• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM KUMPULAN

1) Persamaan atau Simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit adalah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.

Contoh: Bagai air di daun talas Alisnya seperti semut beriring (2) Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat dengan kias perwujudan.

Contoh di atas mengandung gaya bahasa metafora yaitu buah hatiku yang sangat kusayangi.

(3) Alegori, Parabel, dan Fabel

Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.

Contoh: Cerita tentang Putri Salju.

Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh yang biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral dan biasanya berhubungan dengan agama.

Contoh: Cerita tentang anak yang durhaka pada orang tuanya.

Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang dapat bertingakah laku seperti manusia.

Contoh: Cerita dongeng Si Kancil.

(4) Personifikasi

Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tak bernyawa seolah-olah dapat bertingkah laku seperti manusia

Contoh: Angin malam meraung seolah mengerti kegalauan hatiku.

(5) Alusi

Alusi adalah semacam acuan yang mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, dan peristiwa.

Contoh: Bandung adalah Paris Jawa kebanggaan Indonesia (6) Eponim

Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu.

Contoh: Anak itu masih kecil namun kekuatannya seperti Hercules.

(7) Epitet

Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal.

Contoh: Sang putri malam mulai menunjukkan sinarnya (=bulan) (8) Sinekdoke

Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan bagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (Pars Pro Toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (Totem Pro Parte).

Contoh: Setiap kepala dikenakan iuran Rp 1.000,00 (pars pro toto)

Indonesia memenangkan medali di kejuaraan bulutangkis dunia (totem pro parte) (9) Metonimia

Metonimia adalah gaya bahasa kiasan yang menggunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal yang lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat, atau dengan kata lain metonimia menyatakan sesuatu dengan menyebutkan namanya secara langsung untuk memahami hal yang dimaksud.

Contoh: Baim membeli sebuah Chevrolet.

(10) Antonomasia

Antonomasia adalah sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud pwnggunaan sebuah epite untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri.

Contoh: Yang Mulia tidak dapat hadir pada rapat kerajaan hari ini.

(11) Hipalase

Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu digunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain.

Contoh: Ia berbaring di atas sebuah kasur yang gelisah (yang gelisah adalah manusianya bukan kasurnya).

(12) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan hal yang berlawanan dengan tujuan agar orang yang dituju tersindir secara halus

Contoh: Untuk apa susah-susah belajar, kau kan sudah pintar!

Sinisme adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan hal yang berlawanan dengan tujuan agar orang yang dituju tersindir secara lebih tajam dan menusuk perasaan.

Contoh: Kau kan sudah hebat, tak perlu lagi mendengar nasihat orang tua seperti aku ini!

Sarkasme adalah gaya bahasa yang melontarkan tanggapan secara pedas dan kasar tanpa menghiraukan perasaan orang lain.

Contoh: Sikapmu seperti anjing, dan sifatmu seperti babi!

(13) Satire

Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia.

Contoh: Jangan pernah berfikir kau adalah dewa, menghadapi masalah seperti ini pun kau sudah kewalahan.

(14) Inuendo

Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya.

Contoh: Setiap ada pesta ia pasti sedikit mabuk karena kebanyakan minum.

(15) Antifrasis

Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri.

Contoh: Lihatlah sang raksasa telah datang (maksudnya si Cebol).

(16) Pun atau Paronomasia

Pun atau paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi yang berupa permainan kata, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya.

Contoh: “Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”

Uraian-uraian tersebut di atas memuat tentang gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan yang akan dipergunakan sebagai landasan teori pada penelitian ini. Gaya bahasa ini memiliki fungsi yang berbeda-beda pada setiap kalimat. Ada yang berfungsi sebagai penambah nilai estetik atau keindahan, ada yang memperjelas dan memperkuat makna, atau hanya sekedar hiasan Namun terlepas dari fungsi yang dimilikinya, gaya bahasa tetap memiliki peran yang penting dalam membangun sebuah karya sastra.

Keseluruhan jenis gaya bahasa inilah yang akan diterapkan penggunaannya dalam penelitian ini selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Mukhsin. 1990. Dasar-Dasar Komposisi Bahasa Indonesia. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.

Aminuddin. 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.

Semarang: IKIP Semarang Press.

Ginting, Enda Adelina. 2006. ”Gaya Bahasa Perbandingan dan Penekanan Pada Kumpulan Lagu Iwan Fals”. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Natawidjaja, P. Suparman. 1986. Apresiasi Stilistika. Jakarta: Gramedia.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.

Simon, David. 2002. “Gaya Bahasa Perbandingan Pada Novel Saman Karya Ayu Utami”.

Medan: Universitas Sumatera Utara.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudjiman. Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Utami, Trie. 2006. Cinta Setahun Penuh. Jakarta: Agromedia Pustaka

Wahyu, Ms. dkk. 1987. Petunjuk Praktis Membuat Skripsi. Surabaya: Usaha Nasional.

.

BAB II

GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN

PADA KUMPULAN PUISI “CINTA SETAHUN PENUH” KARYA TRIE UTAMI

2.1 Jenis-jenis Gaya Bahasa Retoris dalam Kumpulan Puisi “Cinta Setahun Penuh”

Karya Trie Utami

Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf,2004:130). Gaya bahasa ini memiliki berbagai fungsi antara lain menjelaskan, memperkuat, menghidupkan obyek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan.

Jenis-jenis gaya bahasa retoris pada Kumpulan Puisi “Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami adalah sebagai berikut ini.

1. Aliteransi

(1) “Aku telah hidup berdampingan dengan derita Dalam jantungnya aku merasakan detak cinta

Dan di sela nadinya kurasakan denyutan bahagia...” (hal. 8)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa aliteransi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan konsonan yang sama di akhir kata, frase, atau kalimat yakni pada frase dengan derita, detak cinta, dan denyutan bahagia. Jadi dengan menggunakan frase dengan derita, detak cinta, dan denyutan bahagia, kalimat tersebut akan membentuk gaya bahasa aliteransi.

(2) “ Kau iris aku, kekasih Tipis berserpih-serpih

Nyerinya melampaui jeritan terompet kiamat Sakitnya teramat dahsyat…” (hal 62)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa aliteransi. Kalimat ini ditandai dengan pengulangan konsonan yang sama di awal, tengah, maupun akhir kalimat yakni pada frase kau iris aku kekasih, tpis berserpih-serpih, jeritan terompet kiamat, dan sakitnya teramat dahsyat. Jadi dengan adanya penggunaan frase tersebut maka kalimat tersebut akan membentuk gaya bahasa aliteransi.

(3) “ Sering bibir terkatup tak bicara Tapi Tuhan tak buta

Setiap tetes air mata…”(hal. 77)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa aliteransi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan konsonan di awal, tengah, maupun akhir kalimat, yakni pada frase sering bibir terkatup tak bicara, tapi Tuhan tak buta, dan setiap tetes air mata. Jadi dengan penggunaan frase tersebut maka kalimat tersebut akan membentuk gaya bahasa aliteransi.

(4) “ Cintaku nyaris punah, terbelah

Persis di tengah-tengah, untukmu setengah Dan sebagiannya musnah…” (hal. 160)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa aliteransi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan konsonan di tengah dan di akhir kalimat yakni pada frase Cintaku nyaris punah, persis di tengah-tengah, untukmu setengah, dan sebagiannya musnah. Jadi dengan penggunaan frase tersebut maka kalimat tersebut akan membentuk gaya bahasa aliteransi.

2) Asonansi

(1) “ Dalam tidurmu kunikmati cinta dalam diam Dalam lelapmu kunikmati asmara dengan diam Dalam dengkurmu kunikmati kasih dengan diam

Tetapi dalam jagamu kunikmati cinta, asmara, dan kasih…”(hal. 10)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama, baik di awal, tengah, maupun akhir kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase Dalam tidurmu kunikmati cinta dalam diam, Dalam lelapmu kunikmati asmara dengan diam, dan Dalam dengkurmu kunikmati kasih dengan diam menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan frase tersebut secara berulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(2) “ Berdua… sepi,

Karena hati tidak lagi bicara Berdua…sendiri,

Karena jiwa tak lagi bersama…” (hal. 11)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Kata berdua dan karena menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan kata tersebut secara berulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(3) “ Kutunjukkan cinta kepadamu, dan kau tak mau tahu

Kutunjukkan nestapa kepadamu, dan kau juga tak mau tahu…” (hal. 13)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di awal, tengah, maupun akhir kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Kalimat Kutunjukkan cinta kepadamu, dan kau tak mau tahu Kutunjukkan nestapa kepadamu, dan kau juga tak mau tahu…” menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase atau kalimat secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(4) “Kau ingat Paris yang dingin?...

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di awal, tengah, maupun akhir kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Kalimat “Kau ingat Paris yang dingin?... Kau ingat Frankfurt yang dingin?... Kau ingat Amsterdam yang dingin?... Kau ingat Tokyo yang dingin?...

Kau ingat Osaka yang dingin?... Kau ingat Yogyakarta yang dingin?... Kau ingat Kuta yang dingin?... Kau ingat kamar kita yang dingin?...” menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase atau kalimat secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(5) “Tak kau lihatkah aku, yang menatapmu dalam kemuraman?

Tak kau dengarkah aku, yang memanggilmu dari kejauhan?

Tak kau rasakah kau, yang menangisi dirimu dalam kepedihan?

Tak kau tatapkah aku, yang menemanimu dalam kesulitan?

Tak kau ingatkah aku, yang mempersembahkanmu pengorbanan?...” (hal. 23)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.

Frase “Tak kau lihatkah aku, tak kau dengarkah aku, tak kau rasakah aku, tak kau tatapkah aku, tak kau ingatkah aku” menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(6) “Nah, keterpisahan… yang tak dimaknai

Nah, keterpisahan… tidak selalu harus dipandang

Nah, keterpisahan… seharusnya dapat menjadi kedekatan

Nah, keterpisahan… sesungguhnya adalah kemesraan yang tertunda…” (hal. 24)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.

Frase Nah, keterpisahan yang digunakan berulang di awal kalimat menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(7) “Sedangkan aku diam saja, engkau tak habis-habisnya menyakiti Sedangkan aku tak bersuara, engkau tak putus-putusnya mencerca

Sedangkan aku tak berbuat apa-apa, engkau tak jua selesai mendera…” (hal. 27)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal, dan di tengah kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase “Sedangkan aku tak, dan frase engkau tak” yang digunakan berulang di awal dan tengah kalimat menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(8) “Jangan datang lagi cinta…engkau hanya membawa duka akhirnya Jangan datang lagi, aku sudah mati…” (hal. 27)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.

Frase “Jangan datang lagi” yang digunakan berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(9) “Pergi darimu? Tak bisa…

Meninggalkanmu? Tak bisa…

Berpisah denganmu? Tak bisa…” (hal. 48)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di akhir kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.

Frase “Tak bisa” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi.

Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(10) “Aku bukan permaisurimu, aku bahkan bukan siapapun itu Aku adalah wanitamu, aku adalah kekasihmu

Aku adalah milikmu, aku adalah kamu Aku kamu…” (hal. 53)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal dan tengah kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase “Aku dan Aku adalah” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(11) “Aduh, aku mati aja engkau tidak ada Aduh, aku mati aja engkau entah dimana Aduh, aku mati aja engkau tiada tiba jua Aduh…” (hal. 81)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.

Frase “Aduh, aku mati aja” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(12) “Katamu kau cinta, tapi membuatku sengsara Katamu kau sayang, tapi kau sering berang

Katamu kau kasih, tapi bikin aku sedih…” (hal. 83)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal dan di tengah kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase “Katamu kau” dan kata “tapi” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(13) “Atas nama cinta engkau berdusta

Atas nama cinta engkau membuatku lara Dan atas nama cinta juga aku berkata benar

Agar atas nama cinta aku dapat bersabar…” (hal.88)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal dan di tengah kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase “Atas nama cinta” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(14) “Katakan saja, cinta atau tidak cinta

Katakan saja sekarang, jujur dan terus terang Katakan saja apa adanya…” (hal. 91)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.

Frase “Katakan saja” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(15) “Aku menerima cinta dalam bhakti satya Aku menerima cinta dalam sembah puja

Aku menerima cinta dalam citta dan dukkha…” (hal. 108)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.

Frase “Aku menerima cinta dalam” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

(16) “Cinta yang lengkap ada padaku, cinta yang selembut beledu Cinta yang patuh pada bisu, cinta yang pasrah pada waktu Cinta yang saestu…” (hal. 121)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal dan tengah kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase “Cinta yang” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

3) Anastrof

Gaya bahasa anastrof adalah sejenis gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat dengan membalikkan unsur kalimatnya. Dalam kumpulan puisi “Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami ini, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa anastrof tersebut..

4) Apofasis atau Preterisio

(1) “Karena aku adalah cinta yang kau dambakan Walau engkau tak ingin terjebak pada kejujuran Yang kau pikir adalah sebuah kehinaan…” (hal. 17)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa apofasis atau preterisio. Kalimat ini ditandai dengan

menyangkal. Kalimat “Karena aku adalah cinta yang kau dambakan, Walau engkau tak ingin terjebak pada kejujuran, Yang kau pikir adalah sebuah kehinaan…” menunjukkan adanya gaya bahasa apofasis atau ptererisio. Jadi, dengan adanya gaya di mana penulis berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa apofasis atau preterisio.

(2) “Sering kita salah duga

Cinta yang penuh pengorbanan ternyata hanyalah sebuah ajang kepentingan.

Dan celakanya, kita belum tentu mampu merasakan perbedaannya…” (hal. 21)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa apofasis atau preterisio. Kalimat ini ditandai dengan adanya sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi seolah-olah menyangkal. Kalimat “Sering kita salah duga, cinta yang penuh pengorbanan ternyata hanyalah sebuah ajang kepentingan. Dan celakanya, kita belum tentu mampu merasakan perbedaannya…” menunjukkan adanya gaya bahasa apofasis atau ptererisio.

Jadi, dengan adanya gaya di mana penulis berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa apofasis atau preterisio.

(3) “Semua menjadi tak ada artinya Cinta dan benci menjadi sama…

Rasanya tak berbeda

Sebab murka telah menghiasi setiap akar dan batangnya…” (hal 25)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa apofasis atau preterisio. Kalimat ini ditandai dengan adanya sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi seolah-olah menyangkal. Kalimat “Semua menjadi tak ada artinya, Cinta dan benci menjadi sama…

Rasanya tak berbeda, Sebab murka telah menghiasi setiap akar dan batangnya…” menunjukkan adanya gaya bahasa apofasis atau ptererisio.

Jadi, dengan adanya gaya di mana penulis berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa apofasis atau preterisio

5) Apostrof

Gaya bahasa apostrof merupakan gaya bahasa yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. alam kumpulan puisi “Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami ini, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa apostrof tersebut.

6) Asindeton

(1) “Kucium engkau pagi, siang, malam dengan segenap kasih

Aku akan tetap menciummu pagi, siang, malam sampai renta tiba… (hal. 3)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata atau frase yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Frase “pagi, siang, malam” menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton. Jadi dengan menggunakan kata atau frase yang sederajat tetapi tidak menggunakan kata sambung maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asindeton.

(2) “Tak perlu menggerutu

Menekan hatiku, mengoyak jiwaku, merobek perasaanku Dengan kalimat tak bermutu memaksa diriku…” (hal. 40)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata atau frase yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.

Frase “Menekan hatiku, mengoyak jiwaku, merobek perasaanku” menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton. Jadi dengan menggunakan kata atau frase yang sederajat tetapi tidak menggunakan kata sambung maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asindeton.

(3) “Sekarang aku tak punya apa-apa

Sekecil apapun tak tersisa, yang tinggal cuma Duka, derita, lara, sengsara, nelangsa…” (hal. 109)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata atau frase yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Kata “ duka,

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata atau frase yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Kata “ duka,

Dokumen terkait