• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI. FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PARTISIPASI

6.1. Tingkat Kemauan

6.1.1. Persepsi terhadap Pengelolaan Lingkungan

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PARTISIPASI

6.1. Tingkat Kemauan

6.1.1. Persepsi terhadap Pengelolaan Lingkungan  

Litterer dalam Handayani (2008) menyatakan bahwa persepsi adalah proses memilih, menyusun, menyusun atau mengorganisasikan, dan menfsirkan stimuli inderawi ke dalam berbagai pengertian yang memungkinkan seseorang menyadari lingkungannya. Rangkaian proses persepsi tersebut akan membentuk sikap selanjutnya menjadi perilaku. Hubungan persepsi sampai terbentuknya perilaku terhadap lingkungannya dapat digambarkan dalam urutan berikut:

Sumber: Handayani (2008)

Gambar 6. Posisi Perilaku terhadap Lingkungan

Keseluruhan proses pemahaman lingkungan pada akhirnya akan menghasilkan apa yang disebut sebagai persepsi mengenai kualitas lingkungan Jadi, persepsi lingkungan adalah interpretasi tentang suatu ruang oleh individu, didasarkan latar belakang budaya, nalar, pengalaman individu tersebut yang berkaitan dengan aspek psikologis dan sosio kultural. Persepsi masing-masing orang terhadap suatu lingkungan yang sama tidak selalu sama. Ada yang memiliki persepsi yang tepat dan ada yang tidak tepat karena persepsi bersifat subyektif. Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan

Kelurahan Bukit Duri Menurut Persepsi tentang Cara Mengatasi Sampah

Persepsi Jumlah

N %

Dibuang ke sungai 0 0

Dibakar langsung 4 9,5

Ditimbun langsung tanpa dipilah 1 2,4

Diangkut petugas 14 33,3

Dikelola menjadi pupuk dan barang kerajinan 23 54,8

Jumlah 42 100

Mempengaruhi proses berikutnya (pengulangan proses)

Harapan/keinginan tindakan terhadap

lingkungan Pengenalan ide

dan sikap terhadap  lingkungan Kondisi lingkungan fisik Persepsi terhadap lingkungan fisik

Menurut Tabel 17. sebanyak 54,8 persen warga menganggap bahwa mengelola sampah menjadi kompos dan barang kerajinan merupakan upaya mengatasi sampah yang paling tepat dilakukan di wilayah pemukimannya. Responden sudah tidak ada yang beranggapan bahwa membuang sampah di sungai adalah tindakan yang tepat. Berikut ini pemaparan aparat pemerintahan desa tingkat RT yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung:

“Masyarakat sudah tahu bahwa membuang sampah di sungai itu tidak baik. Tetapi melarang masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai susah. Karena alternatif lain sudah buntu. Sudah tidak ada lahan untuk bisa menimbun sampah. Jika dibakar, polusinya akan mengganggu karena jarak antar rumah berdekatan. Jika diangkut petugas, sudah tidak bisa lagi karena jalan kampung sekarang sudah sempit tidak bisa dilalui angkutan pengangkut sampah. Pernah suatu ketika dikumpulkan di ujung gang untuk ternyata petugas tidak datang mengangkut. Alhasil sampah menumpuk, bau, dan berserakan yang keberadaanya mengganggu warga yang tinggal didekatnya. Ujung-ujungnya sampah dilemparkan lagi ke sungai.” (LTF,48tahun)

Sebagaimana dipaparkan oleh Bapak LTF, salah satu warga lain menambahkan: “… hal ini terjadi karena petugas sampah enggan mengambil sampah . Pekerjaan sebagai petugas pengangkut sampah dianggap dan mendapat image sebagai pekerjaan yang rendahan/buruk. Mungkin juga ini karena pemerintah tidak memberikan perhatian khusus seperti yang dilakukan di luar negeri yang menggaji petugas kebersihan dengan gaji yang layak sesuai dengan tugasnya yang berat. Sehingga di luar negeri, petugas pengangkut sampah tidak mendapat image sebagai pekerjaan yang rendahan/buruk.” (HSN, 57 tahun)

Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Persepsi Tindakan bagi Pelaku Membuang Sampah di Sungai

Persepsi Jumlah

N %

Hukuman penjara 4 9,5

Denda uang 15 35,7

Dikucilkan dari masyarakat (dicemooh) 2 4,8

Dibiarkan saja 6 14,3

Diminta memungut sampah kembali 15 35,7

Jumlah 42 100

Sanksi sosial dengan mengucilkan pelaku yang membuang sampah di sungai adalah sanksi yang paling dihindari karena tingginya rasa kebersamaan sesama warga yang tinggal di bantaran sungai. Menurut sebagian kecil responden

(4,8%) merupakan sanksi sosial adalah sanksi yang paling efektif. Sanksi sosial dapat membuat pelaku menjadi malu sehingga termotivasi untuk introspeksi diri.

Menurut sebagian besar (80,9%) responden dalam penelitian ini menganggap bahwa sanksi sosial adalah sanksi yang tidak efektif dibandingkan sanksi ekonomi (didenda), sanksi formal (dipenjara), dan sanksi fisik (diminta mengambil lagi sampah yag sudah dibuang).

Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Persepsi Program Pengelolaan Sampah Organik

Persepsi Jumlah

N %

Kotor dan jorok 2 4,8

Tidak praktis (prosesnya sulit) 1 2,4

Menyita banyak waktu 1 2,4

Peluang menambah pendapatan 7 16,7

Penyelamatan lingkungan 31 73,8

Jumlah 42 100

Menurut Tabel 19. diketahui bahwa responden sadar akan pentingnya upaya penyelamatan lingkungan. Sebagian besar (73,8%) responden menganggap program pengelolaan sampah organik mampu berperan dalam upaya penyelamatan lingkungan. Artinya, responden lebih mengutamakan manfaat program untuk penyelamatan lingkungan dibanding memperhatikan image

program yang jorok, kotor, menyita banyak waktu, maupun ketidakpraktisan dalam mengelola sampah.

Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Persepsi Keterlibatan dalam Tahapan Program Pengelolaan Sampah Organik

Persepsi Jumlah

N %

Penyususunan rencana program 9 21,4

Pelaksanaan program 6 14,3

Evaluasi program 0 0

Menikmati hasil 2 4,8

Semua rangkaian kegiatan (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan menikmati hasil

25 59,5

Jumlah 42 100

Menurut hasil penelitian yang terlihat dalam Tabel 20. dapat dilihat bahwa responden mempunyai perhatian yang tinggi untuk terlibat dalam seluruh tahapan kegiatan mulai dari perencanaan sampai menikmati hasil dari program pengelolaan sampah organik itu sendiri.

Keseluruhan responden penelitian, tidak ada responden yang menjawab pentingnya keterlibatan komunitas dalam pengevaluasian program. Responden beranggapan bahwa evaluasi program merupakan area dari pihak Ciliwung Merdeka secara internal. Oleh karena itu, komunitas tidak berhak ikut serta dalam kegiatan evaluasi program. Warga cukup menerima hasil dari musyawarah internal Ciliwung Merdeka mengenai hasil evaluasi program.

Secara keseluruhan, kesimpulan dari persepsi komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung tentang lingkungan disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Persepsi Responden tentang Pengelolaan Lingkungan

Sebagian besar (90,5%) responden memiliki cara pandang yang tepat dan dapat mengarah pada respon positif terhadap program pengelolaan lingkungan. Namun, tidak dipungkiri terdapat perbedaan persepsi pada hal ini menjadikan indikator kekumuhan lingkungan pemukiman cenderung bersifat paradoks.

Komunitas yang tinggal di lingkungan pemukiman di bantaran Sungai Ciliwung, kekumuhan adalah kenyataan sehari-hari yang tidak mereka permasalahkan. Hal ini karena sudah menjadi kebiasaan komunitas setempat untuk hidup di lingkungan tersebut. Namun, dari sudut pandang pihak lain, masalah kumuh adalah suatu permasalahan yang secepatnya harus segera diatasi. Oleh karena itu, penanganan pemukiman kumuh tidak dapat diselesaikan secara sepihak, tetapi harus sinergis melibatkan potensi dan eksistensi seluruh

stakeholder. 0 10 20 30 40

Tepat Tidak tepat 90,5%

Dokumen terkait