• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEREMPUAN BERTATO (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Perempuan Bertato).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEREMPUAN BERTATO (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Perempuan Bertato)."

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEREMPUAN BERTATO

(Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Perempuan

Bertato).

SKRIPSI

Oleh:

Leonardus Ristiardi Noviyanto NPM. 0743010274

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWATIMUR

FAKULTAS SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(2)

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEREMPUAN BERTATO

(Studi Deskr iptif Kualitatif Tentang Per sepsi Masyarakat Ter hadap Perempuan Bertato)

Disusun Oleh :

LEONARDUS RISTIARDI NOVIYANTO NPM. 0743010274

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skr ipsi J ur usan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur Pada Tanggal 20 J UNI 2013

PEMBIMBING TIM PENGUJ I :

1. Ketua

Ir. Didiek Tr anggono, M.Si NIP. 1958122519900011001

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya dan

karunianya kepada penulis sehingga skripsi dengan judul :

“PERSEPSI

MASYARAKAT

TERHADAP

PEREMPUAN

BERTATO”

(Studi Deskr iptif Kualitatif Tentang Per sepsi Masyar akat

Ter hadap Per empuan Ber tato)

Dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Sumardjijati, Dra,

Msi selaku dosen pembimbing utama yang telah meluangkan waktunya untuk

memberikan bimbingan, nasihat serta motivasi kepada penulis. Penulis juga

menerima banyak bantuan dari berbagai pihak, baik itu berupa moril, spiritual,

dan materiil. Untuk itu penulis berterimakasih kepada :

1. Bapak Prof. DR. Ir. TeguhSoedarto MP, Rektor Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” JawaTimur.

2. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” JawaTimur.

3. Bapak Juwito, S.Sos., M.si selaku ketua program studi Ilmu Komunikasi,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” JawaTimur.

4. Unyil, yang selalu mengingatkan dan mendoakan penulis untuk dapat

segera menyelesaikan kuliah dan menyemangati supaya cepat lulus.

5. Bapak, Ibu dan Saudara-saudaraku, semoga saya bisa membuat bangga

suatu saat nanti.

6. Teman-teman seperjuanganku, angkatan 2007, Arey, Sandy, serta

almarhum Yosep yang bersama-sama berjuang untuk lulus dan saling

menyemangati.

Surabaya, 12 Juni 2013

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJ UAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJ IAN PUSTAKA ... 12

2.1 Landasan Teori ... 12

2.1.1 Persepsi ... 15

2.1.1.1 Jenis Persepsi ... 15

2.1.2 Karakteristik Persepsi ... 20

2.1.3 Proses Terjadinya Persepsi ... 21

2.1.4 Kelompok-Kelompok Sosial dan Kehidupan Masyarakat ... 23

2.1.5 Persepsi dan Budaya ... 25

2.1.6 Persepsi Tentang Diri dan Orang Lain ... 32

2.2.1 Budaya Massa dan Budaya Populer... 33

(5)

2.3.1 Komunikasi Antarbudaya... ... 35

2.4 Makna Simbolik... .. 35

2.5 Kerangka Berpikir... .. 38

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

3.1 Jenis Penelitian ... 40

3.2 Fokus Penelitian ………...……….…………. . 42

3.3 Informan dan Teknik Penarikan Informan ... 42

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 43

3.5 Teknik Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1 Gambaran Objek Penelitian... 47

4.1.1 Definisi Tato ... 47

4.2 Penyajian Data ... 49

4.3 Identitas Informan ... 50

4.4 Data ... 51

4.4.1 Persepsi Terhadap Perempuan Bertato ... 51

4..4.2 Analisa Data ... 56

Persepsi Masyarakat Mengenai Pengertian Tato ... 56

4.4.3 Persepsi Masyarakat Mengenai Pengaruh Pemakaian Tato Terhadap Kesehatan Perempuan ... 57

(6)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Saran ... 66

LAMPIRAN ... 68

Lampiran I : Hasil Wawancara ... 68

Lampiran II : Foto dengan Narasumber ... 81

(7)

Leonardus Ristiar di Noviyanto, PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEREMPUAN BERTATO (Studi Deskr iptif Kualitatif Tentang Per sepsi

Masyarakat Terhadap Perempuan Bertato)

ABSTRAK

Tato merupakan salah satu karya seni yang memiliki daya tarik tersendiri bagi para peminatnya khususnya pada kaum perempuan. tato juga telah berkembang dari tahun ke tahun. dimana perkembangannya juga diikuti dengan berkembangnya kemajuan teknologi yang memudahkan seseorang untuk membuat tato. Fenomena Tato pada perempuan ini tentu menarik perhatian penulis untuk di teliti. Berbagai persepsi yang lahir dari pandangan orang tentu membuat nilai tato ini masih bersifat tabuh dan berkesan negatif.

(8)

Leonardus Ristiar di Noviyanto, PUBLIC PERCEPTIONS OF WOMEN Tattooed (Qualitative Descriptive Study On Public Perception Tattooed

Against Women)

ABSTRACT

Tattoo is a work of art that has a special attraction for the devotees especially on women. tattoo also has grown from year to year. where development was followed by the development of technological advances that make it easier for someone to get a tattoo. Tattoos on women this phenomenon certainly attract the attention of the writer to be investigated. Perceptions are born from the view of would make the value of this tattoo and impressive percussion is still negative.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Persepsi masyarakat terhadap tato, kini mengalami perubahan dan cara

pandang yang berbeda. Dahulu, sekitar tahun 1970 sampai dengan 1980-an,

masyarakat menilai tato adalah simbol dari kejahatan dan tindakan kriminal,

karena di masa tersebut biasanya mereka yang membuat tato ketika di dalam

penjara. Namun setelah tahun 1990-an, tato sedikit demi sedikit mulai

dipandang sebagai sebuah bentuk karya seni. Pada saat ini, tidak hanya

seorang pria yang memiliki tato, bahkan sudah banyak wanita juga memiliki

tato.

(http:/kompas/com)

Dalam kamus besar bahasa Indonesia arti kata tato adalah gambar

(lukisan) pada tubuh, sedangkan arti kata mentato adalah melukis pada kulit

tubuh dengan cara menusuki kulit dengan jarum halus, kemudian memasukan

zat warna ke dalam bekas tusukan itu. Dalam membuat gambar permanen

dalam tubuh manusia bisa dengan menggunakan dua cara, yang pertama,

adalah tato yaitu melukis pada kulit tubuh dengan cara menusuki dengan

jarum halus, kemudian memasukan zat warna ke dalam bekas tusukan itu, dan

yang kedua, retas tubuh (scarification), yang berarti menggores permukaan

kulit dengan benda tajam sehingga menimbulkan luka, dan saat luka itu

(10)

memberi cap pada permukaan kulit dengan logam yang sudah terlebih dahulu

dipanaskan.

Nama istilah tato berasal dari kata Tahiti tatu yang mempunyai arti

“membuat tanda”. Di negeri kita Indonesia, dalam perkembangannya, tato

adalah salah satu identitas suku-bangsa (tribe) di Indonesia seperti di

Kalimantan (suku Dayak), Sumatera (Mentawai), dan juga Nusa Tenggara

Barat (Sumba). Di dalam sebuah tradisi suku mereka masing-masing, tato

merupakan ciri khas atau ciri khusus suku-bangsa tersebut. Dalam tradisi

suku-suku di atas, tato masih sangat dihormati dan dijunjung tinggi dan

biasanya digunakan untuk sebuah tujuan-tujuan tertentu, misalnya melindungi

roh jahat, mendatangkan kesuburan dalam kandungan, tanda bahwa seseorang

anak tumbuh dalam usia dewasa dalam konteks suku-bangsa tersebut,

identitas keluarga (clan), status sosial, dalam stuktual kemasyarakatan

setempat, pelindung dalam kehidupan sesudah kematian, dan sebagainya.

(http:/journal.Cons. Tri Handoko.Makara-Sosial Humaniora.html)

Tato pada dasarnya diaplikasikan pada bagian-bagian tubuh yang sesuai

dengan keinginan penggunanya, seperti tangan, kaki, pergelangan tangan,

jari, daun telinga, wajah, leher, kulit kepala, betis, pinggul, dan bagian tubuh

lainnya. Dan bahkan ada juga yang mentato bagian-bagian tubuh yang

terdengar tidak lazim juga menjadi media aplikasi tato, seperti bola mata

(11)

menurut kesepakatan atau ketentuan yang telah ada.

Ada berbagai macam alasan suku-suku di dunia membuat tato.

Diantaranya Yunani, bangsa Yunani kuno menggunakan tato sebagai tanda

pengenal dari badan intelejen mereka, atau mata-mata perang pada saat itu. Di

sini tato menunjukan pangkat dari si mata-mata tersebut. Berbeda dengan

bangsa Romawi, mereka memakai tato sebagai tanda bahwa mereka berasal

dari golongan budak, dan tato dirajahinke setiap tubuh para tahanannya. Suku

Maori di New Zaeland berbentuk ukiran-ukiran spiral pada wajah dan pantat.

Menurut mereka itu merupakan tanda bagi keturunan yang baik. Di kepulauan

Salomon, tato ditorehkan di wajah perempuan, itu menandakan suatu tahapan

baru bagi kehidupan mereka. Hampir sama dengan tato di kepulauan

Salomon, orang-orang suku Neur di Sudan memakai tato untuk menandai

ritus iniasi pada anak laki-laki. Sedangkan pada orang-orang Indian, mereka

melukis tubuh dengan mengukir kulit mereka untuk menambah kecantikan

dan identitas.

(www.wipedia.com/search/penggunatato)

Penggunaan tato sangat beragam seperti halnya bentuk gambar tertentu

yang memiliki nilai pribadi pada diri pengguna tato; seperti nama orang yang

dikasihi, wajah idola, shio, symbol zodiac, hewan favorit, dan gambar

lainnya. Gambar-gambar unik atau yang memiliki nilai historical,

symbol-simbol tertentu, sampai dengan yang cenderung abstrak karena memiliki alur

(12)

tatonya tersebut, tentu memberikan banyak sekali keberagaman pada arti tato

masing-masing individu. Pengertiannya bahwa dengan adanya perbedaan

tersebut berarti setiap individu memiliki pemahaman sendiri mengenai letak

dan gambar tato yang digunakannya.

Keberagaman pada gambar tato pada setiap pengguna tato, diyakini

memiliki pesan tersendiri. Pesan yang dibuat untuk dapat menjadi bahan

pengingat dirinya ataupun orang lain. Pesan yang dibuat melalui ukiran

gambar tato pada tubuh penggunanya, sangat memiliki esensi dalam

menyampaikan sesuatu pesan, yang secara penuh harus dimengerti oleh si

pemilik tato sebelum mentato pada bagian tubuhnya. Terkadang orang lain

dapat mengerti pesan yang dimaksud dengan sekilas melihat gambar tato,

tetapi terkadang juga si pemilik tato tidak mengetahui apa pesan yang ingin di

sampaikan pada gambar tato miliknya. Kegiatan komunikasi yang

dipraktekan pengguna tato melalui serangkaian objek tato dan eleman

pendukungnya, seharusnya menjadi salah satu bagian yang dapat

diintegrasikan oleh pemiliknya. Sejalan dari penjelasan di atas, dapat dilihat

kutipan dari Onong Uhjana Effendy yang menjelaskan mengenai pengertian

komunikasi yang paling mendasar berdasarkan paradigma Lasswell,

“Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada

komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.” (Effendy, 2000:

10). Pengertian pesan sendiri dapat dilihat dari kutipan selanjutnya dari

(13)

disampaikan oleh komunikator.” (Effendy, 2000: 18)

(http://ekakj.wordpress.com/2012/9/20/sejarah-tato/las)

Mengupas masalah tato berarti juga mendeskripsikan tentang nilai-nilai

kebudayaan, histortis, sosiologi, komunikasi, seni, design, nilai gender, gaya

hidup, politik, sekstualitas, relijiusitas, dan bahkan secara matematispun

penilaian tato dapat diterapkan. Setidaknya itu merupakan sebagian aspek

yang dapat peneliti tangkap dalam melihat wacana tato yang berkembang

melaui caranya sendiri dengan memperlihatkan adanya kompleksitas

akulktrurasi wacana lainnya.

Dalam era modern, tato tidak hanya dijadikan sebagai alat yang

memiliki pandangan kuno terhadap hal-hal animisme, kekuatan magis, atau

hal-hal ortodok lainnya. Posisi tato sekarang ini jauh melebihi perannya pada

masa lampau. Tato dalam pandangan modern telah banyak melibatkan

unsur-unsur yang secara sinergis dapat disatukan dalam suatu ringkasan gambar.

Seni design dalam tato memiliki hubungan kuat dengan adanya sisi artistik

dari gambar tato, denngan kata lain tato inipun menjadi satu komoditas lain

untuk dapat mengapresiasi seni, bahkan hal ini justru dijadikan alasan umum

untuk kaum urban dalam mengklaim tato.

(http://www.tatoopedia.com/id/article/koi-fish-tatoo/)

Eksplorasi pop art menjadi salah satu cara untuk menempatkan tato

sebagai bentuk-bentuk di luar pemahaman kuno, kecenderungan memberikan

(14)

kebutuhan seseorang. Tidak heran jika tato kemudian melebarkan

pemahamannya dengan menyangkut gender penggunanya. Kecenderungan

tato sampai saat ini sepertinya masih dipegang pada tubuh laki-laki sebagai

gender yang dirasa cocok untuk memiliki tato. Kesan maskulinitas

seharusnya menjadi acuan, jika nilai gender ini memang dihadirkan untuk

menempatkan tato sebagai milik laki-laki. Kenyataanya, sekarang tato bukan

hanya di dominasi oleh laki-laki. Perempuan pun berhak menentukan

pilihannya dalam menghias tubuhnya dengan beragam gambar tato. Konsep

modernitas pada perempuan bertato diasumsikan peneliti sebagai karya dalam

memposisikan gender mereka dengan lawanya. Kemudian munculnya sikap

feminisme dalam perlawananya menempatkan emansipasi melalui gambar

tato.

Beberapa contoh aspek yang dijangkau pada gambar tato di atas

seharusnya dapat membuka pemahaman-pemahaman masyarakat mengenai

posisi krusial tato dalam masyarakat. Jika melihat hubungan tato dengan

objek gambar tato, bahkan aspek lainnya juga memiliki kecenderungan

tersendiri. Keberagaman objek yang tidak terbatas dapat diterapkan pada

gambar tato. Gambar-gambar seperti penggunaan simbol-simbol kekuasaan,

penindasan, kekuatan, rebellion, dan aroma-aroma bermuatan politikpun

dapat dijadikan sebagai komoditi objek tato. Sebagai contohnya penggunaan

(15)

Ada beberapa alasan yang mengemuka mengenai daya tarik seks tato dalam

berhubungan intim bagi penggunanya. Beberapa pola menunjukan tato pada

perempuan dapat menunjukan sisi seksualitasnya, apalagi dengan letak

gambar tato yang berada dalam jangkauan intim. Jika hal ini merupakan

sebagian kecil asumsi tato yang memilik daya tarik seksual tersendiri, maka

tato sedikitnya memiliki nilai jual untuk membentuk image tersendiri bagi

penggunanya. Memang tidak selalu dihubungkan dengan seks, tetapi ini

merupakan trend lain yang ditunjukan dari fenomena tato.

Kemajuan teknologi, pertukaran informasi, akulturasi budaya, dan

semakin banyaknya studio tato, seharusnya menjadi alasan tato untuk dapat

dilihat sebagai hasil dari perkembangan zaman. Tato yang tidak hanya

dipandang sebagai kajian yang usang mengenai kebudayaan primitif sekarang

ini, sepertinya tidak cukup kuat untuk dapat menghalalkan tato sebagai

perilaku yang dianggap umum dan biasa. Sikap religius masyarakrat

Indonesia yang menghubungkan agama sabagai alasan kuat untuk tidak

mentato diri, menjadi suatu batasan ketat dan utama. Bahkan tidak heran, jika

masyarakat Indonesia yang melihat tato menghubungkanya sebagai bentuk

perbuatan dosa dan terkadang menjadi asumsi masyarakat dengan mengaitkan

atau menghubungkan tato dengan bentuk-bentuk kriminalitas. Tidak salah

memang, melihat banyak sekali preman, pencuri, berandalan, menggunakan

(16)

tetapi tidak semua orang bertato melakukan tindakan kriminalitas.

Bentuk stereotype mungkin menjadikan alasan kriminalitas

dihubungkan dengan tato. Sepertinya terlalu sempit, jika melihat tato dari satu

sisi kriminalitas dengan menggeneralisasi tato dengan tindak kejahatan.

Padahal orang jahat juga banyak yang tidak bertato. Itu keadaan masyarakat

kita yang sering memandang tato sebagai kemunduran budaya, jika memang

dikaitkan pada posisinya sebagai bentuk gaya hidup modern. Lain halnya

dengan melihat suku-suku yang menggunakan tato sebagai suatu keharusan

dan penghormatan. Tato sekarang ini juga banyak dialihkan pada perannya

sebagai karya seni. Karya yang memiliki nilai seni sehingga mencintai seni

terdengar sebagai alasan kuat untuk menghalalkan tato.

(http://sampukbuku.wordpress.com/2012/9/20/tato)

Tato merupakan salah satu sebuah seni, di dalam seni tato digolongkan

dan termasuk seni lukis.Secara spesifik, tato merupakan sebuah seni rajah

tubuh yang berkembang di berbagai dunia.Tato dianggap sebagai salah satu

bentuk kesenian, karena proses mentato merupakan sebuah kreativitas yang

mencakup proses mendesain bentuk, aplikasi desain dalam media berupa

tubuh manusia, hingga pewarnaan yang memerlukan tidak hanya sekedar

teknik, tapi juga ketelitian.Seni tato merupakan suatu hasil kebudayaan yang

berupa gambar dan di dalamnya terdapat makna. Makna pada gambar tersebut

(17)

ditampilkan oleh alam semesta).

Beberapa kelompok di masyarakat, masih memandang tato sebagai hal

yang neegatif.Dalam artian orang yang memiliki tato dianggap sebagai orang

yang jahat, preman atau merupakan perilaku kriminal.Sebagai contoh di

Indonesia sendiri yang masih menilai orang-orang bertato sebagai orang jahat

atau yang biasa disebut dengan preman. Walaupun faktanya di beberapa suku

di Indonesia, tato merupakan bagian dari proses adat dan ritual keagamaan.

Contohnya pada masyarakat suku Mentawai dan Dayak.Umumnya pemilik

tato menyatakan bahwa mereka menggambar tato di tubuhnya, karena

dianggap memiliki nilai artistik.Hubungan antara budaya dan komunikasi

sangat penting untuk dipelajari dan memahami komunikasi antar budaya.

Pemahaman dan kesadaran akan resiko tato patut untuk menjadi

perhatian terutama yang akan menggunakan tato, baik untuk yang pertama

kali atau yang menambah koleksi tatonya. Di sini penulis hanya

memperlihatkan wacana tato sebagai suatu bentuk subkultur yang sering

dijumpai oleh penulis dan masyarakat lainnya. Kepentingan penelitian ini

menunjukan bahwa pemaknaan pesan yang ada dibalik gambar tato jauh lebih

menarik jika dapat ditelusuri lebih dalam lagi. Makna-makna yang ada dalam

tato mengindikasikan adanya komunikasi dalam penyampaian pesan melalui

gambar. Makna pesan inilah yang kemudian akan ditindak lanjuti dalam

penelitian untuk dapat melihat bagaimana orang-orang menempatkan tato

(18)

objek sosial atau suatu peristiwa. Cara berkomunikasi, keadaan komunikasi,

bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, dan perilaku nonverbal. Komunikasi

itu terikat oleh budaya. Sebagaimana budaya itu berbeda antara satu dengan

yang lainnya, maka praktik dan perilaku komunikasi individu yang diasuh

dalam budaya-budaya tersebutpun akan berbeda pula.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat diambil

perumusan masalah, sebagai berikut :

Bagaimana persepsi masyarakat, terhadap perempuanyang memiliki tato.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi

masyarakat, terhadap perempuan yang memiliki tato di bagian tubuhnya.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada

perkembangan dan pendalaman ilmu komunikasi, terutama dalam bidang

yang berkaitan tentang persepsi masyarakat terhadap perempuan yang

memiliki tato, untuk referensi yang berguna bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan wawasan dan

(19)
(20)

BAB II

KAJ IAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Persepsi

Persepsi merupakan rangkaian proses yang dilakukan seseorang

guna memperoleh gambaran mengenai sesuatu pemillihan, pengolahan

hingga pengertian informasi mengenai sesuatu yang diinginkan tersebut.

Persepsi tersebut nantinya akan mempengaruhi tindakan seseorang

terhadap hal yang diekspresikannya itu.

Menurut kutipan dari Deddy Mulyana (2001 : 167), pengertian dari

persepsi adalah proses internal individu yang memungkinkan individu

untuk memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan yang

ditangkap oleh indra manusiawi dari lingkungan sekitarnya, dan perilaku

tersebut akan mempengaruhi perilaku individu tersebut. Persepsi adalah

salah satu inti dari inti komunikasi, sebab apabila persepsi tidak akurat,

maka tidak mungkin akan terjadi sebuah komunikasi yang efektif. Persepsi

juga menentukan seseorang memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan

yang lain.

Masih banyak juga definisi-definisi mengenai persepsi yang lainnya

dari para ahli, diantaranya adalah definisi persepsi dari Philip Goordarce

dan Jennifer Follers yang menyatakan, bahwa persepsi adalah proses

(21)

definisi menurut Kenneth A. Sereno dan Edward M. Bodakaen yang

menyatakan bahwa, persepsi adalah sarana yang memungkinkan seseorang

memperoleh kesadaran akan sekelilingnya dan lingkungannya. Berbeda

menurut Brian Fellow menyatakan bahwa, persepsi adalah proses yang

memungkinkan suatu organism menerima dan menganalisis informasi.

Sedangakan menurut Joseph A. Devito, persepsi adalah proses yang

menjadikan individu sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi

indra kita. (Rakhmad, 2003 : 58).

Persepsi merupakan suatu proses yang menjadikan individu sangat

sadar akan aspek lingkungan. Persepsi akan timbul akibat adanya

rangsangan dari luar yang diterima oleh alat indra manusia. Rangsangan

akan diseleksi dan diorganisir oleh setiap individu dengan caranya

masing-masing melalui pengalaman yang dimilikinya. Persepsi baru akan

terbentuk, apabila adanya perhatian, pengertian, dan penerimaan ddari

individu sesuai dengan kebutuhan individu dalam pengalaman.

Hasil dari proses di atas akan membentuk suatu pandangan tertentu

terhadap suatu hal. Namun, dalam keadaan yang sama sekalipun dapat

membuahkan persepsi yang berbeda-beda antara individu yang satu

dengan individu yang lain. Hal ini disebabkan setiap manusia mengalami

proses sosialisasi yang berbeda termasuk memberikan perhatian terhadap

rangsangan tertentu dan mengabaikan yang lainnya.

Sesuai yang dikemukakan oleh Sumarwan (2000 : 112), yang

(22)

sekitarnya. Proses tersebut berbeda pada setiap indiviudu sesuai dengan

keinginan, nilai-nilai, serta harapan masing-masing individu. Oleh sebab

itu persepsi mengenai suatu hal dapat berbeda-beda pada setiap individu.

Selanjutnya masing-masing individu akan cenderung bertindak dan

bereaksi berdasarkan persepsinya masing-masing.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa menbentuk

persepsi, seseorang melakukan proses memilih, mengorganisasikan, dan

menginterpretasikan sebagai stimuli yang diterimanya mengenai suatu hal,

yang selanjutnya mengungkapkan pandangan, pendapat ataupun tanggapan

mengenai hal tersebut. Seterusnya, dari persepsi yang diyakini oleh

individu tersebut maka akan mempengaruhi perilakunya mengenai hal

yang dipersepsikan tersebut. Menurut Linda L. Davidov yang disebutkan

dalam Chairunnisa (2007 : 20), hakekat persepsi ada tiga, yaitu :

1. Persepsi bukanlah cerminan realitas

Orang sering kali menganggap bahwa persepsi menyajikan suatu

pencerminan yang sempurna mengenai realitas ataupun kenyataan.

Namun, sebenarnya persepsi bukanlah cerminan realitas, karena indera

kita tidak dapat memberikan respon terhadap aspek-aspek yang ada

dalam lingkungan. Selain itu manusia juga sering melakukan persepsi

rangsangan-rangsangan yang pada kenyataannya tidak ada, dan yang

terakhir, karena persepsi manusia tergantung pada apa yang ia

(23)

2. Persepsi merupakan kemampuan kognitif yang multifaset

Pada awal pembentukan proses persepsi, seseorang telah

menentukan dahulu apa-apa saja yang diperhatikan. Setiap kali kita

memusatkan perhatian, lebih besar kemungkinannya seseorang akan

memperoleh makna dari apa saja yang ditangkapnya, lalu

menghubungkannya dengan pengalaman masa lalu, dan kemudian hari

akan diingat kembali. Kesadaran dan ingatan juga mempengaruhi

persepsi.

3. Atensi

Peranan atensi atau perhatian dalam persepsi adalah keterbukaan

seseorang untuk memilih sesuatu. Beberapa psikolog menemukan

bahwa, atensi sebagai sejenis saring (filter) yang akan menyaring semua

informasi pada titik-titiik yang berbeda pada proses persepsi.

2.1.1.1 J enis Per sepsi

Persepsi manusia dibagi dalam dua jenis, yaitu :

1. Persepsi terhadap lingkungan fisik (obyek) adalah persepsi manusia

terhadap obyek melalui lambang-lambang fisik atau sifat-sifat luar

dari suatu benda. Dapat diartikan manusia dalam menilai suatu

benda mempunyai persepsi yang berbeda-beda. Dan persepsi

terhadap obyek bersifat statis, karena obyek tidak mempersiapkan

manusia ketika manusia mempersiapkan obyek-obyek tersebut.

(24)

terkadang indera seseorang menipu diri orang tersebut, hal ini

dikarenakan oleh :

1. Kondisi yang mempengaruhi pandangan seseorang, seperti

keadaan cuaca yang membuat orang melihat fatamorgana,

pembiasan cahaya seperti dalam peristiwa ketika seseorang

melihat bahwa tongkat yang dimasukkan ke dalam air terlihat

bengkok, padahal tongkat tersebut lurus. Hal inilah yang disebut

ilusi.

2. Latar belakang pengalaman yang berbeda, antara seseorang

dengan orang lain.

3. Budaya yang berbeda

4. Suasana psikologi yang berbeda, membuat perbedaan persepsi

seseorang dengan orang lain dalam mempersepsikan suatu

obyek.

2. Persepsi terhadap manusia adalah persepsi manusia terhadap orang

melalui sifat-sifat luar dan dalam (perasaan, motif, dan harapan), dapat

diartikan, manusia bersifat interaktif karena manusia bersifat

berubah-ubah dari waktu ke waktu. Persepsi terhadap manusia juga dapat

disebut dengan persepsi sosial.

( Mulyana, 2001 : 17 )

Menurut definisi mulyana (2005), persepsi sosial adalah proses

menangkap arti obyek-obyek sosial dan kejadian-kejadian yang kita

(25)

penilaian terhadap mereka mengandung resiko. Setiap orang memiliki

gambaran yang berbeda mengenai realitas di sekelilingnya.

Prinsip-prinsip yang menjadi pembenaran mengenai persepsi sosial adalah :

1. Persepsi berdasar kan pengalaman

Pola-pola perilaku manusia berdasarkan persepsi mereka

berdasarkan realitas (sosial) yang telah dipelajari (pengalaman).

Ketiadaan pengalaman terdahlu dalam menghadapi suatu obyek jelas

akan membuat seseorang menafsirkan obyek tersebut dalam dugaan

semata, atau pengalaman yang mirip.

2. Persepsi ber sifat selektif

Alat indera kita akan bersifat lemah dan selektif (selective attention).

Apa yang menjadi perhatian kita lolos dari perhatian orang lain, atau

sebaliknya. Ada kecenderungan kita melihat apa yang kita lihat,

mendengar apa yang ingin kita dengar. Atensi kita pada suatu

rangsangan merupakan faktor utama yang menentukan selektivitas

kita atas rangsangan tersebut. Perhatian adalah proses mental ketika

stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran

pada saat stimuli lainnya melemah.

3. Persepsi ber sifat dugaan

Oleh data yang kita peroleh mengenai objek lewat penginderaan

tidak pernah lengkap, persepsi merupakan loncatan langsung pada

kesimpulan. Seperti proses seleksi, langkah ini dianggap perlu

(26)

yang lengkap kelima indera kita. Proses persepsi yang bersifat

dugaan itu memungkinkan kita menafsirkan suatu objek dengan

makna yang lebih lengkap dari suatu proses pengorganisasian

informasi yang tersedia, menempatkan rincian yang kita ketahui

dalam skema organisasional tertentu yang memungkinkan kita

memperoleh suatu makna yang lebih umum.

4. Persepsi ber sifat evaluatif

Tidak ada persepsi yang bersifat obyektif, karena masing-masing

melakukan interpretasi berdasarkan pengalaman masa lalu dan

kepentingannya. Persepsi adalah suatu proses kognitif psikologis

yang mencerminkan sikap, kepercayaan diri, nilai dan penghargaan

persepsi bersifat pribadi dan subjektif yang digunakan untuk

memaknai persepsi.

5. Persepsi ber sifat kontekstual

Konteks merupakan salah satu pengaruh paling kuat. Konteks yang

melingkungi ketika kita melihat seseorang, suatu objek atau suatu

kejadian sangat mempengaruhi stuktur kognitif, pengharapan dan

juga persepsi kita. Interpretasi makna dalam konteksnya adalah suatu

faktor penting dalam memahami komunikasi dan hubungan sosial.

Struktur objek atau kejadian berdasarkan kemiripan atau kedekatan

(27)

Pada tahun 1950-an, dikalangan psikolog sosial lahir istilah

persepsi sosial yang didefinisikan sebagai “the role of socially

generated influences on the basic processes of perception” (Mc David

dan Harari, 1968 : 173). Akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an

fokus penelitian tidak fokus pada faktor-faktor sosial yang

mempengaruhi persepsu, tetapi objek-objek dan peristiwa sosial. Untuk

tidak mengaburkan istilah dan untuk menggaris bawahi manusia (bukan

benda) sebagai objek persepsi, di sini digunakan istilah persepsi

interpersonal. Persepsi pada objek selain manusia kita sebut saja

persepsi objek.

Ada empat perbedaan antara persepsi objek dengan persepsi

interpersonal.

Pertama, pada persepsi objek, stimuli ditangkap oleh alat indera

kita melalui benda-benda fisik; gelombang, cahaya, gelombang suara,

temperature, dan sebagainya; pada persepsi interpersonal, stimuli

mungkin samapai kepada kita melalui lambang-lambang verbal atau

grafis yang disampaikan pihak ketiga.

Kedua, bila kita menanggapi objek, kita hanya menanggapi

sifat-sifat luar obyek itu, kita tidak meneliti sifat-sifat-sifat-sifat batiniah obyek itu.

Pada persepsi interpersonal kita mencoba memahami apa yang tampak

pada alat indera kita.

Ketiga, ketika kita mempersepsi objek, objek tidak bereaksi pada

(28)

persepsi interpersonal, faktor-faktor personal anda, dan karakteristik

orang yang ditanggapi serta hubungan anda dengan orang tersebut,

menyebabkan persepsi interpersonal sampai cenderung untuk keliru.

Keempat, objek relatif tetap, sedangkan manusia berubah-ubah.

Persepsi interpersonal yang berobjekkan manusia, kemudian menjadi

mudah salah.

Betapapun kita sulit mempersepsi orang lain, kita toh berhasil juga

memahami orang lain. Buktinya, kita masih dapat bergaul dengan

mereka, masih dapat berkomunikasi dengan mereka, dan masih dapat

menduga perilaku mereka.kita menduga karakteristik orang lain dari

petunjuk-petunjuk eksternal (external cues) yang dapat diamati

petunjuk-petunjuk itu adalah dekskripsi verbal dari pihak ketiga,

petunjuk proksemik, wajah paralinguistik, dan artifaktual. Selain yang

pertama, yang lainnya boleh disebut sebagai petunjuk non verbal (non

verbal cues). Semuanya disebut faktor-faktor situasional.

2.1.2 Karakteristik Per sepsi

Menurut Busch dan Houston (1985) yang dikutip oleh Ujang Sumarwan

(2001 : 114). Karakteristik persepsi dapat didefinisikan sebagai berikut :

1. Bersifat selektif

Manusia mempunyai keterbatasan dalam hal kapasitas dan

kemampuan mereka dalam proses semua informasi dari lingkungan

mereka. Seseorang pasti berhadapan dengan sub kumpulan yang terbatas

(29)

lingkungan mereka. Masyarakat cenderung memperhatikan aspek yang

berhubungan dengan urusan pribadi mereka. Mereka mengesampingkan

urusan-urusan lain yang tidak berkaitan dengan urusan pribadi mereka.

2. Teroganisir dan teratur

Suatu perangsang atau pendorong tidak bisa dianggap terisolasi dari

perangsang lain. Rangsangan-rangsangan dikelompokkan menjadi suatu

pola atau informasi yang membentuk keseluruhan. Jadi ketika seseorang

memperhatikan seseuatu, perangsang harus berusaha untuk mengatur.

3. Stimulus

Stimulus adalah apa yang dirasakan dan arti yang terdapat di

dalamnya adalah fungsi dari perangsang atau pendorong itu sendiri.

4. Subyektif

Persepsi merupakan faktor pribadi, hal-hal yang berasal dari sifat

penikmat atau perasa, kebutuhan, nilai-nilai, motif, pengalaman, masa lalu,

pola pikir dan kepribadian seseorang dalam individi memainkan suatu

peran dalam persepsi.

2.1.3 Proses Terjadinya Per sepsi

Menurut Alex Sobur (2003 : 449), proses hingga terjadinya persepsi

adalah sebagai berikut :

1. Terjadinya stimulasi alat indera (sensory stimulation)

Pada tahap pertama, alat indera kita akan dirangsang. Setiap individu

pasti memiliki kemampuan penginderaan untuk merasakan stimulus

(30)

2. Stimuli terhadap alat indera diatur

Pada tahap kedua, rangsangan-rangsangan alat indera diatur menurut

berbagai prinsip. Salah satu prinsip sering kali disalah gunakan adalah

prinsip proximitas (proksomitiy) atau kemiripan, sedangkan prinsip lain

adalah kelengkapan (closure) atau kita mempersepsikan fambar atau pesan

yang dalam kenyataannya tidak lengkap. Apa yang kita persepsikan juga

kita tata ke dalam suatu pola yang bermakna bagi kita, pola ini belun tentu

benar atau salah segi obyektif tertentu.

3. Stimulasi alat indera ditafsirkan dan dievaluasi

Langkah ketiga adalah penafsiran dan evaluasi yang tidak

semata-mata didasarkan pada rangsangan luar, melainkan juga sangat dipengaruhi

oleh pengalaman masa lalu, kebutuhan, keinginan, sistem nilai, keyakinan,

dan sebagainya yang ada dalam diri kita. Walaupun kita sama-sama

menerima sebuah pesan, cara mengevaluasi adalah tidak sama.

Menurut Brehm dan Kassin (1989), persepsi sosial adalah

penilaian-penilaian yang terjadi dalam upaya manusia dalam memahami orang lain.

Tentu saja sangat penting, namun bukan tugas yang mudah bagi setiap

orang. Tinggi, berat, bentuk tubuh, warna kulit, warna rambut, dan warna

lensa mata, adalah beberapa hal yang mempengaruhi persepsi sosial.

Brems dan Kassin dalam Lestari (1999), mengatakan persepsi sosial

memilikibeberapa elemen, yaitu :

(31)

2. Situasional, urutan kejadian yang terbentuk berdasarkan pengalaman

orang untik menilai sesuatu

3. Bahaviour, yaitu sesuatu yang dilakukan orang lain. Ada dua

pandangan mengenai proses persepsi, yaitu :

Persepsi sosial berlangsung cepat dan otomatis, tanpa banyak

pertimbangan orang membuat kesimpulan tentang orang lain dengan

cepat berdasarkan penampilan fisik dan perhatian sekilas.

Persepsi sosial adalah sebuah proses yang kompleks, orang

mengamati perilaku orang lain dengan teliti, hingga diperoleh

analisis secara lengkap terhadap person, situasional, dan

behaviour.hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan

antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan

kelompok.

Suatu interaksi sosial tidak akan dapat terjadi apabila tidak

memenuhi dua syarat, yaitu :

1. Adanya kontak sosial (social contact), yang dapat berlangsung

dalam tiga bentuk. Diantaranya, anatarinvidu, antar-individu dengan

kelompok, antarkelompok.

2. Adanya komunikasi, seseorang memberi arti pada orang lain atau

sebuah ungakapan perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang.

2.1.4 Kelompok-Kelompok Sosial Dan Kehidupan Masyarakat

Di dalam hubungan antara manusia dengan manusia lain, yang

(32)

sosial. Reaksi tersebut yang membuat dan menyebabkan tindakan manusia

bertambah luas. Misalnya, orang yang memiliki tato dan sengaja

memperlihatkan tatonya tersebut, orang tersebut ingin mendapatkan reaksi,

entah yang berwujud pujian ataupun yang berupa ejekan, yang kemudian

menjadi dorongan akan tindakan-tindakan selanjutnya. Di dalam

memberikan sebuah reaksi tersebut, ada kecenderungan manusia untuk

memberikan keserasian dengan tindakan-tindakan orang lain, hal itu

dikarenakan sejak lahir manusia mempunyai dua hasrat atau keinginan

pokok, yaitu :

1. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain, disekelilingnya

(masyarakat).

2. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.

(Mulyana, 2001 : 176)

Untuk bisa menghadapi dan menyesuaikan diri dengan kedua

lingkungan tersebut, manusia menggunakan pikiran, perasaan, dan

kehendaknya.

Dalam sebuah kelompok yang merupakan himpunan atau

kesatuan-kesatuan yang hidup bersama, mereka mempunyai hubungan yang

menyangkut hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi dan juga

kesadaran untuk saling tolong-menolong. Di samping itu, menurut Suyanto

(2006 : 189) ada persyaratan untuk menjadi kelompok manusia agar bias

(33)

1. Disetiap anggota kelompok ada kesadaran, bahwa dia merupakan

bagian dari kelompok yang bersangkutan.

2. Antara anggota yang satu dengan yang lainnya punya hubungan timbal

balik.

3. Ada suatu faktor yang mempunyai kesamaan dan tujuan, sehingga

hubungannya bertambah erat. Misalnya, nasib yang sama, kepentingan

yang sama, dan lain-lain.

4. Teroganisasi dan mempunyai pola perilaku.

5. Bersistem dan berproses.

2.1.5 Persepsi dan Budaya

Faktor-faktor internal tidak hanya mempengaruhi perhatian atau

minat sebagai salah satu aspek persepsi, tetapi juga mempengaruhi

persepsi seseorang secara keseluruhan, terutama penafsiran atas suatu

rangsangan. Misalnya, agama, cara berpikir, tingkat intelektualitas, tingkat

ekonomi, pekerjaan dan cita rasa sebagai faktor-faktor internal yang jelas

mempengaruhi persepsi seseorang terhadap kenyataan. Dengan begitu,

persepsi itu terikat oleh budaya. Bagaimana kita memaknai pesan, objek,

atau lingkungan yang bergantung pada sistem nilai yang kita anut.

Kelompok-kelompok boleh jadi berbeda dalam mempersepsi sesuatu yang

dapat dipercaya. Oleh karena persepsi berdasarkan budaya yang telah

dipelajari, maka persepsi seseorang atas lingkungannya bersifat subjektif.

Semakin besar perbedaan budaya antara dua orang semakin besar pula

(34)

tidak ada dua orang yang mempunyai nilai-nilai budaya yang sama persis

pula. Di dalam konteks ini, sebenarnya budaya dapat dianggap sebagai

pola persepsi dan perilaku-perilaku yang dianut sekelompok orang.

Mempelajari tato bukan hanya menuntun peneliti pada satu aspek

permasalahan, tetapi merujuk pada adanya banyak sudut pandangan

keilmuan yang menjelaskan bahwa penelitian mengenai tato ini

akanmelibatkan euphoria tersendiri secara multiaspek. Mengupas masalah

tato berarti juga mendeskripsikan tentang nilai-nilai kebudayaan, historis,

sosiologi, komunikasi, seni, design, nilai gender, gaya hidup, politik,

seksualitas, relijiusitas dan bahkan secara matematis pun penilaian tato

dapat diterapkan. Setidaknya itu merupakan sebagian lain aspek yang

dapat peneliti tangkap dalam melihat wacana tato yang berkembang

melalui caranya sendiri dengan memperlihatkan adanya kompleksitas

akulkturasi wacana lainnya. Tato pada sejarahnya merupakan bagian

kebudayaan kuno yang dapat ditemukan pada beberapa suku di dunia.

Dalam tradisi suku Dayak di pedalaman Kalimantan (Indonesia), tato

menjadi satu bentuk ritual dalam kaitannya dengan penghormatan pada

leluhurnya.Tato juga menjadi suatu tradisi yang turun temurun dan

dijadikan sebagai alat untuk dapat menunjukan posisi seseorang dalam

suku Dayak, serta menunjukan secara historis mengenai kejadian yang

pernah di alami si pemilik tato.Bentuk-bentuk kepercayaan melalui media

(35)

unsur budaya yang kuat.Sejarah pun dilibatkan, karena tato dapat

menunjukan hal-hal yang pernah terjadi dalam momen-momen tertentu.

http://wwwantaranews.com/berita/12497172/senitato sudah menjadigaya

hidup.

Dalam era modernisasi, tato tidak hanya dijadikan sebagai alat yang

memiliki pandangan kuno terhadap hal-hal animisme, kekuatan magis,

atau hal-hal ortodok lainnya.Posisi tato sekarang ini jauh melebihi

perannya pada masa lampau.Tato dalam pandangan modern telah banyak

melibatkan unsur-unsur yang secara sinergis dapat disatukan dalam suatu

ringkasan gambar. Seni design dalam tato memiliki hubungan kuat dengan

adanya sisi artistik dari gambar tato, dengan kata lain tato ini pun menjadi

satu komoditas lain untuk dapat mengapresiasi seni. Bahkan hal ini justru

dijadikan “alasan” umum untuk kaum urban dalam mengklaim

penggunaan tato.

Eksplorasi pop art menjadi salah satu cara untuk menempatkan tato

sebagai bentuk-bentuk di luar pemahaman kuno, kecenderungan

memberikan wacana baru sebagai bentuk gaya hidup. Pemilihan kata gaya

hidup pun akan semakin menjelaskan tato sebagai salah satu cara lain

dalam mengungkapkan kebutuhan seseorang.Kebutuhan-kebutuhan yang

dituju oleh para pengguna tato ini juga menarik perhatian peneliti untuk

dapat meneliti maksud dari adanya penggunaan tato di era ini.

Tidak heran jika tato kemudian melebarkan pemahamannya dengan

(36)

tatosampai saat ini sepertinya masih di pegang pada tabu laki-laki sebagai

gender yang dirasa “cocok” untuk memiliki tato. Kesan maskulinitas

seharusnya menjadi acuan jika nilai gender ini memang dihadirkan untuk

menempatkan tato sebagai “milik” laki-laki. Kenyataannya sekarang ini

tato bukan hanya didominasi oleh laki-laki.Perempuan pun berhak

menentukan pilihannya dalam menghias tubuhnya dengan beragam

gambar tato.Konsep modernitas pada perempuan bertato di asumsikan

peneliti sebagai karya dalam memposisikan gender mereka dengan

lawannya.

Kemudian munculnya sikap feminisme dalam perlawannya

menempatkan emansipasi melalui gambar tato.Beberapa contoh aspek

yang dijangkau pada gambar tato seharusnya dapat membuka

pemahaman-pemahaman masyarakat mengenai posisi krusial tato dalam

masyarakat.Jika melihat hubungan tato dengan objek gambar tato, bahkan

aspek lainnya juga memiliki kecenderungan tersendiri.Keberagaman objek

yang tidak terbatas dapat diterapkan pada gambar tato.Panji-panji

perlawanan minoritas dapat menjadi sarana pribadi dalam menunjukan

kepentingan politis.Gambar-gambar seperti penggunaan simbol-simbol

kekuasaan, penindasan, kekuatan, rebellion, dan aroma-aroma bermuatan

politik pun dapat dijadikan sebagai komoditi objek tato.Sebagai contohnya

penggunaan simbol swastika pada Nazi, gambar Che Guevara, atau

lainnya.pun dalam hal penggunaan tato dapat dilibatkan kapan saja.Ada

(37)

hubungan intim penggunanya.Beberapa pola menunjukan tato pada

perempuan dapat menunjukan sisi seksualitasnya, apalagi dengan letak

gambar tato yang dapat berada dalam jangkauan intim.Jika hal ini

merupakan sebagian kecil asumsi tato yang memiliki daya tarik seksual

tersendiri, maka tato sedikitnya memiliki nilai jual untuk dapat membentuk

image tersendiri bagi penggunanya. Memang tidak selalu dihubungkan

dengan seks, tetapi ini merupakan trend lain yang ditunjukan dari

fenomena tato.http://www.kent.tattoo.com

Kemajuan teknologi, pertukaran informasi, akulturasi budaya, dan

menjamurnya studio tato seharusnya menjadi suatu alasan tato untuk dapat

dilihat sebagai hasil dari perkembangan zaman.Tato yang tidak hanya

dipandang sebagai kajian usang mengenai kebudayaan primitif sekarang

ini sepertinya tidak cukup kuat untuk dapat menghalalkan tato sebagai

perilaku yang dianggap umum dan biasa.Terlebih orang-orang dulu

termasuk para orang tua dulu, melihat tato sebagai bentuk “aib” karena

adanya sikap-sikap perlawanan atau pun pembangkangan pada perilaku

norma-norma yang seharusnya.

Sikap relijiusitas masyarakat Indonesia yang menghubungkan agama

sebagai alasan kuat untuk tidak mentato diri, menjadi suatu batasan ketat

dan utama.Hal ini terlebih pernah dirasakan oleh beberapa orang yang juga

sempat menanyakan keinginan untuk dapat mentato pada orang

tua.Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,

(38)

alasan kuat masyarakat untuk sedikitnya mengharamkan tato.Didalam

pandangan agama sendiri, tato sebagai suatu perilaku yang tidak

seharusnya dilakukan. Tidak heran jika masyarakat Indonesia yang masih

melihat tato dari kacamata agama, menghubungkannya sebagai bentuk

perbuatan dosa untuk pemiliknya.

Terlebih tato sering dan bahkan sangat sering sehingga terkadang

menjadi asumsi tersendiri bagi masyarakat dengan mengaitkan,

menghubungkan, dan menjustifikasi tato dengan bentuk-bentuk

kriminilitas. Tidak salah memang, karena peneliti sendiri melihat banyak

sekali preman menggunakan tato, pencuri bertato, gangster bertato,

berandalan bertato, bahkan hal ini kadang stereotype dibenarkan pada saat

melihat tayangan program kriminalitas di televisi yang sering

memperlihatkan polisi menunjukan tato pelaku. Tidak salah, tetapi tidak

sepenuhnya benar.Bentuk mungkin menjadikan alasan kriminalitas

dihubungkan dengan tato.Sepertinya terlalu sempit jika melihat tato dari

satu sisi kriminalitas dengan mengeneralisasi tato dekat dengan kejahatan,

padahal orang jahat juga banyak yang tidak bertato. Itu keadaan

masyarakat kita yang sering memandang tato sebagai bentuk kemunduran

budaya, jika memang dikaitkan pada posisinya sebagai bentuk gaya hidup

modern. Lain halnya dengan melihat suku-suku yang menggunakan tato

sebagai suatu keharusan dan penghormatan.Tato sekarang ini juga banyak

(39)

sehingga alasan mencintai seni memang sering terdengar sebagai alasan

kuat untuk meng-halal-kan tato.

Apapun tujuan tato, seharusnya alasan kesehatan sekarang ini

menjadi point penting untuk pengguna tato atau yang akan di tato untuk

dapat mempertimbangkannya. Kemungkinan penularan penyakit melalui

jarum tato yang terinfeksi karena digunakan secara tidak steril berpeluang

menimbulkan penyakit seperti HIV/AIDS dan hepatitis B. Masa setelah

tato pun seharunya menjadi perhatian, karena pada sebagian orang dapat

menimbulkan iritasi, infeksi, dan bahkan kangker kulit. Perilaku seperti ini

terjadi karena kurangnya kesadaran dan pemahaman mengenai pentingnya

memahami tato sebelum dan setelah menggunakannya. Pemahaman dan

kesadaran akan resiko tato patut untuk menjadi perhatian terutama yang

akan menggunakan tato, baik untuk yang pertama kali atau yang

menambah koleksi tatonya. Di luar dari hal tersebut, peneliti tidak

memiliki kewenangnan untuk dapat menjustifikasi salah atau benarnya

pengguna tato karena bukan itu inti dari penelitian ini.Peneliti hanya

memperlihatkan wacana tato sebagai suatu bentuk subkultur yang sering

dijumpai oleh peneliti dan masyarakat lainnya.Kepentingan penelitian ini

menunjukan bahwa makna pesan yang ada di balik gambar tato jauh lebih

menarik jika dapat ditelusuri lebih dalam lagi.Makna-makna yang ada

dalam tato mengesensikan adanya komunikasi dalam penyampaian pesan

(40)

dalam penelitian untuk dapat melihat bagaimana orang-orang

menempatkan tato pada ilustrasi pemikirannya masing-masing.

Pemahaman mengenai tatoakan membantu masyarakat dan para

pengguna tato untuk lebih memahami tato.Ditato atau tidak, itu pilihan.

Harus digaris bawahi bahwa tato menjadi bagian yang akan terus melekat

seumur hidup. Jika tidak dengan sengaja dihapus melalui jalan operasi atau

tindakan medis lainnya tatoakan secara permanen melekat selamanya.

Untuk itu tatoakan menceritakan mengenai apa, mengapa, dan bagaimana

makna gambar tato tersebut melekat.

2.1.6 Persepsi tentang diri dan orang lain

Masyarakat timur pada umumnya adalah masyarakat

kolektivis.Dalam masyarakat kolektivis, seseorang terikat oleh lebih

sedikit kelompok, namun keterikatan pada kelompok lebih kuat dan lebih

lama.Selain itu hubungan antarindividu dalam kelompok bersifat total,

sekaligus di lingkungan dan ruang publik.Resikonya adalah perilaku

individu sangat dipengaruhi oleh kelompoknya.Individu tidak dianjurkan

untuk menonjol sendiri.Keberhasilan individu adalah keberhasilan

kelompok dan kegagalan individu juga kegagalan kelompok.Oleh karena

identifikasiyang kuat dengan kelompok, manusia kolektivis sangat peduli

dengan peristiwa-peristiwa yang menyangkut kelompoknya.Gosip pun

tumbuh subur, seseorang bisa tersinggung berat hanya karena tidak

(41)

anaknya. Pada hari-hari besar, seperti lebaran seseorang bisa sakit hati

karena anak atau keponakannya tidak datang berkunjung.

Berbeda dengan manusia individualis, yang hanya merasa wajib

membantu keluarga langsungnya, dalam masyarakat kolektivis orang

merasa wajib membantu keluarga besar, kerabat jauh, bahkan temannya,

dengan mencarikan pekerjaan, meskipun pekerjaan itu tidak sesuai dengan

keahliannya.

2.2.1 Budaya Massa dan Budaya Populer

Signifikasi sosial budaya populer di zaman modern dapat dipetakan

berdasarkan bagaimana budaya populer itu diidentifikasikan melalui

gagasan budaya massa. Lahirnya budaya masa maupun semakin

meningkatnya komersialisasi budaya dan hiburan telah menimbulkan

berbagai permasalahan, kepentingan, sekaligus perdebatan yang masih

ada sampai sekarang. Perkembangan gagasan budaya massa, terutama

sejak 1920-an dan 1930-an, bisa dipandang sebagai salah satu sumber

historis maupun perpektif-perspektif yang berkenaan dengan budaya

populer yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Ini bukan berarti mengatakan bahwa perdebatan soal budaya massa

mempresentasikan sesuatu yang benar-benar baru. Lowenthal (1957),

misalnya telah melacak sejumlah argumen penting yang merujuk kembali

pada tulisan-tulisan Pascal dan Montaigne pada abad ke-16 dan ke-17,

serta mengaitkan kemunculannya dengan timbulnya ekonomi pasar. Para

(42)

tengah-tengah kita, dan menunjuk pada “roti dan sirkus” budaya populer pada

masa kekaisaran Romawi. Secara lebih meyakinkan,Burke mengatakan

bahwa gagasan budaya populer pada zaman modern ada pada

bentuk-bentuk perkembangan kesadaran nasional pada abad ke-18, dan terletak

pada usaha-usaha kaum intelektual, misalnya para penyair, untuk

mengonstruk budaya populer sebagai budaya nasioal. Implikasi-implikasi

yang bertolak belakang dalam kaitannya dengan gagasan budaya populer

secara gamblang disampaikan oleh Williams.Merujuk pada “pergeseran

sudut pandang” antara abad ke-18 dan abad-19, dia menulis, “populer

dipandang dari sudut pandang orang dan budaya dari mereka yang mencari

persetujuan atau kekuasaan atas mereka.Sekalipun demikian, pengertian

awal tidaklah mati.

2.3 Budaya

Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar

berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut

budayanya. Bahasa, kebiasaan makan, pesahabatan, praktik komunikasi,

tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan

teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Ada orang-orang yang

berbicara bahasa Tagalog, memakan ular, menghindari minuman keras

terbuat dari anggur, menguburkan orang-orang yang mati, berbicara

melalui telepon, atau meluncurkan roket ke bulan, ini semua karena

mereka telah dilahirkan atau sekurang-kurangnya dibesarkan dalam suatu

(43)

lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana mereka hidup dan

berkomunikasi, merupakan respons-respons terhadap dan fungsi-fungsi

dari budaya mereka.

Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu

budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa,

dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan,

dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan

pesan. Sebenarnya perbendaharaan perilaku kita bergantung pada budaya

tempat kita dibesarkan.Konsekuensinya, budaya merupakan landasan

komunikasi.Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula

praktik-praktik komunikasi.

2.3.1 Komunikasi Antarbudaya

Hal-hal yang sejauh ini dibicarakan tentang komunikasi, berkaitan

tentang komunikasi budaya.Fungsi-fungsi dan hubungan-hubungan antara

komponen-komponen komunikasi juga berkenaan dengan komunikasi

antarbudaya. Namun, apa yang terutama menandai komunikasi

antarbudaya adalah sumber dan penerimanya berasal dari budaya yang

berbeda. Ciri ini saja menandai untuk mengidentifikasi suatu bentuk

interaksi komunikatif yang unik, yang harus memperhitungkan fungsi

budaya dalam proses komunikasi

2.4 Makna Simbolik

Interaksi simbolik merupakan cikal bakal dalam dari paham

(44)

dengan situasi, kepercayaan, motif pemikiran yang melatarbelakanginya.

Moeleong (2000 : 9) mengatakan, ”penekanan kaum fenomologis adalah

aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha masuk ke dalam dunia

konseptual para subjek yang ditelitinya, sehingga mereka mengerti apa dan

bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan di sekitar peristiwa dalam

kehidupan sehari-hari”.

Interaksi simbolik menurut Effendy (2003 : 352) adalah suatu paham

yang menyatakan bahwa hakekat terjadinya interaksi sosial antara individu

dan antar individu dengan kelompok, kemudian antara kelompok dengan

kelompok dalam masyarakat, ialah karena komunikasi, suatu kesatuan

pemikiran dimana sebelumnya pada diri masing-masing yang terlibat

berlangsung internalisasi atau pembatinan.

Teori interaksi simbolik berpandangan bahwa, seorang berbuat dan

bertindak bersama dengan orang lain, berdasarkan konsep makna yang

berlaku pada masyarakatnya. Sedangkan menurut Ralph Larossa dan Donald

C. Reitzes (1993) dalam West Turner (2008 : 96), interaksi simbolik pada

intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana

manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan

bagaimana membentuk perilaku manusia. Interaksi simbolik adalah segala hal

yang saling berhubungan dengan pembentukkan makna dari suatu benda,

lambang, atau simbol, baik benda mati, maupun benda hidup, melalui proses

komunikasi baik sebagai pesan verbal maupun perilaku non verbal, dan

(45)

berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di wilayah atau kelompok

komunitas masyarakat tertentu.

Interkasi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna

yang berasal dari pikiran manusia (mind), mengenai diri (self), dan

hubungannya di tengah interaksi sosial, dan bertujuan akhir untuk memediasi,

serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat di mana individu tersebut

menetap. Ardianto (2007 : 136), mengatakan, makna itu berasal dari interaksi,

dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna,selain dengan membangun

hubungan individu lain melalui interaksi.

Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain :

1. Pikiran (mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang

mempunyai makna sosial yang sama, di mana tiap individu harus

mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.

2. Diri (self)adalah kemampuan untuk merekflesikan diri tiap individu dari

penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori

interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi

yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.

3. Masyarakat (society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,

dibangun, dan dikontruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan

tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif

dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses

(46)

2.5 Kerangka Berpikir

Tubuh, bagi sebagian orang, menjadi media tepat untuk berekspresi dan

eksperimen. Tak heran jika kemudian timbul aktivitas dekorasi seperti Tato,

eksploitasi ini untuk sebagian besar pelakunya ditujukan untuk gaya dan

pernyataan pemberontakan. Jika awalnya orang melakukan eksploitasi tubuh

untuk tujuan yang lebih khusus, misalkan untuk identitas pada suatu budaya

tertentu, kini eksplotasi tubuh melalui tato, berkembang karena mode dan

gaya hidup.

Posisi tato sekarang ini jauh melebihi perannya pada masa lampau.Tato

dalam pandangan modern telah banyak melibatkan unsur-unsur yang secara

sinergis dapat disatukan dalam suatu ringkasan gambar.Dalam tato memiliki

hubungan kuat dengan adanya sisi artistik dari gambar tato, dengan kata lain

tato ini pun menjadi satu komoditas lain untuk dapat mengapresiasi seni.

Perlahan pemahaman masyarakat tentang makna tato berubah.Citra tato

sebagai simbol kejahatan pernah mendapatkan pengukuhan secara politis dari

negara apalagi setelah kasus penembakan misterius (petrus) pada tahun

1983-1985 yang dilakukan guna memberantas kelompok-kelompok yangdianggap

menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam masyarakat.

Pada zaman modern pada sekarang ini, tato banyak diminati oleh

sebagian kalangan masyarakat yang bertempat tinggal di kota-kota besar

seperti di Jakarta, Bandung, Jogjakarta, dan Surabaya serta kota lainnya. Tua,

muda, laki-laki maupun perempuan tidak lagi malu menunjukan bahwa ia

(47)

tato ini juga masih terbilang tabu bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia

khususnya dari pandangan orang tua, dan ditambah lagi larangan dari suatu

agama, seperti Islam dan Kristen yang semakin menambah image negatif bagi

sebagian orang yang memiliki tato di bagian tubuhnya.

Namun seiring dengan berjalannya waktu mereka para pecinta seni tato

ingin merubah image negatif tersebut kepada khalayak luas bawasanya tidak

semua pengguna tato adalah orang-orang yang selalu berurusan dengan dunia

kriminal dan kejahatan.

Maka dari itu dalam penelitian ini, penulis ingin menganalisa dan

mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap para pengguna tato di

Surabaya, karena tato sediri di zaman modern ini, sudah menjadi salah satu

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 J enis Penelitian

Pada penelitian ini penulis tidak membahas hubungan antar variable,

sehingga tidak ada pengukuran variabel x dan y. Penelitian ini hanya

difokuskan pada masyarakat terhadap pengguna tato, sehingga penelitian ini

menggunakan penelitian deskriptif dengan menggunakan analisis

kualitatif.Tipe penelitian deskriptif adalah suatu jenis penelitian yang

memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejernih mungkin,

tanpa adanya perlakuan terhadap objek yang diteliti. Metode ini merupakan

suatu metode yang berupaya untuk memberikan gambaran mengenai

fenomena tertentu secara terperinci, yang pada akhirnya akan diperoleh

pemahaman yang lebih jelas mengenai fenomena yang diteliti. Deskriptif

dapat juga diartikan sebagai metode yang melukiskan variabel demi variabel

ataupun satu per satu.

Penelitian kualitatif sendiri adalah penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek peneliti secara

holistic dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada

suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfatkan berbagai

metode alamiah (Moleong, 2005: 8). Pada penelitian ini yang akan

(49)

kualitatif, yaitu pendekatan yang tidak menggunakan statistic atau

angka-angka tertentu.Hasil dari penelitian kualitatif ini tidak dapat digeneralisasikan

(membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum) ataupun bersifat

universal.Jadi, hanya dapat berlaku pada situasi dan keadaan dimana

penelitian yang serupa dilakukan.

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih,

mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal.

Dengan kata lain, persepsi adalah cara kita mengubah energi-energi fisik

lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna.Pengalaman, media,

budaya, dan nilai-nilai adalah beberapa faktor yang mempengaruhi

terbentuknya persepsi.Dengan kata lain peneliti ingin mengetahui bagaimana

persepsi masyarakat terhadap orang bertato hingga saat ini. Budaya tato

sendiri awalnya adalah tanda pembeda dengan suku lain maupun sebagai

tanda statuts hirarki kemasyarakatan di kehidupan sehari-hari. Bagi suku-suku

tradisional seperti suku Maori, Indian Inca, Indian Maya, dan Indian Astec

(satu rumpun dengan suku Indian Latin, dengan tingkat kultur yang jauh

berbeda, termasuk dalam budaya tato mereka), Ainu, Polynesia (nenek

moyang dari bangsa Asia Tenggara) dan beberapa suku lain, budaya tato

merupakan satu identitas kesukuan yang hingga kini masih tetap terpelihara

disela kemajuan zaman.

Di era yang modern seperti saat ini, budaya tato telah bergeser menjadi

komsumsi masyarakat urban, sebagai tanda gaya hidup maupun trend.

(50)

maupun alami), yang nantinya akan menghasilkan sebuah gambar, tetgantung

dari gambar apa yang akan dirajah ke tubuh orang yang akan ditato, karena

setiap gambar memiliki makna historis tertentu bagi masing-masing individu

yang mentato tubuhnya. Kualitas tato selain ditentukan oleh pemilihan

gambar (bergantung kepada selera individu maupun keahlian seniman tato),

juga bergantung pada alat serta tinta yang digunakan dalam proses pentatoan.

Semakin banyak jarum yang digunakan dalam sebuah tato, maka akan cepat

selesai dan lebih detail juga tato yang dikerjakan.Sementara itu perbedaan

antara kualitas kecerahan warna yang ditentukan oleh tinta tato yang

digunakan.Secara umum, tinta lokal kurang bisa bersaing dengan tinta impor

dalam hal kualitas kecerahan, ketajaman, pilihan warna, efek samping yang

ditimbulkan, maupun dalam tingkat keawetannya. Beberapa contoh merk

tinta tato “luar” seperti misalnya intenze, voodo, starbrite, kuro sumi (khusus

untuk arsiran dan outline), flame ink, ataupun glow-ink yang digunakan

khusus untuk warna fosfor dan glitter (berkilauan).

3.2 Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui persepsi masyarakat

terhadap tato yang dimiliki oleh perempuan.

3.3 Infor man dan Teknik Penarikan Infor man

Subyek dalam penelitian ini adalah masyarakat dewasa laki-laki

maupun perempuan yang mempunyai pernah memlihat perempuan bertato

(51)

orang yang memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk mengungkapkan

informasi secara lisan dan dengan bahasa yang dimilikinya, informan

merupakan sumber informasi yang penting bagi peneliti. Dalam penelitian ini

pemilihan informan dilakukan secara purposif, yaitu individu-individu yang

mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang tato, antara lain

rohaniawan Kristen, Ustad, serta masyarakat yang memiliki pengetahuan

mengenai tato. Berhubungan dengan tujuan penelitian kualitatif, maka

prosedur sampling yang terpenting menentukan informan kunci (key

informan) atau situasi sosial tertentu yang sarat dengan focus penelitian.

(Bungin, 2003 :53).

Dalam penelitian ini besarnya sample yang harus diambil dapat

diketahui atau didapatkan setelah atau dalam melakukan penelitian. Hal ini

disebabkan karena teknik sampling dalam penelitian kualitatif jelas berbeda

dengan penelitian nonkualitatif.Pada penelitian nonkualitatif sampel dipilih

terlebih dahulu dari suatu populasi yang telah ditentukan terlebih dahulu,

sehingga dapat digunakan untuk membuat generalisasi pada akhirnya. Sampel

benar-benar mewakili ciri-ciri suatu populasi, karena sampel ditarik dati

populasi dan sampel tersebut memiliki dan ciri-ciri yang sama dengan

populasi.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

Gambar

Tabel Identitas Informan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Regresi Intensitas Persaingan Pasar, Sistem Akuntansi manajemen terhadap Kinerja Perusahaan.

Pembimbing penulisan skripsi saudari Mei Sakriani Hadrus, Nim: 20400113114, mahasiswa Jurustan Pendidikan Bahasa Inggris pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN

To examine the hypothesis that children who exhibit bed-wetting during childhood were less likely to be breastfed during infancy compared with normal controls, we needed 56 case

Permasalahan yang muncul adalah seberapa besar preferensi pasar terhadap produk baru dan variabel apa saja yang mempengaruhi pasar dalam pemilihan produk baru

Hal tersebut menandakan bahwa secara naluriah nelayan telah menggunakan wilayah terumbu karang yang menjadi habitat pemijahan sebagai fishing ground karena dari 10 famili ikan

Argumentasi di atas, dikuatkan oleh pandangan Strauss and Carbin dalam Sukidin (2003:1) yang menandaskan bahwa penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan

Dari uraian tersebut penggerak utama dipilih, yaitu motor bensin dengan alasan karena dalam perancangan mesin perajang ini tidak diperlukan daya yang terlalu besar, agar

tersebut. • Memanen produk pada satadia kematangan yang tepat. Fungisida adalah alat yang penting untuk pengendalian penyakit pascapanen,. namun bukan hanya pendekatan cara ini