi bagi narapidana korupsi.

63 https://nasional.tempo.co/read/1215614/kata-kpk-aturan-soal-remisi-kemenkumham-rawan-dikorupsi. Diakses pada tanggal 10 Juli 2019 pukul 20.37 WIB.

84

Secara konseptual, perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Perlindungan hukum hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum, salah satunya adalah perlindungan hukum terhadap hak masyarakat sehubungan dengan hak remisi bagi narapidana korupsi.

Remisi sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 huruf i UU Pemasyarakatan, merupakan hak yang diberikan terhadap narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana. Dalam Pasal 1 angka 6 PP 99 tahun 2012 juga dijelaskan bahwa, “Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.” Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1) PP 99 tahun 2012, “Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi.”

Akibat-akibat hukum pemberian remisi sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999, dan beberapa peraturan lainnya yang mendukung, dapat dikemukakan sebagai berikut :

1) Pengurangan masa pidana, dijalani atau diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana;

85

2) Pemberian remisi berarti pengurangan masa pidana penjara, yang seharusnya dijalani oleh para Narapidana.

3) Pengurangan masa pidana yang dapat menyebabkan pembebasan seketika, dengan persyaratan diberikan kepada Narapidana yang setelah dikurangi remisi umum maupun remisi tambahan, masa pidana yang harus dijalani ternyata mengakibatkan masa pidananya habis, bertepatan pada saat pemberian remisi yaitu 17 Agustus pada tahun yang bersangkutan.

4) Masa Pembebasan bersyarat menjadi lebih singkat. Pembebasan bersyarat diberikan kepada Narapidana yang telah menjalani masa pidananya 2/3 (dua pertiga) sekurang-kurangnya telah menjalani pidananya selama 9 (Sembilan) bulan. Maka dengan pemberian remisi akan mengurangi masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan, sehingga mengakibatkan masa pembebasan bersyarat menjadi lebih singkat.

Atas dasar tersebut maka dengan adanya pemberian remisi bagi narapidana korupsi tidak akan menimbulkan efek jera karena narapidana korupsi akan lebih cepat keluar dari waktu yang di putuskan oleh hakim. Pemberian remisi bagi narapidana korupsi juga berpotensi melemahkan upaya penindakan KPK maupun lembaga penegakan hukum lainnya. Ketidakjelasan kriteria pemberian remisi yang rawan akan menimbulkan penyimpangan dalam pelaksanaannya, maka pemberian remisi bagi narapidana korupsi bertentangan dengan bertentangan dengan strategi nasional pemberantasan korupsi. Dalam peraturan Peraturan Presiden No 55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi jangka panjang tahun 2012-2025 dan jangka menengah tahun 2012-2014, pada bagian strategi penegakan hukum telah diamanatkan agar melakukan pengetatan pemberian remisi kepada terpidana korupsi.

86

Narapidana korupsi seharusnya tidak perlu mendapatkan remisi karena tidak sama dengan para terpidana kejahatan kriminal umum. Korupsi adalah kejahatan kriminal luar biasa (extraordinary crime). Bahkan, United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). Pada kasus tindak pidana biasa, yang dirugikan hanya satu individu. Namun, korupsi memiliki dampak merugikan dalam skala yang sangat luas. Karena itu, cara-cara yang luar biasa patut diterapkan kepada narapidana korupsi. Salah satu bentuknya adalah menghapus remisi bagi koruptor.

Korupsi merupakan kejahatan yang berbahaya, dalam Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Tindak pidana korupsi dapat dianggap dan dilihat sebagai suatu bentuk kejahatan administrasi yang dapat menghambat usaha-usaha pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Di samping itu, tindak pidana korupsi juga dapat dilihat sebagai tindakan penyelewengan terhadap kaidah-kaidah hukum dan norma-norma sosial lainnya.

Dalam perspektif hukum pidana, tindak pidana korupsi tergolong sebagai bentuk kejahatan yang sangat berbahaya, baik terhadap masyarakat, maupun terhadap bangsa dan negara.

87

Kerugian keuangan negara dan perekonomian negara adalah akibat nyata yang menjadi dasar pembenaran dilakukannya kriminalisasi terhadap berbagai bentuk perilaku koruptif dalam kebijakan perundang-undangan pidana. Akan tetapi, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah suatu negara justru merupakan akibat yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada hanya sekedar kerugian dari sudut keuangan dan ekonomi semata.64 Tindak pidana korupsi, di samping dapat merusak mental dan moral bangsa, juga dapat merusak sendi-sendi pemerintahan suatu negara. Akibat paling buruk yang dapat ditimbulkan oleh perilaku koruptif adalah kehancuran eksistensi pemerintahan negara sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman Republik Tiongkok di bawah kepemimpinan rezim Kuo Min Tang setelah Perang Dunia II. Hal itu lebih banyak disebabkan karena merajalelanya korupsi di kalangan pejabat pemerintahan, sehingga rezim itu disingkirkan oleh kaum Kun Can Tang.65

Sebagaimana telah penulis jelaskan dalam hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi menambah beban dalam transaksi ekonomi dan menciptakan sistem kelembagaan yang buruk. Adanya suap, pungli dalam sebuah perekonomian menyebabkan biaya transaksi ekonomi menjadi semakin tinggi. Tingginya biaya transaksi menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian (yang dimaksud biaya transaksi adalah biaya yang

64 Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, 1998, hlm. 41.

65 Muchtar Lubis dan James C. Scoot, Bunga Rampai Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. xiv.

88

diperlukan dalam penggunaan sumber daya untuk penciptaan, pemeliharaan, penggunaan, perubahan dan sebagainya pada suatu institusi dan organisasi. memandang biaya transaksi sebagai biaya yang muncul dalam pengelolaan suatu institusi atau kelembagaan dalam mencapai tujuannya).

Sudah menjadi rahasia umum bahwa di Indonesia terdapat suap dan pungli dalam upaya mendapatkan pelayanan publik seperti pembuatan akta kelahiran, Surat Izin Mengemudi (SIM), dan lainnya. Kondisi ini menyebabkan tingginya biaya transaksi ekonomi dan sistem kelembagaan yang buruk bahwa korupsi menciptakan mis-alokasi sumber daya. Korupsi berupa penggelapan, suap, dan pungli dapat menyebabkan sarana-prasarana di negara korup berkualitas rendah. Suap dan pungli dalam implementasi anggaran pembangunan infrastruktur menyebabkan pengurangan anggaran pembangunan sarana dan prasarana. Demikian pula penggelapan atas anggaran pembangunan infrastruktur, menyebabkan anggaran pembangunan infrastruktur berkurang, mengakibatkan infrastruktur yang dibangun berkualitas rendah. Rendahnya kualitas infrastruktur dapat mengganggu akses masyarakat kepada pusat perekonomian dan pusat pertumbuhan. Maka, kualitas infrastruktur yang rendah dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Korupsi memiliki dampak negatif terhadap budaya dan norma yang berlaku di masyarakat. Ketika korupsi sudah sering terjadi di dalam masyarakat dan masyarakat menganggap korupsi sebagai hal yang biasa, maka korupsi akan mengakar dalam masyarakat sehingga menjadi norma dan budaya.

89

Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata cara peradilan pidana, yang dikenal sebagai bagian integrasi dari tata peradilan terpadu (Integrated Criminal Justice System). Dengan demikian, pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan dan petugas pemasyarakatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakan hukum. Gagasan tersebut sejalan dengan penjelasan umum UU Pemasyarakatan yang menjelaskan bahwa sistem pemasyarakatan merupakan satu rangkaian ke satuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya, tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.

Narapidana merupakan terpidana yang menajalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Terdapat pernyataan bahwa narapidana bukan hanya objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan dan kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Menurut hemat penulis tidak semua narapidana dapat dikategorikan dan mendapat perlakuan yang sama. Karena kejahatan masing-masing narapidana berbeda. Dalam penelitian ini telah dijelaskan bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang menuntut langkah luar biasa juga untuk menanggulanginya. Dampak yang ditimbulkan oleh korupsi sangat masif yang menyebabkan pelanggaran hak asasi masyarakat sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya.

Hak asasi manusia baik secara individu maupun hak masyarakat secara kolektif sangat terkait dengan konsep generasi hak asas manusia yang oleh ahli hukum perancis Karel Vasak dibagi

90

menjadi tiga generasi sebagai berikut: hak-hak sipil dan politik (generasi pertama), hak hak ekonomi, sosial dan budaya (generasi kedua) dan hak-hak solidaritas (generasi ketiga).

Menurut Cees Flinterman generasi pertama yang terdiri dari hak sipil dan politik atau biasa disebut dengan hak klasik, didasarkan pada konsep awal dari hak asasi manusia yaitu untuk melindungi individu dari tindakan sewenang-wenang negara, sehingga hak asasi manusia generasi pertama ini menjamin pada kebebasan individu untuk melaksanakan kebebasan pribadi (personal freedom) sebagai realisasi hak asasi manusia individu. Sedangkan untuk hak asasi manusia generasi kedua yaitu hak ekonomi, sosial dan budaya lebih kepada memberikan kewajiban penguasa (authority) untuk menciptakan suatu kondisi dimana hak asasi manusia dapat berkembang, misalnya pendidikan (education), pekerjaan (employment), kesehatan (health care), dan jaminan sosial (social security) hak demikian ini merupakan realiasasi dari hak asasi manusia kolektif.

Mengenai hak asasi manusia generasi ketiga Karel Vasak mengatakan “human rights of the third generation are those born of the obvious brotherhood of men and of their indispensable solidarity; rights which would unite men in a finite world” maksudnya adalah generasi ketiga ada karena rasa persaudaraan dan kebersamaan sesama manusia yang tinggi sehingga menyatukan manusia dalam dunia yang luas. Generasi ketiga merupakan rekonseptual dari generasi pertama dan kedua yang menekankan pada bentuk kolektifitas dari manusia yang tercermin melalui hak asasi manusia kolektif.

91

Hak masyarakat yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini meliputi Pasal 6 sampai dengan pasal 15 UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR, yakni hak atas pekerjaan (Pasal 6), hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan (Pasal 7), hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh (Pasal 8), hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda (Pasal 10), hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11), hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai (Pasal 12), hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14), dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya (PasaI1).

Berkaitan dengan hak remisi dan hak masyarakat maka berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR menetapkan bahwa negara pihak hanya boleh mengenakan pembatasan atas hak-hak melalui penetapan dalam hukum, sejauh hal itu sesuai dengan sifat hak-hak tersebut dan semata-mata untuk maksud memajukan kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis.

Berdasarkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Bahwa apabila dibaca dan ditelaah ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995, hak-hak narapidana sebagaimana termaktub di dalam huruf a sampai dengan huruf m termasuk hak atas remisi adalah hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan demikian, berarti, hak-hak tersebut, termasuk remisi, bukanlah hak yang tergolong ke dalam kategori

92

hak asasi manusia (human rights) dan juga bukan tergolong hak konstitusional (constitutional rights). Apabila dikaitkan dengan pembatasan, jangankan terhadap hak hukum (legal rights), bahkan hak yang tergolong hak asasi (human rights) pun dapat dilakukan pembatasan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan diatur dengan undang-undang. Dalam batas penalaran yang wajar, dikaitkan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa norma a quo diskriminatif, Mahkamah telah berulang kali mengemukakan bahwa suatu norma dikatakan mengandung materi muatan yang bersifat diskriminatif apabila norma undang-undang tersebut memuat rumusan yang membedakan perlakuan antara seseorang atau sekelompok orang dengan seseorang atau sekelompok orang lainnya semata-mata didasarkan atas perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya [vide Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia]. Hal demikian sama sekali tidak terkandung dalam rumusan Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut bahwa negara Indonesia hukum

93

ditempatkan dalam kedudukan tertinggi dalam rangka penyelenggaraan negara. Dalam rangka penyelenggaraan negara tersebut, hukum dibentuk kedalam suatu konstitusi, yang dalam hal ini UUD 1945. Menurut J.G. Steenbeek, konstitusi sebagai aturan dasar tertinggi dalam suatu negara minimal memuat tiga hal pokok yaitu : (1) adanya jaminan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan warga negaranya; (2) ditetapkannya susunan kenegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.66

Hak-hak yang diatur dalam konstitusi merupakan batas yang tidak bisa dilanggar oleh penyelenggara negara dalam menjalankan kekuasaan negara, baik sebagai hak warga negara atau hak asasi. Dalam UUD NRI 1945 hak-hak yang secara tegas disebut sebagai hak asasi manusia yaitu sebagaimana termuat dalam Bab XA UUD NRI 1945. Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada harkat dan martabat manusia sejak lahir, seperti hak untuk hidup, hak untuk mendapat kepastian hukum dan keadilan serta seujmlah hak-hak asasi lainnya. Hak asasi tersebut pada hakikatnya dikatakan tidak tergantung pada negara, dan telah ada sebelum negara lahir.67

Telah ditegaskan bahwa karena manusia itu pada dasarnya sama, maka tidak boleh ada perbedaan dalam pemberian jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia tersebut. Bahwa

66 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 59-60.

67https://lama.elsam.or.id/downloads/1322798965_HAK_KONSTITUSIONAL_DALAM_UUD_1945.pdf, diakses pada tanggal 28 Juli 2019, pukul 18.24 WIB.

94

perlindungan Hak Asasi Manusia bukan sekedar asas atau pedoman yang harus dihormati dan dijunjung tinggi, tetapi menjadi tugas yang harus dilaksanakan dan menjadi tujuan yang harus dicapai. Pendirian demikian tentunya bukan main – main karena mengandung konsekuensi dan beban tugas yang cukup berat dalam pelaksanaannya.68 Pembatasan dalam ketentuan Hak Asasi Manusia dapat terjadi dan berhubung dengan keadaan darurat. Hak Asasi Manusia sebagai suatu hak yang hanya dapat efektif apabila hak itu dapat dipertahankan dan dilindungi. Mengingat negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum maka Hak Asasi Manusia harus merupakan bagian dari hukum Indonesia dan selanjutnya harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi Hak Asasi Manusia tersebut.69

Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia,

68 Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, PT Citra Adtya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 19

69 Antonius Sujata, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Cetakan Pertama, Djambatan, Jakarta, 2000, hlm. 30-32.

95

jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya.

Berkaitan dengan hak remisi maka dapat disimpulkan jika pemahaman secara sempit, yang semata-mata hanya menempatkannya dalam konteks narapidana dalam hal ini narapidana korupsi, maka dengan dihapusnya hak remisi bagi narapidana korupsi memang terlihat sebagai sesuatu yang bersinggungan dengan HAM (hak asasi individual). Akan tetapi, apabila dilihat secara lebih luas dalam konteks hak masyarakat secara keseluruhan, maka korupsi itu sendiri pada hakikatnya juga merupakan pelanggaran HAM, yaitu hak seluruh rakyat (hak asasi komunitas).

Oleh karena itu, pemberian hak remisi bagi narapidana korupsi seyogyannya ditempatkan dalam konteks keseimbangan diantara kedua hak tersebut diatas sebagaimana ditegaskan Bertrand de Speville, bahwa kewajiban yang berat terletak pada pembuat kebijakan dan pembuat undang-undang untuk menetapkan keseimbangan yang tepat antara kepentingan individual dan kepentingan komunitas dalam memerangi korupsi seperti halnya bidang-bidang lain, ditunjukkan di dalam semua deklarasi hak asasi manusia. Mungkin Deklarasi Amerika Serikat 1948 mengenai Hak dan Kewajiban Orang adalah menyatakan dengan jelas

96

: “hak asasi seseorang dibatasi oleh hak asasi orang-orang lain, oleh keamanan semua orang, dan oleh kebutuhan yang wajar untuk kesejahteraan umum dan kemajuan demokrasi.70

Konsepsi HAM dalam UUHAM yang mempersandingkan antara HAM dan kewajiban dasar manusia, dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa manusia memiliki akal budi dan nurani yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepadanya. Dengan akal budi dan nurani itu, manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku dan perbuatannya, namun untuk mengimbangi kebebasan itu, manusia dituntut untuk bertanggung jawab atas seluruh akibat dari tindakan yang dilakukannya.

Sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. Hal inilah yang membedakan hukum dengan hak dan kewajiban, walaupun keduanya tidak dapat dipisahkan. Hak dan kewajiban menjadi lebih tegas berlaku pada saat hukum dilibatkan dalam kasus konkret salah satunya tindak pidana korupsi

Menurut Peter R. Baehr, bahwa tidak diragukan lagi bahwa konsep HAM ditafsirkan berbeda-beda menurut latar belakang politik dan budaya masing-masing. Titik berat perbedaan konsep HAM dari dua sudut pandang yang berbeda antara konsep Barat dan non-Barat, terletak pada aspek keberlakuan dan peruntukannya. Di satu sisi, konsep Barat menekankan bahwa perorangan merupakan keutuhan yang mandiri dan tidak dapat

70 Bertrand de Speville, Reversing the Onus of Proof: It is Compatible with Respect for Human Rights Norms, sebagaimana dikutip oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Op. cit., hlm. 144.

97

belah yang memiliki hak asasi yang mengatasi dan mendahulukan masyarakat. Di sisi lain, kalangan non-Barat termasuk negara-negara Asia mendahulukan hak-hak individu. Individu dipandang sebagai bagian integral sebuah kelompok yang besar. Dalam hal ini yang diutamakan yaitu kepentingan masyarakat, bukan kepentingan individu.

Di Indonesia kepentingan masyarakat sudah tertuang dalam Pancasila sebagai dasar negara. Dalam sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, memiliki pengertian bahwa keadilan sosial harus melibatkan seluruh rakyat Indonesia dan harus diterapkan dalam setiap bidang kehidupan, yang berarti bahwa keadilan sosial adalah milik bersama seluruh masyarakat Indonesia, bukan hanya milik satu golongan saja dalam hal ini narapidana korupsi.

Masyarakat merupakan realisasi hak asasi manusia dalam hubungannya dengan orang lain. Keadilan sosial dari Pancasila meliputi dimensi spiritual yang harus hidup dan berkeadilan

Dokumen terkait