• Tidak ada hasil yang ditemukan

STEREOTIPE BONEK (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Pandangan Masyarakat Surabaya Terhadap Stereotipe Bonek ).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STEREOTIPE BONEK (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Pandangan Masyarakat Surabaya Terhadap Stereotipe Bonek )."

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar

sajana pada Fisip UPN ”Veteran” Jawa Timur

Oleh :

TRI NOVAN SUSETYA NPM. 0643010086

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

SURABAYA

(2)

“STEREOTIPE BONEK”

( Studi Deskriptis Kualitatif Stereotipe Bonek Dari Sudut Pandang Masyarakat Surabaya)

Disusun Oleh : TRI NOVAN SUSETYA

NPM. 0643010086

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi. Menyetujui,

PEMBIMBING

Juwito, S.Sos, M.Si NPT. 3 6704 95 0036 1

Mengetahui,

D E K A N

(3)

Oleh

TRI NOVAN SUSETYA NPM. 0643010086

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Proposal Skripsi

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Pada Tanggal 9 Juni 2010

Pembimbing Utama Tim Penguji

1. Ketua

Juwito, S.Sos, M.Si Juwito, S.Sos, M.Si

NPT. 3 6704 95 0036 1 NPT. 3 6704 95 0036 1

2. Sekertaris

Drs. Kusnarto, M.Si

NIP. 19580801 198402 1001

3. Anggota

Dr. Catur Suratnoaji, M Si NPT. 3 6804 94 0028 1

Mengetahui, DEKAN

(4)

Pemberi nafas hidup pada seluruh mahluk. Hanya kepadaNya-lah syukur dipanjatkan atas terselesaikannya Penelitian ini. Sejujurnya penulis akui bahwa pendapat memang sulit adanya, tetapi faktor kesulitan itu lebih banyak datang dari diri, karena itu kebanggaan penulis bukan hanya sampai di sini, tetapi penulis bangga telah berusaha untuk menundukkan diri sendiri.

Penelitian ini bertujuan untuk dijadikan bahan acuan penulis dalam penyelesaian kuliah ini nantinya. Selama melakukan penulisan Penelitian ini, tak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu penulis selama menulis Skripsi ini.

Adapun penulis sampaikan rasa terima kasih, kepada: 1. Bapak dan Ibuku tercinta di rumah dan seluruh keluargaku.

2. Ibu Dra. Hj. Suparwati. M. Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak Juwito, S.Sos., M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi dan sekaligus Dosen Pembimbing penulis. Sekali lagi, terima kasih.

4. Bapak Drs. Saifuddin Zuhri, S.Sos., M.Si., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi.

5. Dosen-dosen Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan ilmu dan dorongan dalam menyelesaikan Proposal Penelitian ini.

(5)

v

2. Teman-teman angkatan 2005, 2006 dan 2007 yang memberikan masukan kepada penulis selama masa penyusunan Penelitian maupun saat kuliah, dan terima kasih buat sahabat-sahabat terbaik yang telah membantu dan memberi semangat guna kelancaran proses praktek maupun penulisan Skripsi.

3. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-satu oleh penulis. Penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan-kekurangan dalam penyusunan Penelitian ini. Maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Terima Kasih.

Sungguh penulis menyadari bahwa Penelitian ini belum sempurna dan penuh keterbatasan. Dengan harapan bahwa Penelitian ini Insya Allah berguna bagi rekan-rekan di Program Studi Ilmu Komunikasi, maka saran serta kritik yang membangun sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki kekurangan yang ada.

Surabaya, Juni 2010

(6)

Halaman

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN………...ii

HALAMAN PENGESAHAN………...………..………..iii

KATA PENGANTAR………...iv

DAFTAR ISI ...vi

DAFTAR TABEL……….………...ix

DAFTAR LAMPIRAN………..x

ABSTRAKSI………..xi

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah…...1

1.2 Perumusan Masalah…...9

1.3 Tujuan Penelitian…...9

1.4 Manfaat Penelitian ...10

1.4.1 Manfaat Teoritis…...10

1.4.2 Manfaat Praktis...10

BAB II KAJIAN PUSTAKA...11

2.1 Landasan Teori………...11

2.1.1 Persepsi Dalam Ilmu Komunikas...11

vi 

(7)

2.1.5 Konsep Kekerasan Galtung...25

2.1.5.1 Kekerasan Struktural...26

2.1.5.2 Kekerasan Langsung…………...…….……….27

2.1.5.3 Kekerasan Budaya………...…….………..29

2.1.6 Konsep Kekerasan Model Litke...30

2.1.7 Konflik……...31

2.1.8 Peranan Media Massa………..33

2.2 Kerangka Berpikir ...35

BAB III METODE PENELITIAN ...38

3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel………...………...……….38

3.2 Subyek dan Informan Penelitian………..……...……..40

3.3 Teknik Pengumpulan Data………43

3.4 Teknik Analisis Data………...45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian………..46

vii 

(8)

viii 

 

4.2.1 Penyajian Data………...49

4.2.2 Identitas Informan………..50

4.3 Analisis Data………58

4.3.1 Streotipe Suporter Bonek………..58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan………..78

5.2 Saran………..………..79

DAFTAR PUSTAKA...80

LAMPIRAN ...82

(9)

Tabel 2.1 Model Kekerasan Galtung...30 Tabel 2.2 Model kekerasan Litke...31 Tabel 4.1 Identitas Informan...51

ix 

(10)

Lampiran 1. Panduan Wawancara...………..82 Lampiran 2. Hasil Wawancara………....83

(11)

Sepak bola dan suporter memang tidak bisa dipisahkan. Suporter merupakan pemain ke-duabelas bagi sebuah tim sepak bola, Sepak bola menjadi suatu tontonan menarik bahkan menjadi penghibur bagi mereka yang jenuh akan aktifitas sehari-harinya, namun terkadang etika sepak bola pun ternoda oleh ulah suporter dalam bertindak anarkis. Suporter negeri ini tidak luput dari stigma kekerasan. Berbagai perilaku anarkisme seolah mendarah daging didalam berbagai kejadian yang melibatkan suporter sepak bola tanah air. Salah satu kelompok suporter yang kerap berbuat kerusuhan dan anarkis adalah bonek. Bonek merupakan julukan dari suporter fanatik Persebaya Surabaya, klub yang berasal dari kota Surabaya. Hal yang membuat peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai masalah ini adalah peneliti ingin mengetahui persepsi masyarakat mengenai stereotipe suporter, khususnya bonek dan kaitannya dengan kerusuhan dan kekerasan.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui stereotipe pada Bonek dan untuk mengetahui peranan media dalam pembentukan stereotipe Bonek. Sehingga peneliti dapat memahami lebih lanjut mengenai permasalahan yang sedang diteliti. Banyak permasalahan yang menyangkut tentang stereotipe Bonek dan sesuai dengan permasalahan yang dikaji, penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian tanpa mencari atau menjelaskan hubungan antar variable, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.

kesimpulannya adalah pendapat informan cenderung lebih banyak positif daripada negatifnya, yang secara tidak langsung dapat membuktikan bahwa tidak adanya stereotipe Bonek. Hal ini dikarenakan informan kita adalah orang-orang yang terlibat secara langsung dengan Bonek dan lebih banyak mengetahui tentang Bonek. Banyak sisi positif dari Bonek yang masyarakat kurang mengetahuinya, Bonek memiliki tingkat solidaritas yang sangat tinggi, tapi porsi pemberitaan media terhadap bonek sangat kurang berimbang.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan mahluk sosial, karena keberadaan manusia tidak terlepas dari keberadaan manusia lainnya. Seseorang bisa dikatakan ada apabila ada orang lain, karena mereka saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan dalam pencapaian tujuannya.

Dalam melakukan interaksi diperlukan dua individu atau lebih, melakukan kegiatan komunikasi baik secara verbal maupun non verbal, dimana komunikasi merupakan suatu proses kegiatan pertukaran pikiran dan mendapatkan respon diantara pihak-pihak yang melakukan interaksi tersebut.

Interaksi merupakan akibat dari proses komunikasi, yaitu proses pengaruh dan mempengaruhi dalam masyarakat, dengan akibat terjadinya perubahan-perubahan yang dikenal dengan istilah proses sosial dalam masyarakat.

Menurut Jonh Thibaut dan Harold Kelley, interaksi akan berlangsung selama pihak-pihak yang terlibat menginginkan atau merasa ada keuntungan yang bisa didapat dari kelangsungan komunikasi dengan pihak lain. (Susanto, 1995 : 35)

Orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain bisa dipastikan akan tersesat, kerena tidak berkesempatan menata diri dalam suatu

(13)

lingkungan sosial. Komunikasi memungkinkan seseorang mengatasi situasi-situasi problematika yang ada. Tanpa melibatkan diri dalam komunikasi . sesorang tidak akan tahu bagaimana makan, minum, berbicara sebagai manusia dan memperlakukan manusia lain secara beradab, karena cara-cara berperilaku tersebut harus dipelajari lewat pengasuhan keluarga dan pergaulan dengan orang lain, yang pada intinya adalah komunikasi.

Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa manusia berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak social dengan orang sekitarnya, dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa berpikir, atau berperilaku seperti yang diingnkan. (Mulyana, 2004 : 4)

Manusia tidak perlu memulai setiap generasi sebagai generasi yang baru. Mereka mengambil pengetahuan masa lalu, mengujinya berdasarkan fakta-fakta mutakhir dan meramalkan masa depan. Manusia mampu mengendalikan dan mengubah lingkungan mereka.

Alferd Korzybski menyatakan bahwa kemampuan manusia berkomunikasi menjadikan mereka “pengikat waktu” (time-binder). Pengikatan waktu (time binding) merujuk pada kemampuan manusia untuk mewariskan pengetahuan dari generasi ke generasi dan dari budaya ke budaya. (Mulyana, 2004 : 6)

Salah satu fungsi komunikasi adalah sebagai komunikasi sosial, mengisyaratkan bahwa komunikasi penting untuk membangun konsep diri,

(14)

aktulisasi-diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagian, terhindar dari tekanan dan ketegangan antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang lain.

Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan para pesertanya yaitu individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut. (Mulayana, 2004 : 107)

Individu merupakan pribadi-pribadi yang unik, suhingga setiap individu memiliki persepsi yang berbeda mengenai realitas disekelilingnya, dan itu sangat bergantung pada apa yang telah diajarkan oleh budayanya mengenai hal-hal tersebut. Dalam hal ini persepsi dipengaruhi oleh perbedaan pengalaman, budaya, dan suasana psikologis setiap individu atas suatu objek. (Mulyana, 2004 : 175)

Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita. (Mulyana, 2004 : 167) Efek Halo (halo effects) adalah bagian dari kesalahan persepsi demikian halnya dengan stereotipe. Kesalahan persepsi ini merujuk pada fakta bahwa begitu kita membentuk suatu kesan menyeluruh mengenai seseorang, kesan yang menyeluruh ini cenderung menimbulkan efek yang kuat atas penilaian kita akan sifat-sifatnya yang spesifik. Efek halo memang lazim dan berpengaruh kuat sekali pada diri kita dalam menilai orang-orang yang bersangkutan. (Mulyana, 2004 : 215)

(15)

Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan dengan aktifitas yang mewarnai kehidupan itu sendiri. Proses komunikasi sendiri tak lepas dari adanya persepsi yang dibentuk oleh pikiran kita yang ditangkap oleh alat indera dan terproses dengan kolaborasi ingatan. Komunikasi yang kurang diimbangi dengan adanya persepsi yang tepat dapat menyebabkan kesalahan dalam menyampaikan informasi. Banyak terjadi kesalahpahaman sebagai akibat dari persepsi yang salah pada satu pihak yang melakukan komunikasi. Akibatnya ialah bermacam-macam seperti pertikaian, konflik hingga permusuhan.

Fungsi komunikasi yang lain adalalah sebagai komunikasi ekspresif, yang dapat dilakukan baik sendiri ataupun kelompok. Komunikasi ekspresif tidak bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunukasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan serta emosi kita. Perasaan-perasaan-perasaan tersebut terutama dikomukasikan melalui pesan-pesan non verbal. ( mulyana, 2004 : 21)

Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin marah, dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata , namun terutama lewat perilaku non verbal. Begitu juga yang dilakukan suporter sepak bola terhadap tim kesayangannya, bila tim kesayangannya menang maka para suporter tersebut akan meluapkan kegembiraannya melalui nyanyian atau yel-yel begitu juga sebaliknya, bila tim kesayangannya kalah maka para supporter tersebut akan mengekpresikan kemarahannya dengan berbagai macam tindakan yang berujung dengan kerusuhan. Perasaan benci kepada supporter

(16)

tim lain juga akan ditunjukan melalui nyanyian atau yel-yel yang menyinggung kelompok supporter lain, hal ini kerap memicu kerusuhan.

Sepak bola dan suporter memang tidak bisa dipisahkan. Suporter merupakan pemain ke-duabelas bagi sebuah tim sepak bola, terkadang sepak bola menjadi agama tersendiri bagi para pendukung fanatik, banyak yang bilang sepak bola adalah agama kedua setelah agama yang mereka anut. Sepak bola menjadi suatu tontonan menarik bahkan menjadi penghibur bagi mereka yang jenuh akan aktifitas sehari-harinya, namun terkadang etika sepak bola pun ternoda oleh ulah suporter dalam bertindak anarkis.

Di Indonesia, kita mengenal banyak sekali klub-klub sepakbola terkenal seperti Arema Indonesia, Persija, Persebaya, Persipura, Sriwijaya FC dan masih banyak lagi. Salah satu yang mendongkrak popularitas dan kinerja para pemain di lapangan adalah Suporter. Aremania, The Jackmania, Bonekmania, Viking, adalah contoh dari sekelompok orang yang dengan sukarela berpanas-panasan mengantri tiket masuk pertandingan, mengeluarkan uang transport untuk mendukung tim kesayangannya yang bertanding di luar daerah, menyanyi, menari, dan meneriakkan yel-yel penyemangat selama pertandingan berlangsung. Mereka juga sumber pendapatan sekaligus kekuatan klub sepakbola yang mereka dukung. (http://www.beritaterkinionline.com/2010/03)

Dunia olah raga adalah dunia sportifitas, kalah menang itu hal biasa. Menerima kekalahan dengan legowo dan memperbaiki pola permainan selanjutnya menjadi hal yang wajib dilakukan. Suporterpun tidak harus

(17)

mengamuk apabila Kesebelasannya mengalami kekalahan. Sayang Jarang ada training untuk suporter terkait kiat menghadapi kekalahan. (http://sosbud.kompasiana.com/2010/02/16)

Dalam satu sisi kita tidak bisa mensahkan apa yang dilakukan suporter karena mungkin mereka melakukan anarkisme karena sebuah alasan yang memang mungkin bisa dikatakan benar, dan juga bisa dikatakan salah. Tapi apapun itu, anarkisme tidak bisa dibenarkan karena akan merugikan salah satu pihak atau pihak-pihak yang tidak bersangkutan, missal saat terjadi bentrok antara dua kelompok suporter yang berbeda maka orang-orang yang disekitarnya akan ketakutan karena bisa menjadi sasaran dari kebrutalan suporter.

Sepak bola adalah permainan yang sangat lekat dengan masyarakat Indonesia, olah raga ini digemari oleh berbagai kalangan masyarakat, terlepas dari faktor umur, jenis kelamin, dan status sosial di masyarakat. Banyaknya tim sepak bola yang ada di setiap wilayah di Indonesia menimbulkan antusian penduduk setiap wilayah untuk mendukung tim sepak bola dari wilayahnya sendiri. Suporter sebuah tim sepak bola merupakan salah satu faktor pendukung yang tidak bisa dilepaskan dari sisi luar lapangan pertandingan, bahkan keberadaan suporter ini sendiri mampu memberikan dukungan moral yang cukup besar bagi para pemainnya. Namun disisi lain apa yang dilakukan suporter dalam bertindak anarkis memang salah karena suporter tidak melaksanakan apa yang menjadi salah satu tujuan sepak bola, yaitu sportivitas.

(18)

Suporter negeri ini tidak luput dari stigma kekerasan. Berbagai perilaku anarkisme seolah mendarah daging didalam berbagai kejadian yang melibatkan suporter sepak bola tanah air, bahkan beberapa individu tidak segan membanggakan diri atas periaku anarkisme yang mereka raih.

Terkadang fanatisme sempit membuat borok yang meskipun kecil, akan membuat jelek nama besar suporter. Fanatisme sempit sering dikatakan bagi para suporter yang hanya memuja tim kebanggaanya tanpa menghormati kesebelasan lawan atau suporter lawan. Ejekan, lemparan, dan pukulan sering dilakukan oleh para pemuja fanatisme sempit, bentrok antara suporter pun sering terjadi karena gesekan para pemuja fanatisme sempit.

Salah satu kelompok suporter yang kerap berbuat kerusuhan dan anarkis adalah bonek. Bonek merupakan julukan dari suporter fanatik Persebaya Surabaya, klub yang berasal dari kota Surabaya. Istilah bonek merupakan akronim bahasa jawa dari bondho nekat (modal nekat), istilah bonek pertama kali dimunculkan oleh harian pagi Jawa Pos pada tahun 1989 untuk menggambarkan fenomena suporter Persebaya Surabaya yang berbondong-bondong ke Jakarta dalam jumlah besar. Secara tradisional, bonek adalah suporter pertama di Indonesia yang mentradisikan away supporters (pendukung sepak bola yang mengiringi tim pujaannya

bertandang ke kota lain). Dalam perkembangannya, ternyata away supporters juga diiringi aksi perkelahian dengan suporter tim lawan. Tidak ada yang tahu asal-usul bonek menjadi radikal dan anarkis. Jika mengacu pada tahun 1988,

(19)

saat 25 ribu bonek berangkat dari Surabaya ke Jakarta untuk menonton final Persebaya vs Persija, tidak ada kerusuhan apapun.

Fenomena Bonek (Bondo nekat) adalah indikasi bahwa suporter belum menjadi pendukung utama sebuah pertandingan. Fungsi suporter lebih mengarah ke arah negatif yaitu biang rusuh, perusak dan pemberang. “amuk” menjadi salah satu pelampiasan kekecewaan saat mengalami kekalahan. Lebih menyedihkan lagi suasana muram dan kecewa turut dilampiaskan di luar stadion. Kaca mobil pecah, Fasilitas publik hancur dan warga ketakutan berpapasan dengan Suporter yang tengah kecewa. (http://sosbud.kompasiana.com/2010/02/16)

Hal yang membuat peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai masalah ini adalah peneliti ingin mengetahui persepsi masyarakat mengenai stereotipe suporter, khususnya bonek dan kaitannya dengan kerusuhan dan kekerasan, peneliti juga ingin mengetahui seberapa besar peranan media massa dalam pembentukan stereotipe Bonek. Objek penelitian melibatkan masyarakat Surabaya yang mengikuti dan berperan dalam perkembangan persebaya dan bonek, missal pengurus persebaya, anggota DPRD Kota Surabaya, Jurnalis, Pengamat Sepak Bola, dan dari beberapa kalangan masyarakat Surabaya. Penelitian ini dilakukan di Surabaya, selain karena Surabaya adalah kota Metropolis, kota besar ke-2 setelah Jakarta yang padat penduduknya. Surabaya adalah tempat tinggal mayoritas bonek yang disetiap pertandingan Persebaya dikandang akan memenuhi jalan-jalan di Surabaya.

(20)

“Walau mengetahui nama latin bunga mawar, namun bila tak pernah

mencium baunya, kita akan luput memahami sebagian besar hakikat mawar

tersebut” (Eisner 1981,9).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti menarik suatu rumusan masalah yang berhubungan dengan judul skripsi, yaitu :

1. Bagaimana pandangan masyarakat Surabaya terhadap stereotipe suporter Bonek?

2. Bagaimana peranan media massa dalam pembentukan stereotipe suporter Bonek?

Dalam penelitian kali ini, penulis ingin menggunakan salah satu metode wawancara dan investigasi mendalam (Indepth Interview) untuk mendapatkan informasi dari narasumber.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui stereotipe pada Bonek dan bagaimana peranan media massa dalam pembentukan steretipe Bonek. Sehingga peneliti dapat memahami lebih lanjut mengenai permasalahan yang sedang diteliti.

(21)

10 

 

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah :

1. Memberi tambahan wawasan bagi Ilmu Pengetahuan khususnya yang berhubungan dengan stereotipe.

2. Memberi masukan pada perkembangan serta pendalaman studi komunikasi mengenai stereotipe

3. Memberi wawasan bagi mahasiswa mengenai stereotipe dan dapat menjadikan panduan bagi penelitian selanjutnya, terutama yang berhubungan dengan stereotipe.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Sebagai referensi dalam menginformasikan stereotipe.

(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1 Persepsi dalam Ilmu Komunikasi

Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita. (Mulyana, 2004 : 167).

Berikut ini beberapa pengertian persepsi yang dituliskan oleh beberapa pakar komunikasi untuk memperjelas pengertian persepsi :

1. John R. Wenburg dan William W. Wilmot

”Persepsi dapat didefinisikan sebagai cara organisme memberi makna” 2. Rudolph F. Verderber

”Persepsi adalah proses menafsirkan informasi indrawi” 3. J. Cohen

”Persepsi didefinisikan sebagai intreprestasi bermakna atas sensasi sebagai representatif objek eksternal; persepsi adalah pengetahuan yang tampak

mengenai apa yang ada di luar sana”

4. Brian Fellows

”Persepsi adalah proses yang memungkinkan suatu organisme menerima dan menganalisis informasi”

5. Kenneth A. Sereno dan Edward M. Bodaken

(23)

6. Philip Goodacre dan Jennifer Follers

“Persepsi adalah proses mental yang digunakan untuk mengenali rangsangan“

7. Joseph A. DeVito

“Persepsi adalah proses dengan mana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita“

Berdasarkan pengertian-pengertian persepsi yang ada di atas, pada dasarnya telah disimpulkan bahwa persepsi adalah inti dari komunikasi. Persepsi bisa berubah menjadi stereotipe, hal tersebut disebabkan karena pada dasarnya komunikasi terbentuk setelah seseorang mempersepsi sesuatu yang memberi rangsangan pada inderanya, jika persepsi seseorang terhadap suatu objek bersifat negatif maka terbentuklah stereotipe. Penafsiran atau intreprestasi adalah inti dari persepsi, yang identik dengan penyandian balik

(decoding) dalam proses komunikasi. (Mulyana, 2004 : 167-168).

Liliweri menyatakan bahwa persepsi yang dimiliki seseorang adalah frama of reference seseorang yang menjadi saringan untuk menyaring pesan

yang dikirim dan disandi balik. Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika persepsi tidak akurat, tidak mungkin seseorang berkomunikasi dengan efektif. (2003 : 137).

(24)

semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas. (Mulyana, 2004 : 175).

Persepsi manusia terbagi menjadi dua yaitu persepsi terhadap objek (lingkungan fisik) dan persepsi terhadap manusia atau yang sering disebut persepsi sosial. Persepsi sosial adalah proses menangkap arti objek-objek sosial dan kejadian-kejadian yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. (Mulyana, 2004 : 175).

Manusia bersifat emosional, sehingga penilaian terhadap mereka mengandung resiko. R.D Laing dalam buku Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar menyebutkan bahwa ”manusia selalu

memikirkan orang lain dan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya, dan apa yang orang lain pikirkan mengenai apa yang ia pikirkan mengenai orang lain itu, dan seterusnya.” (2004 : 176).

2.1.2 Prasangka Sosial

Prasangka Sosial merupakan sikap-perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, kelompok atau yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain.

(25)

diprasangkai, tanpa alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif.

Tindakan-tindaan diskriminatif ini diartikan sebagai tindakan-tindakan yang bercorak menghambat-hambat, merugikan perkembangan seseorang bahkan mengancam kehidupan pribadi orang-orang yang kebetulan termasuk dalam golongan yang diprasangkai tersebut.

Gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang bercorak tindakan-tindakan diskriminatif terhadap segolongan manusia, tanpa terdapat alasan-alasan yang obyektif dan membenarkan tindakan diskriminatif menunjukkan dengan jelas bahwa ada prasangka sosial.

Terjadinya prasangka sosial semacam ini dapat juga disebut pertumbuhan prasangka sosial dengan tidak sadar dan yang berdasarkan kepada kekurangan pengetahuan dan pengertian akan fakta-fakta kehidupan yang sebenarnya dari golongan-golongan orang yang dikenakan stereotipe-stereotipe tersebut. Faktor lain yang lebih sadar dan dapat mempertahankan serta memupuk prasangka sosial dengan gigih adalah faktor kepentingan perseorangan atau golongan tertentu. (Gerungan, 1983 : 175).

Berikut ini beberapa pengertian prasangka yang dituliskan oleh beberapa pakar komunikasi untuk memperjelas pengertian prasangka :

1. Gordon Allport

”Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah

atau generelisasi yang tidak luwes”

(26)

”Prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara

generalisasi yang salah dan tidak fleksibel”

3. Johnson

”Prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan

keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari kelompok tertentu”

Dari beberapa pengertian diatas, kita dapat mengatakan bahwa prasangka mengandung sikap, pikiran, keyakinan, kepercayaan, dan bukan tindakan. Jadi, prasangka tetap ada dipikiran, sedangkan diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. (Liliweri, 2005 : 201-202)

Prasangka sosial erat kaitannya dengan stereotipe. Stereotipe sudah terbentuk pada orang yang berprasangka, sebelumnya orang tersebut mempunyai kesempatan bergaul sewajarnya dengan orang lain yang dikenakan prasangka itu. Dan biasanya, stereotipe terbentuk berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subyektif. (Gerungan, 1983 : 168-169).

(27)

Secara umum, kita dapat melihat bahwa prasangka mengandungtiga tipe : afektif (berkaitan dengan perasaan yang negatif), kognitif (selalu berpikir tentang sebuah stereotipe), dan behavioral (tindakan dalam bentuk diskriminasi). Secara umum dapat pula disimpulkan bahwa prasangka antar ras atau antar etnik merupakan sikap negatif yang diarahkan kapada kelompok antar ras atau antar etnik tertentu dan difokuskan pada ciri-ciri negatif. (Liliweri, 2005 : 203)

2.1.3 Stereotipe

Stereotipe pertama kali diperkenalkan oleh Walter Lippman pada tahun 1992 yang menjelaskan sebagai persepsi atau kepercayaan yang dianut mengenai kelompok-kelompok atau individu berdasarkan pendapat dan sikap yang terlebih dahulu terbentuk.

Kesulitan komunikasi akan muncul dari penstereotipean (stereotyping), yakni suatu keadaan menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, penstereotipean adalah proses menempatkan orang-orang dan objek-objek ke dalam kategori-kategori yang dianggap sesuai, daripada berdasarkan karakteristik individual mereka. (Hariyono, 1998 : 57).

Adakah hubungan antara stereotipe dan komunikasi? Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe:

(28)

tertentu antara anggota kelompok-kelompok tertentu berdasarkan sifat-sifat psikologis yang dimiliki

2. Stereotipe berpengaruh terhadap langkah individu dalam proses informasi. Berbagai penelitian menunjukan bahwa setiap orang dapat mengingat informasi yang menyenagkan maupun yang kurang menyenangkan. Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan.

3. Stereotipe menciptakan harapan pada anggota sekelompok tertentu (in group) terhadap perilaku kelompok lain (out group). 4. Stereotipe menghambat pola-polaperilaku komunikasi kita dengan

orang lain (out group). (Liliweri, 2005 : 209-210)

Stereotipe terbentuk berdasarkan suatu pendapat atau keterangan yang kurang lengkap dan subjektif yang sudah ada sebelumnya kemudian diperkuat oleh pengamatan pribadi yang berawal dari prasangka secara sepintas dan biasanya berkonotasi negatif. Stereotipe ini tidak mudah berubah dan cenderung dipertahankan oleh orang yang berprasangka. Sehingga stereotipe dapat menumbuhkan fanatisme dan kecurigaan yang pada akhirnya akan semakin menutup diri masing-masing kelompok dan memperkuat stereotipe itu sendiri. Ketertutupan tersebut dapat menghambat komunikasi yang diperlukan pada proses interaksi. (Hariyono, 1998 : 57).

Berikut ini beberapa definisi mengenai stereotipe menurut beberapa pakar komunikasi :

(29)

“Stereotipe didefinisikan sebagai persepsi atau kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok-kelompok atau individu-individu berdasarkan pendapat

dan sikap yang lebih dulu terbentuk.”

2. Robert A. Baron dan Paul B. Paulus

“Stereotipe adalah kepercayaan bahwa semua anggota suatu kelompok tertentu memiliki ciri-ciri tertentu atau menunjukkan perilaku-perilaku

tertentu. Dengan kata lain stereotype adalah kategorisasi atas suatu

kelompok secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan

individual.”

3. Rudolph F. Verderber

”Stereotipe adalah sikap dan bahkan karakter yang dimiliki seseorang untuk

menilai karakteristik, sifat-sifat negatif atau positif orang lain, semata

bardasarkan keanggotaan orang tersebut pada kelompok tertentu.”

4. Jhonson

”Stereotipe adalah keyakinan seseorang untuk mengeneralisasiakan

sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi

oleh pengetahuan dan pengalaman bersama.”

(30)

Dengan adanya stereotipe maka kesulitan komunikasi pun sering muncul karena pada umumnya stereotipe bersifat negatif. Alasan terjadinya stereotipe adalah :

1. Sebagai manusia, seseorang cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori, yaitu kita dan mereka. Lebih jauh, orang-orang yang kita persepsi sebagai di luar kelompok kita dipandang sebagai lebih mirip satu sama lain daripada orang-orang dalam kelompok kita sendiri. Karena kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan mereka semua, dan menganggap mereka sebagai homogen.

2. Stereotipe pada dasarnya bersumber dari kecenderungan untuk melakukan kerja kognitif sesedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan memasukkan orang ke dalam kelompok, kita dapat mengasumsikan bahwa kita mengetahui banyak tentang mereka (sifat-sifat utama mereka, bagaimana kecenderungan perilaku mereka), dan kita menghemat tugas kita yang menjemukan untuk memahami mereka sebagai individu. Padahal sebenarnya kita tidak mengenal mereka, bahkan mungkin tidak pernah bertemu dengan seorang anggota pun dari kelompok itu, meskipun pernah mendapat informasi mengenai kelompok tersebut dari media massa. (Mulyana, 2004 : 220).

(31)

Pengkategorian orang lain memang tidak terhindarkan karena manfaat fungsional. Tidak seorangpun dapat merespon orang lain dalam seluruh individualitas mereka yang unik. Sayangnya, pengkategorian itu pada umumnya berlebihan atau keliru sama sekali. Dengan kata lain, stereotipe menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu di sekitar kita (2004 : 221).

Pada suatu proses pembentukan pesan atau stereotyping ini mungkin menjelaskan terjadinya primacy effect dan halo effect. Primacy effect secara sederhana menunjukkan bahwa kesan pertama amat menentukan kategori. Begitu pula halo effect. Personal stimuli yang sudah kita senangi telah mempunyai kategori tertentu yang positif, dan pada kategori itu sudah disimpan semua sifat yang baik. (Rakhmat, 2004 : 92).

Kesalahan persepsi yang disebut efek halo (halo effects), merujuk pada fakta bahwa begitu kita membentuk suatu kesan menyeluruh mengenai seseorang, kesan yang menyeluruh ini cenderung menimbulkan efek yang kuat atas penilaian kita akan sifat-sifatnya yang spesifik. Efek halo ini memang lazim dan berpengaruh kuat sekali pada diri kita dalam menilai orang-orang yang bersangkutan. Bila kita sangat terkesan oleh seseorang, bila ia baik dalam suatu hal, seolah-olah, ia pun baik dalam hal yang lain. (Mulyana, 2004 : 215).

(32)

1. Tipikasi atas individu atau manusia 2. Tipikasi atas pola tindakan

3. Tipikasi atas motif dan tujuan atau produk sosio budaya yang bersumber dari pendahulunya atau orang-orang sezaman, sebagai alat yang layak untuk menyesuaikan diri dengan segala hal dan manusia.

Keseluruhan tipikasi ini merupakan suatu kerangka rujukan yang dengannya dunia sosiobudaya dan dunia fisik harus ditafsirkan, untuk memecahkan kebanyakan problem yang ada. (Mulyana, 2004 : 219).

Pengkategorian orang lain memang tidak terhindarkan karena manfaat fungsionalnya. Tidak seorangpun dapat merespon orang lain dalam seluruh individualitas mereka yang unik. Pengkategorian tersebut terkadang berlebihan atau keliru sekali. Dengan kata lain, stereotipe menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu di sekitar kita.

(33)

Mekanisme dapat berlangsung demikian : persepsi dosen terhadap perempuan – sadar atau tidak – akan ditampakkan melalui perilaku dosen tersebut terhadap mereka. Dosen akan kurang memperhatikan, kurang memotivasi, kurang bertanya pada mereka. Sebaliknya persepsi yang lebih positif terhadap mahasiswa laki-laki akan lebih banyak. Perbedaan sikap ini cenderung menimbulkan sikap yang berbeda. Kelompok laki-laki akan cenderung terdorong untuk belajar dan memperoleh nilai yang lebih baik dari dosen tersebut. (Mulyana, 2004 : 219). Seperti yang dijelaskan oleh Hamilton dan Troiler (1986) dalam Ulum mengemukakan bahwa stereotipe sebagai suatu struktur pengetahuan yang berisikan keyakinan pengamat akan ciri-ciri yang didistribusikan pada kelompok sosial tertentu. (1994 : 18).

Berikut contoh lain stereotipe yang ada dalam buku Deddy Mulyana :  Laki-laki berpikir logis

 Wanita bersikap emosional  Orang Batak Kasar

 Orang Padang pelit

 Orang Jawa halus-pembawaan  Orang berkacamata minus jenius

 Orang Yahudi cerdas

 Orang Cina pandai memasak (2004 : 219)

(34)

merupakan faktor internalnya, dan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan (tempat dimana individu tersebut bertempat tinggal) sebagai faktor eksternalnya. Persepsi yang merupakan proses penciptaan mekna terjadi lebih dahulu sebelum seseorang berkomunikasi atau menyampaikan pesan kepada orang lain, yang juga terjadi secara internal pada diri individu. (Mulyana,2004 : 156-159)

2.1.4 Sejarah Bonek

Istilah Bonek, akronim bahasa Jawa dari Bondho Nekat (modal nekat), biasanya ditujukan kepada sekelompok pendukung atau suporter kesebelasan Persebaya Surabaya, walaupun ada nama kelompok resmi pendukung kesebelasan ini yaitu Yayasan Suporter Surabaya (YSS). Di persepak bolaan Indonesia, bonek banyak digambarkan sebagai pendukung yang sering membuat kerusuhan, dari mulai tidak membayar tiket kereta api, sampai bentrok dengan aparat keamanan dan pendukung kesebelasan lawan. (http://persebayafc.com)

Istilah bonek pertama kali dimunculkan oleh Harian Pagi Jawa Pos pada tahun 1989 untuk menggambarkan fenomena suporter Persebaya yang berbondong-bondong ke Jakarta dalam jumlah besar. Secara tradisional, Bonek adalah suporter pertama di Indonesia yang mentradisikan away supporters (pendukung sepak bola yang mengiringi tim pujannya bertandang

ke kota lain) seperti di Eropa. Dalam perkembangannya, ternyata away supporters juga diiringi aksi perkelahian dengan suporter tim lawan. Tidak

(35)

tahun 1988, saat 25 ribu Bonek berangkat dari Surabaya ke Jakarta untuk menonton final Persebaya - Persija, tidak ada kerusuhan apapun.

Secara tradisional, Bonek memiliki lawan-lawan, sebagaimana layaknya suporter di luar negeri. Saat era perserikatan, lawan tradisional Bonek adalah suporter PSIS Semarang dan Bobotoh Bandung. Di era Liga Indonesia, lawan tradisional itu adalah Aremania Malang, The Jak suporter Persija, dan Macz Man fans PSM Makassar. Di era Ligina, Bonek justru bisa berdamai dengan Bobotoh Persib Bandung dan Suporter PSIS Semarang. (http://persebayafc.com)

Beberapa peristiwa kekacauan yang disebabkan "Bonek mania" antara lain adalah kerusuhan pada pertandingan Copa Dji Sam Soe antara Persebaya Surabaya melawan Arema Malang pada 4 September 2006 di Stadion 10 November, Tambaksari, Surabaya. Selain menghancurkan kaca-kaca di dalam stadion, para pendukung Persebaya ini juga membakar sejumlah mobil yang berada di luar stadion antara lain mobil stasiun televisi milik ANTV, mobil milik Telkom, sebuah mobil milik TNI Angkatan Laut, sebuah ambulans dan sebuah mobil umum. Sementara puluhan mobil lainnya rusak berat. Atas kejadian ini Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan hukuman (sebelum banding) dilarang bertanding di Jawa Timur selama setahun kepada Persebaya, kemudian larangan memasuki stadion manapun di seluruh Indonesia kepada para bonek selama tiga tahun. (http://id.wikipedia.org/wiki/Bonek)

(36)

memasuki lapangan pertandingan sewaktu Persebaya menghadapi Persis Solo di final divisi satu. Ironisnya, tahun 2005, Persebaya justru rela dihukum terdegradasi ke divisi satu gara-gara mundur di babak 8 besar. Pihak klub beralasan untuk melindungi bonek agar tidak disakiti.

Saat masih di Divisi I, Persebaya pernah ditekuk PSIM 1 - 2 di kandang sendiri. Saat itu juga tidak ada aksi kerusuhan. Padahal, jika menengok fakta sejarah, hubungan suporter Persebaya dengan PSIM sempat buruk, menyusul meninggalnya salah satu suporter Persebaya dalam kerusuhan di kala perserikatan dulu. (http://id.wikipedia.org/wiki/Bonek)

2.1.5 Konsep Kekerasan galtung

(37)

personal dan struktural, maka konflik kekerasaan akan muncul ke permukaan sosial (Galtung, 2007).

2.1.5.1Kekerasan Struktural

Menurut Galtung ketidakadilan yang diciptakan oleh suatu sistem yang menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (human needs) merupakan konsep kekerasan struktural (structural violence). Kekerasaan model ini dapat ditunjukkan dengan rasa tidak aman karena tekanan lembaga-lembaga militer yang dilandasi oleh kebijakan politik otoriter, pengangguran akibat sistem tidak menerima sumber daya manusia di lingkungannya, diskriminasi ras atau agama oleh struktur sosial atau politik sampai tidak adanya hak untuk mengakses pendidikan secara bebas dan adil. Juga, manusia mati akibat kelaparan, tidak mampu mengakses kesehatan adalah konsep kekerasan struktural (1990).

(38)

secara signifikan peran masyarakat di dalam industri Freeport dengan alasan tidak mempunyai keterampilan atau keahlian yang memadai untuk industri. Karena tidak terlibat atau bisa mengakses pekerjaan dalam industri di Freeport, maka masyarakat tidak mempunyai penghasilan yang bisa memenuhi berbagai kebutuhan dasar mereka, seperti pendidikan yang berkualitas dan kesehatan. Rasa aman pun juga sering kali terusik karena pengawasan institusi militer terhadap ruang gerak mereka dalam kaitannya dengan industri Freeport terasa sangat ketat sekali (Ngadisah, 2003).

Sesungguhnya kekerasan struktural menyebabkan tertindasnya manusia dan kelompok sosial sehingga mengalami berbagai kesulitan untuk hidup. Pada level yang tinggi kekerasan struktural bisa membunuh manusia, seperti akibat kelaparan ataupun kesehatan yang tidak terjamin padahal tampak begitu melimpah kekayaan yang ada. Katakanlah harga obat-obatan yang terlalu mahal menyebabkan orang miskin tidak bisa membelinya. Ketidakmampuan membeli karena mereka tidak berkesempatan memperoleh pekerjaan dari negara yang kekayaanya melimpah ruah ini. Sehingga dapat dikatakan jika ada orang miskin Indonesia yang meninggal karena sakit, tanpa mendapat akses kesehatan, merupakan hasil dari kekerasan struktural.

2.1.5.2 Kekerasan Langsung

(39)

merupakan kekerasan langsung. Ancaman atau teror dari satu kelompok yang menyebabkan ketakutan dan trauma psikis juga merupakan bentuk kekerasan langsung.

Dalam kekerasan langsung ada hubungan subjek-tindakan objek seperti kita lihat pada seseorang yang melukai orang lain dengan aksi kekerasan (Galtung, 1990). Beberapa kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia dapat menjadi contoh kekerasan langsung dari individu ke individu lain atau kelompok ke kelompok lain. Beberapa contoh konflik kekerasan yang bisa menjadi aksi kekerasan langsung, seperti kekerasan antara etnis Dayak dan Madura di Kalimantan, antar etnis Ambon Kristen dan BBM Muslim, penculikan wartawan oleh gerakan separatis di Aceh maupun Papua, penyiksaan terhadap aktivis gerakan demokrasi oleh militer, masyarakat terhadap mereka yang dicurigai sebagai dukun santet, dan berbagai kasus kekerasan langsung lainnya.

Kekerasan langsung pada kasus konflik etnis Dayak dan Madura bisa dilakukan oleh kedua belah pihak pada awalnya. Tetapi kekuatan fisik yang tidak berimbang, seperti peralatan dan jumlah massa, pada gilirannya membuat salah satu etnis telah melakukan kekerasan langsung terhadap etnis yang lain.

(40)

kyai tersebut adalah contoh kekerasan langsung walaupun dengan alasan-alasan yang menurut warga sebagai langkah menegakkan keadilan.

2.1.5.3 Kekerasan Budaya

Kekerasan budaya bisa disebut sebagai motor dari kekerasan struktural dan langsung, karena sifat budaya bisa muncul pada dua tipe kekerasan tersebut. Kekerasan budaya (cultural violence) dilihat sebagai sumber lain dari tipe-tipe konflik melalui produksi kebencian, ketakutan dan kecurigaan (Jeong, 2003:21). Sumber kekerasan budaya ini bisa berangkat dari etnisitas, agama maupun ideologi. Galtung menekankan makna kekerasan budaya yang ia maksud bukanlah hendak menyebut kebudayaan sebagai keseluruhan sistemnya, namun aspek-aspek dari kebudayaan itu. Galtung memberi definisi pada kekerasan budaya : ”kekerasan budaya adalah aspek-aspek dari kebudayaan, ruang simbolis dari keberadaan masyarakat manusia – dicontohkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris dan formal (logis, matematis) – yang bisa digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan struktural dan langsung” (Galtung, 1990 : 291).

(41)

Kekerasan budaya ini sering hadir dalam banyak relasi sosial masyarakat. Pada masyarakat Ambon misalnya, bagaimana etnis BBM sering kali dicap kotor dengan ungkapan-ungkapan jelek. Bahkan dalam keseharian masyarakat Indonesia ada kecenderungan setiap anggota etnis memandang negatif terhadap etnis-etnis sebangsanya. Seperti orang Jawa munafik, orang Batak tidak tahu aturan, orang Padang rakus, orang Ambon keras kepala, dan berbagai pandangan lainnya yang sebenarnya merupakan bentuk kekerasan budaya. Pandangan itu bisa menciptakan tindakan diskriminatif dan segregasi sosial.

Seperti yang dipaparkan oleh Galtung kekerasan budaya ini bisa menciptakan kekerasan struktural dan langsung yang prosesnya terjadi di dalam kehidupan sosial politik. Berikut adalah tabel dimensi kekerasan yang dibuat oleh Galtung :

Tabel 2.1 Model Kekerasan Galtung Kebutuhan

Bertahan

Kebutuhan pada Kondisi yang Positif

Kebutuhan Identitas Kebutuhan Kebebasan

Eksploitasi A Penetrasi, Segmentasi

Marginalisasi, Fragmentasi

2.1.6 Konsep Kekerasan Model Litke

(42)

personal-institusional. Kekerasan yang dilakukan secara personal bisa berwujud dalam dimensi fisik dan psikologis. Kekerasan personal seperti muggings, pemerkosaan dan pembunuhan merupakan aksi fisik, sedangkan

pada dimensi psikologis kekerasan personal dan pembunuhan karakter. Kekerasan institusional (terlembagakan) yang muncul dalam bentuk aksi fisik bisa berupa kerusuhan, terorisme, dan perang, sedangkan secara psikologis muncul dalam bentuk perbudakan, rasisme dan sexist; seperti terlihat pada bagan berikut :

Tabel 2.2 Model kekerasan Litke Kebutuhan

Bertahan

Fisik Psikologis Personal Perampokan,

Pemerkosaan, Pembunuhan

Paternalisme Ancaman Personal Pembunuhan Karakter Institusional Kerusuhan,

Terorisme, Perang,

Perbudakan Rasisme Sexist

Model atau tipe ideal Litke sebenarnya hampir serupa dengan tipe ideal kekerasan Galtung. Hanya saja Litke menggunakan perspektif sosial dalam dimensi kekerasan. Sehingga ia tidak mempertimbangkan aspek kekerasan struktural seperti konsep Galtung. (Susan, 2005 : 110-117)

2.1.7 Konflik

(43)

atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain”. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah ”conflict” menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.

Solusi kami untuk masalah ini adalah dengan mengambil suatu makna terbatas berdasarkan definisi Webster yang kedua. Bagi kami, konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest),

atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Kami memilih batasan ini karena kami

anggap sebagai batasan yang paling tepat sebagai dasar pembuatan teori. Kami merasa telah mampu membangun sebuah teori yang sederhana namun kuat, dengan mencoba menjelaskan asal mula terjadinya perbedaan kepentingan seperti yang dipersepsikan oleh pihak-pihak yang berkonflik dan dampak perbedaan persepsi terhadap pemilihan strategi serta hasilnya. Tidak dapat diragukan lagi, keputusan kami tersebut dipengaruhi oleh fakta bahwa kami berdua adalah ahli psikologi sosial yang terbiasa berpikir dalam kerangka dampak kondisi mental terhadap perilaku sosial. Sekalipun demikian kami yakin bahwa pendekatan ini akan bermanfaat bagi para sarjana maupun praktisi dari berbagai disiplin ilmu di luar psikologi sosial.

(44)

terhadap berbagai kenyataan objektif, pendapat mengenai siapa yang bersalah dalam sebuah kegagalan, atau dendam yang diawali oleh adanya pengkhianatan. Kita juga tidak akan b erbicara terlalu b anyak mengenai konflik dalam bentuk kekerasan fisik, pemberontakan bersenjata, atau perang. Jelas, setiap topik dapat dianggap penting dan masing-masing pantas diberi perhatian, tetapi kami tidak dapat membahas semuanya. Sebagai gantinya, kami ingin meneliti secara seksama sisi psikologis dari perbedaan kepentingan yang terjadi dan memberikan tekanan pada konflik sebagaimana hal ini terjadi saat ini beserta implikasi yang mungkin menyertai di masa mendatang. Apa yang akan menjadi disposisi pada kasus Sinai? Berapa lama waktu yang diperlukan oleh Bagian Produksi untuk memenuhi pesanan? Siapa yang pada akhirnya akan mendapatkan sepeda, dan mengapa? Tanpa mengabaikan masa lalu (Frustasi di masa lalu dapat membuang orang begitu peduli tentang preseden yang mungkin terjadi di masa mendatang, sehingga mengembangkan permusuhan yang mendorong digunakannya taktik contentious yang berlebihan), pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang

ingin kami jawab.

2.1.8 Peranan Media Massa

(45)

ini membuat manusia akan selalu membutuhan media sebagai sarana berinteraksi dan berbagi informasi dengan manusia lainnya.

Euforia kebebasan media massa telah memperkuat ’filsafat pragmatisme’. Kebebasan di sektor apapun, tentu melahirkan kreativitas yang luar biasa. Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik Penyiaran pada hakikatnya didasari oleh nilai-nilai budaya. Namun sayang, banyak yang tidak peduli, bukan karena tidak membaca dan mempelajari, melainkan tidak punya hasrat untuk mengamalkan. Padahal, kehadiran media massa dalam masyarakat yang modern ikut membawa perubahan wawasan, sikap, dan perilaku masyarakat, meskipun tidak terlalu signifikan karena ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi perubahan tersebut seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat itu sendiri. (Pareno, 2005 : 14)

Wiliam L. Rivers, Theodore Peterson, Jay W. Jensen (2003) menyatakan tentang media massa sebagai berikut :

”Media komunikasi massa dapat dan memang telah mempengaruhi

perubahan, apalagi jika itu menyangkut kepentingan orang banyak.

Media juga mampu menggalang persatuan dan opini publik terhadap

peristiwa tertentu.”

(46)

dikatakan sebagai peranan media massa yang pragmatis, atau gabungan dari keduanya.

Salah satu teori tentang efektivitas media massa menyatakan bahwa media massa yang efektif ialah yang mampu memenuhi selera khalayak. Melvin L. De Fleur dan Sandra Ball-Rokeach (1982) berpendapat bahwa efektifitas media massa ditentukan oleh tingkat pelayanannya dalam memberikan informasi seluas-luasnya sehingga memuaskan khalayaknya. Kalau kita setuju dengan pendapat De Fleur dan Rokeach tersebut, peranan memang lebih memiliki peluang untuk memuaskan khalayak daripada fungsi media massa yang idealis itu. Tetapi, sebagai suatu idealis me, fungsi media massa hendaknya disosialisasikan terus menerus , secara utuh sesuai prinsip four in one, empat dalam satu fungsi, tidak dipisah-pisahkan. (Pareno, 2005 :

19)

2.2 Kerangka Berpikir

(47)

Stereotipe merupakan pelabelan terhadap pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketikadilan ( Narwoko, 2004 : 342). Stereotipe menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu disekitar kita.

Dengan adanya stereotipe maka kesulitan komunikasi pun sering muncul. Dan biasanya stereotipe terjadi karena :

1. Sebagai manusia, seseorang cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori, yaitu kita dan mereka. Ketika kategori tersebut terbentuk, seringkali seseorang mempersepsi dirinya yang ternasuk dalam kelompok dan parahnya mereka disamaratakan. 2. Stereotipe pada dasarnay bersumber dari kecenderungan

seseorang untuk melakukan kerja kognitif sesedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. (Mulyana, 2004 : 220)

(48)
(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Pada penelitian ini, penulis tidak membicarakan hubungan antara variabel, sehingga tidak ada pengukuran variabel bebas dan variabel terikat. Penelitian ini difokuskan pada stereotipe suporter Bonek dengan kekerasan dan kerusuhan serta persepsi masyarakat Surabaya terhadap stereotipe tersebut. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif dan menggunakan metodologi analisis kualitatif.

Tipe penelitian deskriptif adalah suatu metode yang berupaya untuk memberikan gambaran atau uraian suatu keadaan sejernih mungkin tanpa adanya perlakuan terhadap objek yang diteliti.

Tipe penelitian deskriptif bertujuan membuat gambaran atau deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu. Penulis sudah memiliki konsep dan kerangka konseptual. Melalui kerangka konseptual (landasan teori), penulis melakukan operasionalisasi konsep yang akan menghasilkan variabel beserta indikatornya. Penelitian ini untuk menggambarkan realitas yang sedang terjadi tanpa menjelaskan hubungan antarvariabel. (Rakhmat, 2006:69)

(50)

(stereotyping), yakni suatu keadaan menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, penstereotipean adalah proses menempatkan orang-orang dan objek-objek ke dalam kategori-kategori yang dianggap sesuai, daripada berdasarkan karakteristik individual mereka. (Hariyono, 1998 : 57).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan yang tidak menggunakan statistik atau angka-angka tertentu. Hasil dari penelitian kualitatif ini tidak dapat digeneralisasikan (membuat kesimpulan yang berlaku umun) atau bersifat universal, jadi hanya pada situasi dan keadaan yang sesuai dengan keadaan dimana penelitian yang serupa dilakukan. (Kountur, 2001:29)

Menurut Rachmat dalam bukunya Riset Komunikasi (2006:29), secara umum penelitian menggunakan metodologi kualitatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Intensif, partisipasi periset dalam waktu lama pada setting lapangan, periset adalah intrumen pokok penelitian.

2. Perekaman yang sangat hati-hati terhadap apa yang terjadi dengan catatan-catatan di lapangan dan tipe-tipe lain dari bukti-bukti dokumenter.

3. Analisis data lapangan.

(51)

5. Tidak ada realitas yang tunggal, setiap peneliti mengkreasi realitas sebagai bagian dari proses penelitiannya. Realitas dipandang sebagai dinamis dan produk konstruksi sosial.

6. Subjektif dan berada hanya dalam referensi peneliti. Periset sebagai sarana penggalian interpretasi data.

7. Realitas adalah holistik dan tidak dapat dipilah-pilah.

8. Periset memproduksi penjelasan unik tentang situasi yang terjadi dan individu-individunya.

9. Lebih pada kedalaman (depth) daripada keluasan (breadth). 10.Prosedur riset : empiris-rasional dan tidak berstruktur.

11.Hubungan antara teori-teori, konsep, dan data-data memunculkan atau membentuk suatu teori baru.

Seterotipe yang diteliti ini adalah stereotipe yang diberikan oeh masyarakat terhadap suporter Bonek yang selalu dikaitkan dengan kekerasan dan kerusuhan.

3.2 Subyek dan Informan Penelitian

(52)

padat penduduknya. Surabaya adalah tempat tinggal mayoritas bonek yang disetiap pertandingan Persebaya dikandang akan memenuhi jalan-jalan di Surabaya.

Informan penelitian ini tidak ditentukan berapa jumlahnya, tetapi dipilih beberapa informan yang dianggap mengetahui, memahami permasalahan yang terjadi sesuai substansi penelitian, yaitu stereotipe suporter Bonek. Hal ini disebabkan karena dalam penelitian kualitatif tidak mempersoalkan seberapa besar jumlah informan, melainkan seberapa jauh penjelasan informan yang diperoleh dalam menjawab permasalahan. (Sumady, 1998 : 89)

Dalam penelitian ini, ada beberapa pertimbangan untuk menentukan informan sebagai sumber informasi. Dalam menentukan informan pertimbangannya adalah:

1. Keakuratan dan validitas informasi yang diperoleh. Berdasarkan hal ini maka jumlah informan sangat tergantung pada hasil yang dikehendaki. Bila mereka yang menjadi informan adalah orang-orang yang benar-benar menguasi masalah yang diteliti, maka informasi tersebut dijadikan bahan analisis.

(53)

3. Peneliti diberi kewenangan dalam menentukan siapa saja yang menjadi informan, tidak terpengaruh jabatan seseorang. Bisa saja peneliti membuang informan yang dianggap tidak layak.

Berkenaan dengan tujuan penelitian kualitatif maka dalam prosedur pencarian informasi yang terpenting adalah bagaimana menentukan informan kunci (key informan) atau situasi tertentu yang syarat informasi sesuai dengan focus penelitian. (Bungin, 2003:53)

Sementara itu untuk menentukan informasi kunci dalam penelitian ini digunakan cara Snow Ball , yaitu berkembang mengikuti informasi yang diperlukan. Pada teknik ini pengumpulan data dimulai dari beberapa orang yang memenuhi kriteria untuk dijadikan informan. Kemudian mereka menjadi sumber informasi untuk menunjukan orang-orang lainnya yang masuk sebagai kriteria dalam penelitian. Orang-orang yang diminta tersebut juga nantinya akan diminta menunjukan orang lain lagi sebagai informan, begitu seterusnya. (Soehartono, 2004:63)

Proses snow ball ini dilakukan dengan maksud agar informasi yang terkumpul memiliki variasi yang lengkap dengan melibatkan pihak luar yang dianggap mengerti dan memahami penelitian. Namun demikian peneliti berusaha akan menjaring sebanyak mungkin informasi yang berkaitan dengan tujuan penelitian dari berbagai sumber. Peneliti akan mecari variasi informasi sebanyak-banyaknya dari informan. Informan disini memiliki cirri-ciri :

1. Informan tidak dapat ditentukan terlebih dahulu

(54)

informan dilakukan jika informan sebelumnya sudah dijaring dan dianalisis.

3. Penyesuaian berkelanjutan dari informan. Pada mulanya setiap informan dapat sama kegunaannya. Namun sesudah semakin banyak informasi yang masuk maka akan terliahat bahwa informan semakin dipilih atas dasar focus perhatian.

4. Pemilihan informan berakhir ketika terjadi pengulangan. Menentukan jumlah informan oleh pertimbangan-pertimbangan informasi yang dilakukan. Apabila maksudnya untuk memperluas informasi yang dapat dijaring, maka pemilihan informan dapat diakhiri. Maksudnya disini adalah jika mulai terjadi pengulangan informasi maka pemilihan informan dapat atau harus dihentikan.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang akan digunakan untuk mengumpulkan data adalah wawancara mendalam (depth interview) yang menghasilkan data berupa kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, gambar dan lain-lain. Penggunaan teknik wawancara mendalam menurut Creswell (1998:120) sangat penting bagi penelitian kualitatif.

(55)

wawancara mendalam, bisa digali apa yang tersembunyi disanubari seseorang, apakah menyangkut masa lampau, masa kini atau masa depan. (Bungin, 2003:65-67)

Teknik pengumpulan data dengan wawancara tak terstruktur menurut Mulyana (2002:183) relevan dengan penelitian yang menggunakan teori interaksi simbolik (penelitian kualitatif), karena hal tersebut memungkinkan pihak yang diwawancarai untuk mendefinisikan diri dan lingkungannya atau untuk menggunakan istilah-istilahnya sendiri berdasarkan kultur dan tradisi yang mereka anut. Sebagian besar wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan tape recorder atas seizin informan. Cara ini diperlukan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam mengutip setiap pernyataan yang disampaikan oleh informan.

Wawancara tidak terstruktur , adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. (Sugiyono, 2005 : 74)

Penelitian ini sifatnya cukup pribadi dan sensitif, sehingga memungkinkan untuk menuntut informan mengungkapkan informasi secara lebih bebas dan lebih jujur. Berikut akan disajikan teknis wawancara mendalam yang akan dilakukan peneliti :

(56)

pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap.

2. Waktu dan tempat wawancara akan ditentukan setelah ada kesepakatan antara peneliti dengan narasumber.

3. Wawancara dilakukan tatap muka, tetapi juga tidak menutupi kemungkinan wawancara dilakukan melalui media (telepon, internet, dan lainnya).

4. Pendokumentasian data digunakan dengan menggunakan elecktrick recorder (MP3, Hand Phone, , Mini Tape Recorder

dan lainnya), buku catatan, dan bulpen.

Selain itu juga menggunakan studi literatur yaitu teknik pengumpulan data dengan mencari data penunjang dengan mengolah buku-buku dan sumber bacaan lain yang berkaitan dengan masalah penelitian.

3.4 Teknik Analisis Data

(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Surabaya

Penelitian dengan judul “Stereotipe Bonek” ini dilakukan di kota Surabaya karena Surabaya merupakan ibukota provinsi Jawa Timur, Kota Metropolis, dan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Kota Surabaya memiliki aktivitas dan kepadatan penduduk yang tinggi. Dengan jumlah penduduk metropolisnya yang hampir 3 juta jiwa, Surabaya juga merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan timur Pulau Jawa dan sekitarnya. Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan, karena sejarahnya yang sangat berperan dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia terhadap penjajah.

Surabaya adalah kota multi etnis yang kaya budaya. Beragam etnis ada di Surabaya, seperti etnis Melayu, Cina, India, Arab, dan Eropa. Etnis Nusantara pun dapat dijumpai seperti Madura, Sunda, Batak, Kalimantan, Bali, Sulawesi yang membaur dengan penduduk asli Surabaya membentuk pluralisme budaya yang selanjutnya menjadi cirri khas kota Surabaya. Sebagian besar masyarakat Surabaya adalah orang Surabaya asli dan orang Madura.

(58)

masyarakat Surabaya sangat demokratis, tolera,dan senang menolong orang lain.

Masyarakat Surabaya sangat senang dengan olahraga, terutama olahraga sepak bola yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Surabaya. Surabaya mempunyai tim sepak bola yang selalu dibanggakan oleh masyarakatnya yaitu Persebaya Surabaya. Dalam hal persepakbolaan, Surabaya merupakan kota yang produktif untuk menghasilkan bintang rumput hijau dan tidak sedikit yang dipanggil Tim Nasional Indonesia untuk membelah dan mengharumkan nama bangsa melalui Sepak Bola, sebut saja Bejo Sugiatoro, Uston nawawi, Mursid Efendy, dan banyak lagi. Mereka merupakan pemain langganan masuk Tim Nasional, mereka juga adalah putra asli Surabaya yang dibina oleh Kompetisi internal Persebaya. Jadi bisa dibilang Jawa Timur khususnya Surabaya adalah barometer persepakbolaan Nasional.

4.1.2 Gambaran Umum Bonek

(59)

Istilah bonek pertama kali dimunculkan oleh Harian Pagi Jawa Pos pada tahun 1989 untuk menggambarkan fenomena suporter Persebaya yang berbondong-bondong ke Jakarta dalam jumlah besar. Secara tradisional, Bonek adalah suporter pertama di Indonesia yang mentradisikan away supporters (pendukung sepak bola yang mengiringi tim pujannya bertandang

ke kota lain) seperti di Eropa. Dalam perkembangannya, ternyata away supporters juga diiringi aksi perkelahian dengan suporter tim lawan. Tidak

ada yang tahu asal-usul, Bonek menjadi radikal dan anarkis. Jika mengacu tahun 1988, saat 25 ribu Bonek berangkat dari Surabaya ke Jakarta untuk menonton final Persebaya - Persija, tidak ada kerusuhan apapun.

Secara tradisional, Bonek memiliki lawan-lawan, sebagaimana layaknya suporter di luar negeri. Saat era perserikatan, lawan tradisional Bonek adalah suporter PSIS Semarang dan Bobotoh Bandung. Di era Liga Indonesia, lawan tradisional itu adalah Aremania Malang, The Jak suporter Persija, dan Macz Man fans PSM Makassar. Di era Ligina, Bonek justru bisa berdamai dengan Bobotoh Persib Bandung dan Suporter PSIS Semarang. (http://persebayafc.com)

(60)

ambulans dan sebuah mobil umum. Sementara puluhan mobil lainnya rusak berat. Atas kejadian ini Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan hukuman (sebelum banding) dilarang bertanding di Jawa Timur selama setahun kepada Persebaya, kemudian larangan memasuki stadion manapun di seluruh Indonesia kepada para bonek selama tiga tahun. (http://id.wikipedia.org/wiki/Bonek)

4.2 Deskripsi Hasil penelitian

4.2.1 Penyajian Data

Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 4 bulan di Surabaya. Sebagaimana yang sudah peneliti uraikan sebelumnya, subjek penelitian yaitu informan tidak dapat dibatasi atau ditentukan jumlahnya karena analisis yang digunakan adalah analisis kulitatif. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha membuktikan stereotipe suporter Bonek, khususnya pada orang-orang yang bersangkutan secara langsung dengan Bonek.

(61)

4.2.2 Identitas Informan

Dalam penelitian ini yang dijadikan informan adalah masyarakat Surabaya yang memiliki keterlibatan dengan persepakbolaan lokal maupun nasional dan mengikuti serta berperan dalam perkembangan persebaya dan bonek, missal pengurus persebaya, anggota DPRD Kota Surabaya, Jurnalis, Pengamat Sepak Bola, dan dari beberapa kalangan masyarakat Surabaya. Sehingga nantinya pertanyaan yang diberikan dapat dijawab dengan sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan oleh mereka sebagai informan.

Alasan-alasan tersebut sesuai dengan teori Komunikasi Antar Budaya yang dekemukakan oleh Gudy Kunst dan Kim yaitu bahwa setiap individu ketika melakukan komunikasi dengan individu lain dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosialbudaya, psikobudaya yang melekat pada diri individu tersebut yang merupakan faktor internalnya, dan juga dipengaruhi faktor lingkungannya sebagai faktor eksternanya. Persepsi yang merupakan proses penciptaan makna terjadi lebih dahulu sebelum seseorang berkomunikasi atau menyampaikan pesan kepada orang lain, yang juga terjadi secara internal pada diri individu. (Mulyana, 2004 : 156-159)

(62)

menyusun penelitian ini. Berikut ini peneliti mencantumkan data diri dari informan-informan yang telah diawancarai :

Tabel 4.1 Identitas Informan

Nama Informan Usia L/P Status

Reza 36 L Ketua BMP (Bonek Merah

Putih)

Shandy 34 L Presenter TV dan Radio

Olahraga

Bagus 21 L Mahasiswa UNAIR

Irfan 22 L Polisi Polres Surabaya Timur

Andik 18 L Pemain Persebaya

Soepangat 60 L Humas Persebaya

Imron 43 L Ketua YSS (Yayasan Suporter

Surabaya)

Rusly Yusuf 43 L Anggota DPRD Surabaya

Icha 22 P Jurnalis

(63)

lebih rinci disertai informasi tambahan untuk lebih mengenal informan-informan tersebut :

1. Informan Pertama

Bernama Reza, berjenis kelamin laki-laki, berusia 36 tahun, saat ini Reza adalah Ketua BMP (Bonek Merah Putih) salah satu organisasi atau kelompok suporter persebaya yang berbadan hukum. BMP sendiri sebenarnya sudah lama ada tapi baru berbadan hukum desember 2009 kemarin, meskipun tergolong kelompok suporter yang baru akan tetapi BMP sudah memilik anggota yang lumayan banyak. Laki-laki yang berkediaman di daerah Sawotratap ini menjadi suporter setia persebaya yang biasa dijuuki bonek sejak 15 tahun yang lalu hingga sekarang mempunyai dua anak. Reza juga perna menjabat sebagai Ketua YSS (Yayasan Suporter Surabaya), lalu pada tahun kemarin Reza mendirikan BMP. Selain menjadi ketua dan pendiri BMP, Reza mempunyai pekerjaan dibidang travel. Hampir seluruh Stadion di Indonesia pernah didatangi oleh Reza, karena setiap Persebaya bermain tandang atau diluar kota Surabaya dia pasti datang, tapi semua itu dilakukan waktu mudanya. Sekarang Reza sudah berkeluarga dan mempunyai dua anak, sehingga untuk tur keluar kota untuk mendukung Persebaya sangat dibatasi. 2. Informan Kedua

(64)

kecintaannya terhadap dunia sepak bola, membuat shandy mempunyai panggilan Shandy gibol. Gibol adalah singkatan dari gila bola. Julukan tersebut melekat hingga sekarang. Akhir-akhir ini Shandy juga menjadi salah satu presenter Stasiun TV lokal dalam program Let’s goal. Laki-laki yang berkediaman di daerah Sidoarjo ini juga salah satu penggemar Persebaya, klub sepak bola kebanggaan warga Surabaya. Karena Shady merupakan prnyiar Radio dan memiliki wawasan yang luas tentang sepak bola, sehingga dia sangat lugas dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peneliti.

3. Informan Ketiga

(65)

juga merupakan lulusan dari salah satu SMA negeri unggulan di Surabaya, dilihat dari sudut pandang pendidikannya Bagus mempunyai tingkat kecerdasan yang luar biasa dan hal ini membuat peneliti sangat nyaman saat mewawancarai Bagus.

4. Informan Keempat

Bernama Irfan, Berjenis kelamin laki-laki, berusia 22 tahun. Irfan adalah salah satu anggota kepolisian Republik Indonesia, saat ini dia berpangkat Bripda. Setelah lulus SMA Irfan tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi walaupun Irfan termasuk berasal dari keluarga yang berkecukupan, orang tuannya pengusaha makanan. Karena menjadi seorang Polisi adalah cita-citanya sejak kecil, sehingga setelah lulus SMA dia langsung mendaftar sebagai calon Polisi, pada tahun 2006 Irfan resmi menjadi Polisi. Laki-laki yang mempunyai hobi karaoke ini bertugas di Polres Surabaya Timur, Surabaya Timur mencakup daerah stadion 10 Nopember yang menjadi kandang dari Persebaya, setiap laga kandang Persebaya selalu banyak petugas dari kepolisian yang berjaga-jaga untuk keamanan, salah satunya adalah Irfan. Irfan sering sekali ditugaskan untuk menjaga setiap pertandingan Persebaya di Stadion 10 Nopember, Sehingga membuat Irfan berhadapan langsung dengan bonek yang sedang diteliti oleh peneliti. Irfan mempunyai banyak informasi tentang bonek yang sedang mendukung tim kesayangannya untuk diceritakan kepada peneliti.

5. Informan kelima

(66)

persebaya yang bernomor punggung 3 ini berposisi sebagai gelandang serang. Karir Andik sebagai pemain sepak boa termasuk sangat mulus. Pemain asli didikan kompetisi internal persebaya ini merebut medali emas pada PON di Kalimantan Timur pada tahun 2008 lalu, sebelumnya pada tahun 2006 Andik berhasil menjadi top skor dan pemain terbaik dalam piala Bambang DH. Sebagai pemain sepak bola Andik sebenarnya tidak memiliki postue yang ideal sebagai pemain sepak bola, pemain yang bertinggi badan 163 cm termasuk pemain terpendek dalam skuad persebaya, tetapi karena memiliki kemampuan dribbling bola yang diatas rata-rata membuat pelatih persebaya Rudy W. Keljes sangat tertarik dan hampir selalu menjadi starter. Pemain yang baru berusia 18 tahun ini baru lulus SMA pada tahun ini, karena latar pendidikannya yang baru saja lulus SMA, sehingga dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peneliti agak tersendat- sendat.

6. Informan keenam

Gambar

Tabel 2.1  Model Kekerasan Galtung
Tabel 2.2  Model kekerasan Litke
Tabel 4.1 Identitas Informan

Referensi

Dokumen terkait

Beda halnya yang disampaikan oleh informan yang berinisia doel, informan ini mengatakan bahwa mencari informasi itu bukan hanya di media massa saja, namun

Tapi dalam eee untung ruginya atau tu mengganggu kesehatannya tu sebenarnya saya tidak searah bisa menyatakan itu mengganggu kesehatan mereka tapi yang pernah saya lihat di

Oleh karena itu, penulis beranggapan dan sejalan dengan pernyataan informan-informan diatas bahwa penting bagi firma hukum Afta & Brothers dalam memberikan layanan

( Studi Deskriptif Tentang Tingkat Pengetahuan Masyarakat Surabaya Terhadap Iklan Layanan Masyarakat Wajib Pajak “Apa Kata Dunia” di Televisi

Dari data-data yang telah dianalisis oleh peneliti mengenai bagaimana persepsi masyarakat Surabaya mengenai iklan pajak “apa kata dunia” setelah adanya kasus penggelapan pajak

Namun secara umum, para informan dalam penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada unsur judi dalam acara kuis yang banyak ditayangkan di televisi karena acara kuis tersebut

Tato sendiri telah melahirkan berbagai persepsi, ada yang mengatakan tato itu adalah sebuah sesuatu yang tinggi dan ada juga yang memandangnya sebagai sebuah karya dengan nilai

Beberapa kelompok di masyarakat, masih memandang tato sebagai hal yang neegatif.Dalam artian orang yang memiliki tato dianggap sebagai orang yang jahat, preman atau merupakan