• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Persalinan Seksio Sesarea

1. Indikasi persalinan seksio sesarea

Banyak indikasi yang dapat menyebabkan seorang ibu harus melahirkan secara seksio sesarea. Untuk itu, perlu adanya pengawasan dan pemeriksaan yang lengkap selama kehamilan. Menurut Liu (2007), seksio sesarea dilakukan untuk mengatasi disproporsi sefalo-pelvik dan aktifitas uterus yang abnormal, mempercepat kelahiran untuk keselamatan ibu atau janin. Beberapa indikasi seksio sesarea sebagai berikut:

a. Menghindari janin dari resiko tertular infeksi herpetik atau HIV b. Plasenta previa sentralis dan lateralis

c. Ruptur uteri mengancam d. Partus tak maju

e. Distosia servik f. Malpresentase janin g. Gameli

h. Mengurangi resiko pada ibu (misalnya hipertensi akibat kehamilan, gangguan jantung tertentu, lesi intrakranial atau keganasan pada serviks). Selain itu seksio sesarea juga memungkinkan ibu untuk menjalankan pilihan sesuai keinginannya (Musbikin, 2005).

2. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan seksio sesarea

Agar proses persalinan secara seksio sesarea dapat berjalan dengan baik, perlu adanya kerjasama yang baik antara ibu dan petugas kesehatan. Menurut Benson (2009) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam seksio sesarea, antara lain :

2.1 Seksio elektif

Pertimbangkan dengan cermat tindakan-tindakan elektif yang dapat dilakukan bersama dengan seksio sesarea. Hal ini meliputi lama operasi, kebutuhan transfusi dan kemungkinan infeksi. Seksio sesarea ini direncanakan lebih dahulu karena sudah diketahui bahwa kehamilan harus diselesaikan dengan cara operasi, ibu hamil harus melakukan pemeriksaan selama kehamilan minimal empat kali, sehingga akan dapat diketahui apakah kehamilan ibu nantinya dapat diakhiri dengan normal tanpa komplikasi atau harus melalui persalinan seksio, keuntungannya seksio elektif adalah waktu pembedahan dapat ditentukan dan direncanakan oleh dokter yang akan menolongnya dan dapat dilakukan persiapan yang lebih baik. Kerugiannya ialah oleh karena persalinan belum mulai, segmen bawah uterus belum terbentuk dengan baik sehingga menyulitkan pembedahan, dan lebih mudah terjadi atonia uteri dengan perdarahan karena uterus belum mulai berkontraksi.

2.2 Anestesia

Menurut Mundy (2005), sebelum dilakukan proses operasi ibu terlebih dahulu dibius.

a. Bius Total (Bius Umum)

Bius total membuat ibu akan tertidur dan tidak akan mengetahui apapun yang terjadi. Bius total biasanya digunakan dalam kondisi darurat. Bius ini juga dilakukan pada saat dokter harus memasukkan tangannya untuk memutar posisi bayi ditahap kedua persalinan, pada persalinan sungsang, untuk mengambil sisa plasenta dalam rahim, atau untuk memperbaiki vagina yang robek pada saat persalinan. Anastesi ini diberikan lewat suntikan penthotal intravena dan dilanjutkan dengan campuran nitro oksida dan oksigen.

Anestesia atau pembiusan total mempunyai pengaruh depresif pada pusat pernafasan janin, sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan apnea yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Selain itu ada pengaruh terhadap tonus uterus sehingga kadang-kadang timbul perdarahan postpartum karena atonia uteri. Akan tetapi, bahaya terbesar pada pemberian anestesia umum pada lambung penderita tidak kosong. Pada wanita yang tidak sadar karena anestesia ada kemungkinan isi lambung masuk kedalam jalan pernapasan, dan ini merupakan hal yang berbahaya. Anestesia spinal aman untuk janin, akan tetapi selalu ada kemungkinan tekanan darah penderita turun dengan akibat yang buruk bagi ibu dan janin.

b. Bius Lokal

Bius lokal merupakan alternatif yang paling aman. Anastesi ini dilakukan jika fasilitas anastesi lain tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, pada keadaan gawat ibu hamil karena edema paru, gagal ginjal, jantung, atau gawat janin. Anastesi ini tidak dianjurkan dilakukan pada ibu hamil yang menderita eklampsia, preeklampsia berat, obesitas, atau alergi terhadap lignokain (obat bius lokal). Pembiusan dilakukan dengan cara penyuntikan dibagian perut ibu yang akan dibedah (Mundy, 2004). 2.3 Transfusi darah

Pada umumnya perdarahan pada seksio sesarea lebih banyak dari pada persalinan pervaginam. Perdarahan tersebut akibat insisi pada uterus, ketika pelepasan plasenta, mungkin juga karena terjadinya atonia uteri postpartum. Oleh sebab itu pada setiap akan dilakukan tindakan seksio sesarea perlu diadakan persediaan darah dan sebelumnya dilakukan pemeriksaan golongan darah pasien. Transfusi diperlukan apabila Hb di bawah 8 g%.

2.4 Pemberian antibiotika

Pemberian antibiotik sudah umum dilakukan dokter. Apabila ada tanda infeksi atau pasien mengalami demam, antibiotik diberikan sampai demam menghilang selama 48 jam. Antibiotika profilaksis pada semua seksio sesarea dapat menurunkan angka kesakitan karena infeksi.

Menurut Cunningham (2005) berdasarkan jenis insisi pada perut dan rahim, maka seksio sesarea dibagi 2 yaitu insisi abdominal dan insisi uterus.

3.1 Insisi Horizontal (SC Profunda)

Insisi ini adalah sayatan melintang dimulai dari ujung atau pinggir selangkangan (simpisis) diatas batas rambut kemaluan. Keuntungan insisi ini lebih mudah, penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik, tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran insisi uterus ke rongga peritoneum, tidak menyebabkan perlekatan usus pada garis insisi, risiko perdarahan dan infeksi yang sedikit. Memiliki kemungkinan besar untuk dapat menjalani proses persalinan normal pada kehamilan berikutnya (karena terletak pada lokasi yang sangat kecil kemungkinannya mengalami rupture uteri ).

3.2 Insisi Vertikal (SC Corvora)

Sayatan dibuat secara vertikal (median) tegak lurus mulai dari bawah pusar sampai tulang kemaluan skitar 12 cm. Pembedahan ini dilakukan lapis demi lapis, mulai dari kulit perut sampai rahim. Risiko dari insisi ini 4 kali lebih besar terkena rupture uteri pada kehamilan selanjutnya, otot-otot rahim lebih tebal dan lebih banyak pembuluh darahnya shingga sayatan ini lebih banyak mengeluarkan darah, infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonialisasi yang baik dan harus menjalani seksio sesarea berulang pada kehamilan berikutnya (Mundy, 2004).

Menurut Liu (2007), perawatan praoperasi yang harus dikerjakan sebelum tindakan bedah dimulai terdiri atas : pastikan alasan untuk pembedahan adalah valid dan tepat. Dokter, bidan atau perawat yang bersangkutan harus mengemukakan alasan ini dan mendiskusikannya secara jelas dengan ibu dan pasangannya. Riwayat obstetri dan riwayat medis harus ditinjau ulang. Diskusikan jenis anestesia dengan dokter anesthesia dan ibu, beritahu dokter pediatri pada saat yang tepat, pemeriksaan laboratorium darah, tersedianya 2 unit darah untuk keadaan darurat, berikan antasida, dapatkan persetujuan tertulis, berikan antibiotika profilaksis. Ibu dianjurkan untuk puasa, perawat akan melakukan persiapan pada ibu, seperti pemasangan kateter, pemasangan infus, pemeriksaan vital sign yang lengkap. Kesemua hal tersebut sangat penting diperhatikan, agar proses operasi dapat berjalan dengan baik.

5. Perawatan pascaoperasi

Menurut Kasdu (2003) ibu yang mengalami komplikasi obstetri atau medis memerlukan observasi ketat setelah seksio sesarea, perawatan umum untuk semua ibu meliputi : kaji tanda-tanda vital baik tekanan darah, pernapasan, frekuensi jantung maupun suhu tubuh, dengan interval teratur (15 menit), pastikan kondisinya stabil. Lihat tinggi fundus pastikan rahim berkontraksi dengan baik, adanya perdarahan dari luka dan jumlah lokia, pertahankan keseimbangan cairan, pastikan analgesia yang adekuat, tangani kebutuhan khusus dengan indikasi langsung untuk seksio sesarea, misalnya diabetes mellitus.

Sebelum pemulangan harus diberikan kesempatan sesuai dengan keadaan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien tentang hal-hal yang berhubungan dengan perawatan luka seksio dan lainnya, jadwalkan untuk melakukan pengkajian ulang pasca melahirkan guna memastikan penyembuhan total, mendiskusikan kehamilan berikutnya dan pemakain alat kontrasepsi, dan memastikan tindak lanjut perawatan untuk kondisi medisnya.

6. Risiko operasi seksio sesarea

Operasi seksio sesarea sebaiknya dilakukan karena pertimbangan medis, bukan karena keinginan pasien yang tidak mau menanggung rasa sakit, hal ini karena risiko operasi sesarea lebih besar dari pada persalinan alami. Menurut Benson, 2009) dalam kondisi ibu dan bayi yang sehat dan tidak ada kesulitan, bedah sesarea memiliki risiko. Indikasi untuk melakukan operasi dengan berbagai penyebabnya mengakibatkan angka kesakitan ibu 15%, dan sekitar 90%nya disebabkan infeksi. Risiko pada janin yaitu lahir prematur jika usia gestasi tidak dikaji dengan akurat dan risiko cedera janin dapat terjadi selama pembedahan.. Pada 774 persalinan berikutnya, terjadi 1,03% rupture uteri (rahim yang robek). Risiko ini bisa menimpa ibu maupun bayinya.

Persalinan dengan operasi memiliki kemungkinan risiko lima kali lebih besar terjadi komplikasi dibandingkan persalinan normal. Faktor risiko paling banyak dari operasi sesarea adalah akibat dari tindakan anestesi, jumlah darah yang dikeluarkan oleh ibu selama operasi berlangsung, komplikasi penyulit, endometritis (radang endometrium), tromboplebilitis (pembekuan darah

pembuluh balik), embolisme (penyumbatan pembuluh darah), paru-paru, dan pemulihan bentuk serta letak rahim menjadi tidak sempurna.

Berikut ini adalah risiko-risiko yang mungkin dialami oleh wanita yang melahirkan dengan operasi seksio sesarea yang dapat mengakibatkan cedera pada ibu maupun bayi, dan risiko ini bersifat individual, yaitu tidak terjadi pada semua orang.

a. Alergi

Biasanya risiko ini terjadi pada pasien yang alergi terhadap obat tertentu, seperti antibiotik, oleh sebab itu perlu dilakukan skin tes. Pada awalnya, yaitu pada saat pembedahan, segalanya bisa berjalan lancar sehingga bayi pun lahir dengan selamat. Namun, beberapa jam kemudian, ketika dokter sudah pulang, obat yang diberikan baru bereaksi sehingga jalan pernapasan pasien dapat tertutup. Perlu diketahui, penggunaan obat-obatan pada pasien dengan operasi sesarea lebih banyak dibandingkan dengan cara melahirkan alami. Jenis obat-obatan ini beragam, mulai dari antibiotik, obat untuk pembiusan, penghilang rasa sakit, serta beberapa cairan infus. Oleh karena itu, biasanya sebelum operasi akan ditanyakan kepada pasien apakah mempunyai alergi tertentu (Kasdu, 2003).

b. Perdarahan

Perdarahan dapat mengakibatkan terbentuknya bekuan-bekuan darah pada pembuluh darah balik di kaki dan rongga panggul. Oleh karena itu, sebelum operasi seorang wanita harus melakukan

pemeriksaan darah lengkap. Salah satunya untuk mengetahui masalah pembekuan darahnya. Selain itu, perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang-cabang arteri uteri ikut terbuka atau karena atonia uteri. Kehilangan darah yang cukup banyak dapat menyebabkan syok secara mendadak. Kalau perdarahan tidak dapat diatasi, kadang perlu tindakan histerektomi atau pengangkatan rahim, terutama pada kasus atonia uteri yang berlanjut (Oxorn, 2010).

c. Cedera pada organ lain

Jika tidak dilakukan secara hati-hati, kemungkinan pembedahan dapat mengakibatkan terlukanya organ lain, seperti rektum atau kandung kemih. Penyembuhan luka bekas bedah sesarea yang tidak sempurna dapat menyebabkan infeksi pada organ rahim atau kandung kemih (Benson, 2009).

d. Parut dalam rahim

Seorang wanita yang sudah pernah mengalami pembedahan akan memiliki parut dalam rahim. Oleh karena itu, pada tiap kehamilan dan persalinan berikutnya memerlukan pengawasan yang cermat sehubungan dengan bahaya rupture uteri, meskipun jika opersai dilakukan secara sempurna risiko ini sangat kecil terjadi. Sekitar 1-3% angka kejadian akibat operasi menyebabkan rupture uteri. Biasanya, kondisi ini terjadi apabila menggunakan sayatan klasik atau vertical.

e. Demam

Kadang-kadang, demam setelah operasi tidak bisa dijelaskan penyebabnya. Namun, kondisi ini bisa terjadi karena infeksi. Komplikasi ringan yang sering terjadi adalah kenaikan suhu tubuh selama beberapa hari dalam masa nifas, sedangkan komplikasi berat, seperti peritonitis (radang selaput perut), sepsis (reaksi umum disertai demam karena kegiatan bakteri), atau disebut juga terjadi infeksi puerperal. Infeksi pascaoperasi terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala-gejala infeksi intrapartum atau ada faktor-faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan itu. Misalnya, persalinannya berlangsung lama, khususnya setelah ketuban pecah, telah diupayakan tindakan vaginal sebelumnya (Sarwono, 2008).

7. Menghindarkan bedah sesarea yang tidak perlu

Beberapa peneliti telah membuktikan adanya kemungkinan utuk menurunkan angka seksio sesarea secara bermakna di institusi kesehatan tanpa meningkatkan morbiditas atau mortalitas perinatal. Program-program yang ditujukan untuk mengurangi seksio sesarea yang tidak diperlukan umumnya difokuskan pada upaya pendidikan dan pengawasan sesama kolega. Mendorong percobaan persalinan pada wanita dengan riwayat seksio sesarea transversal dan membatasi seksio sesarea atas indikasi distosia persalinan pada wanita yang memenuhi kriteria yang ditentukan secara ketat (Kasdu, 2003).

8. Partisipasi pasien untuk pengendalian angka bedah seksio sesarea 8.1.Sebelum persalinan

Para ibu harus dianjurkan untuk banyak membaca dan mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, kalau perlu ikut mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh bidan, dokter, ataupun Rumah Sakit. Selain itu disarankan pula (bila memungkinkan) untuk melihat fasilitas empatnya bersalin kelak, lalu bertanya kepada lebih dari satu orang tenaga kesehatan yang mengetahui mengenai persalinan. Jika direncanakan untuk bedah sesarea, mintalah dokter untuk menjelaskan dan membuktikan indikasi medisnya.

8.2.Dalam persalinan

Diusahakan untuk dapat tinggal selama mungkin dirumah, sampai dirasakan bahwa kontraksi rahim sudah sedemikian sering dan kuat sehingga tidak memungkinkan untuk berjalan-jalan atau melakukan aktivitas. Kedatangan yang terlalu dini ke tempat bersalin seringkali justru menimbulkan stres. Para ibu akan mengalami nyeri atau rasa sakit, tetapi sebaiknya tidak meminta untuk dibius (regional maupun umum). Dalam kaitan ini, dukungan dari suami menjadi salah satu faktor penting. Dukungan tersebut harus diarahkan kepada dorongan agar sang istri yang sedang bersalin itu berusaha sekuat tenaga untuk menghindari bedah sesarea. Semua pihak harus menyadari bahwa persalinan atau

kelahiran yang alamiah adalah yang terbaik, sedangkan bedah sesarea sebenarnya merupakan alternatif (Dewi dkk, 2007).

Dokumen terkait