• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS STILISTIKA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS STILISTIKA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user i

ANALISIS STILISTIKA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA

KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY

SKRIPSI

Oleh:

Ahmad Ali Ihsanudin K1208018

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

(2)

commit to user ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ahmad Ali Ihsanudin

NIM : K1208018

Jurusan /Program Studi : PBS/ Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia

menyatakan bahwa skripsi saya berjudul “ANALISIS STILISTIKA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY” ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.

Surakarta, Juli 2012

Yang membuat pernyataan,

Ahmad Ali Ihsanudin

(3)

commit to user iii

ANALISIS STILISTIKA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA

KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY

Oleh:

Ahmad Ali Ihsanudin K1208018

SKRIPSI

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

(4)

commit to user iv

(5)

commit to user v

(6)

commit to user vi ABSTRAK

Ahmad Ali Ihsanudin. K1208018. ANALISIS STILISTIKA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) pemakaian majas dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra, (2) penggunaan pilihan kata dan idiom dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra, (3) citraan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra, dan (4) nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra .

Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif. Sumber data adalah novel Pudarnya Pesona Cleopatra cetakan ke-12 dan artikel-artikel dari internet. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pustaka, teknik simak dan catat dan juga wawancara. Validitas yang digunakan adalah triangulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis mengalir (flow model of analysis) yang meliputi tiga komponen, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Prosedur penelitian yang dilakukan terdiri atas beberapa tahap, yaitu pengumpulan data, penyeleksian data, menganalisis data yang telah diseleksi, dan membuat laporan penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) pada novel Pudarnya Pesona Cleopatra digunakan beberapa gaya bahasa. Gaya bahasa tersebut yaitu: (a) hiperbola, (b) personifikasi, (c) simile, (d) metafora, (e) metonimia, (f) antitesis, (g) repetisi, (h) aliterasi, (i) epifora, (j) paradoks, (k) sinekdoke, (l) litotes, dan (m) eponim;(2) Banyak digunakan kata serapan dari bahasa asing terutama bahasa Arab.

Selain itu terdapat pula kata serapan dari bahasa Jawa dan bahasa Inggris; (3) Citraan yang digunakan pengarang adalah citraan penglihatan, pendengaran, dan citraan gerak; dan (4) Nilai-nilai pendidikan meliputi: (a) nilai pendidikan religiusnya adalah untuk memilih pasangan yang lebih diutamakan adalah agamanya, bukan karena kecantikan. Kecantikan bisa sirna tetapi agama akan tetap kekal abadi, (b) nilai pendidikan moralnya adalah untuk menepati janji dan taat kepada orang tua, (c) nilai pendidikan sosial adalah untuk bisa hidup membaur dengan masyarakat salah satunya dengan menghadiri undangan jika diundang, dan d) nilai pendidikan budayanya adalah pernikahan berbeda budaya tidaklah dianjurkan karena perbedaan cara pandang akan membuat rumah tangga tidak harmonis.

(7)

commit to user vii MOTTO

”Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ’Arsy yang agung ”

(QS. At-Taubah : 129)

”Apa pun yang terjadi jangan jadikan beban. Berserah diri sepenuhnya kepada-Nya dan yakinlah Dia telah merencanakan yang terbaik untukmu”

( Muryati )

(8)

commit to user viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan dengan segala cintaku untuk:

1. Orang tua tercinta, Bapak Munjiyat dan Ibu Suyamti yang selalu memberikan restu dalam setiap langkahku;

2. Adik-adikku, Siti Nurul Kholifah, Asri Ayu Q, M. Fahmi Rosyada yang membuatku mengerti indahnya berbagi dalam ikatan persaudaraan;

3. Muryati, seseorang yang selalu memotivasiku dan memberiku semangat untuk maju; dan

(9)

commit to user ix

4. Teman-teman Bastind Angkatan 2008, begitu indah hari-hari yang terlewati bersama kalian.

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi ilmu, inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ANALISIS STILISTIKA DAN NILAI PENDIDIKAN

PADA NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA KARYA

HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan, pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta;

2. Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni;

3. Dr. Kundharu Saddhono, S.S.,M.Hum, Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta;

4. Prof. Dr. Herman J Waluyo, M.Pd, selaku Pembimbing I, yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

5. Atikah Anindyarini, S.S., M.Hum, selaku Pembimbing II yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis;

(10)

commit to user x

7. Prof. Soediro Satoto, yang telah memberikan bimbingan selama proses analisis data;

8. Bapak dan Ibuku tercinta yang selalu memberikan motivasi untuk terus belajar dan berjuang;

9. Adik-adikku yang selalu memberikan semangat untuk terus menjadi yang terbaik;

10. Seseorang yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepadaku; dan

11. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Surakarta, Juli 2012

Penulis,

(11)

commit to user xi DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PERNYATAAN ... ii

PENGAJUAN ... iii

PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Penelitian yang Relevan ... 9

1. Hakikat Novel dan Bahasa Novel ... 9

a. Pengertian Novel ... 9

(12)

commit to user xii

b. Bahasa Novel ... 11

2. Hakikat Stilistika a. Pengertian Stilistika ... 12

b. Stilistika Sebagai Ilmu ... 14

c. Bidang Kajian Stilistika ... 15

d. Aspek Stilistika ... 16

3. Hakikat Gaya Bahasa ... 21

a. Pengertian Gaya Bahasa ... 21

b. Fungsi Gaya Bahasa ... 22

c. Jenis-jenis Gaya Bahasa ... 23

4. Hakikat Nilai Pendidikan ... 40

a. Pengertian Nilai ... 40

b. Pengertian Pendidikan ... 41

c. Macam-macam Nilai Pendidikan ... 42

5. Penelitian yang Relevan ... 44

B. Kerangka Berpikir ... 47

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 49

B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 49

C. Data dan Sumber Data ... 50

D. Teknik Pengambilan Sampel ... 51

E. Teknik Pengumpulan Data ... 51

F. Validitas Data ... 52

G. Teknik Analisis Data ... 53

H. Prosedur Penelitian ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data 1. Kepengarangan Habiburrahman El Shirazy ... 55

(13)

commit to user xiii

2. Hasil Karya Habiburrahman El Shirazy ... 56

B. Deskripsi Hasil Penelitian 1. Pemanfaatan Majas ... 57

2. Pemanfaatan Pilihan Kata dan Idiom ... 77

3. Pemanfaatan Citraan ... 83

4. Analisis Nilai Pendidikan ... 85

C. Pembahasan 1. Pemanfaatan Majas ... 92

2. Pemanfaatan Pilihan Kata dan Idiom ... 93

3. Pemanfaatan Citraan ... 95

4. Analisis Nilai Pendidikan ... 95

BAB V SIMPULAN,IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ... 96

B. Implikasi ... 98

C. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 103

LAMPIRAN ... 107

(14)

commit to user xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Berpikir ... 48 2. Model Analisis Mengalir ... 54

(15)

commit to user xv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Rencana Pelaksanaan Penelitian ... 49 2. Contoh Kartu Data ... 52 3. Distribusi Frekuensi Gaya bahasa ... 76

(16)

commit to user xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kover Novel Pudarnya Pesona Cleopatara ... 107

2. Sinopsis Novel Pudarnya Pesona Cleopatara ... 108

3. Biografi Pengarang ... 110

4. Hasil Wawancara ... 114

5. Surat Keputusan Dekan FKIP tentang Izin Penyusunan Skripsi ... 117

6. Surat Permohonan Izin Menyusun Skripsi ... 118

7. Surat Pernyataan Wawancara ... 119

(17)

commit to user xvii SINGKATAN

PPC = Pudarnya Pesona Cleopatra

(18)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah hasil karya manusia, baik lisan maupun tulisan yang menggunakan bahasa sebagai media pengantar dan memiliki nilai estetika yang dominan (Ali Imron, 2009:2). Suatu karya sastra diciptakan oleh sastrawan melalui perenungan yang mendalam dengan tujuan untuk dinikmati, dipahami, dan diilhami oleh masyarakat. Karya sastra merupakan tanggapan sastrawan terhadap realita sosial yang dihadapinya. Selanjutnya, karya sastra tidak saja lahir dari fenomena–fenomena kehidupan lugas, tetapi juga kesadaran sastrawan bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif dan fiktif, sehingga harus dipertanggungjawabkan dan memiliki tujuan.

Atar Semi (1993:8) mengatakan bahwa karya sastra merupakan bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Bahasa sangatlah penting dalam proses terciptanya sebuah karya sastra yang memiliki “rasa” tinggi. Karya sastra juga harus mempunyai nilai edukatif yang baik, karena sastra adalah hasil dari perasaan penulisnya. Bahasa dan sastra memiliki hubungan erat, atau dengan kata lain sastra tidak lepas dari bahasa

Media ekspresi sastra adalah bahasa. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Sastra lebih dari sekedar bahasa, deretan kata, namun unsur “kelebihan”nya itu hanya dapat diungkap dan ditafsirkan melalui bahasa. Bahasa dalam karya sastra menurut Burhan Nurgiyantoro (dalam Gorys Keraf, 2007) mengandung unsur dominan emotif dan bersifat konotatif. Unsur emotif dan sifat konotatif ditonjolkan untuk memenuhi unsur estetis yang ingin diciptakan. Sementara itu Teeuw (1984:131) menyebutkan, menurut kaum formalitas, kumpulan teoretikus sastra Rusia awal abad 20, menyatakan bahwa bahasa sastra memiliki deotomatisasi, penyimpanagan dari cara penuturan yang dianggap sebagai proses sastra yang mendasar. Setiap pengarang memiliki konsep berbeda–beda dalam melahirkan suatu cipta sastra. Setiap pengarang akan memperlihatkan penggunaan bahasa dengan ciri-

(19)

ciri tertentu dan akan memperlihatkan ciri-ciri individualisme, originalitas, dan gaya masing-masing sastrawan.

Sudaryanto (dalam Sumarlam, 2003: 3) menyatakan bahwa salah satu dari fungsi bahasa adalah fungsi tekstual. Fungsi tekstual berkaitan dengan peranan bahasa untuk membentuk mata rantai kebahasaan dan mata rantai unsur situasi yang memungkinkan digunakannya bahasa oleh pemakainya baik secara lisan maupun tertulis. Adapun menurut Sumarlam (2003: 3), salah satu fungsi dari bahasa adalah fungsi imajinatif. Dalam hal ini bahasa berfungsi sebagai pencipta sistem, gagasan, atau kisah yang imajinatif. Fungsi ini biasanya untuk mengisahkan cerita, dongeng, menuliskan cerpen, novel, dan sebagainya.

Salah satu karya sastra yang popular adalah novel. Novel menjadi bagian dari karya sastra dan sebagai hasil pekerjaan kreasi manusia. Novel tidak akan pernah lepas dari bahasa yang merupakan media utama dalam karya sastra. Sastra dan manusia sangat erat kaitannya karena keberadaan sastra sering bermula dari pemasalahan serta persoalan dengan daya imajinasi yang tinggi. Pengarang menuangkan masalah-masalah yang ada di sekitarnya menjadi karya sastra.

Novel menjadi salah satu bagian dari bahasa tulis yang perkembangannya tidak luput dari kreativitas pengarangnya. Wujud dari kreativitas pengarang tersebut salah satunya melalui gaya bahasa. Untuk memperindah penceritaan novel biasanya penulis memasukkan unsur-unsur gaya bahasa sebagai pembangun cerita itu sendiri.

Unsur-unsur kebahasaan dalam suatu novel merupakan sumber bahan yang cukup luas untuk dipelajari. Unsur yang perlu dipelajari itu, antara lain:dialek, register, gaya bahasa, dan idiolek. Untuk mendeskripsikan dan membuat definisi dalam novelnya, penulis menggunakan pola kebahasaan yang seragam dari awal sampai akhir.

Sementara itu, Aminuddin (1995:116 ) mengatakan bahwa dalam kreasi penulisan sastra, bahasa dan sastra merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Keduanya dapat diandaikan sebagai kekuatan buta yang harus dibedah dan ditaklukkan kreator.

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style dan dalam bahasa Indonesia, ilmu yang mempelajarinya disebut stilistika. Gaya

(20)

bahasa dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang, atau pemakai bahasa (Gorys Keraf, 2007: 113).

Gaya bahasa mempergunakan bahasa yang indah untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda, atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata, penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Gaya bahasa dan kosakata mempunyai hubungan erat, semakin banyak kosakata seseorang semakin beragam pula gaya bahasa yang dipakainya (Henry Guntur Tarigan, 1985: 5).

Berbicara mengenai novel tidak dapat dilepaskan dari bahasa kias, pengimajinasian, dan perlambangan atau gaya bahasa. Penggunaan gaya bahasa dalam novel banyak digunakan oleh novelis dalam menciptakan sebuah novel karena dapat menimbulkan kesan indah sekaligus memiliki banyak makna.

Gaya bahasa dipergunakan oleh penulis sastra yang mempunyai tujuan untuk memperindah kata sehingga menarik untuk dibaca. Gaya bahasa yang dipakai seolah- olah berjiwa, hidup, dan segar sehingga dapat menggetarkan hati pembaca atau pendengar. Pemilihan kata dalam sebuah novel berkaitan erat dengan bahasa kias yakni sarana untuk mendapatkan efek puitis dalam novel tersebut. Seperti diketahui bahwa gaya bahasa mencakup semua jenis ungkapan yang bermakna lain dengan makna harfiahnya yang bisa berupa kata, frase, ataupun satuan sintaksis yang lebih luas.

Salah satu novel yang sarat dengan penggunaan gaya bahasa dalam penulisannya adalah novel-novel karya Habiburrahman El Shirazy, seorang novelis yang mendapat Pena Award tahun 2005, dan juga dinobatkan sebagai novelis nomor 1 Indonesia oleh masyarakat penikmat karya sastra di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Novel Pudarnya Pesona Cleopatra (PPC) adalah salah satu novel karya Habiburrahman El Shirazy yang diterbitkan oleh Penerbit Republika pertama kali pada tahun 2005, sampai tahun 2007 novel ini sudah naik cetak sampai cetakan ke – 12. Novel PPC pernah difilmkan oleh salah satu televisi nasional. Novel

(21)

PPC mempunyai beberapa sisi kelebihan dari novel yang lainnya, yaitu merupakan novel remaja Islami. Kelebihan novel PPC yaitu: (1) Novel ini mengajarkan bahwa kecantikan bukanlah segalanya; (2) Pengarang menjadikan novel ini sebagai saran dakwah islam; (3) Jalan ceritanya sederhana tetapi menimbulkan kesan yang mendalam; dan (4) Penulis mampu mengajak kita berkhayal ke negeri Mesir, Andalusia (El Nahwany: 2011). Banyak tanggapan positif dari pembaca yang mengatakan bahwa novel ini adalah novel yang dahsyat dan patut dibaca. K. H Aswin Yunan salah satu pembaca mengatakan “Sungguh karya yang sarat hikmah dan menyentuh, bahasanya sederhana namun indah”, PPC (2005: vi). Gaya bahasa novel ini sangat sederhana namun indah. Dapat dicerna oleh semua kalangan. Sesekali penulis menggunakan bahasa Jawa yang ringan untuk menampilkan nuansa daerah.

Selain itu, bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari sehingga kita dapat dengan mudah memahami isi novel ini. Terdapat juga bahasa perumpamaan tetapi masih dapat dimengerti karena masih dalam lingkup keseharian. Penggunaan selingan bahasa Jawa dalam novel ini untuk menampilkan nuansa daerah yang sesuai dengan latar ceritanya.

Novel Pudarnya Pesona Cleopatra memberikan gambaran kepada pembaca tentang arti penting kehidupan berumah tangga yang didasari atas cinta dan kasih sayang sehingga akan terbentuk rumah tangga yang harmonis dan kebahagiaan yang selalu menyertainya serta keluarga yang selalu dirindhoi oleh Allah. Kebahagiaan dalam keluarga tidak hanya didasari oleh rasa cinta saja, tetapi harus ada kepercayaan dan saling pengertian. Dalam novel PPC dikisahkan bahwa rumah tangga antara

”Aku” dan Raihana yang selalu tidak harmonis, hal itu disebabkan karena tokoh

“Aku” tidak sepenuhnya mencintai Raihana. Hal ini dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang bagaimana cara membentuk rumah tangga yang harmonis.

Dalam novel PPC pengarang menyajikan bobot nilai yang mengandung nilai- nilai psikologi pembangun jiwa. Dengan bahasa yang khas yang dimiliki oleh Habiburrahman yang juga seorang sastrawan dan seorang pengasuh pondok pesantren. Selain mengarang novel PPC, Habiburrahman El Shirazy juga mengarang

(22)

novel Ayat-ayat Cinta, dan novel Ketika Cinta Bertasbih. Habiburrahman adalah alumnus Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir. Sampai saat ini, Dia telah menulis beberapa judul buku dan hampir semua buku yang ditulisnya bestseller. Dia juga termasuk pengarang yang aktif terbukti dengan banyaknya buku yang Dia tulis.

Beberapa karya populer yang telah terbit, antara lain: Ketika Cinta Berbuah Surga (2005), Ayat-Ayat Cinta (2004), Diatas Sajadah Cinta (2004), Ketika Cinta Bertasbih (2007), Ketika Cinta Bertasbih 2 ( 2007), dan Dalam Mihrab Cinta (2007).

Kelebihan yang dimiliki oleh pengarang (Habiburrahman El Shirazy) dalam penulisan novel PPC, yaitu dari segi bahasanya yang “hidup” dalam menggambarkan suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi dalam cerita. Hal tersebut juga tampak dalam menggambarkan karakter, penggunaan bahasa yang lugas dan mudah dipahami oleh pembaca. Habiburrahman dalam penulisan PPC menggunakan bahasa yang khas, bahkan untuk memperindah makna dalam novel tersebut, Ia sering kali mengunakan pilihan kata dari bahasa asing. Akan lebih menarik dan tepat jika novel PPC karya Habiburrahman El Shirazy dianalisis dari aspek stilistikanya yaitu kekhasan gaya bahasa yang dipakai oleh pengarangnya.

Karakteristik yang unik dalam novel PPC sangat menarik bila dikaji dengan pendekatan stilistika. Stilistika pada dasarnya adalah bagaian dari linguistik yang mengkaji tentang bahasa dan gaya bahasa. Junus (dalam Abdul Azis, 2010:103) mengatakan bahwa hakikat stilistika, yaitu gaya yang dihubungkan dengan pemakaian dan penggunaan bahasa dalam sastra. Stilistika mempelajari gaya yang hubungannya dengan karya sastra. Gaya bahasa dalam karya sastra berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pengarang.

Bidang kajian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Menurut Panuti Sudjiman (1993:12), style adalah gaya bahasa dan gaya bahasa itu sendiri mencakup diksi, struktur kalimat, majas, citraan, pola rima serta matra yang digunakan seorang pengarang atau yang terdapat dalam sebuah

(23)

karya sastra. Stilistika dapat dikatakan sebagai studi yang menghubungkan antara bentuk linguistik dengan fungsi sastra.

Selain aspek estetika, karya sastra juga harus menampilkan aspek etika (isi) dengan mengungkap nilai-nilai moral, kepincangan-kepincangan sosial, dan problematika kehidupan manusia beserta kompleksnya persoalan-persoalan kemanusiaan. Karya sastra senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.

Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan. Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat. Ajaran moral itu sendiri bersifat tak terbatas, dapat mencakup persoalan hidup seperti, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan Tuhan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti berminat untuk menganalisis novel PPC. Analisis terhadap novel PPC peneliti membatasi pada stilistika dan nilai pendidikan. Berdasarkan segi stilistika karena setelah membaca novel PPC peneliti menemukan ada banyak gaya yang digunakan pengarang dalam menyampaikan alur cerita. Gaya bahasa dalam penelitian ini dibatasi pada penggunaan majas. Selain dikaji juga aspek stilistikanya, yaitu tentang pilihan kata, idiom dan pencitraan.

Alasan dipilih dari segi nilai pendidikan karena novel PPC diketahui banyak memberikan inspirasi bagi pembaca. Rachmat Djoko Pradopo (1993: 94) mengungkapkan bahwa suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral. Sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum karya sastra sebagai karya seni dan menjadikan karya sastra sebagai alat pendidikan yang langsung, sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan nomor dua.

(24)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pemakaian majas dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy?

2. Bagaimanakah penggunaan pilihan kata dan idiom dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy?

3. Bagaimanakah citraan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy?

4. Bagaiamanakah nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan majas dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy;

2. Mendeskripsikan penggunaan pilihan kata dan idiom dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy;

3. Mendeskripsikan citraan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy; dan

4. Mendeskripsikan nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

a. Memberikan manfaat yang bermakna bagi pengembangan studi stilistika di Indonesia, khususnya di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(25)

b. Memberikan manfaat utuk meningkatkan apresiasi sastra dan memberikan masukan-masukan yang berharga terhadap keperluan kritik sastra.

c. Memberikan gambaran tentang nilai pendidikan yang ada dalam karya sastra d. Memperkaya kepustakaan tentang telaah sastra.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa

Hasil penelitian ini memberikan gambaran atau deskripsi mengenai kekhasan gaya bahasa dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra. Dengan demikian, siswa diharapkan mendapatkan masukan positif dalam mengapresiasi sastra, khususnya novel.

b. Bagi Guru

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran teori dan apresiasi sastra dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya pada kompetensi dasar mengenai novel.

c. Bagi Peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembanding atau referen bagi peneliti lain yang akan mengadakan penelitian sastra dengan permasalahan serupa, yaitu mengenai kajian stilistika dalam novel.

(26)

commit to user BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Hakikat Novel dan Bahasa Novel

a. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari bahasa Italia novella yang secara harfiah berarti

“sebuah barang baru yang kecil”, dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa”, Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 9). Dalam bahasa Latin kata novel berasal novellus yang diturunkan pula dari kata noveis yang berarti baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis lain, novel ini baru muncul kemudian ( Henry Guntur Tarigan, 1995: 164).

Sementara itu, Atar Semi (1993:32) bahwa novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel yang diartikan sebagai memberikan konsentrasi kehidupan yang lebih tegas, dengan roman yang diartikan rancangannya lebih luas mengandung sejarah perkembagan yang biasanya terdiri dari beberapa fragmen dan patut ditinjau kembali.

Pengertian novel, Herman J. Waluyo (2009: 8) menyatakan pendapatnya bahwa:

“Secara etimilogis, kata “novel” berasal dari kata “novellus” yang berarti baru. Jadi, sebenarnya memang novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru. Menurut Robert Lindell, karya sastra yang berupa novel, pertama kali lahir di Inggris dengan judul Pamella yang terbit pada tahun 1740 (Tarigan, 1984: 164). Tadinya novel (Pamella) merupakan bentuk catatan harian seorang pembantu rumah tangga. Kemudian berkembang dan menjadi bentuk prosa fiksi yang kita kenal seperti saat ini (menggantikan pengertian roman di samping bentuknya yang utama, yaitu roman pendek dan ada juga novel pendek yang disebut “novelette”)”.

Herman J. Waluyo (2002: 37) mengemukakan bahwa novel mempunyai ciri:

(1) ada perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam

(27)

kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama tidak sampai meninggal.

Dan dalam novel tidak dituntut kesatuan gagasan, impresi, emosi dan setting seperti dalam cerita pendek.

Batos (dalam Henry Guntur Tarigan, 1995:164) menyatakan bahwa novel merupakan sebuah roman, pelaku-pelaku mulai dengan waktu muda, menjadi tua, bergerak dari sebuah adegan yang lain dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Burhan Nurgiyantoro (2005:15) menyatakan bahwa novel merupakan karya yang bersifat realistis dan mengandung nilai psikologi yang mendalam, sehingga novel dapat berkembang dari sejarah, surat-surat, bentuk-bentuk nonfiksi atau dokumen- dokumen, sedangkan roman atau romansa lebih bersifat puitis. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa novel dan romansa berada dalam kedudukan yang berbeda. Jassin (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:16) membatasi novel sebagai suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda yang di sekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat dari kehidupan seseorang, dan lebih mengenai sesuatu episode. Mencermati pernyataan tersebut, pada kenyataannya banyak novel Indonesia yang digarap secara mendalam, baik itu penokohan maupun unsur-unsur intrinsik lain. Sejalan dengan Burhan Nurgiyantoro, Hendy (dalam Anis Ningsih, 2010:10) mengemukakan bahwa novel merupakan prosa yang terdiri dari serangkaian peristiwa dan latar. Ia juga menyatakan, novel tidaklah sama dengan roman. Sebagai karya sastra yang termasuk ke dalam karya sastra modern, penyajian cerita dalam novel dirasa lebih baik.

Pengertian novel atau cerita rekaan, Suminto A. Sayuti berpendapat, bahwa:

“Novel (cerita rekaan) dapat dilihat dari bebera sisi. Ditinjau dari panjangnya, novel pada umumnya terdiri 45.000 kata atau lebih.

Berdasarkan sifatnya, novel (cerita rekaan) bersifat expands, „meluas‟ yang menitik beratkan pada complexity.Sebuah novel tidak akan selesai dibaca sekali duduk, hal ini berbeda dengan cerita pendek. Dalam novel (cerita rekaan) juga dimungkinkan adanya penyajian panjang lebar tentang tempat atau ruang (1997: 5-7)”.

(28)

Penciptaan karya sastra memerlukan daya imajinasi yang tinggi. Menurut Umar Junus (1989: 91), mendefinisikan novel adalah meniru ”dunia kemungkinan”. Semua yang diuraikan di dalamnya bukanlah dunia sesungguhnya, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang secara imajinasi dapat diperkirakan bisa diwujudkan. Tidak semua hasil karya sastra harus ada dalam dunia nyata, namun harus dapat juga diterima oleh nalar. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah karya baru berupa cerita fiktif yang berusaha menggambarkan atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan menggunakan alur, pada umumnya terdiri 45.000 kata atau lebih yang mengandung nilai psikologi atau pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca.

b. Bahasa Novel

Medium utama karya sastra adalah bahasa. Meskipun demikian bagi sastrawan, dalam proses kreatif bahasa hanyalah bahan mentah (Rene Wellek dan Austin Warren, 1993:217). Wujud cipta sastra yang pertama-tama terlihat dari sisi bahannya. Bahasa adalah alat utama pengarang untuk menciptakan karya seni yang imajinatif dengan unsur estetikanya yang dipandang dominan yang kemudian disebut dengan nama sastra. Bahasa merupakan sarana pengarang agar leluasa dalam mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaannya.

Penelitian stilistika menggunakan bahasa yang memungkinkan kita untuk mengetahui bagaimana pengarang memanfaatkan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sebagai sarana pengungkapan makna dan efek estetik dari bahasa.

Bunyi bahasa yang dituturkan pengarang mungkin selalu berubah, kadang secara teratur dan kadang tidak dengan faktor-faktor pendorong yang bermacam-macam pula. Perubahan mencakup segala wujudnya yang diatur oleh asas-asas tertentu, baik yang berasaskan penggantian, penambahan, dan pelenyapan maupun yang

(29)

bersasaskan peloncatan, penyusutan, dan kombinasi di antara sesamanya Sudaryanto ( dalam Eko Marini, 2010 :25)

Bahasa di dalam novel akan mencerminkan style seorang pengarang karena di sana akan tampak originalitas pengarang dalam memilih dan menggunakan kata-kata, maupun gaya bahasa untuk mengungkapkan ide, gagasan, atau pun imajinasinya dalam cerita. Wellek dan Warren (dalam Ali Imron, 2009: 3-4) menyatakan bahwa:

“Secara rinci, bahasa sastra memiliki sifat antara lain : emosional, konotatif, bergaya (berjiwa) dan ketidakberlangsungan ekpresi. Emosional, berarti bahasa sastra mengandung ambiguitas yang luas yakni penuh homonym, manasuka atau kategori-kategori tak rasional, bahasa sastra diresapi peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan dan asosiasi-asosiasi. Bahasa sastra konotatif, artinya bahasa sastra mengandung banayak arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial.”

Sementara itu, Teeuw (1984:130) menyatakan bahwa bahasa sastra (novel) memiliki segi ekpresif yang membawa nada dan sikap penulisnya. Bahasa sastra tidak hanya menyatakan dan mengungkapkan apa yang dikatakan melainkan juga ingin mempengaruhi sikap pembaca, membujuknya, dan akhirnya mengubahnya.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, bahasa di dalam novel umumnya penuh makna dan menimbulkan efek estetik. Dalam kreasi penulisan novel efek tersebut terkait dengan upaya pemerkayaan makna, pengambaran objek dan peristiwa secara imajinatif maupun pemberian efek emotif bagi pembacanya.

2. Hakikat Stilistika a. Pengertian Stilistika

Secara etimologis stylistics berkaitan dengan style (bahasa Inggris). Style artinya gaya, sedangkan stylistics, dengan demikian dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Gaya dalam kaitan ini mengacu pada penggunaan bahasa dalam karya sastra, Suminto (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2001:161). Stilistika adalah bidang kajian yang mempelajari dan memberikan deskripsi sistematis

(30)

tentang gaya bahasa, Aminudin (1995:3). Jadi pusat kajian stilistika adalah style yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyampaikan maksud dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya. Sementara itu, Turner, (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1993:2) mengatakan bahwa stylistics merupakan bagaian dari linguistik yang memusatkan perhatiaannya pada variasi penggunaan bahasa, walaupun tidak secara eklusif, terutama pemakaian bahasa dalam sastra.

Nyoman Kutha Ratna (2008:3) mengatakan bahwa stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara umum adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Lebih lanjut Nyoman Kutha Ratna (2008:10) mendefinisikan stilistika, sebagai berikut: 1) ilmu tentang gaya bahasa;

2) ilmu interdisipliner antara linguistik dengan sastra; 3) ilmu tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya bahasa; 4) ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra; dan 5) ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahan sekaligus latar belakang sosialnya.

Geofferey Leech dan Michael H.Short ( 1981:13) menyatakan bahwa stilistika adalah studi tentang wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat dalam karya sastra. Analisis stilistika karya sastra lazimnya untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya.

Sementara itu, Zaidan (dalam Abdul Azis:2010) mengatakan stilistika merupakan ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya dalam karya sastra. Sementara itu, Peter Verdonk (2002:85) His defnition of stylistics follows: ‘the study of style,

… the analysis of distinctive expression in language and the description of its purpose and effect’ (definisi gaya bahasa berikut: "studi tentang gaya,...analisis khas ekspresi dalam bahasa dan deskripsi tujuan dan efek).

Stilistika tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan saja, tetapi juga studi gaya bahasa dalam bahasa pada umumnya. Meskipun ada perhatian khusus pada bahasa kesusastraan yang paling sadar dan paling

(31)

kompleks. Slamet mulyana (dalam Rachmad Djoko Pradopo,1993:2) mengemukakan bahwa stilistika itu pengetahuan tentang kata berjiwa. Kata berjiwa itu adalah kata yang dipergunakan dalam cipta sastra yang mengandung perasaan pengarangnya. Stilistika berguna untuk membeberkan kesan pemakaian susun kata dalam kalimat yang menyebabkan gaya kalimat, di samping ketepatan pemilihan kata, memegang peranan penting dalam ciptaan sastra.

Umar Junus (1989:xvii) mengatakan bahwa hakikat stilistika yaitu gaya yang dihubungkan dengan pemakaian dan penggunaan bahasa dalam sastra. Stilistika mempelajari gaya yang hubungannya dengan karya sastra. Gaya bahasa dalam karya sastra berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pengarang.

Jadi stilistika dapat diartikan kajian yang mempelajari penggunaan bahasa (gaya bahasa), terutama sastra, untuk menerangkan fungsi artistiknya dan maknanya dalam mencari efek-efek yang ditimbulkan.

b. Stilistika Sebagai Ilmu

Stilistika dapat juga dimasukkan sebagai bidang linguistik terapan. Secara pengertian luas, stilistika adalah cara untuk mengungkapkan teori dan metodologi penganalisan formal sebuah teks sastra. Stilistika ini juga dapat disebut sebagai tempat pertemuan antara makroanalisis bahasa dan makroanalisis sastra (Soediro Satoto, 1995:36)

Turner (dalam Rahmad Djoko Pradopo,1993:2) mengatakan bahwa stilistika adalah bagian linguistik yang memusatkan diri pada variasi dalam penggunaan bahasa. Stilistika berarti studi gaya yang menyarankan bentuk suatu ilmu pengetahuan atau paling sedikit berupa studi yang metodis.

Stilistika dapat dikatakan sebagai studi yang menghubungkan antara bentuk linguistik dengan fungsi sastra, seperti yang dikemukakan oleh Geofferey Leech dan Michael H.Short (1981:4) “ stylistic ....the study of relation between lingustics form and literary “. Stilistika mengkaji wacana sastra dari orientasi lingusistik dan merupakan pertalian antara linguistik pada satu pihak dan kritik sastra di pihak lain. Secara morfologis dapat dikatakan bahwa komponen style berhubungan

(32)

dengan kritik sastra sedangkan komponen istics berhubungan dengan linguistik (Widdowson, 1979:3). Harimurti Kridalaksana (2001:15) mengemukakan bahwa stilistika adalah (1) ilmu yang menyelididiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; (2) penerangan linguistik pada penelitian gaya bahasa.

c. Bidang Kajian Stilistika

Bidang kajian stilistika adalah style yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Menurut Panuti Sudjiman (1993:12) style adalah gaya bahasa dan gaya bahasa itu sendiri mencakup diksi, struktur kalimat, majas, citraan, pola rima serta matra yang digunakan seorang pengarang atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Stilistika dapat dikatakan sebagai studi yang menghubungkan antara bentuk linguistik dengan fungsi sastra. Sejalan dengan Panuti Sudjiman, Umar Junus (1989:8) menyatakan bahwa bidang kajian stilistika dapat meliputi bunyi bahasa, kata, dan struktur kalimat.

Suminto, A. Sayuti (2000:174) menjelaskan bahwa unsur-unsur yang membangun gaya seorang pengarang pada dasarnya meliputi: diksi, citraan, dan sintaksis. Selanjutnya Aminudin (1995:44) menjelaskan bahwa bidang kajian stilistika dapat meliputi:kata-kata, tanda baca gambar, serta bentuk lain yang dapat dianalogikan sebagai kata-kata. Bidang kajian tersebut terwujud sebagai print-out ataupun tulisan dalam karya sastra. Secara potensial print out dapat membuahkan:

1) gambaran objek atau peristiwa; 2) gagasan; 3) satuan isi;dan 4) ideologi yang terkandung dalam karya sastra. Sedangkan menurut Pradopo (dalam Mustari, 2008:330) mengatakan ruang lingkup telaah stilistika itu sendiri secara garis besarnya mencakup aspek bahasa yang berupa bunyi, kata, frase, dan kalimat yang kemudian melahirkan gaya bunyi, gaya kata, gaya frase dan gaya kalimat.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bidang kajian stilistika karya sastra adalah bentuk dan tanda linguistik yang digunakan dalam struktur

(33)

lahir karya sastra sebagai media ekpresi pengarang dalam mengemukakan gagasannya.

d. Aspek Stilistika

Menurut Parker (dalam Tito Ali, 2007:103 ) menyatakan bahwa gaya bahasa suatau kalimat atau ujaran dilambangkan oleh: pilihan variasi fonologisnya, variasi leksikal, variasi morfologis, dan variasi sintaksis.

Menurut Ali Imron (2009:47) aspek stilistika berupa bentuk-bentuk dan satuan kebahasaan yang ditelaah dalam kajian stilistika karya sastra meliputi : gaya bunyi (fonem), gaya kata (diksi), gaya kalimat, gaya wacana, bahasa figuratif , dan citraan. Dalam penelitian ini aspek stilistika yang dikaji dibatasi pada aspek gaya kata (diksi), bahasa figuratif khusunya idiom dan citraan.

1) Gaya Kata (diksi)

Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dipilih oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan efek makna tertentu. Kata merupakan unsur bahasa yang paling esensial dalam karya sastra. Oleh karena itu, dalam pemilihannya para sastrawan berusaha agar kata-kata yang digunakannya mengandung kepadatan (Ali Imron, 2009:49). Kata yang dikombinasikan dengan kata-kata lain dalam berbagai variasi mampu menggambarkan bermacam-macam ide, angan, dan perasaan.

Diksi merupakan pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertentu di depan umum atau dalam karang-mengarang (Harimurti Kridalaksana, 2001:35). Dapat pula dikatakan bahwa diksi adalah penentuan kata-kata seorang pengarang untuk mengungkapkan gagasannya. Kata mempunyai fungsi sebagai simbol yang mewakili sesuatu. Meminjam istilah Ricour (dalam Ali Imron, 2009:52), Setiap kata dalah simbol. Kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Pemanfaatan diksi dalam karya sastra merupakan simbol yang mewakili gagasan tertentu, terutama dalam mendukung gagasan yang ingin diekpresikan pengarang dalam karya sastranya.

(34)

Pada dasarnya sastrawan ingin mengekpresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Sastrawan memilih kata-kata yang menjelmakan pengalaman jiwanya setepat-tepanya. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitasnya serta agar selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka sastrawan memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya, Altenberd dan Lewis (dalam Ali Imron, 2009:52).

Ali Imron (2009:53) menyatakan bahwa dalam karya sastra terdapat banyak diksi antara lain: kata konotatif, kata konkret, kata serapan, kata sapaan khas, kata vulgar, dan kata dengan objek realitas alam.

a) Kata Konotatif

Menurut Leech (dalam Ali Imron, 2009:53) arti konotatif merupakan nilai komunikatif suatu ungkapan menurut apa yang diacu, melebihi di atas isinya yang murni konseptual. Kata konotatif adalah kata yang memiliki makna tambahan yang terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan pada perasaan atau pikiran yang timbul pada pengarang atau pembaca. Ali Imron (2009:53) menyatakan bahwa kata konotatif dalam karya sastra sangat dominan.

b) Kata Konkret

Kata konkret merujuk pada benda-benda fisikal yang tampak di alam kehidupan. Menurut Kridalaksana (dalam Ali Imron, 2009:53) kata konkret adalah kata yang mempunyai cirri-ciri fisik yang tampak. Kata konkret mengandung makna yang merujuk kepada pengertian langsung atau memiliki makna harfiah, sesuai dengan konvensi tertentu. Jika pengarang mampu mengkonkretkan kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar atau merasa apa yang dilukiskan oleh pengarang. Jika citraan pembaca merupakan akibat dari pencitraan kata-kata yang diciptakan pengarang, maka kata-kata konkret ini merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian tersebut.

(35)

c) Kata Serapan

Kata serapan adalah kata yang diambil atau dipungut dari bahasa lain, baik bahasa asing maupun bahasa daerah baik mengalami adaptasi struktur, tulisan dan lafal maupun tidak dan sudah dikategorikan sebagai kosakata bahasa Indonesia. Artinya dari segi cara penyerapan, ada kata serapan yang mengalami adaptasi (penyesuaian) dan ada yang mengalami adopsi (dipungut tanpa perubahan).

d) Kata Sapaan Khas

Nama diri yang dipakai sebagai sapaan adalah kata yang dipakai untuk menyebut diri seseorang, Riyadi ( dalam Ali Imron, 2009:53). Dengan kata lain, nama diartikan sebagai kata yang berfungsi sebagai sebutan untuk menunjukkan orang atau sebagai penanda identitas seseorang. Ditinjau dari sudut linguistik, nama diri atau sapaan merupakan satuan lingual yang dapat disebut sebagai tanda. Tanda merupakan kombinasi konsep (petanda) dan bentuk (yang tertulis atau diucapkan) atau penanda Saussure (dalam Ali Imron, 2009:54). Kata serapan ada yang bersal dari bahasa daerah misalnya bahasa Jawa, bahasa Sumatra, bahasa Sunda dan dari bahasa asing misalnya bahasa Spanyol, bahasa Inggris, dan bahasa Perancis. Wasiati seperti dikutip oleh Ryle (dalam Ali Imron:2009:55) menyatakan bahwa nama memiliki referen tetapi tidak memiliki makna. Arti simbolik nama dan kata lain dibangun oleh budaya tertentu.

e) Kata Vulgar

Kata-kata yang carut marut dan kasar ataupun kampungan disebut dengan kata vulgar. Kata vulgar merupakan kata-kata yang tidak intelek, kurang beradab, dipandang tidak etis, dan melanggar sopan santun atau etika sosial yang berlaku dalam masyarakat intelek atau terpelajar.

f) Kata dengan objek realitas alam

Kata yang memanfaatkan realitas alam sebagai bentukan kata tertentu yang memiliki arti.

(36)

2) Idiom

Idiom adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna angota-anggotanya (Kridalaksana, 2001:72). Sedangkan menurut Gorys Keraf, idiom adalah pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaiadah bahasa umum, yang biasanya berbentuk frase. Sedangkan artinya tidak dapat diterangkan secara logis atau gramatikal dengan bertumpu pada makna kata- kata yang membentuknya.

Idiom dapat juga berarti istilah yang digunakan dalam tata bahasa dan leksikologi untuk menyebut suatu rangkaian kata yang dibatasi secara semantik dan sering kali secra sintaksis, sehingga mereka berfungsi sebagai unit tunggal.

contoh : Gadis berkerudung merah itu, memang keras kepala.

3) Citraan

Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu kepada pembaca. Citraan kata berasal dari bahasa Latin imago dengan bentuk verbanya imatari. Citraan merupakan kumpulan citra yang digunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indera yang digunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah, maupun secara kias Abrams (dalam Ali Imron, 2009:76)

Sejalan dengan Abram, menurut Suminto, A. Sayuti (2000:174), citraan dapat diartikan sebagai kata atau serangkaian kata yang dapat membentuk gambaran mental atau dapat membangkitkan pengalaman tertentu.

Citraan kata dapat dibagi menjadi tujuh jenis yakni : a) Citraan Penglihatan

Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citraan penglihatan.

Pelukisan karakter tokoh, misalnya keramahan, kemarahan, kegembiraan, dan fisik (kecantikan, keseksian,keluwesan). Dalam karya sastra, selain pelukisan karakter tokoh, citraan penglihatan ini juga sangat produktif

(37)

dipakai oleh pengarang untuk melukiskan keadaan, tempat, pemandangan, atau bangunan.

contoh : Pesona bayi adalah pesona bunga-bunga, pesona mayang pinang yang terurai dari kelopaknya di pagi hari.

b) Citraan Pendengaran

Citraan pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran. Berbagai peristiwa dan pengalaman hidup yang berkaitan dengan pendengaran tersimpan dalam memori pembaca akan mudah bangkit dengan adanya citraan audio. Pelukisan keadaan dengan citraan pendengaran akan mudah merangsang imaji pembaca yang kaya dalam pencapaian efek estetik.

contoh : sesungguhnya gendang telinganya menangkap suara celoteh adiknya yang lucu menawan.

c) Citraan Penciuman

Citraan penciuman jarang digunakan dibanding citraan gerak, visual, atau pendengaran. Namun demikian citraan penciuman memiliki fungsi penting dalam menghidupkan imajinasi pembaca khususnya indra penciuman.

contoh : ketika angin tenggara bertiup dingin mneyapu harum bunga kopi yang mekar dimusim kemarau.

d) Citraan Pencecapan

Citraan pencecapan adalah pelukisan imajinasi yang ditimbulkan oleh pengalaman indra pencecapan. Citraan ini dalam karya sastra dipergunakan untuk menghidupkan imaji pembaca dalam hal-hal yang berkaiatan dengan rasa di lidah.

contoh :Dan kini berlari karena bini bau melati lezat ludah air kelapa e) Citraan Gerak

Citraan gerak melukiskan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai benda yang dapat bergerak ataupun gambaran

(38)

gerak pada umumnya. Citraan gerak dapat membuat sesuatu menjadi terasa hidup dan terasa menjadi dinamis.

contoh: Senjakala, saat keseimbangan ekosistem alam bergoyangkarena siang sedang beralih ke malam.

f) Citraan intelektual

Citraan yang dihasilkan melalui asosiasi–asosiasi intelektual disebut dengan citraan intelektual. Guna menghidupkan imaji pembaca, pengarang memanfaatkan asosiasi logika dan pemikiran.

contoh: manusia abad ini sangat liar lalu dengan mengejek impotensi agama.

g) Citraan Perabaan

Citraan perabaan adalah citraan yang ditimbulkan melalui perabaan.

Dalam fiksi cerita perabaan terkadang dipakai untuk melukiskan keadaan emosional tokoh.

contoh : Sembari jari-jari galaknya mencakar-cakar rasa gatal disukmanya.

3. Hakikat Gaya Bahasa a. Pengertian Gaya Bahasa

Pemilihan bentuk bahasa yang digunakan pengarang akan berkaitan dengan fungsi dan konteks pemakaiannya. Pemakaian gaya dalam sastra selalu dikaitkan dengan konteks yang melatar belakangi pemilihan dan pemakaian bahasa. Semua gaya bahasa itu berkaitan langsung dengan latar sosial dan kehidupan di mana bahasa itu digunakan.

Pradopo (dalan Suwardi Endraswara, 2003: 72) menyatakan bahwa nilai seni sastra ditentukan oleh gaya bahasanya. Gaya bahasa dapat dikatakan sebagai keahlian seorang pengarang dalam mengolah kata-kata. Jangkauan gaya bahasa sangat luas, tidak hanya menyangkut masalah kata tetapi juga rangkaian dari kata- kata tersebut yang meliputi frasa, klausa, kalimat, dan wacana secara keseluruhan (Gorys Keraf, 2004: 112) termasuk kemahiran pengarang dalam memilih

(39)

ungkapan yang menentukan keberhasilan, keindahan, dan kemasuk akalan suatu karya yang merupakan hasil ekspresi diri( Suminto A Sayuti, 2000: 110).

Sejalan dengan Sayuti, Suwardi Endraswara (2003: 73) juga menyatakan bahwa gaya bahasa merupakan seni yang dipengaruhi oleh nurani. Melalui gaya bahasa sastrawan menuangkan idenya. Bagaimanapun perasaan saat menulis, jika menggunakan gaya bahasa, karya yang dihasilkan akan semakin indah. Jadi, dapat dikatakan gaya bahasa adalah pembungkus ide yang akan menghaluskan teks sastra. Zhiqin Zhang (1995: 155) menjelaskan bahwa ”Literary stylistics is a discipline mediating between linguistics and literary criticism. Its concern can be simply and broadly defined as thematically and artistically motivated verbal choices” (“gaya bahasa sastra adalah disiplin mediasi antara linguistik dan kritik sastra. Disisi lain dapat sederhana dan secara luas didefinisikan sebagai tematik dan artistik termotivasi pilihan verbal”).

Beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian gaya bahasa adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Kekhasan dari gaya bahasa ini terletak pada pemilihan kata-katanya yang tidak secara langsung menyatakan makna yang sebenarnya.

b. Fungsi Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara pemakaian bahasa dalam karangan, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan diungkapkan. Menurut Leech dan Short (1981:10) style menyaran pada pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu.

Fungsi pemakaian gaya bahasa dalam karya sastra seperti dikemukakan Altenberd dan Lewis (dalam Ali Imron, 2009) gaya bahasa dalam karya sastra dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengekploitasi dan memanipulasi potensi bahasa. Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran.

(40)

Gaya bahasa merupakan bentuk retorika, yakni penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk mempegaruhi pembaca atau pendengar (Henry Guntur Tarigan ,1985: 5). Jadi gaya bahasa sebagai alat untuk meyakinkan atau mempengaruhi pembaca atau pendengar. Gaya bahasa juga berkaitan dengan situasi dan suasana karangan.

Sementara itu Ali Imron (2009: 15) menyatakan fungsi gaya bahasa adalah sebagai berikut:

1) meninggikan selera, artinya dapat meningkatkan minat pembaca /pendengar untuk mengikuti apa yang disampaikan pengarang /pembicara;

2) mempengaruhi atau meyakinkan pembaca atau pendengar artinya dapat membuat pembaca semakin yakin dan mantap terhadap apa yang disampaikan pengarang/pembicara;

3) menciptakan keadaan perasaan hati tertentu, artinya dapat membawa pembaca hanyut dalam suasana hati tertentu, seperti kesan baik atau buruk, perasaan senang atau tidak senang, benci atau sebagainya setelah menangkap apa yang dikemukakan pengarang;

4) memperkuat efek terhadap gagasan, yakni dapat membuat pembaca terkesan oleh gagasan yang disampaikan pengarang dalam karyanya.

c. Jenis-jenis Gaya Bahasa

Perrin (dalam Henry Guntur Tarigan, 1995: 141) membedakan gaya bahasa menjadi tiga. Gaya bahasa tersebut yaitu: (1) perbandingan, yang meliputi:

metafora; kesamaan; dan analogi; (2) hubungan, yang meliputi metonomia dan sinekdoke; (3) pernyataan, yang meliputi: hiperbola, litotes, dan ironi. Moeliono (1989: 175) membedakan gaya bahasa menjadi tiga. Gaya bahasa tersebut antara lain: (1) perbandingan, yang meliputi: perumpamaan, metafora, dan penginsanan;

(2) pertentangan, yang meliputi: hiperbola, litotes, dan ironi; (3) pertautan, yang meliputi: metonomia, sinekdoke, kilatan, dan eufemisme.

Badudu (dalam Riyono Pratikno, 1984: 151) menerangkan bahwa gaya bahasa dibedakan menjadi empat yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan; (2) gaya bahasa sindiran; (3) gaya bahasa penegasan; dan (4) gaya bahasa pertentangan.

Sementara itu, Keraf (2007:124-145) membagi gaya bahasa berdasarkan struktur

(41)

kalimat yang meliputi: (1) klimaks; (2) antiklimaks; (3) paralelisme; (4) antitesis, dan (5) repetisi (epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis). Kemudian berdasarkan langsung tidaknya makna, meliputi: (1) gaya bahasa retoris terdiri dari aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis (preterisiso), apostrof, asindenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, hysteron, prosteron, pleonasme dan tautology, perifrasis, prolepsis (antisipasi), erotesis (pertanyaan retoris), silepsis dan zeugma, koreksio (epanortosis), hiperbola, paradoks, dan oksimoron; (2) gaya bahasa kiasan meliputi persamaan atau simile, metafora, alegori, parable, fable, personifikasi (prosopopoeia), alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, innuendo, antifrasis.

Sementara itu, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002: 21-30) berpendapat gaya bahasa dibagi menjadi lima golongan, yaitu: (1) gaya bahasa penegasan, yang meliputi repetisi, paralelisme; (2) gaya bahasa perbandingan, yang meliputi hiperbola, metonomia, personifikasi, perumpamaan, metafora, sinekdoke, alusio, simile, asosiasi, eufemisme, pars pro toto, epitet, eponym, dan hipalase; (3) gaya bahasa pertentangan mencakup paradoks, antithesis, litotes, oksimoron, hysteron, prosteron, dan okupasi; (4) gaya bahasa sidiran meliputi ironi, sinisme, innuendo, melosis, sarkasme, satire, dan antifarsis; (5) gaya bahasa perulangan meliputi aliterasi, antanaklasis, anaphora, anadiplosis, asonansi, simploke, nisodiplosis, epanalipsis, dan epuzeukis.

Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan, (2) gaya bahasa perulangan, (3) gaya bahasa sindiran, (4) gaya bahasa pertentangan, (5) gaya bahasa penegasan. Adapun penjelasan masing-masing gaya bahasa di atas adalah sebagai berikut.

1) Gaya Bahasa Perbandingan

Rachmat Djoko Pradopo (2005:62) berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang

(42)

lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa perbandingan adalah gaya bahasa yang mengandung maksud membandingkan dua hal yang dianggap mirip atau mempunyai persamaan sifat (bentuk) dari dua hal yang dianggap sama. Adapun gaya bahasa perbandingan ini meliputi: hiperbola, metonomia, personifikasi, pleonasme, metafora, sinekdoke, alusi, simile, asosiasi, eufemisme, epitet, eponim, dan hipalase.

a) Hiperbola

Firman Maulana (2008) berpendapat bahwa hiperbola yaitu sepatah kata yang diganti dengan kata lain yang memberikan pengertian lebih hebat dari pada kata. Gorys Keraf (2007:135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Sementara itu, Burhan Nurgiyantoro (2002:300) menyatakan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang cara penuturannya bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih- lebihkan. Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan dari kenyataan. contoh: hatiku hancur mengenang dikau, berkeping-keping jadinya.

b) Metonomia

Aminuddin (1995:241) berpendapat bahwa metonomia adalah pengganti kata yang satu dengan kata yang lain dalam suatu konstruksi akibat terdapatnya ciri yang bersifat tetap. Gorys Keraf (2007: 142) berpendapat bahwa metonomia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Sementara itu, Altenberd (dalam Rachmat Djoko Pradopo Pradopo, 2005: 77) mengatakan bahwa metonomia adalah penggunaan bahasa sebagai sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang

(43)

sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metonomia adalah penamaan terhadap suatu benda dengan menggunakan nama yang sudah terkenal atau melekat pada suatu benda tersebut, contoh: ayah membeli kijang.

c) Personifikasi

Gorys Keraf (2007: 140) berpendapat bahwa personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.

Personifikasi juga dapat diartikan majas yang menerapakan sifat-sifat manusia terhadap benda mati, Firman Maulana (2008). Sementarta itu, Rachmat Djoko Pradopo Pradopo (1995:75) berpendapat bahwa personifikasi adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa personifikasi adalah gaya bahasa yang memperamalkan benda-benda mati seolah-olah hidup atau mempunyai sifat kemanusiaan, contoh: pohon melambai-lambai diterpa angin.

d) Perumpamaan

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) berpendapat bahwa perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berbeda, tetapi sengaja dianggap sama. Moeliono (dalam Susilo Adi,2010) berpendapat bahwa perumpamaan adalah gaya bahasa perbandingan yang pada hakikatnya membandingkan dua hal yang berlainan dan yang dengan sengaja kita anggap sama. Gaya bahasa perumpamaan dapat disimpulkan yaitu perbandingan dua hal yang hakikatnya berlainan dan yang sengaja dianggap sama. Terdapat kata laksana, ibarat, dan sebagainya yang dijadikan sebagai penghubung kata yang diperbandingkan. Dengan kata lain, setiap kalimat yang dipakai dalam gaya bahasa perumpamaan, tidak dapat

(44)

disatukan, dan hanya bisa dibandingkan. Hal tersebut akan terlihat jelas pada contoh berikut ini: setiap hari tanpamu laksana buku tanpa halaman.

e) Pleonasme

Gorys Keraf (2004:133) berpendapat bahwa pleonasme adalah semacam acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu gagasan atau pikiran. Apabila kata yang berlebihan tersebut dihilangkan maka tidak mengubah makna/arti. Gaya bahasa pleonasme dapat disimpulkan menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya, contoh: Ia menyalakan lampu kamar, membuat supaya kamar menjadi terang.

f) Metafora

Gorys Keraf (2007: 139) berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal yang secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat. Sementara itu menurut Firman Maulana (2008) metafora juga dapat diartikan dengan majas yang memperbandingkan suatu benda dengan benda lain. Kedua benda yang diperbandingkan itu mempunyai sifat yang sama, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan secara implisit yang tersusun singkat, padat, dan rapi; contoh: generasi muda adalah tulang punggung negara.

g) Alegori

Gorys Keraf (2007:140) berpendapat bahwa alegori adalah gaya bahasa perbandingan yang bertautan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh. Gaya bahasa alegori dapat disimpulkan kata yang digunakan sebagai lambang yang untuk pendidikan serta mempunyai kesatuan yang utuh, contoh: hati-hatilah kamu dalam mendayung bahtera rumah tangga, mengarungi lautan kehidupan yang penuh dengan badai dan gelombang. Apabila suami istri, antara nahkoda dan juru mudinya itu seia

(45)

sekata dalam melayarkan bahteranya, niscaya ia akan sampai ke pulau tujuan.

h) Sinekdoke

Gorys Keraf (2007: 142) berpendapat bahwa sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Sejalan dengan pendapat tersebut, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) mengemukakan bahwa sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan atau sebaliknya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinekdoke adalah gaya bahasa yang menggunakan nama sebagian untuk seluruhnya atau sebaliknya, contoh: akhirnya Maya menampakkan batang hidungnya.

i) Alusio

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) berpendapat bahwa alusio adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung pada suatu tokoh atau peristiwa yang sudah diketahui. Gorys Keraf (2007: 141) berpendapat bahwa alusi adalah acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antar orang, tempat, atau peristiwa. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk sesuatu secara tidak langsung kesamaan antara orang, peristiwa atau tempat, contoh:

memberikan barang atau nasihat seperti itu kepadanya, engkau seperti memberikan bunga kepada seekor kera.

j) Simile

Gorys Keraf (2007:138) berpendapat bahwa simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit atau langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Sementara itu simile atau perumpamaan dapat diartikan suatu majas yang membandingkan dua hal/ benda dengan

(46)

menggunakan kata penghubung, contoh: caranya bercerita selalu mengagetkan, seperti petasan.

k) Asosiasi

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) berpendapat bahwa asosiasi adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan.

Firman Maulana (2008) berpendapat bahwa asosiasi adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan. Pendapat tersebut menyiratkan bahwa asosiasi adalah gaya bahasa yang berusaha membandingkan sesuatu dengan hal lain yang sesuai dengan keadaan yang digambarkan, contoh:

wajahnya pucat pasi bagaikan bulan kesiangan.

l) Eufemisme

Gorys Keraf (2007: 132) berpendapat bahwa eufemisme adalah acuan berupa ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau menyugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Sementara itu, menurut Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:25) eufemisme adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat menggantikan satu pengertian dengan kata lain yang hampir sama untuk menghaluskan maksud. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa eufemisme adalah gaya bahasa yang berusaha menggunakan ungkapan-ungkapan lain dengan maksud memperhalus, contoh: kaum tuna wisma makin bertambah saja di kotaku.

m) Epitet

Gorys Keraf (2007: 141) berpendapat bahwa epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang. Sementara itu, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:25) menyatakan bahwa epitet

Gambar

Gambar    Halaman
Tabel    Halaman
Gambar 1 . Skema Kerangka Berpikir
Tabel 1.  Rencana Pelaksanaan Penelitian
+3

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tetapi yang penting dalam memahami makna ayat-ayat ini ialah pertanyaan yang oleh orang-orang Yahudi termasuk sementara orang Yahudi Kristen, diarahkan kepada

[r]

yang baik kepada anak, maka perkembangan bahasa anak cenderung akan. mengalami stagnasi atau kelainan seperti: gagap dalam

CONSUMMATE- LOVE OF EVELYN SALT IN PHILIP NOYCE’S SALT MOVIE (2010): A PSYCHOANALYTIC APPROACH.. Arum Dwi Hastutiningsih

HALAMAN PERSEMBAHAN ... Latar Belakang ... Perumusan Masalah ... Batasan Masalah ... Sistematika Penulisan ... Manfaat Proyek Akhir... Pengertian Mesin Frais ... Bagian-Bagian

Adapun dalam penyusunan Laporan Akhir ini penulis telah melakukan penelitian mengenai system penyimpanan arsip yang digunakan oleh pengadministrasi Jurusan dalam

Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa: a) LSM maupun pemerintah telah berperan di dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari