• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Cricula trifenestrata

Cricula trifenestrata termasuk dalam kelompok ngengat yaitu sejenis kupu nokturnal (aktif di malam hari) yang memiliki ciri-ciri antara lain antena pada jantan berbentuk quadripektinate sedang pada betina berbentuk bipektinate. Dalam genus Cricula, di antara spesies, terdapat perbedaan dalam hal warna. Spot mata pada sayap telah bermodifikasi, ocelus pada sayap belakang mereduksi menjadi titik kecil kehitaman atau jendela hyaline kecil yang bulat. Pada sayap depan, ocelus juga mereduksi, tapi terdapat satu, dua atau tiga spot yang mirip membentuk seperti sebuah kepulauan pada sayap. Terdapat seksual dimorfisme, betina selalu lebih besar dengan sayap yang membulat dan biasanya berwarna lebih gelap dari jantan. Warna sayap juga bervariasi dari coklat, merah gelap-oranye hingga coklat kekuningan (Nassig et al.1996).

Dalam klasifikasi, C. trifenestrata termasuk dalam kingdom Animalia, phylum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Lepidoptera, famili Saturniidae, genus Cricula (Triplehorn & Johnson 2005).

Distribusi C. trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae)

Di dunia ada sekitar 1200 - 1500 spesies dari famili Saturniidae dengan pusat keragaman ada di Neotropik, Asia Tenggara antara Peninsula Indomalaya dan New Guinea (70 spesies). Di Sumatra dan pulau kecil lain di sekitarnya terdapat sekitar 24 spesies (Nassig et al. 1996).

Famili Saturniidae merupakan bagian dari superfamili Bombycoidea yang terdiri dari beberapa famili ngengat yang berukuran besar seperti Lasiocampidae, Euteroptidae, Anthelidae Australia, Carthaeidae Australia, Sabaliidae Africa, Lemoniidae Paleartic bagian barat, Apatelodidae Amerika, Endromididae Paleartic, Bombycidae, Brahmaeidae, Saturniidae, Sphingidae (Nassig et al. 1996). Tiga spesies terdapat di Sumatra yaitu C. sumatrensis (spesies endemik), C. elaezia

(tersebar di paparan Sunda), dan C. trifenestrata (tersebar di daerah oriental). Malaysia barat diketahui memiliki 2 spesies yaitu C. trifenestrata dan C. elaezia. Borneo diketahui memiliki 3 spesies yaitu C. bornea (spesies endemik), C. elaezia (tersebar di paparan Sunda) dan C. trifenestrata. Jawa dan Bali diketahui memiliki 2 spesies yaitu C. trifenestrata dan C. elaezia (Nassig et al. 1996).

C. trifenestrata merupakan spesies Cricula yang paling luas penyebarannya. Spesies ini dapat ditemukan sebagai subspecies yang berbeda di wilayah India selatan dan Asia Tenggara yang meliputi Philipina (C. t. treadawayi) dan Indonesia (Jawa

yaitu C. t. javana; Sumatra yaitu C. t. javana; Sulawesi yaitu C. t. kransi & C. t. banggaiensis; Sumba yaitu C. t. tenggarrensis; Maluku yaitu C.t. serama & C.

t. banggaiensis) (Nassig et al. 1996).

Biologi Cricula trifenestrata

C. trifenestrata disebut juga ulat kipat bersifat polifag dan sangat rakus. Selain jambu mete larva ulat sutera ini juga menyerang alpukat, kenari, jambu, kedondong, mangga, kakao, dan kayumanis (Kalshoven 1981).

C. trifenestrata termasuk serangga holometabola yaitu serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Siklus hidupnya terbagi menjadi empat tahap yaitu telur, larva atau ulat, pupa atau kepompong dan imago atau ngengat dewasa (Gullan & Cranston 2000). Lamanya siklus hidup C. trifenestrata dari telur hingga imago rata-rata 63 – 77 hari (Deptan 1995).

Telur

C. trifenestrata memiliki telur yang berkulit licin berwarna putih kekuningan, berbentuk bulat lonjong dengan panjang 2.27 ± 0.15 mm, lebar 1.86 ± 0.12mm (Rono et al. 2008). Telur diletakkan oleh induknya secara teratur, disusun rapi pada pinggiran daun sebelah bawah atau tangkai daun dalam jumlah yang banyak. Jumlah telur mencapai 200 - 325 butir per induk dengan fertilitas tinggi. Telur menetas menjadi larva setelah 7 hari. Stadia telur sekitar 8 – 11 hari (Deptan 1995).

Larva

Menurut Rono et al. (2008) larva C. trifenestrata terdiri dari lima instar dengan pergantian kulit empat kali. Perubahan larva dari instar 1 ke instar 5 membutuhkan waktu masing-masing 5 hari, sehingga fase larva berlangsung kurang lebih 25 hari. Larva instar 1 berwarna kuning hingga kuning kecoklatan yang kemudian akan berubah menjadi kuning kemerahan dengan kepala hitam. Bagian thoraks terdiri dari 3 segmen dan tiap segmen terdapat sepasang kaki dan tubuhnya ditutupi rambut-rambut halus. Bagian abdomen memiliki 5 pasang proleg yang terdapat pada segmen abdomen ketiga hingga keenam dan segmen abdomen kesepuluh. Larva instar 2 berwarna kombinasi dari kuning, merah dan hitam dengan kepala coklat, tubuh ditumbuhi bulu-bulu halus. Larva instar 3, warna tubuhnya adalah kuning kemerahan dengan kepala coklat, tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna putih dan bagian ventralnya berwarna merah. Larva ini bergerak lebih aktif, memakan lebih banyak dan ukuran bertambah dibandingkan 2 instar sebelumnya. Larva instar 4 berwarna mirip dengan instar 5 namun berbeda dalam ukuran. Larva instar 5 berwarna merah dengan kepala merah tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna putih agak kasar dan terdapat garis hitam melingkar mulai dari kepala sampai abdomen.

Hasil penelitian Rono et al. (2008) mengenai ukuran larva instar 1 hingga

instar 5 menunjukkan peningkatan panjang rata-rata dari 4.08 ± 0.15 hingga 81.49 ± 0.23 mm dan lebar rata-rata dari 2.17 ± 0.18 hingga 11.22 ± 0.22 mm.

Pupa

Prapupa merupakan suatu tahapan dimana larva instar 5 mulai berubah bentuk menjadi pupa. Pada awal periode prapupa, larva mulai berhenti makan, mulai berkurang keaktifannya, tidak bergerak cepat lagi dan memilih tempat terlindung untuk pupasi. Menurut Rojak (2001) dari instar 5 sampai menjadi prapupa membutuhkan waktu 8 - 9 hari, sedangkan pupasi atau proses terbentuknya pupa berlangsung selama 3 - 5 hari. Ukuran pupa betina lebih panjang dan lebar dari pupa jantan.

Hasil penelitian Rono et al. (2008) mengenai ukuran pupa menunjukkan bahwa panjang dan lebar rata-rata pupa jantan adalah 31.64 ± 0.37 mm dan 10.61 ± 0.31 mm, sedangkan panjang dan lebar rata-rata pupa betina adalah 35.57 ± 0.40 mm dan 12.58 ± 0.31 mm.

Pupa C. trifenestrata terbungkus dalam kokon yang berbentuk jala rapat berwarna kuning emas . Dalam keadaan normal stadia pupa antara 21 - 26 hari, tetapi apabila keadaan tidak menguntungkan dapat terjadi sampai 3 bulan (Deptan 1995). Penundaan perkembangan dari stadia pupa menjadi imago dikenal sebagai diapause. Masa istirahat yang relatif panjang ini dapat dihentikan dengan cara memberikan rangsangan fisik/ lingkungan berupa perlakuan fotoperiode (Rachman 2001).

Hasil penelitian Rono et al. (2008) mengenai ukuran kokon menunjukkan bahwa panjang dan lebar rata-rata kokon jantan adalah 41.98 ± 0.55 mm dan 12.31 ± 0.29 mm, sedangkan panjang dan lebar rata-rata kokon betina adalah 50.89 ± 0.43 mm dan 16.22 ± 0.31 mm.

Imago

Serangga dewasa C. trifenestrata adalah serangga nokturnal, berwarna kekuningan hingga kemerahan. Jantan memiliki dua spot gelap pada sayap depan, sedangkan betinanya memiliki tiga spot transparan yang tidak teratur pada sayap depan dan satu spot pada sayap belakang. Pada bagian dekat dasar sayap depan nampak garis hitam berombak. Kepala, torak, abdomen dan appendiks ditutup oleh sisik yang berwarna coklat kekuningan. Antena bipektin panjang dengan jumlah segmen yang tidak terdefinisi. Antena jantan lebih lebar dari betina. Segmen abdomen terakhir betina lebih lebar dari jantan. Ukuran tubuh betina lebih besar dari jantan.

Hasil penelitian Rono et al. (2008) mengenai ukuran imago menunjukkan bahwa panjang dan lebar rata-rata imago jantan adalah 22.35 ± 0.31 mm dan 32.02 ± 0.28 mm, sedangkan panjang dan lebar rata-rata imago betina adalah 32.48 ± 0.34 mm dan 74.14 ± 0.36 mm.

Ngengat betina mulai bertelur satu hari setelah kawin. Ngengat betina yang tidak kawin juga bertelur pada hari kedua setelah keluar dari pupa namun telur yang dihasilkan adalah telur yang infertil. Hasil penelitian Rono et al. (2008) mengenai lama hidup imago menunjukkan bahwa lama hidup imago jantan rata-rata adalah 2.90 ± 0.38 hari, sedangkan betinanya adalah 4.20 ± 0.42 hari.

Perkembangan Embrio Serangga

Telur serangga adalah sebuah sel dengan dua lapis selaput bagian luar, satu selaput vitelin yang tipis yang mengelilingi sitoplasma dan korion bagian luar. Korion berupa kulit bagian luar dari telur tersebut yang keras. Telur mempunyai satu lubang yang kecil atau beberapa lubang (mikrofil) pada satu ujung, yang menjadi tempat masuknya sperma ke dalam telur. Di sebelah dalam selaput vitelin terdapat satu lapisan korteks, dimana di dalamnya terdapat kuning telur (‘egg yolk’) (Gambar 2 a) (Triplehorn & Johnson 2005).

Embriogenesis adalah proses perkembangan yang dimulai setelah terjadi proses fertilisasi. Embriogenesis meliputi pembelahan sel secara mitosis dan pertumbuhan, pergerakan, dan differensiasi menjadi jaringan dan organ. Telur serangga banyak mengandung kuning telur. Pembelahan pada serangga dikenal sebagai pembelahan superfisial yaitu pembelahan yang terjadi pada sitoplasma yang mengelilingi kuning telur. Sel tidak akan terbentuk hingga selesai pembelahan nukleus. Nukleus yang mengalami pembelahan (disebut ‘energid’) berpindah ke bagian perifer dan terus mengalami pembelahan meskipun dalam kecepatan yang menurun (Gambar 2 b). Embrio pada saat ini disebut sinsitial blastoderm yang berarti semua nukleus terdapat di dalam sitoplasma yang sama (Gambar 2 c). ‘Nuclei’ yang terdapat pada bagian posterior dari sel telur kemudian dibungkus oleh membrane plasma baru dan disebut sel-sel kutub dari embrio (‘pole cells’). Sel-sel kutub ini akan berkembang membentuk sel-sel germ (‘germ cells’) pada hewan dewasa nantinya. Proses pertama dari perkembangan serangga adalah pemisahan bakal sel- sel germ (Gilbert 1985).

Gambar 2 Pembelahan nukleus Gambar 3 Embrio dengan germ band

Setelah terbentuk sel-sel kutub, membran plasma dari telur akan melipat ke dalam di antara nuklei, sehingga tiap-tiap sel mempunyai satu nukleus yang disebut sel-sel blastoderm (Gambar 2 d) yang menyusun diri membungkus yolk dari embrio. Pada bagian ventral dari embrio, blastoderm akan membentuk penebalan yang merupakan bakal embrio nantinya (‘germ band’) yang kemudian akan memanjang dan berkembang menjadi embrio (Gambar 3), sedangkan sel blastoderm lainnya akan berkembang membentuk selaput ekstraembrionik. Daerah ventral yang akan menjadi embrio disebut ‘germ anlagen’ (Gilbert 1985).

Pada sebagian besar serangga, lipatan pada daerah di luar pita lembaga tumbuh ke arah atas pita lembaga, nantinya bertemu sepanjang garis tengah longitudinal (Gambar 4 a). Lapis luar dan dalam dari satu lipatan bersatu dengan lapis yang sama dan lipatan lainnya (Gambar 4 b). Lipatan dalam membentuk amnion di sekeliling embrio yang berkembang dan lapis luar membentuk serosa yang mengelilingi kuning telur, amnion, dan embrio (Gambar 4 c).

Gambar 4 Perkembangan ‘amnion cavity’ (Chapman 1998)

Pada waktu pembentukan amnion dan serosa, terjadi juga proses gastrulasi, yang dimulai dengan invaginasi (melekuk ke dalam) bagian bawah (venter) ‘germ band’. Sel-sel blastoderm yang merupakan hasil dari fase pembelahan, pada gastrulasi akan melakukan perpindahan-perpindahan untuk membentuk lapisan ektoderm, mesoderm dan endoderm. Pergeseran-pergeseran yang terjadi pada gastrulasi ini meliputi seluruh embrio. Migrasi dari sel pada suatu bagian embrio harus terkoordinasi dengan pergerakan-pergerakan yang terjadi pada waktu yang sama (Gilbert 1985). Invaginasi pada proses ini akan mendatar ke arah luar dan pinggir-pinggir luarnya bertemu dan bersatu membentuk pita longitudinal dari sel-sel (lapis dalam) yang dikelilingi oleh lapis luar yaitu ektoderm. Tipe lain pembentukan lapisan dalam adalah mengendapnya pita longitudinal bawah ke dalam kuning telur, yang kemudian tumbuh membentuk sel-sel ‘germ band’ yang tertinggal. Tipe yang lain lagi, lapisan dalam berkembang dari proliferasi ‘germ band’. Kemudian lapisan dalam berkembang menjadi dua pita longitudinal lateral (mesoderm) dan ‘median strands’ dengan masa sel pada ujung anterior dan posterior yang akan menjadi endoderm (Triplehorn & Johnson 2005).

Saluran pencernaan terbentuk oleh pelekukan ke dalam dari masing-masing ujung embrio, yang meluas sampai bersatu dengan usus tengah primitif (Gambar 5). Pelekukan ke dalam bagian anterior menjadi usus depan, pelekukan ke dalam bagian posterior menjadi usus belakang, dan bagian tengah (dilapisi dengan endoderm) menjadi usus tengah. Sel-sel yang melapisi usus depan dan usus belakang berasal dari ektoderm dan mensekresi kutikula (Triplehorn & Johnson 2005).

Gambar 5 Pembentukan saluran pencernaan (Chapman 1998)

Pada saat terbentuk mesoderm dan endoderm, terjadi alur-alur melintang sehingga embrio terbagi-bagi menjadi satu seri ruas-ruas yang berjumlah 20 ruas. Segmentasi atau peruasan ini terjadi secara bertahap, mulai dari anterior hingga posterior. Pada saat yang sama terjadi invaginasi ektoderm, yang membentuk ‘appendages‘ tubuh (Gambar 6). Apabila segmentasi tubuh telah sempurna dan ‘appendages‘ telah terbentuk, bagian-bagian embrio akan membentuk ketiga tagmata tubuh serangga yaitu kepala, toraks, dan abdomen. Setelah pembentukan tiga lapisan (endoderm, mesoderm, dan ektoderm), masing-masing akan berkembang lebih lanjut dan membentuk berbagai jaringan dan organ-organ. Proses ini disebut organogenesis. Otot, jantung, dan aorta, jaringan lunak dan organ reproduksi berasal dari perkembangan mesoderm. Mesenteron berasal dari endoderm, sedangkan stomodeum, proktodeum, otak, sistem saraf, sistem trakea, dan integumen berasal dari ektoderm (Triplehorn & Johnson 2005).

Gambar 6 Perkembangan appendages serangga (Chapman 1998)

Faktor Yang Mempengaruhi Metamorfosis Serangga

Metamorfosis merupakan perubahan bentuk, struktur dan fungsi (morfologi, anatomi, dan fisiologi) organisme dari larva menjadi dewasa. Perubahan tersebut diawali dan diatur oleh signal hormon. Namun demikian tanggapan jaringan atau organ terhadap signal hormon tidak sama, tergantung pada stadium perkembangannya (Muller 1997). Faktor dalam (intrinsik) maupun faktor luar (ekstrinsik) seringkali berinteraksi mempengaruhi proses metamorfosis. Faktor dalam antara lain genetis dan hormonal, sedangkan faktor luar yang umum adalah pakan, suhu, kelembaban, dan cahaya (Gullan & Cranston 2000).

Lamanya perkembangan suatu generasi dan lamanya suatu generasi bertahan hidup dipengaruhi oleh musim dan berbeda pada setiap spesies. Kebanyakan serangga di daerah subtropis mempunyai tipe siklus hidup yang heterodinamik yaitu serangga dewasa muncul selama waktu yang terbatas selama satu musim khusus. Sejumlah tahapan hidup diselesaikan dalam musim dingin dalam keadaan dorman/diapause. Tahapan melewati musim dingin mungkin dalam bentuk telur, nimfa, larva, atau imago. Serangga yang hidup di daerah tropis, mempunyai tipe siklus hidup homodinamik, yaitu perkembangan terus berlanjut tanpa ada periode istirahat untuk menyempurnakan siklus hidupnya (Gullan & Cranston 2000).

Banyak serangga memiliki lebih dari satu generasi dalam satu tahun. Serangga seperti ini melanjutkan reproduksinya sepanjang musim selama kondisi lingkungan sesuai dan pakan tersedia. Pada beberapa serangga, perkembangan dapat terhenti selama satu tahapan khusus dalam siklus tahunan. Periode ini secara genetik telah diprogram dan disebut diapause. Periode istirahat pada musim dingin disebut hibernasi dan periode istirahat selama suhu tinggi disebut aestivasi. Diapause pada serangga dikendalikan secara genetik, namun pada awal maupun akhir dari fase ini dirangsang oleh faktor-faktor lingkungan seperti faktor fisik (suhu dan fotoperiode) dan faktor ketersediaan makanan (Hunter & McNeil 1997).

Pengaruh Cahaya pada Metamorfosis

Fotoperiode merupakan istilah untuk pengukuran waktu selama 24 jam yang terdiri dari waktu terang dan waktu gelap. Proporsi masing-masing bervariasi tergantung musim dan posisi daerah menurut garis lintang. Periode terang (‘day length’) juga disebut sebagai fotofase yaitu periode bumi menerima cahaya matahari sejak matahari terbit sampai tenggelam. Periode gelap (‘night length’), disebut scotofase yaitu periode sejak matahari tenggelam sampai terbit (Beck 1980). Fotoperiode berfungsi dalam adaptasi biologi dengan menyediakan informasi lingkungan dalam bentuk signal ruang sementara. Pada serangga pengaruh fotoperiode antara lain pada aktivitas lokomotor, perilaku makan, dan perilaku kawin. Aktivitas motorik biasanya berakibat pada perilaku makan, kawin, dan bertelur. Puncak aktivitas hewan diurnal bervariasi tergantung spesiesnya, namun tetap pada fase terang. Pada hewan nokturnal, gelap merupakan rangsangan untuk aktivitasnya (Beck 1980).

Perilaku makan pada larva Lepidoptera berirama dan sederhana, sedangkan serangga terbang seperti nyamuk atau penghisap darah lain, perilaku makannya sangat kompleks. Perilaku kawin kebanyakan serangga dikendalikan oleh ‘sex attractans’ (feromon) sebagai sarana komunikasi kimia antara kedua jenis kelamin tersebut. Serangga betina menghasilkan feromon yang disekresikan ke lingkungan sebagai pemanggil, selanjutnya serangga jantan datang menanggapi panggilan

tersebut. Sekresi feromon pada ngengat terjadi pada separo waktu akhir scotofase, pada spesies lain dapat terjadi sebaliknya atau dengan pola lain (Gullan & Cranston 2000).

Strategi Serangga Untuk Bertahan di Musim Dingin

Pada saat musim dingin banyak serangga mati. Namun beberapa serangga dapat memiliki toleransi dengan temperatur yang bisa membekukan dengan mengontrolnya menjadi kristal es atau menggunakan anti beku (‘anti freezing’). Suhu musim dingin dapat membekukan sel. Ketika hal ini terjadi partikel dalam cairan tubuh mengelilingi nukleus membentuk kristal es. Jika kristal es terus terbentuk tanpa intervensi, maka membran sel akan terpotong, sehingga merusak sel dan jaringan. Kebanyakan organisme yang bertahan hidup pada musim dingin memproduksi molekul antifreezing dan mengeliminasi sampah dari tubuh (untuk mengurangi sejumlah nukleus yang ada untuk menginisiasi formasi es) (Danks 2006). Molekul antifreezing yang paling umum adalah glukosa dan gliserol. Ketika ditemukan dalam tingkat konsentrasi yang tinggi, glukosa dapat mengurangi titik beku hingga 2 derajat centigrade. Kebanyakan serangga memproduksi sejumlah gliserol (Chapman 1998). Kebanyakan organisme juga memproduksi protein antifreezing (Antifreezing Proteins/AFPs) pada temperatur rendah.

Hormon Pengendali Metamorfosis

Dalam menanggapi stimuli lingkungan, sel-sel neurosekretori dalam otak serangga mensekresi hormon peptida yang disebut prothoracicotropic hormone (PTTH). Melalui sistem yang kompleks, PTTH kemudian merangsang kelenjar prothoraks untuk mensintesis hormon steroid yang disebut ekdison. Ekdison merupakan hormon yang belum aktif (20-hydroxyecdysone). Untuk menyederhanakan, dua-duanya kemudian disebut sama sebagai ekdison. Setiap pergantian kulit dipicu oleh peningkatan kadar ekdison dalam hemolimfe (Kalthoff 1996; Muller 1997).

Hormon juvenile (JH) merupakan suatu hormon yang terlarut dalam lemak, dihasilkan oleh sepasang kelenjar yang disebut corpora allata. Corpora allata

berhubungan dengan otak sehingga sekresi JH juga dikendalikan oleh otak. Hormon juvenile secara esensial menghambat metamorfosis. Apabila konsentrasi JH dalam hemolimfe tinggi pada saat pergantian kulit, terbentuklah larva. Penurunan konsentrasi JH dalam hemolimfe pada saat pergantian akan menghasilkan pupa, dan ketika hormone juvenile dalam hemolimfe tidak ada sama sekali akan diperoleh imago (Kalthoff 1996).

Keberadaan JH pada konsentrasi tinggi berperan dalam memelihara stadium larva dan mempengaruhi pertumbuhannya sehingga larva tumbuh menjadi semakin besar. Selama pertumbuhan larva, kutikula mengalami pengerasan sehingga suatu saat tidak mampu mengikuti pertumbuhan larva. Akibatnya, kutikula tersebut ditanggalkan dan diganti dengan kutikula baru yang telah disintesis sebelum pergantian kulit. Kutikula baru yang masih bersifat elastis selanjutnya juga akan mengalami pengerasan lagi seiring dengan pertumbuhan larva (Muller 1997). Menurut Wiggleworth (1997), gelapnya warna dan pengerasan kutikula dipengaruhi oleh bursicon yang dihasilkan ganglia thoracic. Proses penanggalan kutikula (ecdysis) tersebut terjadi beberapa kali di bawah pengaruh hormon ekdison.

Pada larva C. trifenestrata terjadi empat kali ekdisis, sehingga terjadi lima instar. Proses pergantian kulit ini terjadi dengan terbentuknya lapisan endokutikula baru di bawah lapisan kutikula lama yang sudah mengeras. Sebelum kulit luar atau kutikula yang lama mengelupas, epikutikula dan prokutikula yang baru telah dipersiapkan oleh sel-sel hipodermis (sel-sel epidermis) yang ada di bawahnya, kemudian sel-sel hypodermis mengeluarkan ekdison untuk melancarkan proses pergantian kulit. Hormon ini mengandung enzim kitinase dan protease yang dapat melepaskan kutikula yang lama. Pelepasan kutikula lama terjadi dengan cara melarutkan lapisan endokutikula lama oleh hormon tersebut. Hasil pelarutan lapisan endokutikula lama itu diserap kembali oleh hypodermis. Kemudian kulit luar yang tersisa (eksokutikula) robek dan mengelupas terdorong oleh gerakan tubuh serangga yang membesar dan telah memiliki kulit baru. Proses membesarnya tubuh serangga sampai ukuran tertentu terjadi sebelum dinding tubuh atau kutikula baru mengalami proses pengerasan (sklerotisasi) (Gullan & Cranston 2000). Selain mempengaruhi

proses ekdisis, ekdison juga bertanggung jawab terhadap proses metamorfosis. Menurut Muller (1997), metamorfosis sempurna meliputi dua tahap utama yaitu sebagai berikut: tahap pertama adalah perubahan dari larva instar terakhir menjadi pupa yang tidak aktif dan tahap kedua keluarnya imago dari pupa. Selama stadium pupa terjadi beberapa organogenesis dan organolisis.

Ketiadaan faktor lingkungan yang tepat dan sesuai, dapat menyebabkan hewan atau tumbuhan mengalami ‘tidur’. Keadaan demikian pada tumbuhan disebut dormansi, sedangkan pada hewan disebut hibernasi atau diapause. Diapause merupakan istilah yang sering digunakan untuk kelompok serangga.

Diapause dapat terjadi baik pada stadium telur, larva, maupun pupa. Diapause pupa ditandai dengan penurunan laju metabolisme, penghentian differensiasi menuju ke kedewasaan, dan resistensi terhadap kehilangan air melalui transpirasi. Laju metabolism yang diukur dengan laju konsumsi oksigen selama diapause turun sampai 3% (Beck 1980).

Rendahnya laju pengambilan O2 pada diapause pupa dikaitkan dengan aktivitas enzim oksidatif mitokondria. Pada kajian klasik terhadap diapause Hyalophora cecropia (Saturniidae), ditunjukkan bahwa status diapause diatur secara humoral. Tidak adanya prothoracicotropic hormon (PTTH), kelenjar prothoraks tidak menghasilkan hormon ecdyson sehingga perkembangan serangga menjadi stadium dewasa terhenti. Diapause pupa yang terjadi dan dipertahankan akibat tidak adanya stimulus PPTH pada kelenjar prothoraks, mengakibatkan diapause segera berakhir bila mendapat ekdison eksternal (Beck 1980).

Pada beberapa kasus, berakhirnya diapause dirangsang oleh pemaparan suhu rendah (<10 0C), untuk beberapa minggu. Pada beberapa jenis serangga perkembangan diapause dirangsang oleh temperatur rendah atau fotoperiode. Rangsangan perkembangan diapause dengan temperatur rendah atau fotoperiode terang panjang, lebih merupakan akibat dari pengaruh faktor-faktor tersebut pada sistem neuroendokrin di otak daripada sistem organ-organ lain. Pembedahan atau pengambilan otak pupa diapause dapat menghasilkan diapause permanen.

Dokumen terkait