• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pola Persebaran

Penyebaran merupakan salah satu ciri yang khas bagi setiap organisme di suatu habitat. Pola persebaran ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya iklim, tanah, dan kondisi fisik lingkungan lainnya. Dalam suatu populasi terdapat beberapa organisme yang tersebar (Saridan dan Noor 2013). Sebaran keruing pada berbagai ketinggian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Persebaran Keruing Terhadap Ketinggian (mdpl)

No Nama Latin Jumlah individu Ketinggian (mdpl)

1 Dipterocarpus constulatus 7 215-277

2 Dipterocarpus haseltii 17 132-268

3 Dipterocarpus elongatus Korth. 4 147-243

Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa terdapat 3 jenis keruing yang memiliki ketinggian tempat tumbuh yang berbeda-beda yaitu keruing daun lebar (Dipterocarpus constulatus) yang tumbuh pada ketinggian 215-277 mdpl, keruing lilin (Dipterocarpus haseltii) pada ketinggian 132-268 mdpl, dan keruing minyak babi (Dipterocarpus elongatus Korth.) yang tumbuh pada ketinggian 147-243 mdpl. Berdasarkan distribusi ketinggiannya, diketahui bahwa Dipterocarpus constulatus merupakan jenis yang tumbuh pada lokasi tertinggi sedangkan Dipterocarpus elongatus Korth merupakan jenis yang tumbuh pada ketinggian yang lebih rendah.

Perbandingan diantara ketiga jenis keruing diatas didapatkan bahwa keruing lilin (Dipterocarpus haseltii) lebih banyak ditemukan pada setiap tingkatan dibandingkan keruing daun lebar (Dipterocarpus constulatus) dan keruing minyak babi (Dipterocarpus elongatus Korth.) ini dikarenakan pada keruing lilin (Dipterocarpus haseltii) ditemukan pada setiap jumlah anakan (semai) > pancang ≤ pohon. Pada tingkat pohon keruing memiliki tajuk dengan tinggi mencapai 65 m sehingga dalam kemampuan mendapatkan intensitas cahaya lebih banyak tingkat pohon dibandingkan pada tingkat semai dan pancang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Susetyo (2009) bahwa pertumbuhan suatu tanaman akan

sangat berpengaruh oleh kondisi lingkungannya seperti ketersediaan unsur hara dan mineral yang tersedia disekitar tempat tumbuhnya, dalam hal ini keruing lilin (Dipterocarpus haseltii) mampu menyesuaikan kondisi lingkungan agar dapat hidup dan memiliki persebaran lebih banyak dibandingkan dengan keruing daun lebar (Dipterocarpus constulatus) dan keruing minyak babi (Dipterocarpus elongatus Korth.).

Menurut Kartawinata (1973) dalam Sari (2014), keruing dapat tumbuh dalam hutan primer mulai dari permukaan laut sampai dengan ketinggian 1.500 mdpl. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, dapat disimpulkan bahwa tempat tumbuh keruing berkisar antara 132 mdpl – 277 mdpl. Pada ketinggian 132 – 268 mdpl keberadaan keruing paling banyak ditemukan, karena pada ketinggian tersebut umumnya keruing dapat tumbuh atau dibudidayakan serta dalam hal ketersediaan bahan makanan lebih banyak tersedia disekitar tempat tumbuh keruing tersebut. Pada ketinggian > 277 mdpl tidak menutup kemungkinan bahwa dari jenis keruing yang ada dan terdapat diluar ketinggian tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sari (2014) bahwa secara umum keruing dibudidayakan pada lingkungan yang sesuai dengan tempat tumbuhnya yaitu pada ketinggian 130 – 200 mdpl. Suhu yang berada dibawah pohon atau tajuk keruing berkisar antara 27-30°C. Menurut Wisnubroto (1999) suhu di sekitar tanaman sangat penting dalam perkembangan produksi tanaman. Hal ini dikarenakan tumbuhan yang tumbuh di dalam hutan membutuhkan unsur-unsur iklim mikro untuk tumbuh dan

16

berkembang secara optimum. Pada hutan tropika terjadi keberagaman suhu dikarenakan adanya cahaya matahari yang terhalang.

Kelembaban udara dibawah pohon atau tajuk keruing berkisar antara 68-81%. Menurut Anuar dan Karyati (2019), rendahnya intensitas cahaya matahari dibawah tajuk pohon dan vegetasi akan menyebabkan kenaikan pada kelembaban udara. Vegetasi sangat berperan penting dalam proses mengurangi jumlah radiasi matahari yang masuk ke permukaan tanah.

Pada umumnya pohon keruing tumbuh secara berkelompok dan sebagian kecil tersebar. Pada interval ketinggian 140 mdpl pola persebaran keruing sebagian kecil tersebar. Adapun keruing yang tersebar yaitu keruing lilin (Dipterocarpus haseltii) dan keruing minyak babi (Dipterocarpus elongatus Korth.). Pada interval ketinggian 220-280 mdpl pola persebaran keruing cenderung mengelompok. Hal ini sesuai dengan pernyataan Krebs (1989) persebaran pada jenis keruing ditentukan oleh beberapa faktor yaitu iklim, tanah, dan interaksi dengan tumbuhan lain.

Gambar 2. Pola Persebaran Jenis Keruing

Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan bahwa jenis keruing pada umumnya tumbuh pada daerah yang berbukit. Jenis keruing memiliki pola persebaran secara

mengelompok dan sebagian kecil tersebar. Pola persebaran jenis keruing ini cenderung mengelompok karena pada jenis ini tumbuh disekitar pohon induk sehingga persebaran biji disekitar pohon induk terjadi karena adanya pemencaran biji yang kurang baik (Pratiwi dkk, 2017).

Pola persebaran berhubungan dengan faktor bioekologi yang mana pada suatu tegakan vegetasi yang diteliti akan berpengaruh nyata langsung. Adapun pola persebaran tumbuhan yang tersebar dialam yaitu secara acak, berkelompok, dan merata (Pratiwi dkk., 2017). Pola persebaran jenis keruing ini dapat diketahui dengan rumus indeks persebaran morista. Hasil pola persebaran jenis keruing yang dilakukan dilapangan dari tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pola penyebaran keruing dengan indeks morista pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon

Berdasarkan hasil indeks morista (Tabel 2) menunjukkan bahwa pada tingkat semai memiliki nilai indeks morista yaitu 14,66 yang artinya persebaran setiap individu cenderung berkelompok, pada tingkat pancang dan tiang memiliki nilai indeks morista yaitu 0 yang artinya persebaran setiap individu cenderung tersebar, dan pada tingkat pohon memiliki nilai indeks morista yaitu 4,36 yang artinya persebaran setiap individu cenderung berkelompok.

Pada tingkat semai persebaran individu cenderung berkelompok karena biji pada keruing memiliki ukuran yang besar sehingga pada saat itu biji keruing jatuh tidak jauh dari pohon induknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Istomo dan Pradiastoro (2010) bahwa ada beberapa alasan terjadi nya penyebaran secara mengelompok yaitu hubungan dengan pola reproduksi biji atau buah yang cenderung jatuh dekat pohon induk serta pada tanah yang mengandung iklim mikro sesuai pada kebutuhan habitat pohon tersebut. Pola persebaran secara

n Ʃ× (Ʃ×)² Ʃײ Ʃײ-Ʃ× (Ʃ×)²-Ʃ× Id

110 6 36 10 4 30 14,66

110 3 9 3 0 6 0

110 7 49 7 0 42 0

110 28 784 58 30 756 4,36

18

mengelompok mengindikasikan bahwa secara ekologi keberadaan unsur hara disekitar cukup tersedia, sehingga terjadi interaksi sosial atau asosiasi diantara tumbuhan tersebut. Menurut Saridan dkk (2011), pada umumnya jenis keruing banyak ditemukan pada daerah dengan kelerangan curam hingga sangat curam.

Pada tingkat pancang dan tiang memiliki pola persebaran secara acak karena pada dasarnya setiap fase pertumbuhan akan berbeda karena dalam hal mendapatkan cahaya matahari, suhu atau kelembaban, kondisi tanah serta iklim dan ketersediaan hara atau nutrisi yang memungkinkan persebaran ini berubah dari kelompok menjadi tersebar (Heriyanto dan Bismark, 2014).

Dokumen terkait