• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN

III.5.8. Personalia Penelitian

Peneliti Utama : dr. Muhammad Taufiq Regia Arnaz Pembimbing : dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K)

dr. Irina Kemala Nasution, M.Ked (Neu), Sp.S

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN

IV.1.1. Karakteristik Demografi dan Klinis Subjek Penelitian

Dari keseluruhan pasien stroke hemoragik yang dirawat di bangsal neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan pada periode Februari 2018 hingga Desember 2018, terdapat 30 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga dimasukkan dalam penelitian.

Dari 30 pasien yang menderita stroke hemoragik yang dianalisa, terdiri dari 19 orang laki-laki (63,30 %) dan 11 orang perempuan (36,70

%). Rerata usia subjek adalah 55,4 tahun. Dari 30 sampel penelitian, suku terbanyak adalah suku jawa sebanyak 11 orang (36,70 %), lokasi perdarahan yang terbanyak di basal ganglia sebanyak 15 orang (50,00

%). Berdasarkan riwayat medis subjek penelitian 24 subjek (80,00%) memiliki riwayat hipertensi, 24 subjek (80,00 %) memiliki riwayat minum obat antihipertensi namun tidak rutin dikonsumsi, 3 subjek (10 %) memiliki riwayat diabetes mellitus, 3 subjek (10 %) memiliki riwayat kolesterol tinggi dan tidak ada subjek (0 %) yang memiliki riwayat penyakit jantung.

Rerata tekanan darah sistolik saat masuk adalah 213,67 ± 17,12 mmHg. Rerata nilai mRS awal 4,83 ± 0,46 dan nilai mRS akhir 5,43 ± 1,19. Rerata onset masuk rumah sakit adalah 27,73 jam dimana sebanyak 4 orang datang diatas 24 jam setelah mengalami gejala stroke hemoragik

dan rerata volume perdarahan saat masuk adalah 41,6 ml. Data lengkap mengenai subjek penelitian disajikan pada tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Demografi dan Klinis Subjek Penelitian

Karakteristik n = 30

Onset Masuk Rumah Sakit, n (%) - < 3 jam

- 3 – 24 jam - > 24 jam

Mean rata-rata ± SD (jam)

Riwayat Minum Obat Antihipertensi, n (%) - Tidak Teratur

- Tidak ada

TD Sistolik Saat Masuk rata-rata + SD (mmHg)

Nilai mRS Awal rata-rata ± SD Nilai mRS Akhir rata-rata ± SD

Volume Perdarahan, rata-rata + SD (mL)

55,40 ± 7,96

IV.1.2. Distribusi Rerata Tekanan Darah Sistolik Setelah Mendapatkan Terapi Antihipertensi Intravena Berdasarkan Karakteristik Variabel Penelitian

Berdasarkan jenis kelamin, nilai rerata tekanan darah sistolik dan standard deviation pada laki – laki adalah 172,67 ± 4,61 sedangkan pada perempuan adalah 164,84 ± 6,15.

Berdasarkan usia, nilai rerata tekanan darah sistolik yang tertinggi dijumpai pada kelompok usia ≤ 45 tahun, yaitu 182,23 ± 8,77 dan terendah pada kelompok usia > 64 tahun, yaitu 161,73 ± 11,96.

Berdasarkan lokasi perdarahan, nilai rerata tekanan darah sistolik yang tertinggi dijumpai pada kelompok lobar yaitu 174,66 ± 6,90, sedangkan nilai rerata tekanan darah sistolik yang terendah pada kelompok basal ganglia yaitu 166,20 ± 4,78.

Berdasarkan volume perdarahan, nilai rerata tekanan darah sistolik yang tertinggi dijumpai pada kelompok dengan volume perdarahan > 30 ml, yaitu 172,47 ± 4,21 dan terendah pada kelompok dengan volume perdarahan < 15 ml, yaitu 162,65 ± 7,35.

Berdasarkan onset masuk rumah sakit, nilai rerata tekanan darah sistolik yang tertinggi dijumpai pada kelompok yang masuk rumah sakit setelah 3-24 jam serangan, yaitu 172,54 ± 4,18 dan nilai terendah pada kelompok yang masuk rumah sakit < 3 jam setelah serangan, yaitu 158,18 ± 11,08.

Berdasarkan Riwayat minum obat antihipertensi, nilai rerata tekanan darah sistolik pada kelompok yang tidak teratur minum obat antihipertensi adalah 172,46 ± 4,15 dan pada kelompok yang tidak pernah minum obat antihipertensi adalah 159,11 ± 7,11.

Berdasarkan Riwayat hipertensi, nilai rerata tekanan darah sistolik pada kelompok yang memiliki riwayat hipertensi adalah 172,46 ± 4,15 dan pada kelompok yang tidak memiliki riwayat hipertensi adalah 159,11 ± 7,11. Berdasarkan Riwayat diabetes mellitus, nilai rerata tekanan darah sistolik pada kelompok yang memiliki riwayat diabetes mellitus adalah 174,15 ± 15,80 dan pada kelompok yang tidak memiliki riwayat diabetes mellitus adalah 169,31 ± 3,83.

Berdasarkan Riwayat kolesterol tinggi, nilai rerata tekanan darah sistolik pada kelompok yang memiliki riwayat kolesterol tinggi adalah 179,63 ± 19,51 dan pada kelompok yang tidak memiliki riwayat kolesterol tinggi adalah 168,70 ± 3,63.

Data lengkap mengenai distribusi rerata tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena berdasarkan karakteristik demografi subjek dan variabel penelitian dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Distribusi Rerata Tekanan Darah Sistolik Setelah Mendapatkan Terapi Antihipertensi Intravena Berdasarkan Karakteristik Variabel Penelitian

Karakteristik variabel penelitian Rerata Tekanan Darah Sesudah Dapat Obat

IV.1.3. Perbedaan Rerata Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Antihipertensi Intravena

Tabel 6 menunjukkan bahwa rerata tekanan darah sistolik sebelum pemberian antihipertensi intravena adalah 213,67 ± 17,11 dan menurun menjadi 169,79 ± 20,23 setelah diberikan antihipertensi intravena.

Tabel 6. Perbedaan Rerata Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Antihipertensi Intravena

n Mean ± SD Selisih p TDS Saat Masuk 30 213,67 ± 17,11

43,86 <0,001 TDS Sesudah Dapat obat 30 169,79 ± 20,23

Uji t-dependent, selisih antara sesudah dan sebelum

Berdasarkan analisa statistik dijumpai penurunan rerata tekanan darah sistolik setelah diberikan terapi antihipertensi intravena yang signifikan dengan nilai p < 0,001 dibandingkan dengan sebelum pemberian terapi antihipertensi intravena.

IV.1.4. Hubungan Tekanan Darah Sistolik Setelah Mendapatkan Terapi Antihipertensi Intravena Terhadap Outcome Stroke Hemoragik Akut

Hasil analisa statistik menggunakan uji korelasi spearman menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara rerata tekanan darah

sistolik setelah diberikan terapi antihipertensi intravena terhadap outcome stroke hemoragik akut (p = 0,251), dimana hubungan keduanya menunjukkan korelasi positif yang tidak signifikan dengan kekuatan hubungan yang lemah ( r = 0,216) (Tabel 7) dan hubungan yang tidak bermakna antara selisih tekanan darah sistolik sebelum dan setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena terhadap outcome stroke hemoragik akut (p = 0,699), dimana hubungan keduanya menunjukkan korelasi positif yang tidak signifikan dengan kekuatan hubungan yang sangat lemah ( r = 0,074) (Tabel 8).

Tabel 7. Hubungan Rerata Tekanan Darah Sistolik Setelah Mendapatkan Terapi Antihipertensi Intravena Terhadap Outcome Stroke Hemoragik Akut

mRS Akhir Rerata Tekanan Darah Sistolik

Setelah Mendapatkan Terapi Setelah Mendapatkan Terapi Antihipertensi Intravena Terhadap Outcome Stroke Hemoragik Akut

mRS Akhir Selisih Tekanan Darah Sistolik

Sebelum dan Setelah Mendapatkan Terapi Antihipertensi Intravena

IV.2. PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan metode pengumpulan data secara potong lintang yang bertujuan untuk mengetahui hubungan tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena terhadap outcome stroke hemoragik akut sehingga bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup penderita stroke hemoragik yang mendapatkan terapi antihipertensi intravena dalam penanganannya.

Pada penelitian ini, semua penderita stroke hemoragik akut yang telah ditegakkan dengan pemeriksaan CT-scan kepala yang dirawat di Ruang Rindu A4 dan Stroke Corner RSUP H. Adam Malik Medan yang diambil secara konsekutif yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak ada kriteria eksklusi, diberikan terapi antihipertensi intravena yaitu nicardipine dengan dosis 5-15 mg/jam dengan dosis disesuaikan dengan tekanan darah yang terukur, dimana setelah dimasukkan obat nicardipine tersebut tekanan darah diukur setiap 15 menit pada 2 jam pertama dan diukur setiap jam selama 22 jam berikutnya, kemudian hasil pengukuran dhitung rata-rata tekanan darahnya dan 14 hari kemudian outcome dinilai dengan menggunakan modified rankin scale (mRS). mRS dinilai pada hari pertama dan hari ke-14 setelah dirawat. Apabila sebelum 14 hari subjek penelitian meninggal, dianggap memiliki outcome yang buruk.

IV.2.1. Karakteristik Demografi dan Klinis Subjek Penelitian

Subjek penelitian terdiri dari 30 orang, yaitu 19 orang laki-laki (63,30 %) dan 11 orang perempuan (36,70 %), dengan rerata usia subjek adalah 55,4 tahun, dengan rentang usia 38-78 tahun, dengan klasifikasi subjek berumur ≤ 45 tahun sebanyak 3 orang (10,00 %), 46-64 tahun sebanyak 24 orang (80,00 %), dan > 64 tahun sebanyak 3 orang (10,00

%). Hal ini sesuai dengan hasil studi Framingham, kejadian stroke pada pria rata-rata 2,5 kali lebih sering daripada perempuan. Usia rata-rata stroke dari data 28 rumah sakit di Indonesia adalah 58,8 tahun, dengan kisaran 18-95 tahun. Usia di bawah 45 tahun sebanyak 12,90 % dan usia

> 65 tahun 35,80 % (Soertidewi dan Misbach, 2011). Qureshi dkk pada tahun 2001 melaporkan insidens stroke perdarahan intraserebral sebesar 10 – 20 kasus per 100.000 populasi dan meningkat seiring dengan peningkatan usia. Stroke hemoragik lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dan rerata usia sekitar 55 tahun (Qureshi dkk, 2001).

Pada penelitian ini rerata tekanan darah sistolik subjek penelitian saat masuk adalah 213,67 mmHg. Tekanan darah tinggi telah dilaporkan dalam beberapa penelitian sebelumnya sebagai faktor risiko mayor terjadinya stroke hemoragik. Sturgeon dkk (2007) menemukan bahwa individu dengan tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan tekanan darah diastolik > 110 mmHg memiliki kemungkinan 5,55 kali mengalami stroke hemoragik dibandingkan dengan individu tanpa hipertensi. Lepalla dkk

(1999) juga menemukan bahwa individu dengan tekanan darah sistolik >

160 mmHg memiliki kemungkinan risiko 3,78 kali mengalami stroke hemoragik dibandingkan dengan individu tanpa hipertensi.

Berdasarkan riwayat medis subjek penelitian, 24 orang (80 %) memiliki faktor risiko hipertensi, dan 24 orang (80,00 %) memiliki riwayat menggunakan obat antihipertensi namun tidak teratur. Faktor risiko yang lain adalah diabetes mellitus sebanyak 3 orang (10,00 %), kolesterol tinggi sebanyak 3 orang (10,00 %) dan dari subjek penelitian ini tidak ada yang memiliki riwayat penyakit jantung. Hasil diatas sesuai dengan penelitian Dormida dkk (2014) yang meneliti 39 orang dengan stroke hemoragik didapatkan bahwa sekitar 87,20 % memiliki riwayat hipertensi.

Hipertensi menyebabkan elastisitas arteri menjadi berkurang, sehingga meningkatkan risiko ruptur pada saat terjadi peningkatan tekanan intravaskular yang akut (Plesea dkk, 2005). Hipertensi yang kronik menyebabkan proliferasi sel otot polos arteriol (atau hyperplastic arteriolosclerosis).

Seiring waktu, sel-sel otot polos tersebut mati dan tunika media digantikan oleh kolagen sehingga tonus pembuluh darah menurun. Arteriol akhirnya menjadi dilatasi aneurisma. Mikroaneurisma (aneurisma Charcot-Bouchard) tersebut rentan pecah dan menyebabkan terjadinya perdarahan intraserebral (Testai dkk, 2008).

Berdasarkan lokasi perdarahan, pada penelitian ini ditemukan lokasi perdarahan terbanyak terjadi pada basal ganglia sebanyak 15

orang (50,00 %). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sakamoto dkk (2013) yang meneliti 211 subjek dengan stroke hemoragik menemukan sebanyak 121 orang (57,00 %) mengalami perdarahan di basal ganglia. Sebagian besar perdarahan intraserebral terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang kecil dan dalam dengan diameter 50-200 µm dimana memberikan suplai darah ke basal ganglia, thalamus dan batang otak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ross Russel pada tahun 1963 menemukan bahwa 15 dari 16 orang dengan hipertensi dan 10 dari 38 dengan tekanan darah yang normal mengalami aneurima milier dan sebagian besar terjadi pada basal ganglia, kapsula interna dan talamus dan jarang ditemukan pada cortical gray matter. (Kase dkk, 2016).

Berdasarkan volume perdarahan, pada penelitian ini rata-rata volume perdarahan pada saat masuk rumah sakit adalah 41,60 ±22,78 ml. Penelitian yang dilakukan Broderick dkk (1993) menemukan bahwa volume perdarahan dengan volume > 60 ml memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi yaitu 93,00 % bila terjadi pada basal ganglia dan 71,00 % bila terjadi di lobar dibandingkan dengan volume 30-60 ml dimana tingkat mortalitas 64,00 % pada basal ganglia dan 60,00 % pada lobar. Volume, ukuran dan diameter perdarahan pada saat masuk rumah sakit menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat mortalitas jangka pendek. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa volume perdarahan merupakan prediktor untuk mortalitas jangka panjang. Cut off

point untuk volume perdarahan pada beberapa penelitian yang pernah dilaporkan pada rentang 20-30 ml, dimana dengan volume yang lebih besar menunjukkan hubungan yang signifikan dengan mortalitas dan morbiditas. (LoPresti dkk, 2014).

IV.2.2. Perbedaan Rerata Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Antihipertensi Intravena

Pada penelitian ini didapati penurunan rerata tekanan darah sistolik setelah 24 jam pemberian terapi antihipertensi intravena yaitu nicardipine.

Rerata tekanan darah sistolik menurun menjadi 169,79 ± 20,23 mmHg setelah diberikan terapi antihipertensi intravena dibandingkan dengan rerata tekanan darah sistolik saat masuk rumah sakit yaitu 213,67 ± 17,11 mmHg (p < 0,001).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Yamada dkk (2017) yang menemukan adanya penurunan rerata tekanan darah sistolik saat masuk 180,00 ± 29,30 menjadi 136,60 ± 16,90 setelah 24 jam diberikan terapi antihipertensi intravena (p = 0,0061).

Penelitian Hwang dkk (2012) juga menemukan adanya penurunan rerata tekanan darah sistolik setelah 24 jam diberikan antihipertensi intravena dimana rerata tekanan darah sistolik saat masuk 175,40 ± 33,70 mmHg menjadi 130,70 ± 14,30 mmHg ( p < 0,001).

Kenaikan tekanan darah selama mengalami stroke hemoragik berhubungan dengan perluasan hematom, peningkatan edema disekitar hematom dan meningkatnya mortalitas. Penanganan tekanan darah memiliki peranan yang penting dalam pengobatan stroke hemoragik akut.

Guideline yang ada di Jepang pada tahun 2015 merekomendasikan bahwa tekanan darah sistolik pada pasien dengan stroke hemoragik akut harus diturunkan hingga 140 mmHg sesegera mungkin dan nilai tersebut sebaiknya dipertahankan selama 7 hari (Grade C1). (Yamada dkk, 2017).

Pemberian obat antihipertensi intravena dengan waktu paruh yang singkat memberikan kontrol terapeutik yang optimal. Walaupun menurunkan tekanan darah pada stroke hemoragik akut dapat mencegah perluasan hematom, banyak peneliti khawatir bahwa iskemik pada peirhematom semakin memburuk. Bukti yang ada sekarang mendukung bahwa hal tersebut masih menjadi perdebatan. Pada penelitian eksperimental yang pertama kali dilakukan pada hewan percobaan menunjukkan bahwa menurunkan mean arterial pressure (MAP) menjadi normal dari autoregulasi otak tidak mempengaruhi aliran darah otak atau tekanan intrakranial (Zahuranec dan Morogenstern, 2016). Pada pemeriksaan positron emission tomography scan (PET Scan) juga tidak dapat menunjukkan jaringan yang mengalami hipoksia disekitar perdarahan intraserebral pada manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Power dkk (2001) pada penderita stroke hemoragik melaporkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan penurunan MAP dengan aliran

darah otak global dan aliran darah otak disekitar hematom. (Power dkk, 2001)

Nicardipine dapat melintasi blood brain barrier dan bekerja sebagai vasorelax pada otot polos pembuluh darah di otak. Pada pH yang asam dari jaringan otak yang mengalami iskemik, nicardipine hampir 100,00 % terprotonisasi, memungkinkan akumulasi yang cepat pada jaringan yang iskemik, terjadi vasodilatasi lokal, dan penurunan pada vasospasme yang tampak pada pasien dengan perdarahan subarakhnoid akut. Walaupun nicardipine merupakan vasodilator pada pembuluh darah serebral, dia juga dapat melebarkan arteriol yang memiliki resistensi yang kecil, sehingga tidak ada perubahan yang signifikan pada volume intrakranial dan tekanan intrakranial. (Rhoney dkk, 2009).

IV.2.3. Hubungan Tekanan Darah Sistolik Setelah Mendapatkan terapi Antihipertensi Intravena Terhadap Outcome Stroke Hemoragik Akut

Pada penelitian ini didapati bahwa rerata tekanan darah sistolik setelah 24 jam mendapatkan terapi antihipertensi intravena memiliki korelasi positif yang tidak signifikan dengan kekuatan hubungan yang lemah terhadap outcome stroke hemoragik akut (r = 0,216, p = 0,251).

Kompilkasi yang dapat terjadi pada pasien dengan stroke hemoragik antara lain, perluasan hematoma, edema perihematom, perluasan perdarahan ke intraventrikular dengan hidrosefalus, kejang, tromboemboli pada vena, hiperglikemia, tekanan darah yang meningkat, demam dan infeksi. Dimana, perluasan hematoma, perluasan perdarahan

ke intraventrikukar, dan hiperglikemia merupakan prediktor utama untuk meningkatnya risiko kematian dan outcome yang buruk selama mengalami stroke hemoragik fase hiperakut. (Balami dkk, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Sakamoto dkk (2013) menyatatakan bahwa semakin tinggi rerata tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena maka outcomenya akan semakin memburuk dan pada kelompok dengan rerata tekanan darah sistolik yang lebih tinggi dapat menyebabkan perdarahan yang aktif, yang mengakibatkan perluasan hematom. Oleh karena perluasan hematom yang terjadi dapat memperburuk outcome dan perburukan neurologis, rerata tekanan darah sistolik yang tinggi secara bebas memiliki hubungan dengan outcome yang buruk dan perburukan neurologis. Edema di sekitar hematom juga dapat berpotensi untuk memperburuk outcome, meskipun pada penelitian tersebut edema di sekitar hematom tidak diukur. Dari penelitian tersebut menyatakan bahwa pasien dengan rerata tekanan darah sistolik <132,8 mmHg atau rerata tekanan darah sistolik < 130 mmHg memiliki proporsi yang paling rendah untuk memiliki outcome yang buruk. (Sakamoto dkk, 2013)

Pada penelitian ini 29 subjek memiliki outcome yang buruk dan hanya 1 yang memiliki outcome yang baik dengan rerata mRS akhir yaitu 5,43 ± 1,19 dan tidak didapatkan hubungan yang signifikan, hal ini dimungkinkan rerata tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena pada semua subjek adalah 169,79 ± 20,23 mmHg

dan hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Hemphill dkk (2015) bahwa tekanan darah sistolik setelah diberikan terapi antihipertensi intravena < 135 mmHg memiliki outcome yang lebih baik dibandingkan dengan tekanan darah sistolik > 160 mmHg. Secara teori, tekanan darah yang meningkat mungkin dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya perdarahan akibat rupturnya arteri-arteri kecil dan arteriol pada jam-jam pertama. Tekanan darah dikorelasikan dengan peningkatan tekanan intrakranial dan volume perdarahan. Pada suatu studi prospektif observasional penurunan tekanan darah sitolik hingga mencapai target <

160/90 mmHg dihubungkan dengan terjadinya perburukan neurologis pada 7 % pasien dan perluasan hematom pada 9 % pasien tetapi dihubungkan dengan kecendrungan menuju outcome yang baik pada pasien-pasien yang tekanan darah sistoliknya diturunkan dalam 6 jam setelah terjadi perdarahan. (Broderick dkk, 2007).

Pada penelitian ini semua subjek yang diteliti masuk ke rumah sakit dengan onset serangan yang berbeda-beda. Dari analisa deskriptif untuk melihat distribusi rerata tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena berdasarkan onset masuk rumah sakit setelah serangan didapatkan perbedaan rerata tekanan darah sistolik dimana pada subjek yang datang < 3 jam setelah onset memiliki rerata tekanan darah sistolik yang lebih rendah, yaitu 158,18 ± 11,08 mmHg, dibandingkan dengan subjek yang datang diantara 3-24 jam dengan rerata tekanan darah sistolik yang lebih tinggi yaitu 172,54 ± 4,18 mmHg.

Temuan ini menimbulkan suatu dugaan apakah semakin cepat mendapatkan terapi antihipertensi intravena maka respon terhadap pemberian antihipertensi juga semakin cepat dan memiliki outcome yang lebih baik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Inoue dkk (2017) menyatakan bahwa pasien dengan onset yang lebih lama mendapatkan terapi antihipertensi intravena memiliki outcome yang lebih buruk dan memiliki volume perdarahan yang lebih luas. (Inoue dkk, 2017).

Lokasi perdarahan juga dapat mempengaruhi outcome yang buruk, pada penelitian yang dilakukan oleh Yogendrakumar dkk (2017) menyatakan bahwa perdarahan di lobar memungkinkan untuk terjadinya perluasan hematom, mekanisme terjadinya perluasan hematom terkait dengan amyloid angiopathy. Amyloid angiopathy membuat pembuluh darah menjadi rentan untuk mengalami ruptur dan perdarahan yang diakibatkan oleh amyloid tersebut, dimana kondisi tersebut lebih umum terjadi di lobar dan pada usia yang lebih tua. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut bahwa subjek yang mengalami perdarahan di lobar lebih banyak memiliki outcome yang buruk dibandingkan dengan yang non lobar. (Yogendrakumar dkk, 2017). Pada penelitian ini, dari 30 subjek yang diteliti sebanyak 12 subjek mengalami perdarahan di lobar dan memiliki rerata tekanan darah yang lebih tinggi yaitu 174,66 ± 6,90 mmHg dibandingkan dengan 15 subjek yang mengalami perdarahan di basal ganglia dengan rerata tekanan darah 166,20 ± 4,78 mmHg. Temuan tersebut kemungkinan terkait dengan teori bahwa amyloid angiopathy

yang sering ditemukan pada pembuluh darah di lobar terutama regio parietal dan temporal, menyebabkan terjadinya penumpukan Amyliod β-fibrils di tunika media yang mengakibatkan arteriol tidak dapat melakukan fungsinya untuk menurunkan tekanan darah dan mengganggu autoregulasi otak yang mengakibatkan terganggunya aliran darah ke otak.

(Auer, 2016).

Komplikasi lain yang dapat terjadi pada pasien stroke hemoragik dan terutama dengan penurunan kesadaran dan defisit neurologis yang berat dapat mengakibatkan timbulnya pneumonia. Pneumonia sering terjadi pada pasien stroke yang sudah berbaring lama dan mobilisasi yang kurang dimana pada kondisi tersebut menyebabkan sekresi sputum yang meningkat. Kaldor dan Berlin menyatakan bahwa pneumonia sering terjadi pada sisi paru dimana kelemahan motorik terjadi, dikarenakan pada sisi yang mengalami kelemahan juga mengakibatkan kelemahan pada otot-otot yang menggerakkan rongga dada yang menyebabkan sirkulasi paru menjadi terganggu. (Caplan and Kumar, 2016).

Alsumrain dkk (2012) menyimpulkan bahwa pada pasien stroke hemoragik dengan ventilasi mekanik, terpasang nasogastric tube, mengalami disfagia dan yang sudah dilakukan trakeostomi berhubungan kuat dengan berkembangnya pneumonia dan didapatkan hasil yang signifikan (p = 0,001). Pada penelitian tersebut menunjukkan tingkat kematian yang lebih tinggi (25,60 %) pada pasien yang disertai dengan pneumonia dibandingkan dengan pasien yang tanpa pneumonia (12,00

%) . Pasien stroke hemoragik yang juga mengalami pneumonia memiliki GCS yang lebih rendah dan nilai mRS yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tanpa pneumonia.

IV.2.4. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, karakteristik subjek penelitian seperti onset serangan saat masuk rumah sakit, volume perdarahan dan lokasi perdarahan tidak disamakan pada semua subjek penelitian, sehingga kemungkinan timbulnya bias besar pada penelitian ini. Kedua, penelitian ini hanya memantau tekanan darah sistolik pada hari pertama (24 jam) setelah mendapatkan antihipertensi intravena sehingga efek jangka panjang akibat pemakaian nicardipine dan outcome tidak dapat dianalisa. Ketiga, pada penelitian ini kondisi lain yang dapat mempengaruhi outcome seperti pneumonia tidak diekslusikan, karena hampir semua subjek pada penelitian ini mengalami penurunan kesadaran yang meningkatkan risiko untuk terjadinya pneumonia yang dapat mempengaruhi outcome subjek penelitian tersebut.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh pada penelitian ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat perbedaan rerata tekanan darah sistolik antara sebelum dan setelah pemberian terapi antihipertensi intravena (p < 0,001) pada penderita stroke hemoragik akut.

2. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena dengan outcome stroke hemoragik akut (r = 0,216; p = 0,251).

3. Dari 30 subjek penelitian yang dianalisa mayoritas adalah laki-laki (63,30 %). Usia subjek rata-rata 55,4 (42,00 – 78,00) tahun. Faktor risiko stroke hemoragik yang terbanyak adalah hipertensi sebanyak 80,00 %. Volume perdarahan subjek rata-rata 41,60 (10,00 – 118,00) ml. Lokasi perdarahan terbanyak terjadi di basal ganglia (50,00 %).

V.2. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, kami mengajukan beberapa saran, yaitu :

1. Penelitian ini menyarankan bahwa karakteristik variabel penelitian yang akan diteliti seperti usia, onset serangan, volume perdarahan,

lokasi perdarahan dan tingkat keteraturan minum obat antihipertensi harus disamakan pada setiap subjek penelitian untuk memperkecil bias penelitian, sehingga hasil yang didapat menjadi lebih baik.

2. Pada penelitian ini, hanya memantau tekanan darah sistolik pada hari pertama dirawat, dan perlu dilakukan pemantauan tekanan

2. Pada penelitian ini, hanya memantau tekanan darah sistolik pada hari pertama dirawat, dan perlu dilakukan pemantauan tekanan

Dokumen terkait