• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persentase EC dihitung dari rasio energi tercerna dengan konsumsi energi, nilai ini memiliki arti besarnya % energi yang tercerna terhadap yang dikonsumsi.

16 Persentase EM dihitung dari rasio energi termetabolis dengan konsumsi energi.

Rancangan Percobaan

Model matematik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan yang dikelompokan (pengelompokkan berdasarkan bobot badan), model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1993).

Yij = µ + τi + ßj+ εij Keterangan :

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

µ = nilai rataan umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i

βj = pengaruh kelompok ke-j

ij = galat perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

i = perlakuan yang diberikan (R1, R2, R3, R4, R5)

j = kelompok dari masing-masing perlakuan (K1, K2, K3, K4).

Data yang diperoleh akan dianalisa dengan menggunakan analysis of variance (ANOVA) dan untuk melihat perbedaan diantara perlakuan diuji dengan Duncan.

Prosedur

Persiapan dan pengamatan

Ternak domba yang diteliti dicukur bulunya dan diberi obat cacing dan antibiotika. Adaptasi pakan perlakuan dilakukan selama dua minggu. Setelah itu, ternak ditimbang dan mulai dilakukan pengamatan konsumsi dan pertambahan berat badan. Konsumsi diukur setiap hari sedangkan penimbangan berat badan dilakukan setiap bulan. Lamanya pengamatan ternak dilakukan selama 4 bulan. Pengamatan neraca energi dilakukan pada akhir bulan ketiga dengan metode koleksi total.

17 Cara Pengambilan Contoh

Feses

Pengambilan sampel feses sebanyak 10% dari total pengeluaran setiap hari selama seminggu, kemudian dijemur di bawah matahari dan ditimbang kembali. Selanjutnya feses dikeringkan dalam oven bersuhu 60 oC selama 24 jam dan digiling halus dengan ukuran saringan sebesar 20-30 mesh (1 mm). Setelah ditimbang, feses lalu dimasukkan ke oven 1050C selama 24 jam. Feses akan diambil untuk analisa proksimat dan bomb kalorimeter.

Urin

Urin ditampung dengan menggunakan botol plastik yang sebelumnya telah ditambahkan HCl pekat sebanyak 1-2 tetes. Koleksi urin dilakukan selama satu minggu diakhir penelitian. Koleksi urin dilakukan sebanyak 10% untuk kemudian disimpan di dalam freezer. Sampel urin tersebut dikomposit untuk kemudian diambil sampel untuk dianalisa kandungan nitrogennya.

Metode Analisa Protein (AOAC, 1980)

Prinsip dari analisa protein, yaitu senyawa nitrogen organik dapat dioksidasi dalam lingkungan asam sulfat pekat membentuk (NH4)2SO4. Selanjutnya NH3 yang dibebaskan akan diikat oleh asam borat dan dapat dititar dengan H2SO4 atau HCl baku dengan menggunakan petunjuk Conway atau mix indikator.

Cara mendapatkan kadar protein adalah, pertama ditimbang sebanyak 0.2 gram contoh halus lalu dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, disiapkan juga untuk blangkonya. Setelah itu sebanyak 0,2 gram selenium mixture ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 3-5 ml H2SO4 (p) di ruang asam kemudian didestruksi dalam ruang asam selama 30 menit (terbentuk larutan jernih/putih). Setelah terbentuk larutan jernih kemudian didinginkan dan ditambahkan aquadest sebanyak 100 ml.

Destilasi dilakukan dengan menambahkan NaOH 40% 15-20 ml ke dalam larutan contoh/blangko. Sementara itu, asam borat 4% 10 ml dan 2 tetes mix indikator dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml sebagai penampung hasil destilasi (warna larutan merah). Destilasi dihentikan setelah erlenmeyer 100 ml berisi 50-75

18 ml (warna larutan hijau) kemudian dititrasi dengan HCL yang telah ditetapkan normalitetnya terhadap contoh dan blangko sampai warna merah muda.

N total (%) = (ml titrasi contoh – ml titrasi blangko) x N-HCL x 4 mg contoh

Metode Analisa Energi Bruto (AOAC, 1980)

Sampel sebanyak 1 gram dibentuk pellet. Sampel dimasukkan kedalam cawan kecil, kemudian dilewatkan kawat platina sepanjang 10 cm dan dimasukkan ke dalam bomb kalorimeter dan diisi oksigen sebanyak 25 atmosfer. Bomb kalorimeter dimasukkan ke dalam jaket yang sudah diisi air kemudian ditutup. Diukur suhu awalnya (a) dengan menekan tombol/knob. Sampel dibakar selama 5 menit. Kemudian suhu distabilkan dengan menekan tombol/knob dan dicatat sebagai suhu akhir (b). Kawat platina yang terbakar diukur sebagai k cm.

Perhitungan :

Energi Bruto (Kal/kg) = (b - a) – k – V. Titrasi x F. koreksi Berat sampel

Keterangan : a = suhu awal air dalam jaket bomb kalorimeter. b = suhu akhir air dalam jaket bomb kalorimeter k = panjang kawat platina yang terbakar

V = volume titrasi

19 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan (UP3) Jonggol merupakan lahan peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor. Secara geografis UP3 Jonggol terletak antara 60LU dan 106,530BT pada ketinggian 70 m di atas permukaan laut. Kondisi iklim di UP3 Jonggol secara umum dibedakan menjadi dua kategori, yaitu bulan basah dan bulan kering. Perbedaan suhu antara bulan basah dan bulan kering di UP3 Jonggol sangat ekstrim. Bulan basah biasanya terjadi antara November-Februari sedangkan bulan kering terjadi antara Maret-Oktober dan biasanya bulan kering lebih lama dari bulan basah. Penelitian ini berlangsung pada bulan kering dengan rata-rata suhu maksimum 32,620C, suhu minimum 21,960C, curah hujan 305,67 mm/bulan, dan kelembaban 93,38% (UP3J, 2009). Domba yang diternakkan dengan suhu lingkungan yang tinggi mengakibatkan domba mengalami cekaman panas. Kisaran suhu yang normal untuk domba 200C dengan kelembaban 65% (Abdalla et al., 1993).

Hijauan makanan ternak yang dikembangkan di padang penggembalaan pada awalnya terdiri atas rumput Brachiaria humidicola, Brachiaria decumbens, Pennisetum purperium dan tanaman leguminosa seperti gamal dan lamtoro (UP3J, 1992). Sistem penanaman campuran rumput dan legum diharapkan dapat membantu memperkaya unsur hara dan mengurangi kondisi panas serta kecepatan angin. Di sekitar padang penggembalaan dan kandang terdapat bak-bak penampung dengan memanfaatkan air hujan. Namun saat ini sebagian besar padang penggembalaan telah berubah menjadi semak belukar dan rumput alam, hanya sebagian yang masih layak digunakan sebagai lahan ternak merumput. Kondisi ini menyebabkan domba di padang gembalaan kekurangan sumber pakan sehingga perlu dilakukan pemeliharaan secara intensif untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Konsumsi Nutrien

Menurut Parakkasi (1999), konsumsi dapat dipengaruhi oleh kadar zat makanan dan komponen bahan penyusun dalam ransum. Ransum yang diberikan di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan (UP3) Jonggol didominasi oleh hijauan dan legum guna mengoptimalkan sumberdaya alam yang ada disana. Pada penelitian

20 ini domba di UP3 Jonggol diberikan pakan berupa rumput Brachiaria humidicola

sebagai pakan utama dan diberi tambahan legum pohon berupa gamal dan lamtoro serta konsentratdalam jumlah sangat sedikit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian rumput Brachiaria humidicola dengan campuran legum pohon berupa gamal dan lamtoro tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap tingkat konsumsi bahan kering (Tabel 2). Rata-rata konsumsi bahan kering berkisar antar 567,10-612,10 g/e/h setara dengan BK 4,07%-4,39% dari bobot badan. Nilai tersebut sebanding dengan nilai rekomendasi Haryanto dan Djajanegara (1993) bahwa domba dengan bobot hidup 14 kg membutuhkan bahan kering 450-620 g/e/h atau kebutuhan bahan kering setara 3,2%-4,4% dari bobot badan. Konsumsi bahan kering mampu mencapai standar kebutuhan karena faktor palatabilitas pakan yaitu rumput yang masih segar dan adanya penambahan legum serta konsentrat. Kebiasaan merumput di padang gembalaan dan ternak cenderung lebih memilih pakan yang segar menyebabkan pemberian rumput 90% pada R1 dan 80% pada R2 dapat meningkatkan konsumsi bahan kering. Menurut laporan Nugroho (2010) domba di Jonggol yang dipasturakan mampu mengkonsumsi rumput sebanyak 592,08 g/e/h BK. Perlakuan R3, R4 dan R5 menunjukkan konsumsi bahan kering juga mencapai standar bahkan meningkat, hal tersebut disebabkan adanya penambahan leguminosa. Hasil ini sesuai dengan laporan Winugroho dan Widiawati (2009) yang menyatakan bahwa pemberian 100% lamtoro dan gamal pada domba yang berumur 7-8 bulan, mampu mengkonsumsi bahan kering sebesar 872 dan 928 g/e/h. Faktor bau dan rasa dapat menjadi pembatas konsumsi pada domba. Bau yang khas pada gamal dapat meningkatkan konsumsi (Mathius et al., 1981). Batas penggunaan legum dalam ransum juga perlu diperhatikan. Mathius (1993) melaporkan bahwa legum akan memberikan dampak positif bila penggunaannya di dalam ransum kurang dari 50%.

Konsumsi protein kasar pada kelima perlakuan menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). Konsumsi protein kasar tertinggi terdapat pada perlakuan R4 yaitu domba mampu mengkonsumsi protein kasar sebanyak 58,09 g/e/h dibandingkan dengan perlakuan yang lain, sedangkan konsumsi protein kasar terendah pada perlakuan R1 yaitu domba hanya mampu mengkonsumsi protein kasar sebanyak 45,39 g/e/h. Tinggi rendahnya konsumsi protein kasar sangat dipengaruhi

21 oleh persen pemberian legum. Rendahnya konsumsi protein kasar pada R1 disebabkan oleh ransum yang dominan mengandung 90% rumput tanpa penambahan legum sedangkan tingginya konsumsi protein kasar pada R4 disebabkan oleh ransum mendapat tambahan 30% legum dan 10% konsentrat. Nilai konsumsi protein kasar pada perlakuan R4, R5 dan R3 setara dengan nilai konsumsi protein kasar yang disarankan Haryanto dan Djajanegara (1993) bahwa domba dengan bobot hidup 14 kg membutuhkan PK 52,0 g/e/h. Terpenuhinya nilai konsumsi protein kasar dikarenakan kualitas campuran legum lebih baik dibandingkan dengan rumput

Brachiaria humidicola. Tabel 1 menunjukkan bahwa pakan yang diberikan pada ternak yang mendapat perlakuan R4, R5 dan R3 mempunyai kandungan nutrien protein kasar yang lebih tinggi berkisar 9,75%-10,86% dibandingkan R1 dan R2 hanya berkisar 7,53%-8,64%. Hasil analisa proksimat menunjukkan daun gamal dan lamtoro mengandung protein kasar 17,89% dan 18,88%. Data ini memperjelas bahwa penambahan legum sangat memberikan pengaruh dalam peningkatan kualitas nutrien pakan. Manurung (1995) menyetujui bahwa penggunaan hijauan leguminosa pohon sebagai suplemen ransum ruminansia dapat meningkatkan konsumsi protein.

Tabel 2. Konsumsi Nutrien Domba di UP3J yang Diberi Rasio Rumput dan Legum yang Berbeda Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5 Konsumsi (g/e/h) Bahan Kering 612,1± 24,66 597,6±68,23 567,10 ±48,81 573,42 ± 16,95 572,76 ± 38,18 Bahan Kering (%BB) 4,39 ± 0,17 4,28 ± 0,49 4,07 ± 0,34 4,11 ± 0,12 4,12 ± 0,27 Protein Kasar 45,39 ± 1,71d 49,50 ± 4,89c 52,48 ± 3,47bc 58,09 ± 1,21a 55,68 ± 2,81ab Lemak Kasar 18,91 ± 0,67 18,95 ± 1,94 18,52 ± 1,34 19,15 ± 0,48 17,34 ± 1,08 Serat Kasar 146,04 ± 6,29 137,24 ± 16,97 124,45 ± 12,16 120,82 ± 4,23 128,30 ± 9,46

Keterangan : R1 = 90% Brachiaria humidicola + 10% konsentrat, R2 = 80% Brachiaria humidicola +

10% campuran legum + 10% konsentrat, R3 = 70% Brachiaria humidicola + 20%

campuran legum + 10% konsentrat, R4 = 60% Brachiaria humidicola + 30% campuran

legum + 10% konsentrat, R5 = 70% Brachiaria humidicola + 30% campuran legum.

Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01).

Konsumsi lemak kasar tidak dipengaruhi secara nyata (P>0,05) oleh perlakuan. Konsumsi lemak kasar yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara

22 17,34-19,15 g/e/h. Tidak adanya perbedaan tersebut disebabkan oleh kandungan nutrien lemak dalam ransum yang diberikan sama, berkisar 3,18%–3,48% dan konsumsi BK juga tidak berbeda nyata. Sesuai dengan penelitian Wilkinson dan Stark (1985) bahwa jenis dan kualitas ransum merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi termasuk konsumsi lemak kasar. Semakin tinggi kandungan lemak dalam ransum yang diberikan maka kemungkinan akan semakin tinggi lemak yang dapat terkonsumsi oleh domba. Pada Tabel 1, nilai kandungan lemak pakan masih rendah bila dibandingkan dengan penelitian lain, Gunawan (2005) melaporkan ransum yang terdiri dari hijauan dan tambahan konsentrat menghasilkan lemak pakan yang cukup tinggi sekitar 12,45%. Pemberian lemak yang cukup tinggi pada penelitian tersebut menyebabkan domba yang diberi pakan hijauan dan tambahan konsentrat mampu mengkonsumsi lemak kasar sebanyak 31,12 g/e/h. Haryatti (2005) melaporkan bahwa ransum yang terdiri dari 55% hijauan dan 45% ampas tahu menghasilkan lemak pakan yang rendah hanya sebesar 3,0 %. Pemberian lemak yang rendah pada penelitian tersebut menyebabkan domba hanya mampu mengkonsumsi lemak kasar sebesar 20,22 g/e/h. Pakan yang berkualitas baik menyebabkan tingkat konsumsi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pakan yang kualitasnya rendah (Parakkasi,1999).

Konsumsi serat kasar pada Tabel 2 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Hasil konsumsi serat kasar yang didapatkan berkisar 120,82-146.04 g/e/h. Tidak adanya perbedaan tersebut disebabkan oleh kandungan nutrien serat kasar dalam ransum yang diberikan sama yaitu, berkisar 20,25%-23,47% dan konsumsi BK juga tidak berbeda. Cakra et al. (2002) menyatakan hal yang sama bahwa kambing yang diberi ransum dengan proporsi 40% hijauan dan 60% konsentrat menunjukkan konsumsi serat kasar tidak berbeda antar perlakuan, disebabkan kandungan nutrien serat kasar ransum antar perlakuan juga tidak berbeda berkisar 29,8%-31,14%. Menurut Sulastri (2009) konsumsi serat kasar domba yang diberi ransum dengan proporsi 70% hijauan dan 30% konsentrat berkisar antara 179,38-240,39 g/e/h. Rendahnya konsumsi serat kasar disebabkan oleh rendahnya kandungan serat kasar dalam ransum. Ransum dengan kandungan serat kasar cukup tinggi 31% bahan kering dapat meningkatkan konsumsi serat kasar sebesar 145,19-156,61 g/e/h (Priyanti, 2006).

23 Neraca Energi

Konsumsi Energi

Energi yang cukup, sangat diperlukan untuk pertumbuhan yang normal. Energi didefenisikan sebagai kemampuan untuk melakukan kerja dalam berbagai bentuk kegiatan dan berubah-ubah (Tillman et al., 1991). Kekurangan energi pada ternak, khususnya ternak dalam masa pertumbuhan akan menghambat pertumbuhan ternak tersebut. Konsumsi energi pada domba di UP3 Jonggol berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Konsumsi energi per bobot harian tidak berbeda untuk semua perlakuan. Nilai rataan konsumsi energi (KE) pada penelitian ini berkisar antara 1984-2137,19 Kal/e/h. Pada penelitian Haryatti (2005) dengan pemberian 55% hijauan dan 45% ampas tahu (mengandung energi 3476 kal/g) yang diberikan pada domba dengan bobot badan sekitar 13 kg mampu mengkonsumsi bahan kering dan energi sebesar 751,11 g/e/h dan 2373 Kal/e/h. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mathius et al. (1996) yaitu konsumsi energi pada domba lokal fase pertumbuhan dengan bobot badan ±13 kg yang diberi pakan dengan kandungan energi bruto 3770 Kal/kg BK mampu mengkonsumsi energi sebesar 1383,27 Kal/e/h. Berbedanya perolehan konsumsi energi pada penelitian ini dengan penelitian terdahulu disebabkan oleh perbedaan kandungan energi pakan yang diberikan. Wilkinson dan Stark (1985) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi energi adalah jenis dan kualitas ransum. Semakin tinggi konsentrasi energi pakan maka konsumsi energi akan semakin rendah Parakkasi (1999).

Astuti dan Sastradipraja (2000) melaporkan bahwa kebutuhan KE domba bobot badan ±15 kg yang dikandangkan dan diberi tambahan konsentrat 500 g (mengandung energi 3330 kal/g) mampu mengkonsumsi energi senilai 2858,38 Kal/e/h sedangkan untuk kambing tumbuh dengan bobot badan ±14 kg dan diberi tambahan pakan konsentrat (mengandung energi 4291 kal/g) mengkonsumsi energi senilai 2030,14 Kal/e/h. Pada penelitian ini, tampak bahwa tinggi rendahnya konsumsi energi juga dipengaruhi oleh bobot badan ternak. Church (1971) menyatakan bahwa semakin besar bobot badan pada seekor ternak, maka semakin tinggi kebutuhan energinya.

25 Energi Tercerna

Energi tercerna dari makanan adalah selisih antara konsumsi energi dengan energi yang keluar melalui feses (EF). Energi feses berasal dari bahan makanan yang tidak tercerna dan hanya sedikit yang merupakan metabolit yang dihasilkan oleh saluran pencernaan (Edey, 1983). Data energi tercerna (EC) pada penelitian ini, hanya berkisar 1343,35-1558,55 Kal/e/h. Data pada Tabel 3 tampak bahwa perlakuan yang mendapat porsi penambahan legum lebih banyak, cenderung menghasilkan nilai energi tercerna yang rendah. Tingginya konsumsi protein kasar ternyata tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai energi tercerna, hal ini dipengaruhi kualitas legum yang digunakan. Menurut Llyod (1982) energi tercerna dapat dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia bahan makanan, tingkat konsumsi dan spesies ternak. Adanya zat antinutrisi dalam legum dapat menghambat kecernaan sehingga mengganggu kecernaan protein kasar dan menurunkan kemampuan kecernaan oleh mikroba rumen maupun enzim-enzim pencernaan di dalam rumen (Tangendjaja et al.,1991). Selain itu, pada penelitian ini konsumsi energi dari makanan yang diberikan adalah sama, maka tidak terdapat perbedaan energi tercerna pada setiap perlakuan secara statistik.

Berdasarkan persen energi tercena domba di UP3 Jonggol mampu mencerna energi sebesar 66,82%-72,95%. Persen ini menunjukkan bahwa jika domba mengkonsumsi pakan dengan kandungan energi sebanyak 100 Kal/e/h maka domba tersebut mampu menyerap untuk proses selanjutnya dalam tubuh sebanyak 66,82-72,95 Kal/e/h. Secara keseluruhan, kelima perlakuan dapat mencapai nilai kecernaan seperti yang disarankan Haryanto dan Djajanegara (1993). Tercapainya standar tersebut, diduga karena konsumsi energi mampu mencukupi kebutuhan ternak. Sama halnya penelitian Astuti dan Sastradipradja (2000) dan Astuti et al. (2000) bahwa ternak yang mengkonsumsi energi tinggi cenderung menghasilkan energi tercerna yang tinggi pula, domba yang mengkonsumsi energi sebesar 2858,38 Kal/e/h mampu mencerna energi sebesar 1645,24 Kal/e/h atau setara 57,66% dari konsumsi energi, demikian juga pada kambing yang mengkonsumsi energi sebesar 2030,14 Kal/e/h mampu mencerna energi sebesar 1360,74 Kal/e/h atau setara 67,03% dari konsumsi energi.

26 Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa ekskresi energi melalui feses (EF) sekitar 578,64-664,81 Kal/e/h dan bila dibandingkan terhadap nilai konsumsi energi maka persen energi feses berkisar 27,05%-33,18%. Sama halnya bahwa domba yang mengkonsumsi energi 100 Kal/e/h akan mengekskresikan energinya lewat feses sebesar 27,05-33,18 Kal/e/h. Astuti dan Sastradipradja (2000) dan Astuti et al.

(2000) melaporkan besar energi feses pada domba dan kambing tropis sekitar 42% dan 33%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ekskresi energi lewat feses pada domba di UP3 Jonggol lebih rendah dibandingkan domba dan kambing tropis lainnya. Indikasi ini menunjukkan bahwa kualitas hijauan yang digunakan khususnya serat kasar cukup baik sehingga kecernaan dan ekskresi melalui feses masih relatif baik. Santoso et al. (2003) juga melaporkan bahwa sapi yang diberi pakan berbeda antara rumput hasil silase dan pakan campuran (rumput dengan alfalfa hasil silase) menunjukkan ekskresi energi melalui feses yang tidak berbeda secara statistik yaitu 38% dan 42,2%. Hasil penelitian tersebut bila dibandingkan dengan penelitian di UP3 Jonggol menunjukkan bahwa nilai ekskresi energi melalui feses cukup normal. Parakkasi (1990) melaporkan bahwa kisaran normal ekskresi energi melalui feses antara 20%-60% dari konsumsi energi.

Energi Termetabolis

Energi termetabolis adalah bagian energi makanan yang digunakan untuk berbagai proses metabolis di dalam tubuh, yaitu pembentukan jaringan tubuh atau produk ternak dan produksi panas. Energi termetabolis dihasilkan dari energi tercerna dikurangi dengan energi urin dan energi metan (Tillman et al., 1991).

Urin adalah produk ekskresi utama ruminan yang disekresikan oleh ginjal sebagai cairan atau seni semi solid yang kaya akan produk akhir metabolisme protein, garam dan pigment. Urin dibentuk di daerah ginjal setelah dieliminasi dari tubuh melalui saluran urin. Data ekskresi energi melalui urin tidak berbeda nyata antar perlakuan yang diberikan yakni berkisar antara 13,6-20,07 Kal/e/h. Nilai energi urin cenderung lebih tinggi pada perlakuan yang mendapat proporsi legum lebih banyak, kemungkinan ini disebabkan karena domba mengkonsumsi protein kasar lebih tinggi (legum pohon) dari perlakuan lainnya. Konsumsi protein kasar yang tinggi akan mengekskresikan nitrogen yang lebih tinggi pula sehingga nilai energi urin semakin tinggi. Ekskresi energi dari urin berhubungan dengan ekskresi N dalam

27 produk, yang berhubungan dengan keseimbangan energi dan N (Mehra et al., 2006). Astuti dan Sastradipradja (2000) melaporkan nilai energi urin pada domba yang dikandangkan dan diberi tambahan konsentrat 500 g senilai 5,74% serta dilaporkan juga bahwa domba yang dipasturakan mempunyai nilai energi urin sekitar 3,4%. Dibandingkan dengan penelitian di UP3 Jonggol yang hanya berkisar 0,63%-1,01%, nilai ini sangat rendah dapat disebabkan oleh kualitas pakan yang dikonsumsi rendah kadar nitrogen dan kecenderungan untuk mengkonsumsi air sedikit. Suhu lingkungan di Jonggol yang terlalu panas pada bulan Mei sampai Agustus menyebabkan energi lebih banyak terekskresi melalui kulit dalam bentuk keringat. Kondisi lingkungan seperti kelembaban, temperatur dan gerak angin turut mempengaruhi kebutuhan energi (Mustafa, 2004). Selain itu, Parakkasi (1999) menyatakan bahwa pengukuran energi urin dapat dilakukan dengan membakar bagian padat (bahan kering) urin dengan bomb kalorimeter, sehingga kemungkinan tinggi rendahnya nilai ekskresi energi melalui urin disebabkan oleh banyak sedikitnya bahan kering yang terbuang melalui urin.

Data ekskresi energi melalui metan tidak berbeda nyata (P>0,05) antar perlakuan yang diberikan, berkisar antara 198,42-213,72 Kal/e/h. Nilai energi metan menunjukkan bahwa penambahan legum (Gliricidia sepium dan Leucaena leucocephala) sebagai sumber protein tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ekskresi energi melalui metan. Penelitian ini berbeda dengan Hess et al.

(2003) yang melaporkan bahwa penambahan legum seperti Calliandra, C. argentea

dan Arachis pintoi dalam ransum dapat menurunkan produksi metan, hal ini disebabkan karena porsi penggunaan legum yang diberikan pada domba di UP3 Jonggol masih dalam jumlah yang kecil. Produksi metan ditentukan oleh jumlah H2 dan CO2, sementara jumlah H2 berkaitan dengan fermentasi karbohidrat yaitu serat kasar (Russel dan Wallace, 1988). Serat kasar dalam pakan berkorelasi positif dengan proporsi asetat dalam produksi VFA sehingga produksi metan turut ditentukan oleh produksi asetat (Mehra et al., 2006). McCrabb dan Hunter (1999) melaporkan bahwa produksi metan akan lebih tinggi bila fermentasi berasal dari tanaman rerumputan yang banyak mengandung asetat dan butirat dibandingkan propionat yang berasal dari semak belukar dan legum pohon. Tingginya proporsi penggunaan Brachiaria humidicola ternyata tidak memberikan pengaruh yang

28 signifikan terhadap nilai energi metan, disebabkan oleh karena tidak terdapat perbedaan nilai konsumsi energi dan energi tercerna pada setiap perlakuan yang diberikan. Mehra et al. (2006) melaporkan bahwa kerbau yang mengkonsumsi jerami gandum dengan tambahan sumber protein nabati dari bungkil kedelai mampu meningkatkan konsumsi energi dan energi tercerna sehingga turut meningkatkan ekskresi energi melalui metan.

Data energi termetabolis pada penelitian ini, hanya berkisar antara 1123,98-1331,23 Kal/e/h atau setara 55,89%-62,31% dari konsumsi energi. Menurut Mathius

et al. (1998) bila diasumsikan bahwa energi metabolis setara dengan 0,62 dari konsumsi energi maka rataan nilai energi termetabolis yang dikonsumsi oleh domba lokal sebesar 1267,42 Kal/e/h. Kearl (1982) menyarankan bahwa domba muda tropis dengan bobot badan 14 kg membutuhkan 1080 Kal/e/h. Maka dapat dikatakan bahwa secara umum nilai energi termetabolis domba di Jonggol sesuai dengan nilai energi termetabolis domba lokal Indonesia dan domba tropis. Sama halnya yang dilaporkan Haryanto dan Djajanegara (1993) bahwa kebutuhan energi termetabolis domba bobot badan 14 kg sebesar 1090 Kal/e/h. Terpenuhinya nilai energi termetabolis disebabkan oleh tercukupinya nilai konsumsi energi dan energi tercerna pada domba di UP3 Jonggol. Hasil pengujian ini didukung oleh penelitian sebelumnya Astuti dan Sastradipradja (2000) yang melaporkan bahwa domba yang dikandangkan dan diberi pakan dan diberi tambahan konsentrat 500 g memberikan nilai konsumsi energi dan energi tercerna sebesar 2858,38 Kal/e/h dan 1645,24 Kal/e/h. Tingginya nilai tersebut mengakibatkan nilai energi termetabolis cukup tinggi 1195,25 Kal/e/h. Demikian juga pada kambing yang mengkonsumsi energi sebesar 2030,14 Kal/e/h dan mampu mencerna energi sebesar 1360,74 Kal/e/h, memberikan nilai energi termetabolis yang cukup tinggi juga yaitu 1173,81 Kal/e/h (Astuti et al., 2000).

Retensi energi metabolis yang positif mengakibatkan ternak dapat memanfaatkan ketersediaan energi untuk tujuan produksi sesuai dengan potensi genetiknya, yang pada umumnya pada ternak muda digunakan dalam bentuk

Dokumen terkait