BAB I PENDAHULUAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Persepsi Dalam Ilmu Komunikas
Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita. (Mulyana, 2004 : 167).
Berikut ini beberapa pengertian persepsi yang dituliskan oleh beberapa pakar komunikasi untuk memperjelas pengertian persepsi :
1. John R. Wenburg dan William W. Wilmot
”Persepsi dapat didefinisikan sebagai cara organisme memberi makna” 2. Rudolph F. Verderber
”Persepsi adalah proses menafsirkan informasi indrawi” 3. J. Cohen
”Persepsi didefinisikan sebagai intreprestasi bermakna atas sensasi sebagai representatif objek eksternal; persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di luar sana”
4. Brian Fellows
”Persepsi adalah proses yang memungkinkan suatu organisme menerima dan menganalisis informasi”
5. Kenneth A. Sereno dan Edward M. Bodaken
“Persepsi adalah sarana yang memungkinkan kita memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita“
6. Philip Goodacre dan Jennifer Follers
“Persepsi adalah proses mental yang digunakan untuk mengenali rangsangan“
7. Joseph A. DeVito
“Persepsi adalah proses dengan mana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita“
Berdasarkan pengertian-pengertian persepsi yang ada di atas, pada dasarnya telah disimpulkan bahwa persepsi adalah inti dari komunikasi. Persepsi bisa berubah menjadi stereotipe, hal tersebut disebabkan karena pada dasarnya komunikasi terbentuk setelah seseorang mempersepsi sesuatu yang memberi rangsangan pada inderanya, jika persepsi seseorang terhadap suatu objek bersifat negatif maka terbentuklah stereotipe. Penafsiran atau intreprestasi adalah inti dari persepsi, yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi. (Mulyana, 2004 : 167-168).
Liliweri menyatakan bahwa persepsi yang dimiliki seseorang adalah frama of reference seseorang yang menjadi saringan untuk menyaring pesan yang dikirim dan disandi balik. Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika persepsi tidak akurat, tidak mungkin seseorang berkomunikasi dengan efektif. (2003 : 137).
Persepsilah yang menentukan seseorang memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Dapat dikatakan secara sederhana bahwa ”semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antar individu, semakin mudah dan semakin sering seseorang berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya
semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas. (Mulyana, 2004 : 175).
Persepsi manusia terbagi menjadi dua yaitu persepsi terhadap objek (lingkungan fisik) dan persepsi terhadap manusia atau yang sering disebut persepsi sosial. Persepsi sosial adalah proses menangkap arti objek-objek sosial dan kejadian-kejadian yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. (Mulyana, 2004 : 175).
Manusia bersifat emosional, sehingga penilaian terhadap mereka mengandung resiko. R.D Laing dalam buku Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar menyebutkan bahwa ”manusia selalu memikirkan orang lain dan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya, dan apa yang orang lain pikirkan mengenai apa yang ia pikirkan mengenai orang lain itu, dan seterusnya.” (2004 : 176).
2.1.2 Prasangka Sosial
Prasangka Sosial merupakan sikap-perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, kelompok atau yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain.
Prasangka sosial pada mulanya merupakan sikap-sikap dan perasaan negatif, namun lambat laun menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang
diprasangkai, tanpa alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif.
Tindakan-tindaan diskriminatif ini diartikan sebagai tindakan-tindakan yang bercorak menghambat-hambat, merugikan perkembangan seseorang bahkan mengancam kehidupan pribadi orang-orang yang kebetulan termasuk dalam golongan yang diprasangkai tersebut.
Gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang bercorak tindakan-tindakan diskriminatif terhadap segolongan manusia, tanpa terdapat alasan-alasan yang obyektif dan membenarkan tindakan diskriminatif menunjukkan dengan jelas bahwa ada prasangka sosial.
Terjadinya prasangka sosial semacam ini dapat juga disebut pertumbuhan prasangka sosial dengan tidak sadar dan yang berdasarkan kepada kekurangan pengetahuan dan pengertian akan fakta-fakta kehidupan yang sebenarnya dari golongan-golongan orang yang dikenakan stereotipe-stereotipe tersebut. Faktor lain yang lebih sadar dan dapat mempertahankan serta memupuk prasangka sosial dengan gigih adalah faktor kepentingan perseorangan atau golongan tertentu. (Gerungan, 1983 : 175).
Berikut ini beberapa pengertian prasangka yang dituliskan oleh beberapa pakar komunikasi untuk memperjelas pengertian prasangka :
1. Gordon Allport
”Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau generelisasi yang tidak luwes”
”Prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara generalisasi yang salah dan tidak fleksibel”
3. Johnson
”Prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari kelompok tertentu” Dari beberapa pengertian diatas, kita dapat mengatakan bahwa prasangka mengandung sikap, pikiran, keyakinan, kepercayaan, dan bukan tindakan. Jadi, prasangka tetap ada dipikiran, sedangkan diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. (Liliweri, 2005 : 201-202)
Prasangka sosial erat kaitannya dengan stereotipe. Stereotipe sudah terbentuk pada orang yang berprasangka, sebelumnya orang tersebut mempunyai kesempatan bergaul sewajarnya dengan orang lain yang dikenakan prasangka itu. Dan biasanya, stereotipe terbentuk berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subyektif. (Gerungan, 1983 : 168-169).
Beberapa pakar cenderung menganggap stereotipe itu identik dengan prasangka, seperti Donald Edgar dan Joe R. Fagin mengatakan bahwa stereotipe merupakan komponen kognitif (kepercayaan) dari prasangka. Sedangkan prasangka juga berdimensi perilaku. Jadi prasangka ini konsekuensi dari stereotipe, dan lebih teramati daripada stereotipe. Lan Robertson juga mengatakan ”Pikiran berprasangka selalu menggunakan citra mental yang kaku yang meringkas apapun yang dipercayai sebagai khas suatu kelompok. Citra demikian disebut stereotipe.” (Mulyana, 2004 : 224).
Secara umum, kita dapat melihat bahwa prasangka mengandungtiga tipe : afektif (berkaitan dengan perasaan yang negatif), kognitif (selalu berpikir tentang sebuah stereotipe), dan behavioral (tindakan dalam bentuk diskriminasi). Secara umum dapat pula disimpulkan bahwa prasangka antar ras atau antar etnik merupakan sikap negatif yang diarahkan kapada kelompok antar ras atau antar etnik tertentu dan difokuskan pada ciri-ciri negatif. (Liliweri, 2005 : 203)
2.1.3 Stereotipe
Stereotipe pertama kali diperkenalkan oleh Walter Lippman pada tahun 1992 yang menjelaskan sebagai persepsi atau kepercayaan yang dianut mengenai kelompok-kelompok atau individu berdasarkan pendapat dan sikap yang terlebih dahulu terbentuk.
Kesulitan komunikasi akan muncul dari penstereotipean (stereotyping), yakni suatu keadaan menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, penstereotipean adalah proses menempatkan orang-orang dan objek-objek ke dalam kategori-kategori yang dianggap sesuai, daripada berdasarkan karakteristik individual mereka. (Hariyono, 1998 : 57).
Adakah hubungan antara stereotipe dan komunikasi? Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe:
1. Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan kita untuk mengantisipasi atau mengharapkan kulitas derajat hubungan
tertentu antara anggota kelompok-kelompok tertentu berdasarkan sifat-sifat psikologis yang dimiliki
2. Stereotipe berpengaruh terhadap langkah individu dalam proses informasi. Berbagai penelitian menunjukan bahwa setiap orang dapat mengingat informasi yang menyenagkan maupun yang kurang menyenangkan. Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan.
3. Stereotipe menciptakan harapan pada anggota sekelompok tertentu (in group) terhadap perilaku kelompok lain (out group). 4. Stereotipe menghambat pola-polaperilaku komunikasi kita dengan
orang lain (out group). (Liliweri, 2005 : 209-210)
Stereotipe terbentuk berdasarkan suatu pendapat atau keterangan yang kurang lengkap dan subjektif yang sudah ada sebelumnya kemudian diperkuat oleh pengamatan pribadi yang berawal dari prasangka secara sepintas dan biasanya berkonotasi negatif. Stereotipe ini tidak mudah berubah dan cenderung dipertahankan oleh orang yang berprasangka. Sehingga stereotipe dapat menumbuhkan fanatisme dan kecurigaan yang pada akhirnya akan semakin menutup diri masing-masing kelompok dan memperkuat stereotipe itu sendiri. Ketertutupan tersebut dapat menghambat komunikasi yang diperlukan pada proses interaksi. (Hariyono, 1998 : 57).
Berikut ini beberapa definisi mengenai stereotipe menurut beberapa pakar komunikasi :
“Stereotipe didefinisikan sebagai persepsi atau kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok-kelompok atau individu-individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk.”
2. Robert A. Baron dan Paul B. Paulus
“Stereotipe adalah kepercayaan bahwa semua anggota suatu kelompok tertentu memiliki ciri-ciri tertentu atau menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. Dengan kata lain stereotype adalah kategorisasi atas suatu kelompok secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual.”
3. Rudolph F. Verderber
”Stereotipe adalah sikap dan bahkan karakter yang dimiliki seseorang untuk menilai karakteristik, sifat-sifat negatif atau positif orang lain, semata bardasarkan keanggotaan orang tersebut pada kelompok tertentu.”
4. Jhonson
”Stereotipe adalah keyakinan seseorang untuk mengeneralisasiakan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman bersama.”
Ringkasnya stereotype adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. (Narwoko, 2004 : 342). Pengkategorisasian tersebut mencakup kelompok-kelompok ras, kelompok-kelompok etnik, kaum tua, berbagai pekerjaan dan profesi, atau orang dengan penampilan fisik tertentu. (Mulyana, 2004 : 218). Sesuai dengan tujuan penelitian, peneliti meneliti stereotype bonek yang sampai detik ini masih sering dikaitkan dengan kekerasan dan kerusuhan.
Dengan adanya stereotipe maka kesulitan komunikasi pun sering muncul karena pada umumnya stereotipe bersifat negatif. Alasan terjadinya stereotipe adalah :
1. Sebagai manusia, seseorang cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori, yaitu kita dan mereka. Lebih jauh, orang-orang yang kita persepsi sebagai di luar kelompok kita dipandang sebagai lebih mirip satu sama lain daripada orang-orang dalam kelompok kita sendiri. Karena kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan mereka semua, dan menganggap mereka sebagai homogen.
2. Stereotipe pada dasarnya bersumber dari kecenderungan untuk melakukan kerja kognitif sesedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan memasukkan orang ke dalam kelompok, kita dapat mengasumsikan bahwa kita mengetahui banyak tentang mereka (sifat-sifat utama mereka, bagaimana kecenderungan perilaku mereka), dan kita menghemat tugas kita yang menjemukan untuk memahami mereka sebagai individu. Padahal sebenarnya kita tidak mengenal mereka, bahkan mungkin tidak pernah bertemu dengan seorang anggota pun dari kelompok itu, meskipun pernah mendapat informasi mengenai kelompok tersebut dari media massa. (Mulyana, 2004 : 220).
Lippman, dalam buku Deddy Mulyana mengatakan, “Kita tidak melihat dulu, lalu mendefinisikan ; kita mendefinisikan dulu dan kemudian melihat. Kita diberitahu mengenai dunia sebelum kita melihatnya. Kita membayangkan hal sebelum kita mengalaminya. Dan prakonsepsi itu sangat mempengaruhi keseluruhan proses persepsi.” (2004 : 220).
Pengkategorian orang lain memang tidak terhindarkan karena manfaat fungsional. Tidak seorangpun dapat merespon orang lain dalam seluruh individualitas mereka yang unik. Sayangnya, pengkategorian itu pada umumnya berlebihan atau keliru sama sekali. Dengan kata lain, stereotipe menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu di sekitar kita (2004 : 221).
Pada suatu proses pembentukan pesan atau stereotyping ini mungkin menjelaskan terjadinya primacy effect dan halo effect. Primacy effect secara sederhana menunjukkan bahwa kesan pertama amat menentukan kategori. Begitu pula halo effect. Personal stimuli yang sudah kita senangi telah mempunyai kategori tertentu yang positif, dan pada kategori itu sudah disimpan semua sifat yang baik. (Rakhmat, 2004 : 92).
Kesalahan persepsi yang disebut efek halo (halo effects), merujuk pada fakta bahwa begitu kita membentuk suatu kesan menyeluruh mengenai seseorang, kesan yang menyeluruh ini cenderung menimbulkan efek yang kuat atas penilaian kita akan sifat-sifatnya yang spesifik. Efek halo ini memang lazim dan berpengaruh kuat sekali pada diri kita dalam menilai orang-orang yang bersangkutan. Bila kita sangat terkesan oleh seseorang, bila ia baik dalam suatu hal, seolah-olah, ia pun baik dalam hal yang lain. (Mulyana, 2004 : 215).
Alfred Schutz dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar menekankan pentingnya pengkategorian orang dalam pengalaman sehari-hari. Seorang individu menggunakan jaringan tipikasi (kategorisasi atau tipe objek) :
1. Tipikasi atas individu atau manusia 2. Tipikasi atas pola tindakan
3. Tipikasi atas motif dan tujuan atau produk sosio budaya yang bersumber dari pendahulunya atau orang-orang sezaman, sebagai alat yang layak untuk menyesuaikan diri dengan segala hal dan manusia.
Keseluruhan tipikasi ini merupakan suatu kerangka rujukan yang dengannya dunia sosiobudaya dan dunia fisik harus ditafsirkan, untuk memecahkan kebanyakan problem yang ada. (Mulyana, 2004 : 219).
Pengkategorian orang lain memang tidak terhindarkan karena manfaat fungsionalnya. Tidak seorangpun dapat merespon orang lain dalam seluruh individualitas mereka yang unik. Pengkategorian tersebut terkadang berlebihan atau keliru sekali. Dengan kata lain, stereotipe menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu di sekitar kita.
Pada umumnya stereotipe bersifat negatif. Stereotipe tidak berbahaya sejauh hanya disimpan dalam kepala. Namun bahayanya akan sangat nyata bila stereotipe diaktifkan dalam hubungan manusia. Apa yang dipersepsi sangat dipengaruhi oleh apa yang diharapkan. Ketika mengharapkan orang lain berperilaku tertentu, seseorang mungkin mengkomunikasikan pengharapannya kepada orang lain dengan cara yang sangat halus, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa orang lain akan berperilaku sesuai dengan harapan. Fenomena ini disebut ”nubuat yang dipenuhi diri sendiri (self-fulfilling prophecy). Misal, seorang dosen percaya bahwa mahasiswanya yang berjenis kelamin perempuan kekurangan intelegensi, kemungkinan besar dosen tersebut menemukan bukti bahwa mereka memang demikian.
Mekanisme dapat berlangsung demikian : persepsi dosen terhadap perempuan – sadar atau tidak – akan ditampakkan melalui perilaku dosen tersebut terhadap mereka. Dosen akan kurang memperhatikan, kurang memotivasi, kurang bertanya pada mereka. Sebaliknya persepsi yang lebih positif terhadap mahasiswa laki-laki akan lebih banyak. Perbedaan sikap ini cenderung menimbulkan sikap yang berbeda. Kelompok laki-laki akan cenderung terdorong untuk belajar dan memperoleh nilai yang lebih baik dari dosen tersebut. (Mulyana, 2004 : 219). Seperti yang dijelaskan oleh Hamilton dan Troiler (1986) dalam Ulum mengemukakan bahwa stereotipe sebagai suatu struktur pengetahuan yang berisikan keyakinan pengamat akan ciri-ciri yang didistribusikan pada kelompok sosial tertentu. (1994 : 18).
Berikut contoh lain stereotipe yang ada dalam buku Deddy Mulyana : Laki-laki berpikir logis
Wanita bersikap emosional Orang Batak Kasar
Orang Padang pelit
Orang Jawa halus-pembawaan Orang berkacamata minus jenius Orang Yahudi cerdas
Orang Cina pandai memasak (2004 : 219)
Sesuai dengan teori Komunikasi Antar Budaya yang dikemukakan oleh Gudy Kunst dan Kim yaitu bahwa setiap individu ketika melakukan komunikasi dengan individu lain dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosiobudaya, dan psiko budaya yang melekat pada diri individu tersebut yang
merupakan faktor internalnya, dan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan (tempat dimana individu tersebut bertempat tinggal) sebagai faktor eksternalnya. Persepsi yang merupakan proses penciptaan mekna terjadi lebih dahulu sebelum seseorang berkomunikasi atau menyampaikan pesan kepada orang lain, yang juga terjadi secara internal pada diri individu. (Mulyana,2004 : 156-159)
2.1.4 Sejarah Bonek
Istilah Bonek, akronim bahasa Jawa dari Bondho Nekat (modal nekat), biasanya ditujukan kepada sekelompok pendukung atau suporter kesebelasan Persebaya Surabaya, walaupun ada nama kelompok resmi pendukung kesebelasan ini yaitu Yayasan Suporter Surabaya (YSS). Di persepak bolaan Indonesia, bonek banyak digambarkan sebagai pendukung yang sering membuat kerusuhan, dari mulai tidak membayar tiket kereta api, sampai bentrok dengan aparat keamanan dan pendukung kesebelasan lawan. (http://persebayafc.com)
Istilah bonek pertama kali dimunculkan oleh Harian Pagi Jawa Pos pada tahun 1989 untuk menggambarkan fenomena suporter Persebaya yang berbondong-bondong ke Jakarta dalam jumlah besar. Secara tradisional, Bonek adalah suporter pertama di Indonesia yang mentradisikan away supporters (pendukung sepak bola yang mengiringi tim pujannya bertandang ke kota lain) seperti di Eropa. Dalam perkembangannya, ternyata away supporters juga diiringi aksi perkelahian dengan suporter tim lawan. Tidak ada yang tahu asal-usul, Bonek menjadi radikal dan anarkis. Jika mengacu
tahun 1988, saat 25 ribu Bonek berangkat dari Surabaya ke Jakarta untuk menonton final Persebaya - Persija, tidak ada kerusuhan apapun.
Secara tradisional, Bonek memiliki lawan-lawan, sebagaimana layaknya suporter di luar negeri. Saat era perserikatan, lawan tradisional Bonek adalah suporter PSIS Semarang dan Bobotoh Bandung. Di era Liga Indonesia, lawan tradisional itu adalah Aremania Malang, The Jak suporter Persija, dan Macz Man fans PSM Makassar. Di era Ligina, Bonek justru bisa berdamai dengan Bobotoh Persib Bandung dan Suporter PSIS Semarang. (http://persebayafc.com)
Beberapa peristiwa kekacauan yang disebabkan "Bonek mania" antara lain adalah kerusuhan pada pertandingan Copa Dji Sam Soe antara Persebaya Surabaya melawan Arema Malang pada 4 September 2006 di Stadion 10 November, Tambaksari, Surabaya. Selain menghancurkan kaca-kaca di dalam stadion, para pendukung Persebaya ini juga membakar sejumlah mobil yang berada di luar stadion antara lain mobil stasiun televisi milik ANTV, mobil milik Telkom, sebuah mobil milik TNI Angkatan Laut, sebuah ambulans dan sebuah mobil umum. Sementara puluhan mobil lainnya rusak berat. Atas kejadian ini Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan hukuman (sebelum banding) dilarang bertanding di Jawa Timur selama setahun kepada Persebaya, kemudian larangan memasuki stadion manapun di seluruh Indonesia kepada para bonek selama tiga tahun. (http://id.wikipedia.org/wiki/Bonek)
Sekitar Agustus 2006, bonek dijatuhi sanksi lima kali tidak boleh mendampingi timnya saat pertandingan away menyusul ulah mereka yang
memasuki lapangan pertandingan sewaktu Persebaya menghadapi Persis Solo di final divisi satu. Ironisnya, tahun 2005, Persebaya justru rela dihukum terdegradasi ke divisi satu gara-gara mundur di babak 8 besar. Pihak klub beralasan untuk melindungi bonek agar tidak disakiti.
Saat masih di Divisi I, Persebaya pernah ditekuk PSIM 1 - 2 di kandang sendiri. Saat itu juga tidak ada aksi kerusuhan. Padahal, jika menengok fakta sejarah, hubungan suporter Persebaya dengan PSIM sempat buruk, menyusul meninggalnya salah satu suporter Persebaya dalam kerusuhan di kala perserikatan dulu. (http://id.wikipedia.org/wiki/Bonek)