GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM KUMPULAN PUISI “ CINTA SETAHUN PENUH”
KARYA TRIE UTAMI
(SUATU TINJAUAN STILISTIKA)
SKRIPSI
OLEH
IMRAN RAMBE NIM 03070130
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2007
GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN
DALAM KUMPULAN PUISI “CINTA SETAHUN PENUH “ KARYA TRIE UTAMI
(SUATU TINJAUAN STILISTIKA) OLEH:
IMRAN RAMBE FAKULTAS SASTRA USU
Abstrak
Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan ciri dan kepribadian penulis (pemakai bahasa) tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk meninjau penggunaan jenis-jenis gaya bahasa kiasan dan retoris pada kumpulan puisi “Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak. Sedang teknik dasar yang digunakan adalah teknik sadap dan kemudian dilanjutkan dengan teknik catat. Pengkajian data dilakukan dengan metode agih. Sedang teknik dasar yang digunakan adalah Teknik Baca Markah atau BM. Disebut demikian karena cara yang digunakan pada awal kerja analisis ini ialah dengan “Membaca Markah”.
Penelitian ini menggunakan pendekatan stilistika. Stilistika merupakan kajian wacana sastradengan orientasi lingustik. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi dalam arti memamfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu.
Dari hasil penelitian ini, kita dapat menilai kemampuan seorang penulis dalam menciptakan sebuah cipta sastra yang dianggap sebagai hasil karya sastra yang berbobot. Karya sastra yang baik adalah karya yang mampu merefleksikan pengalaman, nilai-nilai, pandangan, pikiran yang istimewaatau khusus.
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, atas rahmat dan hidayah-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak menemui kesulitan. Tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak maka penulisan skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktunya.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya:
1) Ayah dan mamaku yang tercinta, yang selalu memberikan kasih sayangnya walaupun penulis banyak melakukan kesalahan.
2) Bapak Dekan, Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III, Fakultas Sastra USU.
3) Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum dan Ibu Dra. Mascahaya M.Hum, sebagai ketua dan sekretaris Departemen Sastra Indonesia.
4) Bapak Prof. Ahmad Samin Siregar, S.S. sebagai dosen pembimbing I dan Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. sebagai dosen pembimbing II yang banyak memberikan saran dan masukan sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
5) Bapak Drs. Amhar Kudadiri selaku dosen wali penulis yang banyak memberikan nasehat akademik.
6) Seluruh Staff pengajar dan pegawai administrasi di Departemen Sastra Indonesia, khususnya kak Fitri yang begitu banyak menolang penulis menyelesaikan masalah administrasi.
7) Abang dan Kakakku tercinta, Sahril Rambe dan Nurleli Rambe, love u brothers.
8) Mami dan Alm.Papi (camerku tercinta), Anta, kak sariani, kak mamak beby, abang pajak sore, pingkan, boy, beby, abang berastagi, karo cantik, u are nice family. Mohon doa restunya ya!
9) Keponakan-keponakanku tersayang Faldly dan Pili, Tulang sayang kalian.
10) Sahabat- sahabatku Hendrik, Supri, Sahnal, Nieta, Ridwan, Armay, B yudi, Kak Hesty, kak Siti, Kak Nona, Kak Noni, B fahri,B Jefri,B David, B icon, B Anhar, Irfan IMAPA,Evan, Isan, Tama, Armen, Ori, Isyam, Wanto, Filemon, Nico, Benk2, Andre, Lutfi, Daniel (Tape), Sabrun, masih banyak lagi yang selalu menolong penulis.
11) Sahabat-sahabatku STAMBUK 03, Lia, Lida, Dy2, Ade, Tia, Nova dan pacarnya Harun, Tina, Emva, Pasca (badboy), Julifer.
12) Terakhir, selalu sungguh amat sangat terbilang besar terima kasih dan cinta saya untuk Enda Adelina Ginting, S.S.(ADHE). Terima kasih atas cinta, sayang dan perbuatan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, tanpa kamu aku bukanlah siapa-siapa, kamulah surgaku yang ada.
Akhir kata, tidak ada gading yang tidak retak. Demikian pula dengan skripsi ini.
Apabila ada kata-kata yang kurang berkenan, penulis mohon maaf. Kritik dan saran penulis harapkan demi penyempurnaan skripsi ini untuk selanjutnya.
Medan, Desember 2007 Penulis,
Imran Rambe Nim 030701030
DAFTAR ISI
Hal PERNYATAAN
ABSTRAK ... i
PRAKATA ... ii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1
1.1.1 Latar Belakang ... 1
1.1.2 Masalah ... 3
1.2 Batasan Masalah... 3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3
1.3.1 Tujuan Peneliataan ... 3
1.3.2 Manfaat Penelitiaan ... 3
1.4 Metode Penelitiaan ... 4
1.4.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 4
1.4.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data ... 5
1.5 Landasan Teori ... 6
BAB II GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM KUMPULAN PUISI “ CINTA SETAHUN PENUH” KARYA TRIE UTAMI ... 17
2.1 Jenis-jenis Gaya Bahasa Retoris dan Kiasan dalam Kumpulan Puisi “ Cinta Setahun Penuh” Karya Trie Utami ... 17
1) Aliteransi ... 17
2) Asonansi ... 18
3) Anastrof ... 24
4) Apofasis atau Preterisio ... 24
5) Apostrof ... 26
6) Asindeton ... 26
7) Polisindeton ... 27
8) Kiasmus ... 28
9) Elipsis ... 29
10) Eufemisme ... 30
11) Litotes ... 30
12) Histeron Proteron (Hiperbaton) ... 31
13) Pleonasme dan Tautologi ... 31
14) Perifrasis ... 35
15) Prolepsis atau Antisipasi ... 36
16) Erotesis atau Pertanyaan Retoris ... 36
17)Silepsis dan Zeugma ... 50
18) Koreksio atau Epanortosis ... 51
19) Hiperbol ... 51
20) Paradoks ... 54
21) Oksimoron ... 55
2.2 Jenis-jenis Gaya Bahasa Kiasan dalam Kumpulan Puisi “ Cinta Setahun Penuh” Karya Trie Utami ... 58
1) Persamaan atau Simile ... 58
2) Metafora ... 65
3) Alegori, Parabel, Fabel ... 69
4) Personifikasi ... 69
5) Alusi ... 75
6) Eponim ... 76
7) Epitet ... 78
8) Sinekdoke ... 79
9) Metonimia ... 79
10) Antonomasia ... 79
11) Hipalase ... 82
12) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme ... 82
13) Satire ... 88
14) Inuendo ... 89
15) Antifrasis ... 89
16) Pun atau Paranomasia ... 89
BAB III SIMPULAN DAN SARAN ... 90
3.1 Simpulan ... 90
3.2 Saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 92
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar keserjanaan yang saya peroleh.
Medan, Desember 2007
Imran Rambe
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang
Dalam mencapai kehidupan yang lebih sempurna, manusia selalu berusaha mencukupi kebutuhan jasmani dan rohani. Salah satu kebutuhan rohani manusia itu adalah keindahan atau seni. Keindahan atau seni ini dapat diperoleh dari karya sastra..
Sastra pada hakekatnya merupakan proses ingin tahu manusia di dalam memenuhi kepuasannya akan sesuatu. Melalui sastra, seseorang dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Penyampaian pikiran dan perasaan, tersebut dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari gaya bahasa yang digunakan, penggunaan kata dalam kalimat, pengungkapkan sesuatu dengan bahasa yang indah, dan masih banyak lagi. Dengan demikian, pengungkapan perasaan dan pikiran seseorang dapat bervariasi jumlahnya.
Gaya ialah segala sesuatu yang memberikan ciri khas pada sebuah teks dan yang menjadikan teks itu seperti individu jika dibandingkan dengan teks lain. Gaya bahasa itu sendiri sesungguhnya terdapat pada seluruh ragam bahasa, seperti ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulisan. Pada ragam bahasa lisan seseorang dapat menyatakannya dengan mimik, tekanan suara, gerak tubuh, dan lain-lain. Sementara pada ragam bahasa tulisan seseorang dapat menyatakan pikiran dan perasaannya melalui karya sastra yang dihasilkannya.
Gaya bahasa yang dimiliki setiap individu dapat dituangkan melalui karya yang dihasilkannya seperti cerpen, novel, esei, prosa, drama, puisi, lagu, ataupun ceramah.
Gaya bahasa tersebut yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini yang diambil dari salah satu jenis ragam tulisan yaitu kumpulan puisi. Kumpulan puisi yang akan diteliti selanjutnya adalah kumpulan puisi yang berjudul ”Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami. Kumpulan puisi ini terdiri dari 186 halaman dan 366 buah puisi. Kumpulan puisi Trie Utami ini memiliki berbagai gaya bahasa sesuai dengan ciri khas Trie Utami dalam menyampaikan ide dan gagasannya lewat puisi yang diciptakannya.
Trie Utami memiliki nama lengkap Trie Utami Sari biasa dipanggil dengan sebutan Iie, lahir di Bandung tanggal 8 Januari 1968. Setelah lulus dari SLTA beliau memutuskan untuk terjun ke dunia musik dan memperdalam ilmunya di bidang tersebut.
Iie merupakan penyanyi wanita Indonesia yang sangat berbakat dan banyak memiliki prestasi di bidang musik sehingga namanya terkenal hingga ke mancanegara. Sepanjang karirnya, ia selalu mencurahkan isi hatinya lewat lagu-lagu ciptaannya. Namun, ketika memutuskan untuk berpisah dengan suami tercinta ia pun menuangkan isi hatinya melalui puisi yang telah dirangkumnya menjadi sebuah buku kumpulan puisi.
Pada kumpulan puisi ”Cinta Setahun Penuh” yang selanjutnya akan disingkat banyak dituangkan berbagai kata dan gaya bahasa yang kreatif dan menarik.
Contoh: ”Mungkin engkau lupa, sering bibir terkatup tak bicara Tapi Tuhan tak buta
Setiap tetes airmata akan terhitung dengan sempurna Dan sampai dihidupmu sebagai karma (CSP, 2006:77)
Dari contoh di atas terdapat gaya bahasa asonansi. Gaya bahasa tersebut dapat dilihat pada perulangan bunyi vokal yang sama, untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.
Penelitian tentang gaya bahasa sudah diteliti sebelumnya oleh David Simon (2002) yang membahas tentang gaya bahasa perbandingan pada novel Saman karya Ayu Utami dan Enda Adelina (2006) yang membahas gaya bahasa perbandingan dan penekanan pada kumpulan lagu Iwan Fals. Penelitian ini berbeda dari sebelumnya karena penelitian ini membahas tentang gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan pada kumpulan puisi bukan pada novel ataupun lagu. Penelitian yang dilakukan oleh David Simon dan Enda Adelina ini ditinjau dari segi fungsional gaya bahasa menurut Mukhsin Ahmadi, sedangkan penelitian seputar gaya bahasa yang saya lakukan ditinjau dari segi langsung tidaknya makna gaya bahasa menurut Gorys Keraf. Hal ini yang membuat peneliti merasa penelitian tersebut layak dan menarik untuk dibahas apalagi seniman Trie Utami ini terkenal begitu berbakat sebagai musisi maupun sebagai pengarang suatu karya sastra.
1.1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian ini maka pokok permasalahan yang akan dibicarakan adalah bagaimana jenis-jenis gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan yang terdapat pada kumpulan puisi ”Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami.
1.2 Batasan Masalah
Menurut Gorys Keraf (2004:129) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris terdiri atas 21 jenis dan gaya bahasa kiasan terdiri atas 16 jenis.
Sesuai dengan judul yang telah dikemukakan, penelitian ini membatasi masalah mengenai bahan kajian judul tersebut. Adapun pembatasan masalah tersebut hanya terbatas pada gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan yang terdapat dalam kumpulan puisi Trie Utami ”Cinta Setahun Penuh”.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dibicarakan, penelitian tentang gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan pada kumpulan puisi Trie Utami ”Cinta Setahun Penuh”
bertujuan untuk menguraikan atau mendeskripsikan gaya bahasa yang dipergunakan pada kumpulan puisi ”Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian tentang gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan pada kumpulan puisi ”Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Menambah pengetahuan pada bidang ilmu stilistika yang secara umum memberikan manfaat bagi para pemerhati karya sastra.
2. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin membicarakan gaya bahasa pada jenis karya sastra yang lainnya.
3. Menambah wawasan dan khasanah bagi para pembaca dan penikmat karya sastra tentang gaya bahasa pada puisi.
1.4 Metode Penelitian
1.4.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Data pada penelitian ini adalah data tulisan yang bersumber dari kumpulan puisi
”Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami. Oleh karena itu, metode penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah metode simak atau penyimakan. Menurut Sudaryanto (1993:133) ”disebut metode simak atau penyimakan karena memang berupa penyimakan: dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa”. Dalam hal ini tentunya adalah menyimak bahasa (kata) yang dipergunakan pengarang dalam kumpulan puisi ”Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami. Selanjutnya untuk mengembangkan metode simak digunakan juga teknik sadap sebagai teknik dasar. Teknik sadap digunakan dengan cara mengambil suatu kata dari suatu kalimat yang menunjukkan adanya gaya bahasa dalam kalimat tersebut. Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik catat sebagai teknik lanjutan dari metode simak. Teknik catat digunakan untuk nencatat kata-kata yang telah disadap dari suatu kalimat yang menunjukkan adanya gaya bahasa.
Metode dalam analisis gaya bahasa perbandingan pada kumpulan puisi ini adalah metode agih. Disebut metode agih karena metode ini beranggapan bahwa alat penentunya adalah bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:15). Teknik dasar yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik baca markah atau BM. Disebut demikian karena cara yang digunakan pada awal kerja analisis ini adalah ”Membaca Markah”.
Dalam hal ini, yang dimaksud adalah pemarkah itu (baik secara sintaksis, morfologis, ataupun dengan cara yang lain lagi) menunjukkan suatu kejatian satuan lingual atau identitas konstituen tertentu; dan kemampuan pembaca membaca peranan pemarkah itu (marker) berarti kemampuan menentukan kejatian yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:95).
Contoh: ”Bahagia untukmu, adalah duka dihatiku
Dan ketika kau tertawa, maka lukaku jadi sempurna. (CSP, 2006:100)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa paradoks. Kalimat tersebut ditandai dengan pemarkah bahagia untukmu adalah duka dihatiku. Kemudian dalam kalimat ’ketika kau tertawa maka lukaku jadi sempurna’. Kalimat ini digunakan untuk memperjelas atau menekankan bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Hal ini bisa terjadi karena kumpulan puisi Trie Utami mengandung daya kreatif yang tinggi sehingga menghasilkan suatu karya sastra yang mengandung nilai estetik yang dapat menimbulkan kesan tersendiri terhadap para pembaca karya sastra tersebut.
1.4.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data
Metode dalam analisis gaya bahasa retoris dan kiasan pada kumpulan puisi ”Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami ini adalah metode agih. Disebut metode agih karena metode ini beranggapan bahwa alat penentunya adalah bagian dari bahasa yang bersangkutan. (Sudaryanto, 1993:15)
Teknik dasar yang dipergunakan pada penelitian ini adalah Teknik Baca Markah atau BM. Disebut dengan Teknik Baca Markah karena cara yang digunakan pada awal kerja analisis ini adalah dengan “Membaca Markah”. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah pemarkah (baik secara sintaksis, morfologis, ataupun dengan cara yang lain lagi) menunjukkan suatu kejatian satuan lingual atau identitas konstituen tertentu. Kemampuan pembaca membaca peranan markah itu (marker) berarti kemampuan menentukan kejatian yang dimaksud. (Sudaryanto, 1993:95). Kejatian yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu komponen kata yang menunjukkan keaslian atau identitas sehingga kita sebagai pembaca dapat melihat secara jelas pemarkah yang menandai suatu kalimat.
Contoh 1: “Katakan saja,
Cinta atau tidak cinta, aku kan tidak pernah meminta Katakan saja sekarang,
Jujur dan terus terang, supaya aku bisa hidup tenang Katakan saja apa adanya,
Cinta atau tidak cinta, buatku toh sama saja”.(CSP, 2006:91)
Kalimat di atas merupakan jenis gaya bahasa asonansi. Kalimat tersebut ditandai dengan pemarkah ’katakan saja’ secara berulang-ulang. Frase ’katakan saja’ ini digunakan untuk memperjelas atau lebih menekankan makna dari frase ’katakan saja’ itu.
Contoh 2: ”Bayanganmu sungguh mengganggu Berjoget-joget di jendela mataku Sudah kubuang tak juga mau hilang
Sudah kuhapus masih juga tembus”.(CSP, 2006:91)
Contoh di atas adalah kalimat yang mengandung unsur gaya bahasa personifikasi.
Kalimat itu ditandai dengan pemarkah ‘berjoget-joget’. Kalimat “bayanganmu sungguh mengganggu, berjoget-joget di jendela mataku” mengandung perilaku yang hanya mampu dilakukan oleh manusia. Namun, dalam gaya bahasa personifikasi kata ‘berjoget’
dapat digunakan pada binatang atau benda lainnya. Hal ini terjadi karena bahasa pada karya sastra mengandung nilai keindahan yang dapat menimbulkan kesan tersendiri terhadap para pembacanya.
1.5 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori stilistika. Istilah stilistika berasal dari bahasa Latin yaitu style yang berarti gaya bahasa. Style adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams, dalam Nurgiyantoro 1995:276). Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan bahasa dalam sastra atau bagaimana cara seorang pengarang mengungkapkan pikiran dan perasaan yang ada dalam benaknya seperti pada kumpulan puisi ”Cinta Setahun Penuh”.
Stilistika merupakan ilmu yang kajiannya terhadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat didalam karya sastra (Nurgiyantoro,1995:279).
Kajian stilistika itu sendiri sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa, tak terbatas pada sastra saja, namun biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra. Stilistika dapat dianggap menjembatani kritik sastra di satu pihak dan linguistik di pihak yang lain, karena stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan dengan wacana nonsastra (Sudjiman,1993:3). Stilistika merupakan suatu ilmu yang didalamnya juga dipelajari tentang kata-kata berjiwa, gaya bahasa, maupun unsur-unsur lain yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Sesungguhnya, stilistika bukanlah merupakan ilmu yang baru muncul seketika.
Stilistika merupakan peninggalan orang Yunani. Mereka sudah mengenal dan mulai mengembangkan sendiri teori-teori mengenai gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan bahasa dalam prosa atau bagaimana cara seorang pengarang mengungkapkan isi pikiran dan perasaan yang terdapat dalam hatinya. Pada masa Yunani zaman dahulu itu terdapat dua aliran terkenal yaitu:
1. Aliran Platonik
Aliran ini memiliki anggapan bahwa gaya bahasa merupakan kualitas suatu ungkapan. Mereka menganggap bahwa ungkapan ada yang mengandung gaya bahasa dan ada juga yang tidak memiliki gaya bahasa.
2. Aliran Aristoteles
Aliran ini memiliki anggapan bahwa gaya bahasa adalah suatu kualitas yang inheren terdapat dalam setiap ungkapan.
Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa aliran Plato mengatakan bahwa setiap karya sastra ada yang memiliki gaya dan ada yang tidak memiliki gaya.
Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa semua karya sastra memiliki gaya. Hanya saja karya tersebut ada yang memiliki gaya yang tinggi dan ada yang memiliki gaya yang rendah, ada yang memiliki gaya yang kuat dan ada yang memiliki gaya yang lemah, serta ada yang memiliki gaya yang baik dan ada juga yang memiliki gaya yang tidak baik.
Beberapa pakar linguistik telah mencoba memberikan batasan atau rumusan mengenai gaya bahasa. Menurut Ahmadi (1990:170) ”gaya bahasa merupakan penggunaan bahasa yang istimewa, dan tidak dapat dipisahkan dari cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan (memantulkan, mencerminkan) pengalaman, nilai-nilai kualitas kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa atau khusus”.
Selanjutnya menurut Natawidjadja (1986:73) ”gaya bahasa merupakan pernyataan dengan pola-pola tertentu, sehingga mempunyai efek tersendiri bagi pemerhati”. Lain halnya menurut Sudjiman (1993) ”gaya bahasa merupakan cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu”. Selanjutnya menurut Keraf (1998:113) ”gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan ciri dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)”.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan kemampuan dari seorang pengarang mempergunakan ragam bahasa tertentu dalam menuliskan sebuah karya sastra, dan ragam bahasa tersebut sudah mempunyai pola-pola tertentu dan akan memberi kesan pada pembaca atau pendengar puisi itu.
Menurut Keraf (2004:129), berdasarkan langsung tidaknya makna, gaya bahasa dapat dibedakan menjadi dua golongan. Pertama, gaya bahasa retoris, yang terdiri atas aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, histeron proteron (hiperbaton), pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradoks, dan oksimoron. Sedangkan yang kedua, gaya bahasa kiasan, terdiri atas persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, inuendo, antifrasis, dan pun atau paronomasia.
1) Gaya Bahasa Retoris
Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf,2004:130).
Gaya bahasa ini memiliki berbagai fungsi antara lain menjelaskan, memperkuat, menghidupkan obyek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan.
Gaya bahasa perbandingan dapat dibedakan atas:
(1) Aliteransi
Aliteransi adalah gaya bahasa yang berwujud pengulangan konsonan yang sama, baik di awal, di tengah, maupun di akhir kata, frase, atau kalimat. Biasanya dipergunakan dalam puisi, prosa, untuk perhiasan dan penekanan.
Contoh: Takut titik lalu tumpah
Keras-keras kerak kena air lembut juga.
(2) Asonansi
Asonansi adalah gaya bahasa yang berwujud pengulangan vokal yang sama, baik di awal, tengah, maupun di akhir kata, frase, atau kalimat. Biasanya dipergunakan dalam
puisi, kadang-kadang juga dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.
Contoh: Aku adalah wanitamu, aku adalah kekasihmu, dan aku adalah kamu.
(3)Anastrof
Anastrof atau inversi adalah gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat dengan membalikkan unsur kalimatnya.
Contoh: Sangat pintar sekali anaknya itu.
(4) Apofasis atau Preterisio
Apofasis atau sering disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu.
Contoh: Jika bukan karena saudaramu yang sangat baik hati itu, sudah lama ingin saya katakan hal yang memalukan itu.
(5) Apostrof
Apostrof adalah gaya bahasa yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasa dipergnakan oleh para orator klasik.
Contoh: Wahai kamu para dewa-dewi yang berada di surga, kirimkanlah kami malaikatmu untuk bebas dari semua kesengsaraan yang membelenggu kami.
(6) Asindeton
Asindeton adalah gaya bahasa yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frase, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.
Contoh: Adhe menginginkan kemewahan, kekuasaan, kekayaan, kemegahan, dan kehidupan putri bangsawan.
(7) Polisindeton
Polisindeton adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari asindeton.
Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu dengan yang lain dengan menggunakan kata-kata sambung.
Contoh: Dan kemanakah aku harus pergi, dan mengadu nasibku, dan menumpahkan seluruh amarahku?
(8) Kiasmus
Kiasmus (chiasmus) adalah gaya bahasa atau acuan yang terdiri atas dua bagian baik frase maupun klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya.
Contoh: Semua kesabaranku sudah hilang, lenyap sudah kepercayaan yang kuberikan padamu.
(9) Elipsis
Elipsis adalah suatu gaya bahasa yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.
Contoh: Wanita yang bertubuh sintal itu menangis. Air matanya mengalir terus.
(10) Eufemismus
Eufemismus atau eufemisme diturunkan dari kata Yunani euphemizein yang berarti ”mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik”.
Sebagai gaya bahasa, eufemisme adalah acuan berupa unngkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang lain, atau ungkapan-ungkapan halus sebagai pelembut dalam menyatakan sesuatu hal atau keadaan.
Contoh: Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini (=gila).
(11) Litotes
Litotes adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri.
Contoh: Di gubuk yang kecil inilah kami selama ini bertempat tinggal.
(12) Histeron Proteron
Histeron Proteron adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesutu yang terjadi kemudian di awal peristiwa.
Contoh: Bila ia sudah berhasil menyeberangi pulau yang luas itu, sampailah ia di sebuah desa kecil yang sangat indah pemandangannya.
(13) Pleonasme dan Tautologi
Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang menggunakan kata- kata lebih banyak daripada yang diperlukan dalam menyatakan suatu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan tetapi maknanya tetap utuh.
Contoh: Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri.
Sedangkan tautologi menyatakan sesuatu dengan cara yang berbeda tanpa mengubah unsur kata lain, namun memberi penegasan yang lebih kuat tapi sebenarnya berlebihan.
Contoh: Tidak bisa, tidak mungkin aku dipisahkan darinya.
(14) Perifrasis
Sebenarnya perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja Contoh: Ia telah beristirahat dengan damai (=meninggal)
(15) Prolepsis atau Antisipasi
Prolepsis atau Antisipasi adalah gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan sebenarnya terjadi.
Contoh: Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan BMW biru.
(16) Erotesis atau Pertanyaan Retoris
Erotesis atau pertanyaan retoris adalah pertanyaan yang dipergunakan dalam suatu pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban.
Contoh: Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini?
(17) Silepsis dan Zeugma
Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama.
Dalam silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar.
Contoh: Ia sudah kehilangan topi, kepala, dan semangatnya.
Sedangkan zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya (baik secara logis maupun gramatikal).
Contoh: Dengan membelalakkan mata dan telinganya, ia mengusir kedua orang itu.
(18) Koreksio atau Epanortosis
Koreksio atau eparnotosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.
Contoh: Saya sangat benci pada Baim, eh maksud saya benar-benar cinta.
(19) Hiperbol
Hiperbol adalah jenis gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal.
Contoh: Aku hampir meledak menyaksikan peristiwa itu.
(20) Paradoks
Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Contoh: Ia merasa sangat kesepian di tengah pesta yang meriah itu.
(21) Oksimoron
Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan, namun sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks.
Contoh: Keramah-tamahan yang ditunjukkannya benar-benar bengis.
2) Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba untuk menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut (Keraf, 2004:136). Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Kelompok pertama dalam contoh berikut termasuk gaya bahasa langsung sedangkan kelompok kedua termasuk gaya bahasa kiasan:
(1) Dia sama pintar dengan abangnya
Kerbau itu sama kuatnya dengan banteng (2) Matanya seperti bintang timur
Rambutnya seperti mayang terurai.
Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya.
Perbandingan biasa mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang sama, sedangkan perbandingan kedua sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang berlainan.
Gaya bahasa kiasan dapat dibedakan atas:
(1) Persamaan atau Simile
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit adalah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.
Contoh: Bagai air di daun talas Alisnya seperti semut beriring (2) Metafora
Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat dengan kias perwujudan.
Contoh di atas mengandung gaya bahasa metafora yaitu buah hatiku yang sangat kusayangi.
(3) Alegori, Parabel, dan Fabel
Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.
Contoh: Cerita tentang Putri Salju.
Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh yang biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral dan biasanya berhubungan dengan agama.
Contoh: Cerita tentang anak yang durhaka pada orang tuanya.
Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang dapat bertingakah laku seperti manusia.
Contoh: Cerita dongeng Si Kancil.
(4) Personifikasi
Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda- benda mati atau barang-barang yang tak bernyawa seolah-olah dapat bertingkah laku seperti manusia
Contoh: Angin malam meraung seolah mengerti kegalauan hatiku.
(5) Alusi
Alusi adalah semacam acuan yang mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, dan peristiwa.
Contoh: Bandung adalah Paris Jawa kebanggaan Indonesia (6) Eponim
Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu.
Contoh: Anak itu masih kecil namun kekuatannya seperti Hercules.
(7) Epitet
Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal.
Contoh: Sang putri malam mulai menunjukkan sinarnya (=bulan) (8) Sinekdoke
Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan bagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (Pars Pro Toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (Totem Pro Parte).
Contoh: Setiap kepala dikenakan iuran Rp 1.000,00 (pars pro toto)
Indonesia memenangkan medali di kejuaraan bulutangkis dunia (totem pro parte) (9) Metonimia
Metonimia adalah gaya bahasa kiasan yang menggunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal yang lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat, atau dengan kata lain metonimia menyatakan sesuatu dengan menyebutkan namanya secara langsung untuk memahami hal yang dimaksud.
Contoh: Baim membeli sebuah Chevrolet.
(10) Antonomasia
Antonomasia adalah sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud pwnggunaan sebuah epite untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri.
Contoh: Yang Mulia tidak dapat hadir pada rapat kerajaan hari ini.
(11) Hipalase
Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu digunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain.
Contoh: Ia berbaring di atas sebuah kasur yang gelisah (yang gelisah adalah manusianya bukan kasurnya).
(12) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme
Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan hal yang berlawanan dengan tujuan agar orang yang dituju tersindir secara halus
Contoh: Untuk apa susah-susah belajar, kau kan sudah pintar!
Sinisme adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan hal yang berlawanan dengan tujuan agar orang yang dituju tersindir secara lebih tajam dan menusuk perasaan.
Contoh: Kau kan sudah hebat, tak perlu lagi mendengar nasihat orang tua seperti aku ini!
Sarkasme adalah gaya bahasa yang melontarkan tanggapan secara pedas dan kasar tanpa menghiraukan perasaan orang lain.
Contoh: Sikapmu seperti anjing, dan sifatmu seperti babi!
(13) Satire
Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia.
Contoh: Jangan pernah berfikir kau adalah dewa, menghadapi masalah seperti ini pun kau sudah kewalahan.
(14) Inuendo
Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya.
Contoh: Setiap ada pesta ia pasti sedikit mabuk karena kebanyakan minum.
(15) Antifrasis
Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri.
Contoh: Lihatlah sang raksasa telah datang (maksudnya si Cebol).
(16) Pun atau Paronomasia
Pun atau paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi yang berupa permainan kata, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya.
Contoh: “Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”
Uraian-uraian tersebut di atas memuat tentang gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan yang akan dipergunakan sebagai landasan teori pada penelitian ini. Gaya bahasa ini memiliki fungsi yang berbeda-beda pada setiap kalimat. Ada yang berfungsi sebagai penambah nilai estetik atau keindahan, ada yang memperjelas dan memperkuat makna, atau hanya sekedar hiasan Namun terlepas dari fungsi yang dimilikinya, gaya bahasa tetap memiliki peran yang penting dalam membangun sebuah karya sastra.
Keseluruhan jenis gaya bahasa inilah yang akan diterapkan penggunaannya dalam penelitian ini selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Mukhsin. 1990. Dasar-Dasar Komposisi Bahasa Indonesia. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Aminuddin. 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang: IKIP Semarang Press.
Ginting, Enda Adelina. 2006. ”Gaya Bahasa Perbandingan dan Penekanan Pada Kumpulan Lagu Iwan Fals”. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Natawidjaja, P. Suparman. 1986. Apresiasi Stilistika. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.
Simon, David. 2002. “Gaya Bahasa Perbandingan Pada Novel Saman Karya Ayu Utami”.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sudjiman. Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Utami, Trie. 2006. Cinta Setahun Penuh. Jakarta: Agromedia Pustaka
Wahyu, Ms. dkk. 1987. Petunjuk Praktis Membuat Skripsi. Surabaya: Usaha Nasional.
.
BAB II
GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN
PADA KUMPULAN PUISI “CINTA SETAHUN PENUH” KARYA TRIE UTAMI
2.1 Jenis-jenis Gaya Bahasa Retoris dalam Kumpulan Puisi “Cinta Setahun Penuh”
Karya Trie Utami
Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf,2004:130). Gaya bahasa ini memiliki berbagai fungsi antara lain menjelaskan, memperkuat, menghidupkan obyek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan.
Jenis-jenis gaya bahasa retoris pada Kumpulan Puisi “Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami adalah sebagai berikut ini.
1. Aliteransi
(1) “Aku telah hidup berdampingan dengan derita Dalam jantungnya aku merasakan detak cinta
Dan di sela nadinya kurasakan denyutan bahagia...” (hal. 8)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa aliteransi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan konsonan yang sama di akhir kata, frase, atau kalimat yakni pada frase dengan derita, detak cinta, dan denyutan bahagia. Jadi dengan menggunakan frase dengan derita, detak cinta, dan denyutan bahagia, kalimat tersebut akan membentuk gaya bahasa aliteransi.
(2) “ Kau iris aku, kekasih Tipis berserpih-serpih
Nyerinya melampaui jeritan terompet kiamat Sakitnya teramat dahsyat…” (hal 62)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa aliteransi. Kalimat ini ditandai dengan pengulangan konsonan yang sama di awal, tengah, maupun akhir kalimat yakni pada frase kau iris aku kekasih, tpis berserpih-serpih, jeritan terompet kiamat, dan sakitnya teramat dahsyat. Jadi dengan adanya penggunaan frase tersebut maka kalimat tersebut akan membentuk gaya bahasa aliteransi.
(3) “ Sering bibir terkatup tak bicara Tapi Tuhan tak buta
Setiap tetes air mata…”(hal. 77)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa aliteransi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan konsonan di awal, tengah, maupun akhir kalimat, yakni pada frase sering bibir terkatup tak bicara, tapi Tuhan tak buta, dan setiap tetes air mata. Jadi dengan penggunaan frase tersebut maka kalimat tersebut akan membentuk gaya bahasa aliteransi.
(4) “ Cintaku nyaris punah, terbelah
Persis di tengah-tengah, untukmu setengah Dan sebagiannya musnah…” (hal. 160)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa aliteransi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan konsonan di tengah dan di akhir kalimat yakni pada frase Cintaku nyaris punah, persis di tengah-tengah, untukmu setengah, dan sebagiannya musnah. Jadi dengan penggunaan frase tersebut maka kalimat tersebut akan membentuk gaya bahasa aliteransi.
2) Asonansi
(1) “ Dalam tidurmu kunikmati cinta dalam diam Dalam lelapmu kunikmati asmara dengan diam Dalam dengkurmu kunikmati kasih dengan diam
Tetapi dalam jagamu kunikmati cinta, asmara, dan kasih…”(hal. 10)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama, baik di awal, tengah, maupun akhir kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase Dalam tidurmu kunikmati cinta dalam diam, Dalam lelapmu kunikmati asmara dengan diam, dan Dalam dengkurmu kunikmati kasih dengan diam menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan frase tersebut secara berulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(2) “ Berdua… sepi,
Karena hati tidak lagi bicara Berdua…sendiri,
Karena jiwa tak lagi bersama…” (hal. 11)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Kata berdua dan karena menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan kata tersebut secara berulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(3) “ Kutunjukkan cinta kepadamu, dan kau tak mau tahu
Kutunjukkan nestapa kepadamu, dan kau juga tak mau tahu…” (hal. 13)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di awal, tengah, maupun akhir kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Kalimat Kutunjukkan cinta kepadamu, dan kau tak mau tahu Kutunjukkan nestapa kepadamu, dan kau juga tak mau tahu…” menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase atau kalimat secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(4) “Kau ingat Paris yang dingin?...
Kau ingat Frankfurt yang dingin?...
Kau ingat Amsterdam yang dingin?...
Kau ingat Tokyo yang dingin?...
Kau ingat Osaka yang dingin?...
Kau ingat Yogyakarta yang dingin?...
Kau ingat Kuta yang dingin?...
Kau ingat kamar kita yang dingin?...” (hal. 19)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di awal, tengah, maupun akhir kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Kalimat “Kau ingat Paris yang dingin?... Kau ingat Frankfurt yang dingin?... Kau ingat Amsterdam yang dingin?... Kau ingat Tokyo yang dingin?...
Kau ingat Osaka yang dingin?... Kau ingat Yogyakarta yang dingin?... Kau ingat Kuta yang dingin?... Kau ingat kamar kita yang dingin?...” menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase atau kalimat secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(5) “Tak kau lihatkah aku, yang menatapmu dalam kemuraman?
Tak kau dengarkah aku, yang memanggilmu dari kejauhan?
Tak kau rasakah kau, yang menangisi dirimu dalam kepedihan?
Tak kau tatapkah aku, yang menemanimu dalam kesulitan?
Tak kau ingatkah aku, yang mempersembahkanmu pengorbanan?...” (hal. 23)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.
Frase “Tak kau lihatkah aku, tak kau dengarkah aku, tak kau rasakah aku, tak kau tatapkah aku, tak kau ingatkah aku” menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(6) “Nah, keterpisahan… yang tak dimaknai
Nah, keterpisahan… tidak selalu harus dipandang
Nah, keterpisahan… seharusnya dapat menjadi kedekatan
Nah, keterpisahan… sesungguhnya adalah kemesraan yang tertunda…” (hal. 24)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.
Frase Nah, keterpisahan yang digunakan berulang di awal kalimat menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(7) “Sedangkan aku diam saja, engkau tak habis-habisnya menyakiti Sedangkan aku tak bersuara, engkau tak putus-putusnya mencerca
Sedangkan aku tak berbuat apa-apa, engkau tak jua selesai mendera…” (hal. 27)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal, dan di tengah kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase “Sedangkan aku tak, dan frase engkau tak” yang digunakan berulang di awal dan tengah kalimat menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(8) “Jangan datang lagi cinta…engkau hanya membawa duka akhirnya Jangan datang lagi, aku sudah mati…” (hal. 27)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.
Frase “Jangan datang lagi” yang digunakan berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(9) “Pergi darimu? Tak bisa…
Meninggalkanmu? Tak bisa…
Berpisah denganmu? Tak bisa…” (hal. 48)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di akhir kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.
Frase “Tak bisa” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi.
Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(10) “Aku bukan permaisurimu, aku bahkan bukan siapapun itu Aku adalah wanitamu, aku adalah kekasihmu
Aku adalah milikmu, aku adalah kamu Aku kamu…” (hal. 53)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal dan tengah kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase “Aku dan Aku adalah” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(11) “Aduh, aku mati aja engkau tidak ada Aduh, aku mati aja engkau entah dimana Aduh, aku mati aja engkau tiada tiba jua Aduh…” (hal. 81)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.
Frase “Aduh, aku mati aja” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(12) “Katamu kau cinta, tapi membuatku sengsara Katamu kau sayang, tapi kau sering berang
Katamu kau kasih, tapi bikin aku sedih…” (hal. 83)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal dan di tengah kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase “Katamu kau” dan kata “tapi” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(13) “Atas nama cinta engkau berdusta
Atas nama cinta engkau membuatku lara Dan atas nama cinta juga aku berkata benar
Agar atas nama cinta aku dapat bersabar…” (hal.88)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal dan di tengah kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase “Atas nama cinta” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(14) “Katakan saja, cinta atau tidak cinta
Katakan saja sekarang, jujur dan terus terang Katakan saja apa adanya…” (hal. 91)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.
Frase “Katakan saja” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(15) “Aku menerima cinta dalam bhakti satya Aku menerima cinta dalam sembah puja
Aku menerima cinta dalam citta dan dukkha…” (hal. 108)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.
Frase “Aku menerima cinta dalam” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
(16) “Cinta yang lengkap ada padaku, cinta yang selembut beledu Cinta yang patuh pada bisu, cinta yang pasrah pada waktu Cinta yang saestu…” (hal. 121)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat ini ditandai dengan adanya pengulangan vokal di awal dan tengah kalimat untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase “Cinta yang” yang digunakan secara berulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi, dengan menggunakan suatu frase secara berulang-ulang maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.
3) Anastrof
Gaya bahasa anastrof adalah sejenis gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat dengan membalikkan unsur kalimatnya. Dalam kumpulan puisi “Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami ini, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa anastrof tersebut..
4) Apofasis atau Preterisio
(1) “Karena aku adalah cinta yang kau dambakan Walau engkau tak ingin terjebak pada kejujuran Yang kau pikir adalah sebuah kehinaan…” (hal. 17)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa apofasis atau preterisio. Kalimat ini ditandai dengan
menyangkal. Kalimat “Karena aku adalah cinta yang kau dambakan, Walau engkau tak ingin terjebak pada kejujuran, Yang kau pikir adalah sebuah kehinaan…” menunjukkan adanya gaya bahasa apofasis atau ptererisio. Jadi, dengan adanya gaya di mana penulis berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa apofasis atau preterisio.
(2) “Sering kita salah duga
Cinta yang penuh pengorbanan ternyata hanyalah sebuah ajang kepentingan.
Dan celakanya, kita belum tentu mampu merasakan perbedaannya…” (hal. 21)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa apofasis atau preterisio. Kalimat ini ditandai dengan adanya sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi seolah-olah menyangkal. Kalimat “Sering kita salah duga, cinta yang penuh pengorbanan ternyata hanyalah sebuah ajang kepentingan. Dan celakanya, kita belum tentu mampu merasakan perbedaannya…” menunjukkan adanya gaya bahasa apofasis atau ptererisio.
Jadi, dengan adanya gaya di mana penulis berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa apofasis atau preterisio.
(3) “Semua menjadi tak ada artinya Cinta dan benci menjadi sama…
Rasanya tak berbeda
Sebab murka telah menghiasi setiap akar dan batangnya…” (hal 25)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa apofasis atau preterisio. Kalimat ini ditandai dengan adanya sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi seolah-olah menyangkal. Kalimat “Semua menjadi tak ada artinya, Cinta dan benci menjadi sama…
Rasanya tak berbeda, Sebab murka telah menghiasi setiap akar dan batangnya…” menunjukkan adanya gaya bahasa apofasis atau ptererisio.
Jadi, dengan adanya gaya di mana penulis berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa apofasis atau preterisio
5) Apostrof
Gaya bahasa apostrof merupakan gaya bahasa yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. alam kumpulan puisi “Cinta Setahun Penuh” karya Trie Utami ini, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa apostrof tersebut.
6) Asindeton
(1) “Kucium engkau pagi, siang, malam dengan segenap kasih
Aku akan tetap menciummu pagi, siang, malam sampai renta tiba… (hal. 3)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata atau frase yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Frase “pagi, siang, malam” menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton. Jadi dengan menggunakan kata atau frase yang sederajat tetapi tidak menggunakan kata sambung maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asindeton.
(2) “Tak perlu menggerutu
Menekan hatiku, mengoyak jiwaku, merobek perasaanku Dengan kalimat tak bermutu memaksa diriku…” (hal. 40)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata atau frase yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.
Frase “Menekan hatiku, mengoyak jiwaku, merobek perasaanku” menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton. Jadi dengan menggunakan kata atau frase yang sederajat tetapi tidak menggunakan kata sambung maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asindeton.
(3) “Sekarang aku tak punya apa-apa
Sekecil apapun tak tersisa, yang tinggal cuma Duka, derita, lara, sengsara, nelangsa…” (hal. 109)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata atau frase yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Kata “ duka, derita, lara, sengsara, nelangsa” menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton. Jadi dengan menggunakan kata atau frase yang sederajat tetapi tidak menggunakan kata sambung maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asindeton.
(4) “Engkau mungkin tak tahu Dalam setiap lagu
Tersurat namamu, tersirat wajahmu, terbias pesonamu…” (hal. 132)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata atau frase yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Frase “tersurat namamu, tersirat wajahmu, terbias pesonamu” menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton. Jadi dengan menggunakan kata atau frase yang sederajat tetapi tidak menggunakan kata sambung maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asindeton.
7) Polisindeton
(1) “Engkau berdusta dan aku mencinta
Dan engkau membuat perih dan aku menebar kasih…” (hal. 14)
Kalimat di atas mengandung gaya bahasa polisindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata atau frase yang berurutan dihubungkan satu dengan yang lain dengan