• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN. penjelasan mengenai tindak pidana korupsi, konsep pemasyarakatan, dan hak-hak narapidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN. penjelasan mengenai tindak pidana korupsi, konsep pemasyarakatan, dan hak-hak narapidana"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

17

BAB II

PEMBAHASAN

Merupakan pembahasan yang berisikan Tinjauan Pustaka, Hasil Penelitian, dan Analisa. Merupakan uraian mengenai tinjauan umum berkaitan dengan konsep HAM serta diuraikan penjelasan mengenai tindak pidana korupsi, konsep pemasyarakatan, dan hak-hak narapidana khususnya hak remisi, yang akan diteliti lebih jauh lagi dan diuraikan pula soal bagaimana perlindungan hukum dan perlindungan HAM secara universal yang meliputi perlindungan hak asasi masyarakat (hak ekonomi, sosial dan budaya). Hasil penelitian dan analisis melihat dampak korupsi sebagai extra ordinary crime terhadap hak masyarakat (hak ekonomi, sosial dan budaya), serta langkah luar biasa yang seharusnya diambil oleh pemerintah untuk mengkaji kembali hak remisi bagi narapidana korupsi.

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat di dalam diri pribadi individu, dan hak ini merupakan yang paling mendasar bagi setiap individu untuk berdiri dan hidup secara merdeka dalam komunitas masyarakat. Bangunan-bangunan dasar HAM yang melekat di dalam episentrum otoritas individu yang merdeka, merupakan bawaan semenjak lahir, sehingga tidak bisa digugat dengan banalitas pragmatisme kepentingan kekuasaan, ambisi

(2)

18

dan hasrat. Dengan dan atas nama apa pun, bahwa dasar-dasar kemanusiaan yang intim harus dilindungi, dipelihara dan tidak dibiarkan berada sama sekali dalam ruang-ruang sosial yang mengalienasinya.1

John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak- hak ini sifatnya sangat mendasar

(fundamental rights) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang

tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.2

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa :

“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Berbicara mengenai hak asasi manusia maka tidak lepas dari sejarah mengenai perkembangan pemikiran hak asasi manusia tersebut. Perkembangan pemikiran tentang hak asasi manusia telah berlangsung lama dan mengalami evolusi dari yang sangat sederhana yang mewakili zaman awal dan yang sangat kompleks yang mewakili zaman modern. Karel

1 Harifin A. Tumpa, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia, Cetakan Pertama,

Prenada Media Group, Makassar, 2009, hlm. ix.

2 Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional,

(3)

19

Vasak seorang sarjana berkebangsaan Perancis mengemukakan suatu model perkembangan hak asasi manusia sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie yaitu:3

Generasi Pertama, mewakili hak-hak sipil dan politik yakni hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan sosial lainnya. Pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era enlightenment di Eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human Rights.4 Perserikatan

Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan

Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Declaration of Independence,

dan di Perancis dengan Declaration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.

3 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,

Jakarta, hlm. 211.

(4)

20

Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) (selanjutnya disingkat DUHAM) pada 10 Desember 1948 di Kota Paris. DUHAM memuat hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini meliputi :5

i. hak hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi (Pasal 3); ii. larangan perbudakan (Pasal 4);

iii. larangan penganiayaan (Pasal 5);

iv. larangan penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang-wenang (Pasal 9);

v. hak atas pemeriksaan pengadilan yang jujur (Pasal 10); vi. hak atas kebebasan bergerak (Pasal 13);

vii. hak atas harta benda (Pasal 17);

viii. hak atas kebebasan berpikir, menyuarakan hati nurani, dan beragama (Pasal 19);

ix. hak atas kebebasan mengemukakan pendapat dan mencurahkan pikiran (Pasal 19);

x. hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat (Pasal 20) dan; xi. dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan (Pasal 21).

Sebagai sebuah deklarasi, DUHAM baru mengikat secara moral tetapi belum mengikat secara yuridis. Akan tetapi, sekalipun tidak mengikat secara yuridis, namun DUHAM mempunyai pengaruh sosial, politik, dan edukatif yang sangat besar. DUHAM melambangkan komitmen moral dunia internasional pada norma-norma dan hak asasi. Pengaruh moral dan politik ini terbukti dalam keputusan hakim, undang atau undang-undang dasar, apalagi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.6

5 Peter R. Baehr, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,

1998, hlm. 6-7.

(5)

21

Agar dapat mengikat secara yuridis, DUHAM perlu dilengkapi dengan perjanjian internasional semisal konvensi yang lebih memiliki daya ikat secara hukum. Untuk itu, Majelis Umum PBB menugaskan Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human

Rights) salah satu badan di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial untuk menyusun perjanjian

internasioanal yang mengikat (kovenan). Keputusan itu ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 217 (III) yang diterbitkan saat DUHAM diumumkan 10 Desember 1948.

Dalam merancang dua kovenan, Komisi Hak Asasi Manusia memilah pasal-pasal DUHAM, khususnya yang mengatur hak-hak individu (Pasal 1-28) dalam dua bagian. Pasal 1 hingga Pasal 22 diolah menjadi Kovenan Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and

Political Rights, ICCPR) sedangkan Pasal 23 sampai Pasal 28 menjadi Kovenan Ekonomi,

Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights,

ICESCR) yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua.7 Kovenan ICCPR

dan ICESCR kemudian diterima secara bulat dalam Sidang Umum PBB pada 16 Desember 1966. Meski telah ditetapkan, ICCPR dan ICESCR belum langsung berlaku. Sesuai persyaratan, kedua kovenan itu, baru berlaku setelah diratifikasi oleh minimal 35 negara. Kovenan ICESCR mulai berlaku pada 3 Januari 1976 dan ICCPR berlaku pada 23 Maret 1976.

(6)

22

Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga.

Sesuai dengan mekanisme universal konsepsi HAM yang tersebar dalam berbagai instrumen internasional, HAM dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1) Hak sipil (civil rights), terdiri atas :

a. Integrity rights (hak menyangkut keutuhan hidup), meliputi :

i. Rights to life (hak hidup).

ii. No death penalty (tidak boleh ada hukuman mati).

iii. No torture (tidak boleh ada perbudakan).

iv. Freedom of residence (kebebasan untuk memilih tempat tinggal).

v. Freedom of movement (kebebasan untuk bergerak).

vi. Right to leave any country, return (hak untuk hidup di negara mana

saja, serta kembali ke negara asal).

vii. Protection of privacy, honour, and reputation (perlindungan atas

privacy, kehormatan, dan reputasi).

(7)

23

ix. Freedom of thought, concience, and religion (kebebasan berpikir,

memilih agama).

x. Right ot seek asylum from persecution (hak untuk meminta suaka

politik dari rasa ketakutan).

xi. Right to nationality (hak mendapat kewarganegaraan).

xii. Right of family life (hak untuk hidup dengan keluarga).

b. Due process rights (hak untuk proses hukum yang adil), meliputi :

i. No arbitarry arrest, detention or exile (tidak boleh ada

kesewenang-wenangan dalam penangkapan, penahanan atau pengasingan).

ii. Right to fair trial (hak atas pengadilan yang jujur).

iii. Right to effective remedy (hak untuk mendapat pembinaan yang

efektif).

iv. Equality before the courts (semua orang sama kedudukannya di

depan pengadilan).

v. Rights to the accused (hak bagi terdakwa) nulla poena sine lege

(asas legalitas, tidak boleh dihukum seseorang kalau perbuatan yang dilakukan itu belum diatur di dalam perundang-undangan pidana sebagai kejahatan).

2) Hak politik (political rights), terdiri atas :

a. Opinion and expression (hak berpendapat dan mengeluarkan pendapat).

b. Assembly and association (hak berkumpul dan berorganisasi)

c. Take part in government (hak untuk mengambil bagian dalam

pemerintahan).

d. Equal acces to public service (hak yang sama untuk memanfaatkan

pelayanan umum).

e. Elect and be elected (hak dipilih dan memilih).

3) Hak sosial ekonomi (socioeconomic rights), meliputi :

a. Right to work (hak mendapat pekerjaan).

b. Equal pay for equal work (hak mendapat upah yang seimbang dengan

pekerjaan).

c. No forced labour (tidak boleh ada pemaksaan tenaga kerja).

d. Trade union (hak membuat serikat kerja).

e. Organize and col, bargaining (hak untuk melakukan negosiasi).

(8)

24

g. Adequate standard of living (hak mendapat standar hidup seimbang).

h. Right to food (hak mendapatkan makanan).

i. Right to health (hak mendapatkan kesehatan).

j. Right to housing (hak mendapatkan perumahan).

k. Right to education (hak mendapatkan pendidikan).

4) Hak di bidang budaya (cultural rights), meliputi :

a. Take part in cultural life (hak mengambil bagian dalam kehidupan

budaya).

b. To benefit from scientific progress (hak untuk menikmati/memanfaatkan

kemajuan ilmu pengetahuan).

c. Protection of authorship and copyright (perlindungan terhadap kebebasan

mengarang dan hak cipta).

d. Freedom in scientific research and creative activity (kebebasan dalam

meneliti ilmu pengetahuan dan berkreasi).

Kovenan ICCPR dan ICESCR telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Kovenan ICCPR diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, sedangkan Kovenan ICESCR diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia terhadap kovenan tersebut tidak hanya karena desakan dunia internasional, tetapi hal ini terkait dengan amanah para pendiri negara yang dituangkan dalam Sila 2 Pancasila yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Makna yang terkandung dalam Sila 2 Pancasila ialah pengakuan terhadap adanya martabat manusia dan perlakuan yang adil terhadap sesama manusia.8

Nilai-nilai yang terkandung dalam Sila II Pancasila dijabarkan lebih lanjut ke dalam Pasal 27, 28, 29, 31, 32, 33, dan Pasal 34 UUD 1945. Walaupun pasal-pasal ini belum menyebut

8 Darji Darmodihardjo, Santiaji Pancasila:Suatu Tinjauan Filosofis, Historis, dan Yuridis Konstitusional,

(9)

25

HAM secara eksplisit, yang oleh Mahfud M.D. tidak dianggap sebagai HAM tetapi hanyalah hak dan kewajiban warga negara atau HAM yang partikularistik, akan tetapi, diakomodasinya nilai-nilai HAM di dalam UUD 1945 meskipun cakupannya terbatas, merupakan keputusan politik yang tepat dan visioner oleh para perumus konstitusi pada saat itu.9 Pada tataran teoritis dan praktis pun, terbukti bahwa gagasan yang mengakomodasi

HAM dalam konstitusi lebih mendekatkan kepada realisasi demokrasi. Jaminan terhadap HAM memang harus dicantumkan secara eksplisit dan luas cakupannya dalam konstitusi karena dalam praktiknya negara mudah tergelincir menindas warga negaranya.10

Pengaturan HAM secara eksplisit dengan cakupan yang luas terjadi setelah Amandemen Kedua UUD NRI 1945 pada tahun 2000. Dalam Amandemen Kedua UUD NRI 1945, HAM diatur dalam bab tersendiri yakni BAB XA dengan judul Hak Asasi Manusia yang terdiri atas Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Pengaturan ini telah mencakup hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, sehingga secara substansial telah sesuai dengan mekanisme internasional yang diatur dalam DUHAM.

Berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana didefinisikan oleh kalangan para ahli merupakan suatu “pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen – instrumen internasional hak asasi manusia”. Pelanggaran negara terhadap kewajibannya itu dapat dilakukan baik dengan perbuatan sendiri (acts of commission) maupun oleh karena

9 Mahfud M.D., Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 165-166.

10 Jimly Asshiddiqie, dalam Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi, Cetakan Ke-1,

(10)

26

kelalaian sendiri (acts of omission). Dalam rumusan lain, pelanggaran hak asasi manusia adalah “tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum dipidana dalam hukum pidana nasional tetapi merupakan norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Dapat dilihat jelas bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah negara, bukan individu atau badan hukum lainnya. Jadi sebetulnya yang menjadi titik tekan dalam pelanggaran hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara (state responsibility). Konsep tanggung jawab negara dalam hukum internasional biasanya dipahami sebagai “tanggung jawab yang timbul sebagai akibat pelanggaran hukum internasional oleh negara”. Umumnya telah diterima pandangan yang menyatakan bahwa negara tidak hanya memiliki kewajiban menghormati (to respect) hak asasi manusia yang diakui secara internasional, tetapi juga berkewajiban memastikan (to ensure) penerapan hak – hak tersebut di dalam jurisdiksinya. Kewajiban ini sekaligus menyiratkan secara eksplisit, bahwa negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran.11

Atas dasar tersebut maka Badan-badan PBB yang membentuk perjanjian HAM PBB telah mengadopsi tripartie typology kewajiban negara terhadap HAM, yakni negara wajib menghormati (to respect), memenuhi (to fulfil) dan melindungi (to protect) HAM. Ada pun konsep tripartie typology tersebut dapat dikemukakan12 :

1. Respect

11Ibid., hlm. 68-69.

12 Frederic Megret, Nature of Obligation, dalam International Human Rights Law ed. Daniel Moeckli,

(11)

27

States have a negative obligation not to take any measures that result in a violation of a given rights. They should not consciously violate rights, either through their organs (for example, parliament or the executive) or through their agents (such as, civil servants, the police, or the army).

2. Protect

State needs to proactively ensure that persons within its jurisdiction do not suffer from human rights violations at the hands of third parties.

3. Fulfil

States should proactively engage in activities that have as a consequence he greater enjoyment of rights. The obligation to fulfil involves an obliation on states to adopt

apropriate laws that implement their international undertakings.

Konsepsi HAM dalam UUHAM yang mempersandingkan antara HAM dan kewajiban dasar manusia, dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa manusia memiliki akal budi dan nurani yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepadanya. Dengan akal budi dan nurani itu, manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku dan perbuatannya, namun untuk mengimbangi kebebasan itu, manusia dituntut untuk bertanggung jawab atas seluruh akibat dari tindakan yang dilakukannya.

Dalam hubungan dengan hak dan kewajiban, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya di satu pihak sebagai hak sedangkan di pihak lain kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. Hal inilah yang membedakan hukum dengan hak dan kewajiban, walaupun keduanya tidak dapat dipisahkan. Hak dan kewajiban menjadi lebih tegas berlaku pada saat hukum dilibatkan dalam kasus konkret. Hak dan kewajiban, bukanlah kumpulan peraturan atau kaidah, melainkan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak

(12)

28

individual di satu pihak tercermin pada kewajiban pihak lain. Dengan kata lain, hak dan kewajiban merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum.13

Menurut Satjipto Rahardjo, suatu kepentingan merupakan sasaran dari hak, bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, tetapi juga karena adanya pengakuan. Pengakuan ini penting dilihat sebagai ratio logis munculnya sikap bersama bahwa sesuatu hak yang melekat pada pemiliknya dipahami dan disadari dapat menghasilkan keteraturan-keteraturan.14

Dalam hal ini, Robert Audi mengungkapkan bahwa selain ada hak hukum, juga terdapat hak alami. Just as positive law posited by human lawmakers confers legal right, so the natural

law confers natural rights.15 Hak hukum menurut Fadhil Lubis, dapat ditarik kembali atau

dialihkan sesuai dengan ketentuan lawmakers, sedangkan hak alami bersifat melekat dan abadi pada pemiliknya. Hak alami tidak dapat ditangguhkan, baik oleh raja ataupun negara.16

Meskipun ada perbedaan antara hak hukum dan hak lainnya, tidak berati hak jauh dari konsepsi umum yang menegaskan sebagai sesuatu yang eksis dalam masyarakat. Dalam hal ini, George Whitecross Paton menyatakan :

“But to draw a distinction between legal rights and other rights is not to suggest that the law is unreceptive to the general conception of rights which exist in a community, for the ethical

13 Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Peradilan, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm. 41.

14 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Ke-2, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986, hlm. 94.

15 Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge University Press, Cambridge, 1995,

hlm. 86.

(13)

29

or one and positive morality of a given community naturally influence the law in it’s

dtermination of the conduct which it will protect and of the actions which it will prohibit.”17

Menurut George Whitecross Paton, perbedaan antara hak hukum dan hak-hak lainnya dipandang sebagai realitas adanya implikasi baru yang memberikan pengaruh yang bersifat alami terhadap hukum. Korelasi antara keduanya akan semakin menjadikan hak lebih tegas, baik untuk melindungi atau melarang seseorang untuk melakukan sesuatu.

Adapun mengenai relasi hak dan kewajiban (right-duty), George Whitecross Paton, menyatakan bahwa antara keduanya terdapat relasi hukum, yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.

Menurut George Whitecross Paton, ada empat unsur mutlak terpenuhi pada setiap hak hukum, yaitu :

(1) the holder of the rights;

(2) the act of forbearance to which the right relates;

(3) the res concerned (the object of the right);

(4) the person bound by the duty. Every rights, thefore, is a relationship between two

or more legal persons and only legal persons can be found by duties or be the holders of legal rights. Right and duties are corelatives, that is we can not have a

right without corresponding duty or a duty without a corresponding right.18

Menurut Schelten, antara mensenrechten (hak asasi manusia) dan grondrechten (hak dasar manusia) memiliki perbedaan. Hak dasar merupakan hak yang diperoleh seseorang karena menjadi warga negara suatu negara. Dasar dari hak dasar berasal dari negara, bersifat

17 George Whitecross Paton, A Tax Book of Jurisprudence, Stanford University Press, Stanford, 1951, hlm.

218.

(14)

30

domestik dan tidak bersifat universal, sedangkan hak asasi ialah hak yang diperoleh seseorang karena dia manusia dan bersifat universal.19

Pendapat tersebut senada dengan Meuwissen, yang menyatakan bahwa hak-hak dasar dan hak-hak manusia berbeda. Hak-hak manusia memiliki pengertian yang sangat luas baik yang bersangkut paut dengan berlakunya maupun mengenai konotasinya. Hak-hak manusia menunjuk pada hak yang memperoleh pengakuan secara internasional. Sebaliknya, hak-hak dasar mempunyai kaitan erat dengan negara bangsa, hak-hak-hak-hak yang diakui oleh dan melalui hukum nasional (domestik). Konotasi hak-hak manusia menyangkut atau berkaitan dengan asas-asas ideal dan politik, karena belum menjadi bagian dari hukum positif. Adapun hak-hak dasar tegas-tegas merupakan bagian atau suku cadang hukum positif (ius

Constitutum) bahkan menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar. Hak-hak manusia

mencerminkan daya dinamika, hak-hak dasar lebih bercorak statis.20

Sedangkan menurut Leah Levin, konsep HAM mempunyai dua pengertian dasar, yaitu : pertama, hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia, karena ia seorang manusia. Konsep yang kedua, hak menurut hukum yang dibuat sesuai proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun internasional.

19 Aswanto, Hak Asasi Manusia (Konsepsi Filosofis, Historis, dan Yuridis), Makassar, 2005, hlm. 5.

20 Aswanto, Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP dan Peranan Bantuan Hukum

Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia dalam Proses Peradilan di Indonesia, Desertasi, Surabaya, 1999, hlm. 5.

(15)

31

Dasar dari hak-hak ini ialah persetujuan para warga yang tunduk kepada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan arti pertama.21

Sebagai hak hukum, HAM memiliki tiga unsur sebagaimana dikemukakan oleh H.A. Masyhur Effendi bahwa walaupun HAM begitu kompleks, pendekatan kontekstual dan integral menempatkan menempatkan HAM satu paket yang berisi tiga elemen. Elemen awal dan pertama dari dua elemen lain berupa hak (wewenang/right) tidak memiliki nilai lebih dibandingkan dengan dua elemen yang lain dalam makna hak asasi itu. Dua elemen lain HAM yang mempunyai nilai sama yaitu elemen kewajiban (beban/duty) dan elemen tanggungjawab (kesadarannya/responsibility) sehingga seorang yang memiliki hak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab pula.22

2. Perlindungan Hukum

Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut

21 Leah Levin, Human Rights Question and Answer, UNESCO, 1981, hlm. 3.

(16)

32

aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.23

Fitzgerald menjelaskan teori pelindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.24

Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan

23 Satjipto Raharjo, Op. cit., hlm.53.

(17)

33

fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.25

Menurut Phillipus M. Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.26

Perlindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi. Sebelum mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik pula untuk mengurai sedikit mengenai pengertian- pengertian yang dapat timbul dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu.27

Perlindungan hukum dalam hal ini sesuai dengan teori interprestasi hukum sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa interpretasi atau penafsiran merupakan

25Ibid, hlm.55.

26 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987.

hlm.29.

(18)

34

salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna Undang- Undang. Pembenarannya terletak pada kegunaan untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri.28

Penafsiran sebagai salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding), berangkat dari pemikiran, bahwa pekerjaan kehakiman memiliki karakter logikal. Interpretasi atau penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.29

Perlindungan hukum dalam konteks Hukum Administrasi Negara merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara

28Ibid., hlm.39.

(19)

35

tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum. Perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni:30

a. Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif; dan

b. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa.

Secara konseptual, perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Perlindungan hukum hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum, salah satunya adalah perlindungan hukum terhadap hak masyarakat sehubungan dengan hak remisi bagi narapidana korupsi.

3. Korupsi

Dilihat dari sudut terminologi, istilah korupsi bersal dari kata “corruptio” dalam bahasa Latin yang berarti kerusakan atau kebobrokan, dan dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaan atau perbuatan yang busuk. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini mewarnai perbendaharaan kata dalam bahasa berbagai negara, termasuk bahasa Indonesia. Istilah

(20)

36

korupsi sering dikaitkan dengan ketidakjujuran atau kecurangan seseorang dalam bidang keuangan. Dengan demikian, melakukan korupsi berarti melakukan kecurangan atau penyimpangan menyangkut keuangan.31

Menurut Ermansyah Djaja definisi korupsi yaitu:32 “Tindak pidana korupsi adalah kegiatan

yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok dimana kegiatan tersebut melanggar hukum karena telah merugikan bangsa dan negara.”

Andi Hamzah, dalam kamus hukumnya mendefinisikan korupsi sebagai suatu perbuatan buruk, busuk, bejat, suka disuap, perbuatan yang menghina atau memfitnah, menyimpang dari kesucian dan tidak bermoral.33 Sedangkan menurut J.C.T Simorangkir dalam kamus

hukumnya memberikan pengertian bahwa korup berarti busuk, palsu, suap, buruk, rusak, suka menerima uang sogok, menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara, menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Korupsi juga berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau mengguanakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah.34

31 Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. Cetakan Kedua, RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2012. hlm. 3.

32 Ermansyah Djaja, Memeberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 23.

33 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm.339.

(21)

37

Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Henry Campbell Black,35 yang mengartikan

korupsi sebagai :

“an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the

rights of others”. (Terjemahan bebas : “suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud

untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak

dari pihak lain”). Termasuk pula dalam pengertian “corruption” menurut Black adalah,

perbuatan seorang pejabat yang secara melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatu keuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya.

Penelusuran terhadap makna korupsi dengan mengungkapkan ciri-ciri korupsi itu sendiri seperti yang ditulis Syed Hussein Alatas dapat membantu kita untuk memahami makna konseptual dari korupsi. Syed Hussein Alatas mengungkapkan beberapa ciri dari korupsi, yaitu :

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah begitu merajalela, dan begitu mendalam berurat berakar, sehingga indvidu-individu yang berkuasa, atau mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka;

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan hubungan timbal balik;

d. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum;

e. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan yang tegas, dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu;

f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;

g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan;

35 Henry Campbell Black, Blacks’s Law Dictionary With Pronounciations, West Publishing Co., St. Paul,

(22)

38

h. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu; dan

i. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.36

Menurut perspektif hukum di Indonesia, definisi korupsi secara gamblang dijelaskan dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalamnya dijelaskan bahwa korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum. Ada 13 pasal dalam UU tersebut yang menjelaskan bentuk-bentuk pidana korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, ada 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi yangdapat dikenakan sanksi hukum. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Suap-menyuap, (2) Penggelapan dalam jabatan, (3) Pemerasan, (4) Perbuatan curang, (5) Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan (6) Gratifikasi.37

Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah: “Setiap orang yang secara sengaja melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

36 Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi : Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta;

LP3S, 1983, hlm. 12-14.

37 M. SyamsaArdisasmita, Definisi Korupsi Menurut Perspektif Hukum dan E-Announcement untuk Tata

Kelola Pemerintahan yang Lebih Terbuka, Transparan dan Akuntabel Deputi Bidang Informasi dan Data KPK, Jakarta, 2006, hlm, 4.

(23)

39

negara.” Perbuatan korupsi yaitu suatu perbuatan memperkaya diri sendiri atau suatu kelompok yang merugikan keungan negara.

Selanjutnya definisi korupsi diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Mengacu kepada berbagai pengertian dari korupsi yang telah dikemukakan di atas, untuk menemukan unsur-unsur yang ada dalam tindakan korupsi, khususnya di Indonesia, perlu mencermati dan meneliti korupsi dari tinjauan yuridis, yaitu dari rumusan-rumusan pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang selanjutnya disebut UU PTPK). Dapat diketahui bahwa unsur-unsur korupsi sangat banyak dan beragam tergantung pada rumusan pasal demi pasal, mulai pasal 2 sampai dengan pasal 13 UU PTPK. Berikut beberapa unsur-unsur korupsi yang dapat ditarik dari rumusan pasal-pasal 2 sampai dengan 13 UU PTPK tersebut, di antaranya:

1. Memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, dan memperkaya korporasi. Memperkaya artinya menjadikan lebih kaya, yaitu suatu perbuatan yang menjadikan bertambahnya kekayaan. Menurut Andi Hamzah, menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya bertambah kaya;

2. Penyalahgunaan kewenangan, penyalahgunaan kesempatan dan penyalahgunaan sarana. Pada umumnya, kesempatan ini diperoleh atau didapat sebagai akibat adanya

(24)

40

kekosongan atau kelemahan dari ketentuanketentuan tentang tata kerja tersebut atau kesengajaan menafsirkan secara salah terhadap ketentuan-ketentuan tersebut; 3. Penyuapan, yaitu perbuatan dengan memberi dan menjanjikan sesuatu kepada

pegawai negeri atau penyelenggara negara supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya;

4. Penggelapan, yaitu menguasai secara melawan hukum suatu benda yang seluruh atau sebagiannya adalah kepunyaan orang lain, yang ada padanya bukan karena kejahatan; 5. Gratifikasi, yaitu adanya pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pemberian tersebut berhubungan dengan jabatan dari pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian tersebut; dan

6. Pungutan di luar kewajiban, yaitu memberikan pekerjaan atau menyerahkan barang kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang padahal diketahui bahwa kewajiban tersebut sebenarnya tidak ada.

Korupsi terdiri dari tujuh jenis menurut buku yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu sebagai berikut:38

1. Kerugian negara; 2. Suap menyuap;

3. Penggelapan dalam jabatan; 4. Pemerasan;

5. Perbuatan curang;

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan; dan 7. Gratifikasi.

Dasar hukum atau perundang-undangan yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu:

38 Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta,

(25)

41

1. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

2. UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN;

3. UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 4. UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

5. Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN;

6. UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;

7. UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK);

8. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;

9. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan

10.Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.

4. Pemasyarakatan dan Hak Narapidana 4.1.Pemasyarakatan

Salah satu aspek pembangunan nasional yang erat kaitannya dengan pembangunan manusia seutuhnya adalah pembangunan di bidang hukum, terutama hukum pidana. Pembangunan hukum pidana di Indonesia diwujudkan melalui penegakan hukum pidana yang bekerja secara operasional melalui suatu sistem yang disebut Sistem Peradilan Pidana

(26)

42

Sebagai suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau sub sistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integral agar dapat mencapai efisiensi dan efetivitas yang maksimal. Subsistem-subsistem ini berupa Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga koreksi. Inilah yang dinamakan struktur hukum (legal structure).

Sebelum memaparkan tinjauan umum mengenai konsep pemasyarakatan penulis akan memaparkan teori tentang tujuan pemidanaan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif berkaitan dengan pemasyarakatan. Di dalam literatur ilmu pengetahuan hukum pidana, lazimnya dikenal 3 (tiga) teori tentang tujuan pemidanaan (strafrechtstheorieen), yaitu teori pembalasan (absolute theorieen/vergelding theorieen), teori tujuan (relatieve

theorieen/doeltheorieen), dan teori gabungan (verenigingstheorieen).39 Menurut teori

pembalasan, tujuan dari pemidanaan adalah untuk pembalasan, dan dikenal pada akhir abad ke-18. Teori pembalasan ini ada yang bercorak subyektif, yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela, dan ada yang bercorak obyektif, yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.

Di sisi lain, teori tujuan/prevensi berpendapat bahwa tujuan dari pemidanaan terletak pada tujuan pidana itu sendiri, yaitu untuk mempertahankan ketertiban masyarakat. Prevensi

(27)

43

itu ada yang: (1) bersifat umum yaitu pencegahan ditujukan kepada khalayak ramai/kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat; (2) ada yang bersifat khusus, yaitu mencegah si penjahat untuk mengulangi lagi kejahatannya; (3) ada yang memperbaiki si pembuat kejahatan, agar menjadi manusia yang baik dengan

reclassering, bahwa menjalani pidana harus disertai pendidikan; dan (4) ada yang

menyingkirkan penjahat, yang ditujukan terhadap penjahat tertentu yang tidak dapat diperbaiki lagi, dan dilakukan dengan pidana seumur hidup atau pidana mati.

Sedangkan menurut teori gabungan, pemidanaan didasarkan atas tujuan unsur-unsur pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain, maupun pada semua unsur yang ada. Ketiga teori di atas dapat dipadatkan menjadi dua golongan, yaitu teori pembalasan dan teori kemanfaatan.40

Teori pembalasan lebih mengutamakan kepentingan si korban atau pihak yang dirugikan, yang lebih mementingkan naluri dan nafsu untuk menghukum daripada kepentingan yang lain. Karena si korban telah mengalami perbuatan yang melanggar hukum dari pelaku (si narapidana), maka sebagai akibatnya si narapidana harus menerima hukuman sebagai wujud pembalasan atas perbuatannya yang sudah merugikan si korban. Teori pembalasan ini dipraktikkan di dalam sistem kepenjaraan. Si pembuat kejahatan dengan mutlak menerima

40 Bambang Poerrnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty,

(28)

44

hukuman sebagai risiko, kurang memperhatikan harapan masa depan (manfaat) diadakannya hukuman. Sebaliknya, teori kemanfaatan mempunyai perhatian kepada perlindungan kepentingan umum, supaya tidak mengulangi kejahatan, dan kepentingan perorangan yang menjadi korban, serta perbaikan keadaan pribadi si pembuat kejahatan. Orientasi teori kemanfaatan adalah manfaat hukuman yang dijatuhkan atau dijalankan. Kepentingan si korban, yang telah menderita akibat perbuatan si pembuat kejahatan diperhatikan melalui penjatuhan pidana penjara, berupa pencabutan (hilangnya) kebebasannya untuk jangka waktu tertentu. Kepentingan si pembuat kejahatan juga diperhatikan melalui pembinaan guna menumbuhkan kesadaran bagi dirinya bahwa perbuatannya yang telah menimbulkan kerugian atau keresahan bagi orang lain atau masyarakat merupakan suatu perbuatan yang tidak baik dan sesat.

Lembaga Pemasyarakatan (LP) mempunyai peran yang sangat besar dan strategis di dalam penegakan hukum pidana, yang semua itu dapat terwujud dalam pelaksanaan pembinaan bagi narapidana dan anak didik pemayarakatan. Pelaksanaan pembinaan inilah yang dikenal dengan pemasyarakatan. Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata cara peradilan pidana, yang dikenal sebagai bagian integrasi dari tata peradilan terpadu (Integrated Criminal Justice System). Dengan demikian, pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan dan petugas pemasyarakatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakan hukum.

(29)

45

Lembaga pemasyarakatan (lapas) dalam sistem peradilan pidana berfungsi untuk memperbaiki terpidana (the function of correction) agar terpidana kembali menjalani kehidupan normal dan produktif (return to a normal and productive life) di tengah-tengah masyarakat setelah menjalani masa hukumannya. Menurut Sahardjo lapas tidak saja sebagai tempat untuk memidanakan orang, melainkan juga sebagai tempat membina atau mendidik terpidana agar setelah selesai menjalankan pidana, mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar lapas sebagai warga negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku.41

Gagasan tersebut sejalan dengan penjelasan umum UU Pemasyarakatan yang menjelaskan bahwa sistem pemasyarakatan merupakan satu rangkaian ke satuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya, tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kehilafan yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai.42

41 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Cetakan Ke-1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 181.

(30)

46

Dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 1 ayat 2 menegaskan bahwa :

“ Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari keasalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab “.

Sistem pemasyarakatan di Indonesia sebenarnya adalah pengganti dari sistem kepenjaraan yang merupakan warisan kolonial. Istilah pemasyarakatan ini pertama kali dicetuskan oleh Sahardjo dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum oleh Universitas Indonesia di Istana Negara Jakarta pada tanggal 5 Juli 1963 dengan judul Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pantjasila-Manipol/Usdek, dimana selain mengemukakan konsepsi tentang hukum nasional, juga mengemukakan tentang tujuan pidana penjara yaitu disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, pidana bertujuan untuk membimbing terpidana agar bertobat, memberikan pendidikan supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis yang berguna. Dengan kata lain tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan.43

Perubahan nama mengakibatkan berubah pula tujuan dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Dalam sistem pemasyarakatan tujuannya bukan lagi untuk penjara,

43 R.Achmad S. Soemadi Praja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Percetakan

(31)

47

melainkan dimaksudkan untuk pembinaan. Pembinaan dilakukan sebagai persiapan untuk hidup kembali di tengah masyarakat secara wajar dan bertanggung jawab. Tujuan pidana penjara tersebut untuk menimbulkan derita pada narapidana dengan menghilangkan kemerdekaannya, juga untuk membimbing narapidana agar bertobat dan mendidik narapidana menjadi anggota masyarakat yang berguna.44

Pelaksanaan sistem pemasyarakatan walaupun masih mengenal klasifikasi narapidana, tetapi klasifikasi tersebut dibatasi dengan bentuk tahapan pembinaan yang disebut proses pemasyarakatan. Dasar pemikiran pembinaan itu sendiri berpatokan pada “10 prinsip pemasyarakatan”, yaitu :45

1. Ayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai warga masyarakat yang baik;

2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari latar belakang pembalasan; 3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat;

4. Negara tidak berhak membuat mereka lebih buruk atau lebih jahat daripada dijatuhi pidana;

5. Selama kehilangan dibatasi kemerdekaan bergeraknya para narapidana dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat;

6. Pekerjaan yang diberikan narapidana dan anak didik tidak boleh sekedar mengisi waktu; 7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik adalah berdasarkan Pancasila;

44 A. Widiada Gunakaya, Sejarah Dan Konsepsi Pemasyarakatan, Amrico, Bandung, hlm. 55.

45 Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Indonesia, Cetakan Pertama,

(32)

48

8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit, perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukan adalah merusak dirinya, keluarganya, dan lingkungannya kemudian dibina dan dibimbing ke jalan benar;

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu; dan

10. Untuk pembinaan dan bimbingan narapidana dan anak didik, maka disediakan sara yang diperlukan.

Sedangkan untuk sistem pembinaan narapidana dewasa dilaksanakan melalui empat tahap, yaitu:46

1. Tahap penelitian, untuk mengetahui segala hal mengenai diri napi, termasuk mengapa ia melakukan pelanggaran, dan dapat diperoleh dari keluarganya, bekas majikan atau atasan, teman sekerja, korban, atau petugas lain yang pernah menangani perkaranya;

2. Proses pembinaan, apabila telah menjalani 1/3 (sepertiga) dari pidananya dan menurut pembina pemasyarakatan sudah mencapai kemajuan, antara lain menyangkut keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib di lembaga pemasyarakatan, maka diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan pada lembaga pemasyarakatan dengan medium-security;

3. Jika proses pembinaan napi telah dijalani ½ (setengah) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut dewan pembina pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan, baik secara fisik, mental dan keterampilan, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan asimilasi dengan masyarakat luar, seperti beribadat, berolah raga, mengikuti pendidikan di sekolah umum, bekerja di luar, namun masih di bawah pengawasan dan bimbingan petugas lembaga pemasyarakatan; dan

4. Jika proses pembinaan telah dijalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidana yang sebenarnya dan sekurangkurangnya 9 (sembilan) bulan, maka kepada narapidana dapat diberikan lepas bersyarat, yang pengusulannya ditetapkan oleh dewan pembina pemasyarakatan.

(33)

49

Berdasarkan tahapan di atas nampak bahwa sistem pembinaan narapidana melalui sistem pemasyarakatan lebih menekankan pada tujuan dari pemidanaan itu sendiri, dengan teori tujuan (teori kemanfaatan) sebagai landasan pijaknya dimana satu-satunya penderitaan yang dialami narapidana adalah hilangnya kebebasan.

Konsepsi Pemasyarakatan bukanlah semata-mata merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan suatau sistem pembinaan, metodologi dalam bidang “treatment of

offenders” yang multilateral oriented dengan pendekatan yang berpusat kepada

potensi-potensi yang ada, baik itu ada pada individu yang bersangkutan, maupun yang ada ditengah-tengah masyarakat sebagai suatu keseluruhan (community base treatment). Dengan demikian antara sistem Pemasyarakatan dengan Sistem Kepenjaraan secara konsepsional berbeda sama sekali, dalam Sistem Kepenjaraan yang diterapkan adalah sistem yang berdasarkan rehabilitasi dengan fokus perlakuannya hampir secara exclucive dipusatkan kepada invidu yang bersangkutan, karena dalam sistem kepenjaraan yang lebih ditonjolkan adalah tujuan dari perlakuan itu sendiri yakni penjeraan (deterence atau afschrikking).47

Berdasarkan asas-asas sistem pemasyarakatan yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tampak bahwa sistem pemasyarakatan memandang warga binaan pemasyarakatan bukan hanya sebagai objek melainkan subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dikenakan sanksi pidana,

(34)

50

sehingga mereka sebenarnya tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor penyebab yang dapat menyebabkan narapidana tersebut melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, kesusialaan, agama atau kewajiban lain yang dapat dikenakan pidana. Dengan kata lain, strategi yang harus ditangani adalah masalah atau kondisi yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan atau membunuh suburnya kejahatan.48

Di dalam Sistem Pemasyarakatan terdapat beberapa istilah yang perlu diperhatikan yaitu :

1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyrakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana;

2. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyrakatan;

3. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksankan bimbingan Klien Pemasyarakatan;

4. Warga Binaan Pemasyarakatan adalah narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan;

5. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

6. Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan;

7. Anak Didik Pemasyarakatan adalah :

(35)

51

a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; dan

c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

8. Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS.

Tujuan diselenggarakannya Sistem Pemayarakatan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya menyadari kesalahan memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab (Pasal 2 UU No. 12/1995).

Sedangkan yang dimaksud dengan “agar menjadi manusia seutuhnya” adalah upaya untuk memulihkan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kepada fitrahnya dalam hubungan manusia dengan Tuhannya manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya (Penjelasan Pasal 2 UU No. 12/1995).

Fungsi Sistem Pemasyarakatan menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 12/1995). Yang

(36)

52

dimaksud dengan “berintegrasi secara sehat” adalah pemulihan kesatuan hubungan Warga Binaan Peemasyarakatan dengan masyarakat.49

4.2. Hak Narapidana

Berdasarkan prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang yang berada di bawah bentuk apapun atau pemenjaraan (Body of principales of the protection of All person under any form

of detection or imprisonment) yang dikeluarkan oleh majelis umum PBB pada tanggal 9

Desember 1988 dengan resolusi 43/173, tidak boleh ada pembatasan dan pelanggaran terhadap setiap hak – hak asasi dari orang-orang yang berada di bawah penahanan, penagkapan, atau pemenjaraan harus diperlakukan dengan cara yang layak dan menghormati harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia.

Instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak narapidana yaitu :

1) Deklarasi mengenai Perlindungan atas Semua Orang dari Penyiksaan atau Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan (Declaration on Protection of All Person from Being Subjected to Torture and Other Cruel,

Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).

Deklarasi ini menekankan perlindungan terhadap perbuatan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, maupun hukuman yang merendahkan martabat manusia harus diberikan kepada semua orang, tidak dibatasi oleh status sipil (agama, suku

49 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006,

(37)

53

bangsa, jenis kelamin), status sosial ekonomi (gelar, pangkat, kekayaan), status hukum (tahanan, narapidana).

2) Peraturan-Peraturan Standar Minimum Bagi Perlakuan Terhadap Narapidana

(Standart Minimum Rules For the Treatment of Prisoners).

Peraturan ini telah disepakati oleh Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa Pertama mengenai Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelanggar. Diselenggarakan di Jenewa pada tahun 1995, dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dengan Resolusi 663 C (XXIV) tanggal 31 Juli 1957 dan Resolusi 2076 (LXII) tanggal 1Mei 1997. Peraturan ini merupakan cerminan suatu reaksi penologis terhadap keadaan Lapas yang merugikan dan cara-cara pembinaan yang tidak efektif. Peraturan ini memberikan jaminan pada cita-cita yang mengarah pada tercapainya sasaran pembinaan narapidana melalui perlakuan dalam lembaga yang lebih berperikemausiaan dan beradab.

Tidak semua aturan internasional khususnya yang berhubungan dengan perlakuan terhadap narapidana dapat diterapkan di negara lain, dikarenakan beragamnya sistem hukum, sosial budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Demikian juga halnya dengan peraturan ini, dengan adanya peraturan ini yaitu Standart Minimum Rules For the Treatment of Prisoners, tidaklah otomatis diadopsi dan menjadi pedoman sepenuhnya bagi sikap maupun perlakuan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Terdapat 95 (Sembilan Puluh Lima) poin dalam aturan ini yang mengatur tentang perlakuan terhadap narapidana, seperti : akomodasi, makanan, pakaian, kebersihan pribadi, latihan dan olah raga, pelayanan kesehatan, disiplin dan hukuman, informasi kepada narapidana dan keluhan oleh narapidana, hubungan dengan dunia luar, buku, agama, penyimpanan harta kekayaan narapidana, pemberitahuan mengenai kematian, sakit, pemindahan dan sebagainya, personal lembaga, hak-hak istimewa, pekerjaan, pendidikan dan rekreasi, hubungan sosial dan perawatan sesudahnya, narapidana mengidap kelainan jiwa.50

50 Standard Minimum Rules on Treatment of Prisoners, diadopsi oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa

(38)

54

3) Kumpulan Prinsip-Prinsip Utama Untuk Perlindungan Semua Orang dari Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan (Body Of Principles For The Protection Of All

Persons Under Any Form Of Detention Or Imprisonment).

Prinsip-prinsip tersebut secara tegas mengakui hak-hak asasi dari narapidana maupun tahanan. Bahkan, hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi maupun dikurangi hanya karena tidak ada pengaturannya dalam kumpulan prinsip ini. Hal tersebut harus dilihat secara utuh pada seluruh dokumen internasional yang berhubungan dengan perlakuan maupun pembinaan terhadap narapidana. Secara implisit prinsip-prinsip ini juga mengharuskan setiap Negara untuk mengatur hak-hak narapidana dalam undang-undang Negara. Terdapat 39 (Tiga Puluh Sembilan) butir prinsip mengenai perlindungan bagi orang yang ditahan atau dipenjara dalam kumpulan ini. Beberapa prinsip dalam kumpulan ini mengatur hak-hak narapidana, yaitu:

a. Prinsip 6 yang menyatakan : “ Tidak seorang pun yang berada di bawah bentuk penahanan atau pemenjaraan apapun dapat dijadikan sasaran penganiayaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Tidak satupun keadaan dapat dijadikan sandaran sebagai pembenaran untuk penganiayaan atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.”

b. Prinsip 16 ayat 1 “Segera setelah penangkapan dan setelah pemindahan dari suatu tempat penahanan atau pemenjaraan ke tempat lain, orang yang ditahan atau dipenjarakan berhak memberitahu atau meminta aparat yang kompeten untuk memberitahu anggota keluarganya, atau orang-orang lain yang tepat yang dia pilih sendiri, tentang penangkapan, penahanan atau pemenjaraannya atau tentang pemindahannya dari satu tempat ke tempat lain dan tempat ia ditahan”.

tahun 1955, dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial melalui Resolusi 663 C (XXIV) tertanggal 31 Juli 1957 dan Resolusi 2076 (LXII) tertanggal 13 Mei 1977.

(39)

55

c. Prinsip 18 ayat 1 “Orang yang ditahan atau dipenjarakan berhak untuk berkomunikasi dan berkonsultasi dengan pembela hukumnya”.

d. Prinsip 19 “Orang yang ditahan atau dipenjarakan harus mendapatkan hak untuk dikunjungi oleh dan berkorespondensi dengan, terutama, anggota keluarganya dan harus diberi kesempatan yang memadai untuk berkomunikasi dengan dunia luar, sesuai dengan kondisi dan pembatasanpembatasan yang masuk akal, seperti dinyatakan dalam undang-undang atau aturan-aturan berdasar hukum”.

e. Prinsip 24 “Pemeriksaan medis yang layak harus ditawarkan kepada orang yang ditahan atau dipenjarakan sesegera mungkin setelah ia diterima di tempat penahanan atau pemenjaraan, dan setelah itu pelayanan kesehatan dan perawatan harus diberikan jika diperlukan. Pelayanan dan perawatan ini harus disediakan tanpa biaya”.

f. Prinsip 28 “ Seseorang yang ditahan atau dipenjara berhak memperoleh dalam batas-batas sumber yang tersedia, kalaupun dari sumber-sumber umum, sejumlah bahan pendidikan, budaya dan informasi yang layak, dengan tunduk pada syarat-syarat yang pantas untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum di tempat penahanan atau pemenjaraan “.

g. Prinsip 33 ayat 1 “Orang yang ditahan atau dipenjarakan atau pembela hukumnya harus mendapatkan hak untuk menuntut atau mengajukan keluhan atas perlakuan terhadapnya, terutama dalam kasus penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat lainnya, kepada aparat yang bertanggungjawab atas pengelolaan tempat penahanan atau kepada pejabat yang lebih tinggi dan, jika perlu, ke pejabat yang diberi wewenang untuk memeriksa ulang atau memulihkan keadaan”.

4) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On

(40)

56

Kovenan ini terdiri dari 6 bagian dan 53 pasal Pada pasal tersebut juga terdapat pasal-pasal yang melindungi hak-hak orang yang sedang dirampas kemerdekaannya oleh putusan Pengadilan, yaitu : Pasal 6 ayat 4 ; “setiap orang yang dijatuhi hukuman mati harus mempunyai hak untuk memohon pengampunan, atau pengurangan hukuman, amnesti. Pengampunan atau pengurangan hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus”. Pasal 6 ayat 5 : “Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan di bawah usia delapan belas tahun, dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan hamil”. Pasal 10 ayat 1: “Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada setiap manusia” Pasal 10 ayat 4 : Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka.

5) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International

Covenant on Economic, Social, and Culture Rights)

Kovenan ini terdiri dari 5 bagian dan 31 pasal, di mana di antara pasal-pasal tersebut terdapat pasal yang dapat digunakan untuk melindungi hak-hak orang yang sedang dirampas kemerdekaannya oleh putusan Pengadilan, yaitu : Pasal 12 ayat 1 yang berbunyi, “Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental”, dan Pasal 13 ayat 1 yang berbunyi “Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan.”

6) Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention against

Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)

Konvensi ini diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan akses oleh Resolusi Majelis Umum 39/46 pada tanggal 10 Desember 1984. Konvensi ini juga mengatur perlindungan narapidana selama keberadaannya di Lapas dari segala bentuk perlakukan yang kejam, tidak manusiawi, maupun merendahkan martabat manusia. Konvensi ini terdiri dari

(41)

57

3 bab 33 pasal. Pasal-pasal yang secara khusus berhubungan dengan hak-hak narapidana adalah Pasal 10 ayat 1 : Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa pendidikan dan informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan seluruhnya dimasukkan dalam pelatihan bagi para aparat penegak hukum, Sipil atau Militer, aparat kesehatan, pejabat publik, dan orang-orang lain yang ada kaitannya dengan penahanan, dan interogasi, atau perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara. Pasal 11 : Setiap Negara Pihak harus senantiasa mengawasi secara sistematik peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan untuk melakukan penahanan serta perlakuan terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dalam setiap wilayah kewenangan hukumnya, dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan. Instrumen hukum nasional mengenai hak-hak narapidana tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mangatur sedemikian rupa apa yang menjadi hak dari seorang narapidana, dimana hal tersebut diatur di dalam Pasal 14 yang meliputi :51

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan; 2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; 3. Mendapat pendidikan dan pengajaran;

4. Mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; 5. Menyampaikan keluhan;

6. Mendapat bahan bacaan dan mengikuti sistem media massa lainnya yang tidak dilarang; 7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

8. Menerima kunujungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;

Gambar

Tabel 1.1 Hubungan Korupsi dan Perkonomian Indonesia 60

Referensi

Dokumen terkait

Materi pada kegiatan praktik pengalaman lapangan 2 yang terdiri dari pengajaran terbimbing dan mandiri adalah kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, yaitu

Sehingga dari nama yang unik ini dipandang akan mampu menjadi daya tarik tersendiri untuk menarik orang utuk sekedar penasaran akan apasih makanan ini dan tentunya dengan

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini digunakan untuk mengamati hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis peserta

Penelitian ini secara khusus dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh suhu reaksi dan kadar katalis CaO yang digunakan dalam proses transesterifikasi dan

Dari pengamatan terhadap kinerja mesin yang telah dirancang, kerja mesin dalam melakukan proses produksi lebih optimal karena mesin tersebut dapat mengurangi kelelahan pekerja,

adalah sifat, perbuatan, perlakuan yang berat sebelah atau sesuatu yang memihak pada jenis kelamin tertentu dan hal ini dapat meyebabkan kesenjangan sosial

Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengembangkan usaha perkebunan sawit rakyat dengan mengupayakan adanya keberpihakan perusahaan kepada masyarakat yang pada