• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ”Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): Perkembangan Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan Pemecahan Dormansi Pupa”, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Teguh Larasati Andriani

ABSTRACT

TEGUH LARASATI ANDRIANI. Cricula trifenestrata (Lepidoptera:

Saturniidae): Embryonic Development, Postponement of Egg Hatching, and Breaking of Pupal Dormancy. Under direction of DEDY DURYADI S and DAMIANA RITA E.

Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae) is a pledge silkworm because of its golden cocoon. The research aimed to know the embryonic development of C. trifenestrata and its bearing with the postponement of egg hatching and the influence of light intensity and pupal condition on pupal dormancy. The wet mount of each egg stadia (1-8 days) was made by soaking the egg in 5 M NaOH for 3 days. The postponement of egg hatching was done by preserve each stadia of egg for 3, 7, 14, 21, and 28 days in regrigerator (8 0C). Breaking of pupal dormancy was done by place unaked and naked pupae into incubator with 8, 18 and 23 watt lamps. Complete embryonic development of C. trifenestrata occured at the 6th day after oviposition. The postponement of egg hatching of 5, 6 and 7 days old egg could be done for three days. The 5 and 6 days old egg even could be postponed until seven days. The highest percentage of egg hatching was at 6 days old egg. Light intensity didn’t give significantly response to break pupal dormancy. Naked pupa gave positive response for breaking pupal dormancy. The naked pupa that placed incubator with 18 watts lamp showed the fastest breaking pupal dormancy.

Keywords: Cricula trifenestrata, embryonic development, egg postpone, pupal dormancy

RINGKASAN

TEGUH LARASATI ANDRIANI. Cricula trifenestrata (Lepidoptera:

Saturniidae): Perkembangan Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan Pemecahan Dormansi Pupa. Dibimbing oleh DEDY DURYADI S dan DAMIANA RITA E.

Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae) dapat diunggulkan sebagai ulat sutera yang menghasilkan benang berwarna khas yaitu kuning keemasan (‘golden silk’) dan lebih berpori serta tidak mudah kusut dibandingkan dengan sutera biasa. Kokonnya berbentuk seperti jarring dan tidak berbau. Permintaan kokon jauh lebih tinggi daripada ketersediaannya di alam. Oleh karena itu banyak penelitian yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kokon dari ulat sutera jenis ini.

Permasalahan utama dalam domestikasi ulat sutera untuk keperluan komersial adalah penyimpanan telur yang aman untuk menjamin ketersediaan telur. Di alam waktu penetasan berlangsung serempak sehingga perlu diatur waktu penetasannya agar usaha budidaya dapat optimal. Diperlukan informasi yang akurat mengenai perkembangan embrio dari serangga ini terutama pada saat setelah telur dikeluarkan dari induk betina hingga menetas berkembang menjadi larva. Informasi ini akan sangat berguna untuk menentukan fase perkembangan embrio mana yang dapat dihentikan secara sementara. Apabila informasi ini tepat maka sangat berguna bagi

usaha penyimpanan telur dalam berbagai kondisi seperti pada suhu rendah (5 - 10 0C). Dormansi yang terjadi pada pupa C. trifenestrata juga menjadi masalah

karena menyebabkan siklus hidup menjadi lebih panjang. Perlu dipikirkan cara pemecahan dormansi yang terjadi pada pupa C. trifenestrata.

Uji pendahuluan pembuatan preparat embrio dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 37%, NaOH 5 M, laktofenol, dan asam asetat. Telur direndam dalam larutan kimia dengan lama perendaman 1 - 5 hari. Tujuan perendaman dalam larutan kimia adalah untuk membuat cangkang telur menjadi transparan dan lunak sehingga embrio dapat dikeluarkan dari cangkangnya. Dari uji pendahuluan ini akan disimpulkan larutan kimia mana yang paling baik dapat digunakan dalam pembuatan preparat embrio C. trifenestrata.

Studi embrio dilakukan pada telur C. trifenestrata mulai hari pertama hingga hari kedelapan setelah oviposisi. Setiap stadia umur (n = 5) dari perkembangan telur (embrio) dibuat preparatnya dengan cara merendam telur dalam larutan NaOH 5 M selama tiga hari pada suhu ruangan yaitu 28 0C. Embrio yang telah dikeluarkan dari cangkangnya kemudian disimpan dalam alkohol 70% yang berfungsi sebagai pengawet preparat sebelum difoto. Pemotretan dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo Nikon WD 70 Plan Apo dan kamera Nikon D100 dengan adapter BR2.

Telur yang digunakan dalam percobaan penundaan penetasan adalah telur fertil hasil dari perkawinan imago jantan dan betina. Selanjutnya telur tersebut

disucihamakan dengan formalin 4% selama lima detik, kemudian dibilas dengan air mengalir. Telur yang telah disucihamakan diletakkan di dalam cawan petri. Jumlah telur setiap cawan petri adalah 30 butir. Telur tersebut disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 8 0C selama 3, 7, 14, 21 dan 28 hari. Keempat puluh perlakuan tersebut diulang tiga kali. Selanjutnya dihitung mengenai jumlah dan persentase telur yang menetas setelah diberikan perlakuan.

Kokon yang digunakan dalam percobaan pemecahan dormansi adalah kokon yang berasal dari alam yang tidak keluar menjadi imago setelah satu bulan. Kokon dimasukkan dalam kotak inkubasi dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 100 cm. Pada percobaan ini digunakan tiga kotak inkubasi dengan penyinaran lampu yang berbeda yaitu 8, 18, dan 23 watt. Lama penyinaran setiap harinya adalah selama 12 jam. Parameter yang diamati adalah (a) lamanya waktu munculnya imago dari kokon atau pupa, (b) efektivitas perlakuan, (c) suhu pada tiap perlakuan, dan (d) intensitas cahaya. Kelembaban udara di dalam kandang diatur menjadi 80%. Efektivitas perlakuan dihitung dengan cara membandingkan jumlah imago yang keluar dari kokon/pupa setelah diberikan perlakuan dengan jumlah keseluruhan kokon/pupa pada tiap perlakuan.

Lama perendaman dalam larutan kimia mempengaruhi bentuk embrio. Perendaman dalam larutan kimia yang terlalu lama akan membuat embrio menjadi hancur, sebaliknya bila terlalu cepat perendamannya cangkang belum lunak hingga embrio belum dapat dikeluarkan dari cangkangnya. Hasil terbaik dalam percobaan ini adalah perendaman dengan larutan NaOH 5 M selama 3 hari. Oleh karena itu metode ini dipilih untuk pembuatan preparat embrio C. trifenestrata. Pada pengamatan embrio hari pertama terlihat bahwa telah terjadi proses pembelahan yang diikuti dengan pembentukan blastoderm (blastula). Gastrulasi sebagai bagian dari diferensiasi berlangsung pada hari kedua. Pada embrio hari ketiga hingga kelima terjadi perkembangan diferensiasi dan organogenesis. Embrio secara sempurna terbentuk lengkap pada hari keenam. Pada stadia ini peruasan menghasilkan kepala, thoraks dan abdomen. Struktur ‘appendages’ seperti alat mulut dan tungkai telah terbentuk. Stadia hari berikutnya (tujuh dan delapan) merupakan pematangan embrio hingga saat penetasan telur terjadi.

Telur C. trifenestrata dapat ditunda penetasannya pada suhu 8 0C selama tiga dan tujuh hari, sedangkan pada lama penyimpanan 14, 21 dan 28 hari, telur tidak dapat menetas. Penundaan penetasan telur C. trifenestrata pada suhu 8 0C dapat dilakukan selama tiga hari untuk stadia umur telur lima, enam, dan tujuh hari. Penundaan ini dapat ditingkatkan hingga tujuh hari, namun hanya untuk stadia umur lima dan enam hari saja. Pada stadia umur telur 1- 4 hari, telur tidak dapat menetas setelah disimpan pada suhu 8 0C. Hal ini diduga karena suhu tersebut adalah suhu yang mematikan untuk perkembangan embrio muda. Dalam perkembangan embrio dibutuhkan suhu yang optimum, sehingga suhu yang tidak sesuai akan mengganggu proses perkembangan embrio. Pada stadia umur telur 8 hari juga tidak dapat menetas setelah disimpan pada suhu 8 0C. Hal ini diduga karena persediaan kuning telur sebagai zat saat penyimpanan dingin telah menipis sehingga kerusakan yang terjadi pada embrio tersebut lebih parah dari pada embrio umur tujuh hari dan enam hari. Prosentase penetasan telur yang tinggi didapatkan pada stadia umur telur enam hari.

Hal ini diduga karena telur pada stadia ini telah memiliki embrio dengan struktur yang lengkap. Pada lama penyimpanan tujuh hari, stadia telur umur tujuh hari tidak menetas. Diduga hal yang sama terjadi pada kematian embrio hari ke 8 pada penyimpanan tiga hari. Kerusakan embrio karena makin menipisnya cadangan makanan dari kuning telur.

Berdasarkan hasil uji anova, intensitas cahaya tidak memberikan respon yang nyata terhadap pemecahan dormansi pupa C. trifenestrata. Namun demikian terlihat bahwa ada kecenderungan pemberian intensitas yang berbeda akan memberikan waktu keluarnya imago yang berbeda. Intensitas cahaya yang memberikan respon tercepat terhadap keluarnya imago adalah 240 lux (lampu 18 watt). Kokon atau pupa yang mendapatkan perlakuan penyinaran dengan lampu ini cenderung lebih cepat keluar menjadi imago dibanding dengan penyinaran lampu yang lain (8 dan 23 watt). Pemecahan dormansi pupa juga dipengaruhi oleh kondisi pupa. Kondisi pupa yang tidak terbungkus kokon memberikan respon positif untuk pemecahan dormansi pupa. Pupa yang tidak terbungkus kokon lebih cepat keluar menjadi imago dibanding yang terbungkus kokon. Diduga pupa yang tidak terbungkus kokon lebih kuat menerima rangsangan dari lingkungan berupa cahaya dibanding yang pupa yang terbungkus kokon. Salah satu rangsangan untuk memecahkan dormansi pada pupa adalah cahaya. Cahaya akan diteruskan ke otak melalui kutikula pada pupa. Pada pupa yang terbungkus kokon, sebelum menuju kutikula pupa cahaya harus melewati kokon sebagai barier. Selanjutnya proses endokrin yang terjadi adalah proses pengaktifan hormone ekdison yang akan menyebabkan terjadinya pergantian kulit dari pupa menjadi imago. Pada perhitungan efektivitas perlakuan, terlihat perlakuan dengan 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon menunjukkan efektivitas perlakuan tertinggi (65%). Namun beberapa kokon/pupa ditemukan mati dan tidak menjadi imago karena parasitoid dan kering. Bila pupa yang mati karena parasitoid tidak dimasukkan dalam perhitungan maka efektivitas perlakuan tertinggi adalah pada perlakuan lampu 8 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon (100%). Namun bila dilihat jumlah ulangannya, maka perlakuan lampu 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon lebih banyak dari perlakuan 8 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon. Sehingga dapat disimpulkan perlakuan yang paling efektif adalah perlakuan lampu 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon. Parasitoid yang ditemukan menyerang pupa C. trifenestrata adalah dari famili Ichneumonidae dan Sarchopagidae.

Kata kunci: Cricula trifenestrata, perkembangan embrio, penundaan penetasan telur, dormansi pupa.

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae):

PERKEMBANGAN EMBRIO, PENUNDAAN PENETASAN

TELUR, DAN PEMECAHAN DORMANSI PUPA

TEGUH LARASATI ANDRIANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Bio Sains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

Judul : Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): Perkembanngan Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan Pemecahan Dormansi Pupa

Nama : Teguh Larasati Andriani NIM : G 352070241

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Dr. drh. Damiana Rita E, MS Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Biosains Hewan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Bambang Suryobroto Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini sebagaimana yang diharapkan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai dari bulan Februari 2008 sampai April 2009 adalah Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): Perkembangan Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan Pemecahan Dormansi Pupa. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium PPSHB.

Pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penghargaan dan terimakasih dari lubuk hati yang paling dalam penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, Dr. drh. Damiana Rita E. selaku komisi pembimbing atas bimbingan yang telah diberikan. Semoga jasa baik Bapak dan Ibu mendapatkan pahala yang setimpal dari Tuhan YME. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Kepala MAN 1 Kudus yang telah memberi ijin dan dukungan selama melaksanakan studi di IPB. Kepada Pimpinan IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB, Pimpinan dan staf pengajar Departemen Biologi FMIPA IPB, Ketua Mayor BSH IPB, Pimpinan dan staf Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB.

Penelitian ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dana, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Departemen Agama RI atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti program pascasarjana ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Sutrisno Hari atas diskusi tentang Saturniidae, Bapak Dr. drh. Adiwinarto dan Mbak Tini atas masukannya dalam pembuatan preparat embrio, Dr. Kikin Muttaqin atas bantuan dokumentasi embrio, Bapak Roni atas bantuan kokon, Ibu Aisyah dan Bapak Heri atas kerjasama dan dukungannya.

Kepada keluarga terutama Bapak dan Ibu saya (Soejatmin dan Sumaryatun) yang senatiasa mendukung dan mendoakan keberhasilan saya. Kakak-kakak dan adik saya (Mas Guh, Mbak Tik, Mas Sulis, Mbak Heni, Indah) serta keponakan- keponakan tercinta (Niken, Ais, Aji, Melati, Eno, Ata). Teman-teman satu angkatan, teman-teman satu laboratorium, dan semua pihak yang mendukung penelitian ini. Mudah-mudahan Allah SWT membalas budi baik Bapak, Ibu dan saudara-saudara semuanya. Amin

Bogor, Agustus 2009 Teguh Larasati Andriani

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kudus, Jawa Tengah pada tanggal 29 September 1974

sebagai anak kelima dari enam bersaudara, dari pasangan H. Soejatmin dan Hj. Sumaryatun. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada SD Negeri

Jember 2 Kudus pada tahun 1987, SMP Negeri 2 Kudus pada tahun 1990 dan SMA Negeri 1 Kudus pada tahun 1993. Lulus dari Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Diponegoro pada tahun 1999. Tahun 2007 memperoleh kesempatan melanjutkan program Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari Departemen Agama.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Madrasah Aliyah Negeri 1 Kudus sejak tahun 2005 hingga sekarang.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii DAFTAR GAMBAR ... xiv DAFTAR LAMPIRAN ... xv PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Permasalahan ... 4 Hipotesis ... 4 Tujuan Penelitian ... 4 Manfaat Penelitian ... 4 Kerangka Penelitian ... 5 TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Cricula trifenestrata ... 6 Distribusi C. trifenestrata ... 6 Biologi C. trifenestrata. ... 7 Telur ... 7 Larva ... 8 Pupa ... 8 Imago ... 9 Perkembangan Embrio Serangga ... 10 Faktor Yang Mempengaruhi Metamorfosis Serangga ... 14 Pengaruh Cahaya pada Metamorfosis ... 15 Strategi Serangga Untuk Bertahan di Musim Dingin ... 16 Hormon Pengendali Metamorfosis ... 16 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian ... 20 Alat dan Bahan Penelitian ... 20 Cara Kerja ... 20 Pengamatan siklus hidup C. trifenestrata ... 20 Pengamatan Embrio C. trifenestrata ... 20 Penundaan Penetasan Telur ... 21 Pemecahan Dormansi Pupa ... 22 Analisis Data ... 24

HASIL

Pengamatan siklus hidup C. trifenestrata ... 25 Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata ... 30 Penundaan Penetasan Telur C. trifenestrata dengan Penyimpanan dalam Suhu 8 0C ... 33 Pemecahan dormansi Pupa C. trifenestrata ... 35 PEMBAHASAN

Siklus Hidup C. trifenestrata ... 39 Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata ... 39 Penundaan Penetasan Telur C. trifenestrata dengan Penyimpanan dalam Suhu8 0C ... 41 Pemecahan dormansi Pupa C. trifenestrata ... 42 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 44 Saran ... 44 DAFTAR PUSTAKA ... 45 LAMPIRAN ... 48

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Keberhasilan perkembangan embrio dan penetasan telur ... 34 2 Efektivitas perlakuan pada pemecahan dormansi pupa ... 37 3 Efektivitas perlakuan pada pemecahan dormansi pupa bila pupa yang mati karena parasit tidak masuk dalam perhitungan ... 38

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur kerangka penelitian ... 5 2 Pembelahan nukleus ... 11 3 Embrio dengan germ band ... 11 4 Perkembangan ‘amnion cavity’ ... 12 5 Pembentukan saluran pencernaan ... 13 6 Perkembangan appendages serangga ... 14 7 Kotak inkubasi ... 23 8 Peletakan telur C. trifenestrata ... 25 9 Larva instar 1 ... 26 10 Larva instar 2 ... 26 11 Larva instar 3 ... 27 12 Larva instar 4 ... 27 13 Larva instar 5 ... 28 14 Kokon dan pupa ... 28 15 Imago jantan dan betina ... 29 16 C. trifenestrata sedang berkopulasi... 30 17 Perkembangan embrio C. trifenestrata pada hari 1- 8 ... 32 18 Parasitoid pada pupa: A. Ichneumonidae; B. Sarchopagidae ... 35 19 Pupa yang mati kekeringan ... 35

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Uji anova untukpengaruh intensitas cahaya dan kondisi pupa terhadap waktu keluarnya imago ... 49 2 Uji anova pengaruh stadia umur telur dan lama penyimpanan terhadap prosentase penetasan telur ... 50 3 Uji Duncan untuk stadia umur telur ... 51 4 Larutan laktofenol ... 51

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Industri sutera di Indonesia telah berkembang selama kurang lebih 80 tahun (mulai dari tahun 1930-an sampai sekarang) (Atmosoedarjo et al. 2000). Selama perkembangan tersebut ulat sutera yang dibudidayakan adalah Bombyx mori yang tergolong dalam famili Bombycidae. Banyak kendala yang dihadapi dalam budidaya sutera ini, antara lain masih tergantungnya pasokan bibit ulat sutera berkualitas dari luar negeri dan adanya hambatan klimatik (karena Bombyx bukan ngengat asli Indonesia).

Selain Bombyx mori, ada jenis ngengat lain yang mampu menghasilkan sutera yaitu Antheraea yamamai (dikembangkan di Jepang), Antheraea polypemu (dikembangkan di Amerika Utara), Antheraea pernyi (dikembangkan di China), Philosamia ricini (sutera eri dikembangkan di India), Antheraea mylitta (sutera tasar dikembangkan di India), dan Attacus atlas. Indonesia memiliki potensi penghasil sutera dari ulat sutera liar. Beberapa jenis ulat sutera liar yang daerah penyebarannya ada di Indonesia adalah Cricula trifenestrata, Attacus atlas dan Antherea spp (Paukstadt U & Paukstadt LH 2004) yang selama ini dianggap sebagai hama, ternyata mampu menghasilkan benang sutera yang bernilai ekonomis. Dibandingkan dengan Bombyx, ulat sutera liar asli Indonesia ini memiliki keunggulan yaitu relatif bebas dari hambatan klimatik.

Salah satu jenis ulat sutera liar yaitu C. trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae) yang lebih dikenal dengan nama ulat kipat atau ulat alpukat, merupakan ulat sutera yang bersifat polifag, menyukai berbagai jenis inang, seperti alpukat, jambu mente, kayumanis, kedondong, mangga, kenari, coklat, kina dan beberapa jenis tanaman lainnya (Kalshoven 1981; Holloway 1987). Di beberapa daerah seperti di Yogyakarta dan sekitarnya serta Bali, kepompongnya mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pupa diolah menjadi sumber nutrisi, sementara serat kokon dijadikan bahan kerajinan seperti ornamen, kembang dan hiasan lainnya (Wikardi & Djuwarso 2000;

Purwanti 2005). C. trifenestrata dapat diunggulkan sebagai ulat sutera yang menghasilkan benang berwarna khas yaitu kuning keemasan (‘golden silk’) dan lebih berpori serta tidak mudah kusut dibandingkan dengan sutera biasa. Kokonnya berbentuk seperti jaring (Kalshoven 1981) dan tidak berbau. Oleh karena itu banyak penelitian yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kokon dari ulat sutera jenis ini.

Selama ini para pengumpul C. trifenestrata mendapatkan kokon dengan cara mengumpulkannya dari alam karena memang belum ada upaya budidaya. Masalah yang dihadapi para pengumpul adalah bahwa kokon tidak ditemukan secara kontinyu sepanjang tahun. Dugaan sementara kelangkaan kokon di masa-masa tertentu disebabkan oleh strategi adaptasi dari serangga ini dengan melakukan aktivitas hidupnya hanya pada kondisi lingkungan yang kondusif (‘favorable’) bagi kehidupannya.

Hampir semua serangga termasuk C. trifenestrata memiliki kemampuan untuk mengatasi kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan. Kendala yang utama bagi serangga adalah predator, parasit, parasitoid dan perubahan yang terjadi di lingkungan akibat pergantian musim (Gullan & Cranston 2000). Penyesuaian yang terjadi pada serangga dalam menanggapi perubahan musim mencakup antara lain modifikasi khas mengenai daur hidup. Hal ini dilakukan dengan penyesuaian perkembangan tanpa mengubah urutan rangkaian daur hidup, tetapi menyelaraskan perkembangan aktif dengan musim yang sesuai. Salah satu hal yang dilakukan oleh serangga adalah melakukan diapause (Denlinger 1986). Sebagai contoh pada serangga subtropis, diapause lebih merupakan suatu kasus khusus yaitu terhentinya perkembangan sebagai antisipasi dari datangnya kondisi alam yang tidak memungkinkan, dan hal ini dapat terjadi pada tahap manapun dari siklus hidup bergantung pada spesies. Umumnya diapause terjadi pada tahapan telur dan pupa (Willmer et al. 2005). Oleh karena itu diapause berkontribusi dalam memperpanjang siklus hidup serangga dan kemampuannya bertahan terus hidup walaupun iklim relatif kurang mendukung. Beberapa penelitian mengenai diapause pada serangga telah banyak dilakukan. Menurut Bradshaw et al. (2004), banyak tanaman tingkat

tinggi, hewan vertebrata, dan hewan arthropoda menggunakan lama pencahayaan atau fotoperiode untuk mensinkronisasikan pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, dormansi, migrasi dengan perubahan musim. Selain itu kondisi iklim mikro terutama kelembaban dapat mempercepat keluarnya ngengat dari kepompong. Pada ngengat jenis lain, Rachman (2001) menyatakan lama periode pupa Attacus atlas di musim penghujan lebih pendek daripada di musim kemarau. Perlakuan fotoperiode dapat mempersingkat waktu periode pupa di musim kemarau dan sebaliknya dapat memperpanjang waktu periode pupa di musim penghujan. Demikian juga menurut William et al. (1964), diapause pupa Antherea pernyi dapat diperlambat pada suhu 25 0C dengan kondisi penyinaran pendek (fotofase 4 - 12 jam) dan dapat dipercepat dengan kondisi penyinaran panjang (fotofase 15 - 18 jam). Ostrinia nubilalis (Pyralidae) yang dipelihara dalam laboratorium, diapause fakultatif dapat terjadi saat diinduksi dengan penyinaran pendek (McLeod & Beck 1963). Wilayah tropis memiliki kondisi iklim yang berbeda dengan wilayah subtropis. Beberapa serangga pada daerah tropis melakukan penyesuaian kondisi iklim dengan melakukan dormansi. Denlinger (1986) menyatakan bahwa dormansi serangga tropis meliputi aestivasi (diapause di musim kering) dan pluviasi (diapause di musim basah).

Permasalahan utama dalam domestikasi ulat sutera untuk keperluan komersial adalah penyimpanan telur yang aman untuk menjamin ketersediaan telur. Di alam waktu penetasan berlangsung serempak sehingga perlu diatur waktu penetasannya agar usaha budidaya dapat optimal. Diperlukan informasi yang akurat mengenai perkembangan embrio dari serangga ini terutama pada saat setelah telur dikeluarkan dari induk betina hingga menetas berkembang menjadi larva. Informasi ini akan sangat berguna untuk menentukan fase perkembangan embrio mana yang dapat dihentikan secara sementara. Apabila informasi ini tepat maka sangat berguna bagi

usaha penyimpanan telur dalam berbagai kondisi seperti pada suhu rendah (5 - 10 0C). Sebagai contoh padaBombyx mori, telur dapat ditunda penetasannya

pada suhu -2.5 0C hingga dua tahun (Shimizu et al. 1994). Dengan demikian langkah penting untuk domestikasi dan budidaya C. trifenestrata dapat dimulai dari studi

perkembangan embrio, penyimpanan telur yang tetap fertil dan ‘viable’ dan

Dokumen terkait