• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN TEKANAN DARAH SISTOLIK SETELAH MENDAPATKAN TERAPI ANTI HIPERTENSI INTRAVENA TERHADAP OUTCOME STROKE HEMORAGIK AKUT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN TEKANAN DARAH SISTOLIK SETELAH MENDAPATKAN TERAPI ANTI HIPERTENSI INTRAVENA TERHADAP OUTCOME STROKE HEMORAGIK AKUT"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

MENDAPATKAN TERAPI ANTI HIPERTENSI INTRAVENA TERHADAP OUTCOME

STROKE HEMORAGIK AKUT

OLEH:

MUHAMMAD TAUFIQ REGIA ARNAZ NIM 137041131

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA / RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN 2019

(2)

TESIS MAGISTER

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik Neurologi Pada Program Studi Magister Kedokteran Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD TAUFIQ REGIA ARNAZ NIM 137041131

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

2019

(3)

TERHADAP OUTCOME STROKE HEMORAGIK AKUT

TESIS MAGISTER

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis magister ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 22 Januari 2019

Muhammad Taufiq Regia Arnaz

(4)
(5)
(6)

1. Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) 2. Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S

3. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) (Pembimbing I) 4. dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)

5. Dr.dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K) (Penguji I) 6. Dr.dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K)

7. Dr. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S (K) 8. Dr. dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S (K) 9. dr. Cut Aria Arina, Sp.S

10. dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S

11. dr. Alfansuri Kadri, Sp.S (Penguji II) 12. dr. Aida Fithrie, Sp.S (K)

13. dr. Irina Kemala Nasution, M.Ked (Neu), Sp.S (Pembimbing II) 14. dr. Haflin Soraya Hutagalung, M.Ked (Neu),Sp.S

15. dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked (Neu), Sp.S 16. dr. Iskandar Nasution, SpS, FINS

17. dr. RAD. Pujiastuti, M.Ked (Neu), Sp.S (Penguji III) 18. dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked (Neu), Sp.S 19. dr. M. Yusuf, Sp.S, FINS

(7)

kesempatan untuk menyelesaikan penulisan tesis magister kedokteran klinik ini.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian program magister kedokteran klinik pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), selaku Guru Besar Tetap Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

3. Alm. Prof. dr. Darulkutni Nasution Sp.S(K), selaku Guru Besar Tetap Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

(8)

5. Dr. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K), Ketua Program Studi Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara disaat penulis melakukan penelitian dan saat tesis ini selesai disusun yang banyak memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

6. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K) dan dr. Irina Kemala Nasution, M.Ked (Neu), Sp.S selaku pembimbing penulis yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

7. Guru-guru penulis: Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K); Alm. Prof. dr.

Darulkutni Nasution, Sp.S (K); dr. Darlan Djali Chan, Sp.S; dr.Rusli Dhanu,Sp.S(K); dr. Yuneldi Anwar,Sp.S(K); Dr.dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K); Dr.dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K); Dr. dr. Puji Pinta O.

Sinurat, Sp.S; Dr. dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S(K); dr.Cut Aria Arina Sp.S; dr.Kiki M.Iqbal,Sp.S; dr. Alfansuri Kadri SpS; dr. Aida Fithrie, Sp.S(K); dr. Irina Kemala Nasution, M.Ked (Neu), Sp.S; dr.Haflin Soraya Hutagalung, M.Ked (Neu), Sp.S; dr.Fasihah Irfani Fitri, M.Ked (Neu), Sp.S; dr. Iskandar Nasution, SpS,FINS; dr. RAD Pujiastuti, M.Ked (Neu), Sp.S; dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked(Neu), Sp.S;

dr.M.Yusuf, Sp.S, FINS; dan guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Neurologi.

8. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Neurologi.

(9)

Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, yang banyak memberi masukan berharga kepada penulis dan memberi dorongan semangat kepada penulis menyelesaikan Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Neurologi.

11. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik ini, serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Neurologi.

12. Semua pasien yang berobat ke Departemen Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Medan yang telah bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.

13. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan kepada kedua orang tua saya, Ir. H. Aswanyah Noerdin, M.Sc dan Ir.

Hj. Zani Arni, yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, dan senantiasa memberi dukungan moril dan materi, bimbingan dan nasehat serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan ini sampai selesai.

14. Kepada seluruh keluarga yang senantiasa membantu, memberi dorongan, pengertian, kasih sayang dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini, penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

15. Kepada semua rekan dan sahabat yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rahmat dan kasihnya kepada kita semua.

(10)

mewujudkan cita-cita penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 22 Januari 2019

dr. Muhammad Taufiq Regia Arnaz

(11)

Tempat / Tgl Lahir : Dolok Merangir/ 9 Desember 1987

Agama : Islam

Pekerjaan : Dokter

Alamat : Komplek TASBI I Blok OO no. 24,Medan Telepon : 082168009974

Riwayat Pendidikan :

SD : SD N 2 Dolok Ulu Kecamatan : Tapian Dolok Tamat tahun : 1999 SMP : SLTP Taman Asuhan Kota : Pematang Siantar Tamat tahun : 2002 SLTA : SMA Negeri 2 Kota : Pematang Siantar Tamat tahun : 2005 S-1 : FK USU Kota : Medan Tamat tahun : 2011

Riwayat Pekerjaan:

Tahun 2012-2014 : Dokter Umum di Klinik Avicenna dan Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

(12)

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP x

DAFTAR ISI xi

DAFTAR SINGKATAN xv DAFTAR LAMBANG xvii DAFTAR GAMBAR xviii

DAFTAR TABEL xix DAFTAR LAMPIRAN xx ABSTRAK xxi ABSTRACT xxii

BAB I PENDAHULUAN……….1

I.1. Latar Belakang………. 1

I.2. Perumusan Masalah……….. 4

I.3. Tujuan Penelitian……… 4

I.3.1. Tujuan Umum……… 4

I.3.2. Tujuan Khusus……….. 5

I.4. Hipotesis ……… 5

I.5. Manfaat Penelitian……… 5

I.5.1. Manfaat Penelitian untuk Peneliti………. 5

I.5.2. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan…….. 6

I.5.3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat ………6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………... 7

II.1. STROKE……... 7

II.1.1. Definisi………. 7

II.1.2. Epidemiologi……… 7

II.1.3. Klasifikasi………... 8

II.1.4. Faktor Risiko…… .……….. 11

(13)

II.2. TEKANAN DARAH... 26

II.2.1. Definisi... 26

II.2.2. Pengaturan Tekanan Darah... 27

II.2.3. Faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Darah... 31

II.2.4. Dasar Pengukuran Tekanan Darah... 34

II.2.5. Hubungan Tekanan Darah Terhadap Outcome... 38

II.2.6.Hubungan Tekanan Darah Terhadap Stroke Hemoragik... 42

II.3. OBAT ANTIHIPERTENSI INTRAVENA... 43

III.3.1 Nicardipine... 45

III.3.1.1 Definisi... 45

III.3.1.2 Farmakokinetik... 47

III.3.1.3 Farmakodinamik... 49

III.3.2. Nitrat Organik... 52

II.4. KERANGKA TEORI……….. 56

II.5. KERANGKA KONSEP ……….. 57

BAB III METODE PENELITIAN………. 58

III.1. TEMPAT DAN WAKTU……… 58

III.2. SUBYEK PENELITIAN……… 58

III.2.1. Populasi Sasaran………. 58

III.2.2. Populasi Terjangkau……… 58

III.2.3. Besar Sampel……… 59

III.2.4. Kriteria Inklusi……… 59

III.2.5. Kriteria Eksklusi……… 60

III.3. BATASAN OPERASIONAL……… 60

III.4. RANCANGAN PENELITIAN ………... 64

III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN……….. 64

(14)

III.5.5. Analisa Statistik……… 67

III.5.6. Jadwal Penelitian……… 68

III.5.7. Biaya Penelitian……….. 68

III.5.8. Personalia Penelitian... 68

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 69

IV.1.HASIL PENELITIAN………... 69

IV.1.1.Karakteristik Demografi dan Klinis Subjek Penelitian... 69

IV.1.2. Distribusi Rerata Tekanan Darah Sistolik Setelah Mendapatkan Terapi Antihipertensi Intravena... 71

IV.1.3. Perbedaan Rerata Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Terapi Antihipertensi Intravena... 74

IV.1.4. Hubungan Tekanan Darah Sistolik Setelah Mendapatkan Terapi Antihipertensi Intravena Terhadap Outcome Stroke Hemoragik Akut... 74

IV.2. PEMBAHASAN ………... 76

IV.2.1.Karakteristik Demografi dan Klinis Subjek Penelitian... 77

IV.2.2. Perbedaan Rerata Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Terapi Antihipertensi Intravena... 80

IV.2.3. Hubungan Tekanan Darah Sistolik Setelah Mendapatkan Terapi Antihipertensi Intravena Terhadap Outcome Stroke Hemoragik Akut... 82

IV.2.4 Keterbatasan Penelitian... 87

(15)

LAMPIRAN

(16)

ASA : American Stroke Association

Ca2+ : Kalsium

cAMP : cyclic Adenosine Monophospate CBF : Cerebral Blood Flow

cGMP : cyclic Guanosine Monophospate CO2 : Karbondioksida

CT : Computed Tomography

GMP : Guanosine Monophospate ICU : Intensive Care Unit

INTERACT : intensive blood pressure reduction in acute cerebral haemorrhage trial

MAP : Mean Arterial Pressure

mmHg : milimeter merkuri

MRI : Magnetic Resonance Imaging mRS : Modified Rankin Scale

NIHSS : National Institute of Health Stroke Scale

NO : Nitrat Oksida

O2 : Oksigen

PCO2 : Tekanan Karbondioksida

PERDOSSI : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia pH : potensial of Hydrogen

PO2 : Tekanan Oksigen

Pokdi : Kelompok Studi

PSA : Perdarahan Subarakhnoid

RI : Republik Indonesia

RS : Rumah Sakit

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

(17)
(18)

telah ditentukan  1,96

Zβ : Nilai baku berdasarkan nilai β (0,10) yang ditentukan oleh peneliti  1,282

% : Persen

‰ : Perseribu / per mil

(19)

Stroke Akut... 23 Tabel 2 Obat-obat Antihipertensi Intravena... 46 Tabel 3 Efek Farmakodinamik Nicardipine Intravena... 51 Tabel 4 Karakteristik Demografi dan Klinis Subjek Saat Masuk RS... 70 Tabel 5 Distribusi Rerata Tekanan Darah Sistolik Setelah Mendapatkan

Terapi Antihipertensi Intravena Berdasarkan Karakteristik Variabel Penelitian... 73 Tabel 6 Perbedaan Rerata Tekanan Darah Sistolik Setelah Mendapatkan

Terapi Antihipertensi Intravena Terhadap Outcome Stroke Hemoragik Akut... 74 Tabel 7 Hubungan Rerata Tekanan Darah Sistolik Setelah Mendapatkan

Terapi Antihipertensi Intravena Terhadap Outcome Stroke Hemoragik Akut... 75 Tabel 8 Hubungan Selisih Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Setelah

Mendapatkan Terapi Antihipertensi Intravena Terhadap Outcome Stroke Hemoragik Akut... 75

(20)

Gambar 2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resistensi

Perifer Total ……….... 30

Gambar 3 Letak Baroreseptor Arteri………... ... 32

Gambar 4 Pengukuran Tekanan Darah... 36

Gambar 5 Struktur Nicardipine... 47

(21)

SUBJEK PENELITIAN

LAMPIRAN 2 PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP) LAMPIRAN 3 LEMBAR PENGUMPULAN DATA

LAMPIRAN 4 Modified Rankin Scale LAMPIRAN 5 Data Hasil Penelitian

(22)

menetap dihubungkan dengan terjadinya edema di sekitar perdarahan.

Dengan menurunkan tekanan darah diharapkan dapat mengurangi laju perluasan perdarahan dan mempertahankan autoregulasi pada daerah di sekitar perdarahan.

Tujuan : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena dengan outcome stroke hemoragik akut.

Metode : Tiga puluh pasien stroke hemoragik akut yang memenuhi kriteria diikutsertakan dalam penelitian ini. Semua pasien mendapatkan terapi antihipertensi intravena. Tekanan darah sistolik diukur setiap 15 menit pada 2 jam pertama dan setiap 1 jam selama 22 jam berikutnya (total 30 kali pengukuran). Rerata tekanan darah sistolik diperoleh dengan menghitung rerata dari 30 pengukuran tersebut. Outcome stroke hemoragik dinilai dengan menggunakan Modified Rankin Scale (mRS) Outcome buruk dinyatakan dengan nilai mRS ≥ 3. Penelitian ini menggunakan uji korelasi Spearman.

Hasil : Terdapat perbedaan rerata tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah diberikan terapi antihipertensi intravena yang signifikan ( p <

0,001), namun tidak didapatkan hubungan yang signifikan dengan kekuatan hubungan yang lemah antara rerata tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena dengan mRS pada hari ke-14. ( r = 0,216, p = 0,251) dan tidak didapatkan hubungan yang signifikan dengan kekuatan hubungan yang sangat lemah antara selisih tekanan darah sistolik sebelum dan setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena dengan mRS pada hari ke-14 ( r = 0,074, p = 0,699).

Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan antara tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena dengan outcome stroke hemoragik akut.

Kata kunci : Stroke Hemoragik, Terapi Antihipertensi Intravena, Outcome

(23)

occurence of perihematomal edema. Lowering blood pressure is expected to reduce the rate of hematoma expansion and maintain autoregulation in the area around the hematoma.

Purpose: The aim of this study is to determine the relationship between systolic blood pressure after intravenous antihypertensive therapy and outcome of acute hemorraghic stroke.

Methods: Thirty acute hemorrhagic stroke patients who meet the criteria are included in this study. All patients received intravenous antihypertensive therapy. Systolic blood pressure is measured every 15 minutes in the first 2 hours and every 1 hour for the next 22 hours ( a total of 30 measurements). The mean systolic blood pressure is obtained by calculating the mean of the 30 measurements. Outcomes of hemorrhagic stroke were assessed using modified rankin scale (mRS). This study uses the Spearman correlation test.

Results: There is a significant difference in systolic blood pressure before and after intravenous antihypertensive therapy (p < 0,001), but there is no significant relationship with the strength of a weak relationships between mean systolic blood pressure after receiving intravenous antihypertensive therapy and mRS on day 14. (r = 0,216, p = 0,251) and no significant relationship with the strenght of a very weak relationships between difference in systolic blood pressure before and after receiving intravenous antihypertensive therapy and mRS on day 14. (r = 0,074, p = 0,699).

Conclusion : There is no relationships between systolic blood pressure after intravenous antihypertensive therapy and outcome of acute hemorrhagic stroke.

Keywords: Hemorrhagic stroke, Intravenous antihypertensive therapy, Outcome

(24)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Stroke tetap menjadi masalah kesehatan utama dan diperkirakan bahwa terdapat 700.000 insidensi stroke yang terjadi setiap tahun di Amerika Serikat, yang menyebabkan kematian sebanyak 160.000 setiap tahunnya, dengan 4,8 juta penderita stroke yang bertahan hidup saat ini.

(Goldstein dkk, 2006).

Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Sulawesi Utara (10,8‰), diikuti DI Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9‰), DI Yogyakarta (16,9‰), Sulawesi Tengah (16,6‰), sedangkan Sumatera Utara sendiri dengan prevalensi 6,0‰. Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis tenaga kesehatan serta yang didiagnosis tenaga kesehatan atau gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun (43,1‰ dan 67,0‰). Prevalensi stroke yang terdiagnosis tenaga kesehatan maupun berdasarkan diagnosis atau gejala sama tinggi pada laki-laki dan perempuan. (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

(25)

Respon hipertensi akut merupakan suatu peningkatan tekanan darah diatas nilai normal dan premorbid yang pada mulanya terjadi dalam 24 jam pertama dari onset serangan pada pasien dengan stroke.

Fenomena ini dilaporkan terjadi > 60 % pada pasien yang mengalami stroke di Amerika Serikat (Qureshi, 2008).

Tekanan darah yang tinggi merupakan faktor risiko yang utama untuk terjadinya stroke dan penyakit vaskular yang lain, dimana risiko untuk terjadinya stroke pertama meningkat lebih dari setengah untuk kenaikan tekanan darah diastolik 10 mmHg. Bukti dari percobaan mengenai pengobatan hipertensi telah menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah yang relatif kecil (6 mmHg pada tekanan darah diastolik) menurunkan risiko lebih dari sepertiga untuk terjadinya stroke dan seperlima untuk terjadinya penyakit jantung koroner. (Rashid dkk, 2003)

Tekanan darah yang tinggi sering terjadi pada lebih dari 3/4 pasien yang mengalami stroke iskemik akut dan berhubungan dengan outcome yang buruk dan kejadian stroke berulang. Hal serupa juga dilaporkan pada pasien-pasien dengan stroke hemoragik. Dari data tersebut kemungkinan dengan menurunkan tekanan darah dapat memperbaiki outcome fungsional pada pasien-pasien yang mengalami stroke iskemik dan stroke hemoragik ( Wilmot dkk, 2006).

Sepertiga pada pasien dengan stroke hemoragik mengalami perluasan perdarahan pada beberapa jam setelah serangan berlangsung.

Tekanan darah sistolik awal ≥ 200 mmHg dihubungkan dengan adanya

(26)

perluasan perdarahan dan meningkatnya mortalitas pada pasien dengan stroke hemoragik. Tekanan darah sistolik yang lebih tinggi yang menetap dihubungkan dengan adanya pembentukan edema otak di sekitar perdarahan. Dengan menurunkan tekanan darah diharapkan dapat mengurangi laju perluasan perdarahan, walaupun beberapa bukti yang penting mengenai hal ini tidak tersedia. Penelitian baru-baru ini mendukung bahwa dengan adanya penurunan tekanan darah dapat ditoleransi karena menurunnya metabolisme dan dapat mempertahankan autoregulasi pada daerah di sekitar perdarahan. (Qureshi, 2008)

Data dari National Hospital Ambulatory Medical Care Survey menyatakan bahwa peningkatan tekanan darah terjadi pada lebih dari 60

% pasien yang mengalami stroke dengan peningkatan tekanan darah tertinggi dengan tekanan darah sistolik ≥ 220 mmHg tampak pada pasien dengan stroke hemoragik. (Rhoney dan Peacock, 2009).

Yang penting diperhatikan setelah mengalami stroke hemoragik adalah perluasan volume perdarahan, dimana dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Perluasan perdarahan terjadi pada permulaan stroke hemoragik (3 jam pertama), dengan perluasan yang terbatas dalam 24 jam. Sementara terdapat hubungan antara kenaikan tekanan darah sistolik terhadap perluasan perdarahan, tidak terdapat bukti yang jelas apakah menurunkan tekanan darah mempengaruhi peningkatan volume perdarahan. Pada suatu penelitian yang dilakukan pada pasien dengan stroke hemoragik dengan volume perdarahan 1-45 cc diberikan terapi

(27)

antihipertensi intravena dengan menggunakan nicardipine atau labetalol untuk menurunkan tekanan arteri rata-rata sebesar 15 % dari nilai awal selama 6-22 jam setelah serangan stroke hemoragik dan hasilnya menunjukkan aliran darah otak dan autoregulasi otak di sekitar daerah yang mengalami perdarahan tetap stabil. (Rhoney dan Peacock, 2009)

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada hubungan antara tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena terhadap outcome pasien dengan stroke hemoragik akut yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan.

I.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti yang telah dirumuskan di atas dirumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimanakah hubungan antara tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena terhadap outcome pasien yang mengalami stroke hemoragik pada fase akut?.

I.3. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan : I.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena terhadap outcome stroke hemoragik akut.

(28)

I.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan antara tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena terhadap outcome pasien dengan stroke hemoragik akut di RSUP Haji Adam Malik Medan.

2. Untuk mengetahui perbedaan rerata tekanan darah sistolik saat masuk dan tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena pada stroke hemoragik akut yang dirawat di RSUP Haji Adam Malik Medan.

3. Untuk mengetahui distribusi rerata tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena berdasarkan karakteristik demografi dan klinis subjek penelitian.

4. Untuk mengetahui karakteristik demografi dan klinis pada penderita stroke hemoragik akut yang dirawat di RSUP Haji Adam Malik Medan.

I.4. HIPOTESIS

Ada hubungan antara tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena terhadap outcome stroke hemoragik akut.

I.5. MANFAAT PENELITIAN

I.5.1. Manfaat Penelitian untuk Peneliti

Dengan mengetahui adanya hubungan antara tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena terhadap outcome stroke hemoragik akut dapat dijadikan sebagai dasar untuk

(29)

penelitian selanjutnya mengenai hubungan tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena terhadap outcome stroke hemoragik akut.

I.5.2. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan

Dengan mengetahui adanya hubungan antara tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena terhadap outcome stroke hemoragik akut maka diharapkan dapat menambah keilmuan kepada para dokter dalam penanganan stroke terutama pada stroke hemoragik fase akut.

I.5.3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat

Dengan mengetahui adanya hubungan antara tekanan darah sistolik setelah mendapatkan terapi antihipertensi intravena terhadap outcome stroke hemoragik akut maka diharapkan masyarakat dapat mengetahui manfaat terapi antihipertensi intravena yang diberikan pada pasien stroke hemoragik fase akut dengan demikian dapat dilakukan pengobatan dengan memberikan terapi antihipertensi intravena pada pasien stroke hemoragik fase akut yang pada akhirnya dapat menekan biaya perawatan dan meningkatkan kualitas hidup penderita stroke hemoragik pada fase akut.

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. STROKE II.1.1. Definisi

Stroke adalah suatu episode dari disfungsi neurologis yang disebabkan oleh iskemia atau hemoragik, berlangsung selama > 24 jam atau meninggal, tetapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).

Stroke hemoragik adalah tanda klinik disfungsi neurologis yang berkembang cepat akibat perdarahan dalam parenkim otak atau sistem ventrikel yang tidak disebabkan oleh trauma (Sacco dkk, 2013).

II.1.2. Epidemiologi

Secara umum, angka kematian stroke pada negara-negara Asia kecuali Jepang dan Singapura lebih tinggi daripada di negara Barat, namun ada baiknya menyebutkan bahwa Jepang memiliki mortalitas stroke yang tertinggi di dunia pada tahun 1965. Hal ini cepat menurun 80

% selama periode 1965-1990. Angka kematian stroke di Jepang mirip dengan yang di negara-negara barat. Menariknya, tren kematian Stroke di Cina dan Korea Selatan sekarang menunjukkan karakteristik yang mirip dengan tren Jepang yang diamati di masa lalu. Dimana negara-negara Asia Timur memiliki angka kematian lebih tinggi pada stroke, tetapi kematian karena penyakit koroner lebih rendah dari negara-negara Barat.

(31)

Negara-negara Asia lainnya memiliki angka kematian yang lebih tinggi pada penyakit jantung koroner dan stroke daripada negara-negara Asia Timur atau negara-negara Barat ( Ueshima H dkk, 2008).

Meskipun dapat mengenai semua usia, insiden stroke meningkat dengan bertambahnya usia dan terjadi lebih banyak pada wanita usia yang lebih muda. Perbandingan insidens pria dan wanita pada umur 55 – 64 tahun adalah 1,25; pada umur 65 – 74 tahun adalah 1,50; 75 – 84 tahun adalah 1,07; dan pada umur >85 tahun adalah 0,76 (Rosamond dkk, 2007).

II.1.3. Klasifikasi

Dasar klasifikasi yang berbeda-beda diperlukan, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach, 2011)

Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya : 1. Stroke iskemik

a. Transient Ischemic Attack (TIA) b. Trombosis serebri

c. Emboli serebri 2. Stroke hemoragik

a. Perdarahan intraserebral b. Perdarahan subaraknoid I. Berdasarkan stadium :

1. TIA

(32)

2. Stroke in evolution 3. Completed stroke

II. Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah) : 1. Tipe karotis

2. Tipe vertebrobasiler

III. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu a. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) b. Total Anterior Circulation Infarct (TACI) c. Lacunar Infarct (LACI)

d. Posterior Circulation Infarct (POCI)

IV. Klasifikasi Stroke iskemik berdasarkan kriteria kemompok peneliti TOAST (Sjahrir, 2003)

a. Aterosklerosis Arteri Besar

Gejala Klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (< 50%) stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks disebabkan oleh proses aterosklerosis.

b. Kardioembolisme

Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari jantung terdiri dari :

1. Risiko tinggi

 Prostetik katub mekanik

 Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi

 Fibrilasi atrial

(33)

 Atrial kiri/ atrial appendage thrombus

 Sick sinus syndrome

 Miokard infark akut (<4 minggu)

 Thrombus ventrikel kiri

 Kardiomiopati dilatasi

 Segmen ventricular kiri akinetik

 Atrial myxoma

 Infeksi endokarditis 2. Risiko sedang

 Prolaps katub mitral

 Kalsifikasi annulus mitral

 Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial

 Turbulensi atrial kiri

 Aneurisma septal atrial

 Paten foramen ovale

 Atrial flutter

 Lone atrial fibrillation

 Katub kardiak bioprostetik

 Trombotik endokarditis non bacterial

 Gagal jantung kongestif

 Segmen ventrikular kiri hipokinetik

 Miokard infark (> 4 minggu, < 6 bulan ) c. Oklusi Arteri Kecil

(34)

Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus mempunyai satu gejala klinis sindrom lakunar dan tidak mempunyai gejala gangguan disfungsi kortikal serebral. Pasien biasanya mempunyai gambaran CT sken/MRI kepala normal atau infark lakunar dengan diameter <1,5 mm didaerah batang otak atau subkortikal.

d. Stroke Akibat dari Penyebab lain yang Menentukan 1. Non-Aterosklerosis Vaskulopati

 Non inflamasi

 Inflamasi non infeksi

 Infeksi

2. Kelainan Hematologi atau Koagulasi

e. Stroke Akibat dari Penyebab lain yang Tidak Dapat Ditentukan II.1.4. Faktor Risiko

Beberapa faktor diketahui dapat menimbulkan terjadinya stroke, dan telah dilakukan banyak studi berskala luas. Faktor risiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable, modifiable, atau potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented atau less documented).

(Goldstein, 2006)

1. Non modifiable risk factors

 Usia

 Jenis kelamin

(35)

 Berat badan lahir rendah

 Ras/etnis

 Genetik

2. Modifiable risk factors

a. Well documented and modifiable risk factors

 Hipertensi

 Paparan asap rokok

 Diabetes mellitus

 Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi kelainan jantung tertentu

 Dislipidemia

 Stenosis arteri karotis

 Sickle cell disease

 Terapi hormonal pasca menopause

 Diet yang buruk

 Inaktivitas fisik

 Obesitas

b. Less well-documented and modifiable risk factors:

 Sindroma metabolik

 Penyalahgunaan alkohol

 Penggunaan kontrasepsi oral

 Sleep-disordered breathing

 Nyeri kepala migren

(36)

 Hiperhomosisteinemia

 Peningkatan lipoprotein (a)

 Peningkatan lipoprotein-associated phospolipase

 Hypercoagulibility

 Inflamasi

 Infeksi

II.1.5. Patofisiologi

Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan subaraknoid. Insiden perdarahan intrakranial kurang lebih 20% adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan subaraknoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2016).

Perdarahan intraserebral sekunder (sekitar 12 sampai 22% dari seluruh kejadian perdarahan intraserebral) disebabkan oleh penyebab lain selain pecahnya pembuluh darah kecil, misalnya, aneurisma, malformasi arteri-vena, transformasi hemoragik stroke iskemik, dan neoplasma (Brouwers dkk, 2012).

Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah infark otak, yaitu 20-30 % dari semua stroke di Jepang dan Cina.

Sedangkan di Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach (1997) menunjukkan stroke perdarahan 26 %, terdirin dari lobus 10 %, ganglionik 9 %, serebellar 1 %, batang otak 2 % dan subarakhnoid 1 %. (Misbach, 2011).

(37)

Percahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas perdarahan intraserbral dan subarakhnoid. Sedangkan berdasarkan penyebabnya, perdarahan intraserebral dibagi menjadi perdarahan intraserebral primer dan sekunder. (Misbach, 2011)

Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100-400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut beruba lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriol dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar. (Misbach, 2011)

Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis. (Misbach, 2011)

Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam otak atau massa pada otak, sedangkan pada perdarahan subarakhnoid, pembuluh yang pecah terdapat di ruang subarakhnoid, di

(38)

sekitar sirkulus arteriosus Willisi. Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh kerusakan dinding arteri (arteriosklerosis) atau karena kelainan kongenital atau trauma. (Misbach, 2011)

II.1.6 Penanganan Stroke Hemoragik

Penanganan stroke hemoragik dapat bersifat medik atau bedah tergantung keadaan dan syarat yang diperlukan untuk masing-masing jenis terapi. (Misbach, 2011)

Penanganan medik fase akut dilakukan pada penderita stroke hemoragik dengan menurunkan tekanan darah sistemik yang tinggi dengan obat-obat antihipertensi yang biasanya kerja cepat untuk mencapai tekanan darah pre morbid atau diturunkan kira-kira 20 % dari tekanan darah waktu masuk rumah sakit, jika keadaan penderita cukup berat karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang disertai dengan deteriorasi fungsi neurologik progresif mungkin memerlukan tindakan intubasi, hyperventilation terkontrol dan pemantauan diuresis. Untuk perawatan ini memerlukan perawatan ICU (Intensive Care Unit). (Misbach, 2011)

Stroke perdarahan dikaitkan dengan tingkat kematian yang tinggi dan morbiditas yang berat. Pengobatan pilihan masih kontroversial, mengingat bahwa data dari beberapa uji klinis belum memberikan bukti yang meyakinkan untuk mendukung efektivitas surgical clot removal. Oleh karena itu, penanganan dilakukan terutama terhadap edema serebri

(39)

sebagai target potensial untuk terapi intervensi pada penderita stroke hemoragik (Thiex dkk, 2007).

Beberapa hal yang berperan besar untuk menjaga agar TIK tidak meninggi pada stroke, antara lain (Misbach, 2011) :

1. Mengatur posisi kepala lebih tinggi 15 – 300 dengan tujuan memperbaiki venous return.

2. Mengusahakan tekanan darah yang optimal.

Tekanan darah yang sangat tinggi dapat menyebabkan edema serebral, sebaliknya tekanan darah terlalu rendah akan mengakibatkan iskemia otak dan akhirnya juga akan menyebabkan edema dan peninggian TIK.

3. Mengatasi kejang, menghilangkan rasa cemas, mengatasi rasa nyeri dan menjaga suhu tubuh normal < 37,50C.

Kejang, gelisah, nyeri dan demam akan menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan akan substrat metabolisme. Di satu sisi terjadi peningkatan metabolisme serebral, di pihak lain suplai oksigen dan glukosa berkurang, sehingga akan terjadi kerusakan jaringan otak dan edema. Hal ini pada akhirnya akan mengakibatkan peninggian TIK.

4. Koreksi kelainan metabolik dan elektrolit.

Hiponatremia akan menyebabkan penurunan osmolalitas plasma sehingga akan terjadi edema sitotoksik sedangkan hipernatremia akan menyebabkan lisisnya sel-sel neuron.

(40)

5. Mengatasi hipoksia.

Kekurangan oksigen akan menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob, sehingga akan terjadi metabolisme tidak lengkap yang menghasilkan asam laktat sebagai sisa metabolisme. Peninggian asam laktat di otak akan menyebabkan terjadinya asidosis laktat dan selanjutnya menyebabkan edema otak dan peninggian TIK.

6. Menghindari beberapa hal yang menyebabkan peninggian tekanan abdominal seperti batuk, mengedan dan penyedotan lendir pernafasan yang berlebihan.

7. Pemberian larutan manitol 20 – 25% dengan dosis 0,75 – 1 mg / kgBB bolus, diikuti 0,25 – 0,5 mg / kgBB setiap 3 – 5 jam tergantung pada respon klinis. Komplikasi penggunaan manitol adalah hipotensi, hipokalemia, gangguan fungsi ginjal karena hiperosmolaritas, gangguan jantung kongestif dan hemolisis.

Terdapat beberapa pedoman untuk mengendalikan pembengkakan otak dan peningkatan tekanan intrakranial. Jika penanganan yang relatif sederhana, seperti obat penenang, ventilasi, dan posisi kepala yang ditinggikan, gagal untuk mengontrol pembengkakan otak, perawatan medis lebih lanjut dapat diterapkan, termasuk inotropik, salin hipertonik, manitol, dan hipotermia. Perfusi otak dan tekanan intrakranial merupakan target terapi dalam mencegah hipoperfusi otak yang berpotensi mengancam nyawa. Pedoman baru-baru ini merekomendasikan target

(41)

tekanan intrakranial adalah kurang dari 25 mmHg dan CPP lebih besar dari atau sama dengan 60 sampai 70 mmHg (Thiex dkk, 2007).

Tindakan bedah pada perdarahan intraserebral sampai sekarang masih kontroversial terutama pada perdarahan ganglia basal, prognosis biasanya buruk secara fungsional. Meskipun terdapat beberapa indikasi untuk tindakan bedah, misalnya volume darah >55 cc dan pergeseran garis tengah >5 mm atau perdarahan serebelum yang melebihi diameter lebih dari 3 cm. Pada kasus stroke perdarahan intraserebral ini, pasien dapat bertahan hidup, tetapi level fungsionalnya dapat saja kurang baik.

(Misbach, 2011)

II.1.7 Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada Stroke Akut 1. Penatalaksanaan Hipertensi

Sebagian besar (70-94 %) pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >140 mmHg. Penelitian di indonesia didapatkan kejadian hipertensi pada pasien stroke akut sekitar 73,9 %, sebesar 22,5-27,6 % diantaranya mengalami peningkatan tekanan darah sistolik > 180 mmHg . (Misbach dkk, 2011)

Banyak studi menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U (U-shaped relationship) antara hipertensi pada stroke akut (iskemik maupun hemoragik) dengan kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa tingginya tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan tingginya kematian dan kecacatan. (Misbach dkk, 2011)

(42)

Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluaran neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai Guidelines (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi dibawah ini. (Misbach dkk, 2011)

a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15 % (sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik (TDS) > 220 mmHg atau tekanan darah diastolik (TDD) > 120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS < 185 mmHg dan TDD < 110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of Evidence B). Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS < 180 mmHg dan TDD < 105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid, nicardipine, atau diltiazem intravena.

b. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class Iib, Level of Evidence C)., apabila TDS > 200 mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) > 150 mmHg, tekanan darah diturunkkan

(43)

dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.

c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.

d. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.

(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

e. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100mmHg.

f. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada penderita stroke perdarahan intraserebral.

(44)

g. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nicardipine dan diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas.

h. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak.

i. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah risiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam mencegah risiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas kardiovaskular.

j. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin.

(45)

k. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat dilakukan dalam penatalksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurismal (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan darah belum jelas.

l. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.

2. Penatalaksanaan Hipotensi Pada Stroke Akut

Hipotensi arterial pada stroke akut berhubungan dengan buruknya keluaran neurologis, terutama bila TDS <100 mmHg atau TDD <70 mmHg. Oleh karena itu, hipotensi pada stroke akut harus diatasi dan dicari penyebabnya, terutama diseksi aorta, hipovolemia, perdarahan, dan penurunan cardiac output karena iskemia miokardial atau aritmia.

Penggunaan obat vasopresor dapat diberikan dalam bentuk infuse dan disesuaikan dengan efek samping yang akan ditimbulkan seperti takikardia. Obat-obat vasopressor yang dapat digunakan antara lain, fenilephrin, dopamine, dan norepinefrin. Pemberian obat-obat tersebut diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan pada tekanan darah optimal, yaitu TDS berkisar 140 mmHg pada kondisi akut stroke.

(46)

Tabel 1. Obat Intravena untuk meningkatkan tekanan darah pada stroke akut

Dikutip dari : Pokdi Stroke (2011). Guideline Stroke 2011.

PERDOSSI. Jakarta.

II.1.8 Outcome Stroke

Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai impairment, disabilitas dan handicaps. World Health

(47)

Organization (WHO) pada tahun 1980 membuat batasan sebagai berikut (Misbach 2011) :

a. Impairment adalah suatu kehilangan atau abnormalitas fungsi atau struktur psikologis, fisiologis dan anatomis.

b. Disabilitas adalah hambatan atau ketidakmampuan akibat impairment untuk melakukan suatu aktivitas dalam rentang waktu tertentu dengan cara yang dianggap normal oleh orang sehat.

c. Handicap adalah gangguan yang dialami oleh individu akibat impairment atau disabilitas tersebut, sehingga seseorang terbatas dalam melakukan suatu perannya sebagai manusia normal.

Sejumlah instrumen untuk menilai fungsi dan disabilitas telah dikembangkan. Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel Index dan Modified Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome karena mudah digunakan dan merupakan pengukuran yang sensitif terhadap derajat keparahan stroke. (Weimar dkk, 2002)

Modified Rankin Scale (mRS) mengukur tingkat ketergantungan, baik mental maupuan adaptasi fisik yang digabungkan dengan defisit neurologis. Skala ini terdiri dari 6 derajat, yaitu dari 0-5, dimana 0 berarti tidak ada gejala dan 5 berarti cacat/ketidakmampuan yang berat.(Weimar dkk, 2002)

(48)

National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) digunakan untuk menilai impairment, yang terdiri dari 12 pertanyaan—tingkat kesadaran, respon terhadap pertanyaan, respon terhadap perintah, gaze palsy, pemeriksaan lapangan pandang, facial palsy, motorik, ataksia, sensori, bahasa, disartria dan inatensi. Skala ini telah banyak digunakan pada berbagai penelitian tentang terapi stroke akut dan merupakan pemeriksaan standar dalam penelitian klinis. (Meyer dkk, 2002)

Penyebab kematian yang segera pada lebih dari 60 % pasien stroke berhubungan dengan stroke itu sendiri. Pada penelitian di Jerman yang melibatkan 13.440 pasien stroke iskemik dari 104 rumah sakit pendidikan, dimana ditemukan tingkat mortalitas sebesar 5 % dan peninggian tekanan intrakranial merupakan risiko tertinggi untuk perburukan outcome, sekitar 94 % kematian diantara pasien tersebut. Pada seluruh populasi stroke, pneumonia merupakan penyebab kematian tertinggi yaitu 1/3 dari seluruh kematian yang terjadi. lebih dari separuh dari semua kematian yang terjadi di rumah sakit berhubungan dengan komplikasi medis ataupun komplikasi neurologis. Penurunan kesadaran saat masuk rumah sakit, infark pada sirkulasi posterior, dan herniasi transtentorial merupakan penyebab kematian yang penting selama seminggu pertama pasca stroke.

Kemudian, gangguan jantung, emboli paru, sepsis dan komplikasi medis yang lain juga dapat menimbulkan kematian dalam bulan pertama pasca stroke. Pada penelitian internasional yang melibatkan 18.451 pasien stroke, kematian yang terjadi dalam 14 hari pasca stroke paling sering

(49)

ditemukan pada pasien stroke yang disertai dengan atrial fibrilasi dan sering dihubungkan dengan perburukan neurologis pada permulaan stroke. Beberapa prediktor kematian akibat stroke telah dilaporkan, dimana Perth Community Stroke Study melakukan penelitian selama 1 tahun melaporkan bahwa koma, parese yang parah, inkontinensia urin, gagal jantung dan atrial fibrilasi merupakan prediktor kematian yang paling penting. (Rundek T and Sacco RL, 2016).

II.2 TEKANAN DARAH II.2.1. Definisi

Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan oleh darah terhadap dinding pembuluh darah, bergantung pada volume darah yang terkandung di dalam pembuluh dan compliance atau daya regang, din ding pembuluh yang bersangkutan (seberapa mudah mereka dapat diregangkan). (Sherwood, 2010)

Apabila volume darah yang masuk arteri sama dengan volume darah yang meninggalkan arteri selama periode yang sama, tekanan arteri akan konstan. Namun, yang terjadi bukan seperti ini. selama sistol ventrikel, volume sekuncup darah masuk arteri-arteri dari ventrikel, sementara hanya sekitar sepertiga darah dari jumlah tersebut yang menin ggalkan arteri untuk masuk ke arteriol-arteriol. Selama diastol, tidak ada darah yang masuk ke dalam arteri-arteri, sementara darah terus meninggalkan mereka, terdorong oleh recoil elastik. Tekanan maksimum yang ditimbulkan oleh arteri selama sistol, atau tekanan sistolik, rata-rata

(50)

adalah 120 mmHg. Tekanan minimum di dalam arteri sewaktu darah mengalir ke luar ke pembuluh di hilir selama diastol, yakni tekanan diastolik, rata-rata 80 mmHg. Tekanan arteri tidak turun menjadi 0 mmHg karena timbul kontraksi jantung berikutnya dan mengisi kembali arteri sebelum semua darah keluar. (Sherwood, 2010)

Berdasarkan Joint National Committe VIII, tekanan darah pada usia dewasa ( ≥18 tahun) diklasifikasikan menjadi: (James dkk, 2013)

1. Normal: tekanan darah <120/<80 mmHg

2. Prehipertensi: tekanan darah dari 120/80 mmHg sampai 139/89 mmHg.

3. Hipertensi tingkat I: tekanan darah dari 140/90 mmHg sampai 159/99 mmHg.

4. Hipertensi tingkat II: tekanan darah ≥ 160/100 mmHg.

II.2.2. Pengaturan Tekanan Darah

Pengaturan tekanan darah arteri rata-rata dilakukan dengan mengontrol curah jantung, resistensi perifer total, dan volume darah.

Tekanan darah arteri rata-rata adalah gaya utama yang mendorong ke jaringan. Tekanan ini harus diatur secara ketat karena dua alasan.

Pertama, tekanan tersebut harus cukup tinggi untuk menghasilkan daya dorong yang cukup; tanpa tekanan ini, otak dan jaringan lain tidak akan menerima aliran yang adekuat seberapapun penyesuaian lokal mengenai resistensi arteriol ke organ-organ tersebut yang dilakukan. Kedua, tekanan tidak boleh terlalu tinggi, sehingga menimbulkan beban kerja tambahan

(51)

bagi jantung dan meningkatkan risiko kerusakan pembuluh serta kemungkinan rupturnya pembuluh-pembuluh halus. (Sherwood, 2010)

Mekanisme-mekanisme yang melibatkan integrasi berbagai komponen sistem sirkulasi dan sistem tubuh lain penting untuk mengatur tekanan darah arteri rata-rata ini. Dari pembahasan sebelumnya bahwa dua penentu utama tekanan darah arteri rata-rata adalah curang jantung dan resistensi perifer total. Tekanan darah = curah jantung x resistensi perifer total. (Sherwood, 2010)

Pada gilirannya sejumlah faktor menentukan curah jantung dan resistensi perifer total. Dengan demikian, kita dapat memahami kompleksitas pengaturan tekanan darah. Perubahan setiap faktor tersebut akan mengubah tekanan darah kecuali apabila terjadi perubahan kompensatorik pada variabel lain sehingga tekanan darah konstan. Aliran darah ke suatu jaringan bergantung pada gaya pendorong berupa tekanan darah arteri rata-rata dan derajat vasokonstriksi arteriol-arteriol jaringan tersebut. Karena tekanan arteri rata-rata bergantung pada curah jantung dan derajat vasokonstriksi arteriol, jika arteriol di salah satu jaringan berdilatasi, arteriol di jaringan lain akan mengalami konstriksi untuk mempertahankan tekanan darah arteri yang adekuat, sehingga darah mengalir tidak saja ke jaringan yang mengalami vasodilatasi, tetapi juga ke otak, yang harus mendapat pasokan darah yang konstan. Dengan demikian, variabel kardiovaskuler harus terus menerus diubah untuk

(52)

mempertahankan tekanan darah yang konstan walaupun kebutuhan jaringan akan darah berubah-ubah. (Sherwood, 2010)

Gambar 1 : Penentuan tekanan darah arteri rata-rata.

Dikutip dari : Sherwood, L. 2010. The Blood Vessels and Blood Peressure. In: Human Physiology From Cells to System. Mc Graw Hill. 7 th.ed. California. p 377

Tekanan arteri rata-rata secara konstan dipantau oleh baroreseptor (sensor tekanan) di dalam sistem sirkulasi. Apabila reseptor mendeteksi adanya penyimpangan dari normal, akan dimulai serangkaian respo

(53)

refleks untuk memulihkan tekanan arteri ke nilai normalnya.Besanya volume darah total, pada gilirannya, meimbulkan efek nyata pada curah jantung dan tekanan arteri rata-rata. (Sherwood, 2010)

Gambar 2: Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resistensi Perifer Total.

Dikutip dari : Sherwood, L. 2010. The Blood Vessels and Blood Peressure. In: Human Physiology From Cells to System. Mc Graw Hill. 7 th.ed. California. p 360

(54)

Refleks baroreseptor merupakan mekanisme terpenting dalam pengaturan tekanan darah jangka pendek. Setiap perubahan pada tekanan darah rata-rata akan mencetuskan refleks baroreseptor yang diperantarai secara otonom dan mempengaruhi jantung serta pembuluh darah untuk menyesuaikan curah jantung dan resistensi perifer total sebagai usaha untuk memulihkan tekanan darah ke normal. Seperti refleks lainnya, refleks baroreseptor mencakup reseptor, jalur aferen, pusat integrasi, jalur eferen dan organ efektor.

Baroreseptor secara terus menerus memberikan informasi mengenai tekanan darah; dengan kata lain, mereka secara kontinu menghasilkan potensial aksi sebagai respon terhadap tekanan di dalam arteri. Jika tekanan arteri (tekanan rata-rata atau nadi) meningkat, potensial reseptor di kedua baroreseptor itu meningkat, sehingga kecepatan potensial aksi di neuron aferen yang bersangkutan juga meningkat. Sebaliknya, apabila tekanan darah menurun, kecepatan pembentukan potensial aksi di neuron aferen oleh baroreseptor berkurang (Sherwood, 2010)

II.2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Darah

Selain refleks baroreseptor, yang fungsinya semata-mata untuk mengatur tekanan darah, terdapat beberapa refleks dan respon lain yang mempengaruhi sistem kardiovaskular walaupun mereka terutama bertugas mengatur fungsi tubuh lain. Sebagian dari pengaruh tersebut secara sengaja menggeser tekanan arteri menjauhi nilai normalnya untuk

(55)

sementara, mengalahkan refleks baroreseptor mencapai tujuan tertentu.

(Sherwood, 2010)

Gambar 3: Letak Baroreseptor Arteri

Dikutip dari : Sherwood, L. 2010. The Blood Vessels and Blood Peressure. In: Human Physiology From Cells to System. Mc Graw Hill. 7 th.ed. California. p 378

Faktor-faktor tersebut mencakup hal-hal berikut;

1. Reseptor volume atrium kiri dan osmoreseptor hipotalamus terutama penting dalam mengatur keseimbangan garam dan air;

dengan demikian, keduanya mempengaruhi regulasi jangka panjang tekanan darah dengan mengontrol volume plasma.

(56)

2. Kemoreseptor yang terletak di arteri karotis dan aorta, yang berkaitan erat tetapi berbeda dengan baroreseptor, peka terhadap kadar O2 rendah atau asam tinggi di dalam darah. Fungsi utama kemoreseptor ini adalah untuk secara refleks meningkatkan aktivitas pernapasan sehingga lebih banyak O2 yang masuk atau lebih banyak CO2 pembentuk asam yang keluar. Reseptor tersebut juga secara refleks meningkatkan tekanan darah dengan mengirim impuls eksitatorik ke pusat kardiovaskuler.

3. Respon-respon kardiovaskular yang berkaitan dengan emosi dan perilaki tertentu diperantarai oleh jalur korteks serebrum- hipotalamus dan tampaknya telah diprogram sebelumnya. Respon- respon tersebut mencakup perubahan luas aktivitas kardiovaskular yang menyertai respon fight-or-flight simpatis umum, peningkatan kecepatan denyut jantung dan tekanan darah yang khas pada orgasme seksual, dan vasodilatasi kulit lokal yang khas pada blushing (kulit wajah memerah karena malu).

4. Perubahan mencolok sistem kardiovaskular pada saat berolahraga, termasuk peningkatan besar aliran darah otot rangka; peningkatan bermakna curah jantung; penurunan resistensi perifer total (karena vasodilatasi luas di otot-otot rangka walaupun terjadi vasokonstriksi umum di sebagian besar organ lain); dan peningkatan sedang tekanan arteri rata-rata.

(57)

5. Kontrol hipotalamus terhadap arteriol kulit untuk mengatur suhu harus didahulukan daripada kontrol pusat kardiovaskular terhadap pembuluh itu untuk mengatur tekanan darah. Akibatnya, tekanan darah dapat turun pada saat pembuluh kulit mengalami dilatasi menyeluruh untuk mengeluarkan kelebihan panas dari tubuh, walaupun respon baroreseptor memerintahkan vasokonstriksi kulit untuk membantu mempertahankan resistensi perifer total yang adekuat.

6. Zat-zat vasoaktif yang dikeluarkan dari sel endotel mungkin berperan dalam mengatur tekanan darah, seperti yang dicontohkan oleh bukti berikut. Inhibisi eksperimental enzim yang mengkatalisis sintesi EDRF/NO menyebabkan peningkatan cepat tekanan darah, mengisyaratkan bahwa zat kimia ini dalam keadaan normal mungkin menimbulkan efek vasodilatasi.

II.2.4. Dasar Pengukuran Tekanan Darah

Tekanan darah dapat secara tidak langsung diukur dengan menggunakan sigmomanometer. Perubahan tekanan arteri selama siklus jantung dapat diukur secara langsung dengan menghubungkan alat pengukur tekanan dengan sebuah jarum yang dimasukkan ke dalam arteri. Namun, pengukuran dapat dilakukan secara lebih nyaman dan cukup akurat, yaitu secara tidak langsung dengan menggunakan sfigmomanometer, suatu manset yang dapat dikembungkan, dipakai secara eksternal, dan dihubungkan dengan pengukur tekanan. Apabila

(58)

manset dilingkarkan mengelilingi lengan atas dan kemudian dikembangkan dengan udara, tekanan manset disalurkan melalui jaringan ke arteri brakialis di bawahnya, yaitu pembuluh utama yang mengangkut darah ke lengan bawah. Teknik ini melibatkan keseimbangan antara tekanan di manset dengan tekanan di arteri. Apabila tekanan manset lebih besar dari tekanan di pembuluh, pembuluh terjepit dan tertutup, sehingga tidak ada darah yang mengalir melaluinya. Apabila tekanan darah lebih besar daripada tekanan manset, pembuluh terbuka dan darah mengalir melaluinya. (Sherwood, 2010)

Pada permulaan penentuan tekanan darah, manset dikembungkan ke tekanan yang lebih besar daripada tekanan sistolik, sehingga arteri brakialis kolaps. Oleh karena tekanan eksternal lebih besar daripada tekanan internal puncak, arteri akan tergencet sehingga tertutup selama siklus jantung; tidak terdengar bunyi, karena tidak ada darah yang lewat arteri ini. Pada saat udara di dalam manset secara perlahan dikeluarkan, tekanan di manset secara perlahan berkurang. Semprotan darah ini bersifat turbulen, sehingga dapat didengar. Dengan demikian, tekanan manset tertinggi pada saat bunyi pertama dapat terdengar menandakan tekanan darah sistolik. Sewaktu tekanan manset terus turun, darah secara intermiten menyemprot melewati arteri dan menimbulkan bunyi pada setiap siklus jantung berikutnya setiap kali tekanan arteri melebihi tekanan manset. Sewaktu tekanan manset pertama kali berada di bawah tekanan

(59)

diastolik, arteri brakialis tidak lagi tergencet tertutup selama siklus jantung, dan darah mengalir tanpa gangguan melalui pembuluh tersebut.

Gambar 4: Pengukuran Tekanan Darah

Dikutip dari : Sherwood, L. 2010. The Blood Vessels and Blood Peressure. In: Human Physiology From Cells to System. Mc Graw Hill. 7 th.ed. California. p 351

(60)

Karena aliran darah tidak lagi turbulen, bunyi tidak terdengar.

Dengan demikian, tekanan tertinggi manset pada saat bunyi terakhir terdengar menandakan tekanan diastolik. Pada praktek klinis, tekanan darah arteri dinyatakan sebagai tekanan sistolik di atas tekanan diastolik, dengan nilai rata-ratanya 120/80 mmHg. Denyut yang dapat diraba di sebuah arteri yang berada dekat dengan permukaan kulit ditimbulkan oleh perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik. Perbedaan tekanan ini dikenal sebagai tekanan nadi. Apabila tekanan darah adalah 120/80 mmHg, tekanan nadi adalah 40 mmHg (120 mmHg - 80 mmHg) (Sherwood, 2010)

Pada praktik klinis, tekanan darah seharusnya diukur minimal 2 kali setelah 5 menit istirahat, dimana pasien duduk dengan nyaman di kursi, dan lengan terbuka dan sejajar dengan jantung. Manset dewasa yang berukuran besar seharusnya digunakan untuk mengukur tekanan darah pada orang dewasa dengan berat badan berlebih, dimana penggunaan manset dewasa yang berukuran standard dapat mebiaskan hasil pengukuran. Pemakaian tembakau dan kafein seharusnya dihindari minimal 30 menit. Tekanan darah diukur pada kedua lengan dan setelah 5 menit berdiri, yang terakhir ini untuk menyingkirikan penurunan tekanan darah akibat perubahan postur yang signifikan, terutama pada orang dewasa yang lebih tua dan menderita DM atau kondisi-kondisi lain seperti penyakit parkinson yang menyebabkan terjadinya gangguan otonom.

(Victor, 2015)

(61)

Guideline 2011 dari The National Institute for health and Clinical Excellence di Inggris merekomendasikan sebagai berikut. Jika tekanan darah diukur pada saat di klinik 140/90 mmHg atau lebih tinggi, tekanan darah diukur dua kali jika pengukuran kedua hasilnya berbeda, pengukuran dilakukan lagi. Rekam nilai pengukuran yang lebih rendah dari dua pengukuran terakhir sebagai tekanan darah klinis, jika tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih tinggi atau adanya bukti yang menunjukkan adanya penyakit pada target organ, monitoring tekanan darah sangat dianjurkan untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi.

(Victor, 2015)

II.2.5. Hubungan Tekanan Darah terhadap Outcome Stroke

Terapi untuk menurunkan tekanan darah secara luas dilakukan sebagai bagian dari manajemen akut pada pasien yang mengalami perdarahan intraserebral akut. Respon hipertensi akut adalah umum pada pasien yang mengalami perdarahan intraserebral akut. Terjadi pada ≤ 75% dan tekanan darah yang meningkat dihubungkan dengan perluasan hematom dan outcome yang buruk. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dengan menurunkan tekanan darah secara cepat dengan obat antihipertensi dapat dilakukan dan dapat ditoleransi dan mencegah terjadinya perluasan hematom. Akan tetapi, keuntungan dari pemberian obat antihipertensi pada pasien stroke akut masih kontroversial, pada pasien yang mengalami perdarahan intraserebral pada Scandinavian Candesartan Acute Stroke Trial tidak mengungtukan setelah diberikan

(62)

candesartan. Dan perhatian juga dikhususkan pada penurunan tekanan darah yang berlebihan pada pasien perdarahan intraserebral akut dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi ginjal, iskemik otak, dan kematian.

(Sakamoto dkk, 2013)

Menurut penelitian yang dilakukan Wallace and Levy pada tahun 1981 melaporkan bahwa tekanan darah meningkat pada 84 % dari 334 pasien stroke akut yang diambil secara konsekutif pada saat datang ke rumah sakit. Terdapat penurunan tekanan darah spontan (Rata-rata mengalami penurunan 20 % dari tekanan darah sistolik dan 10 % dari tekanan darah diastolik) dalam 10 hari setelah fase akut tanpa diberikan terapi antihipertensi spesifik, dan hanya sepertiga yang tetap mengalami hipertensi pada hari rawat ke 10 di rumah sakit. (Qureshi dkk, 2007)

Hubungan antara tekanan darah pada saat masuk dengan outcome ditemukan pada International Stroke Trial Analysis menjadi faktor yang menentukan prognosis termasuk usia, jenis kelamin, gejala klinis yang berat (sindrom sirkulasi anterior total), tingkat kesadaran dan atrial fibrilasi.

Kejadian lain mungkin dapat menjelaskan hubungan ini karena risiko untuk terjadinya stroke berulang dan edema serebri yang fatal dihubungkan dengan tekanan darah sistolik pada saat masuk.

Transformasi hemoragik tidak dihubungkan dengan tekanan darah sistolik.

Analisis tersebut juga menyatakan bahwa tekanan darah yang rendah, suatu kondisi yang jarang ditemukan, juga secara independen

Gambar

Tabel  1.  Obat  Intravena  untuk  meningkatkan  tekanan  darah  pada  stroke akut
Gambar 1 : Penentuan tekanan darah arteri rata-rata.
Gambar 2: Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resistensi Perifer Total.
Gambar 3: Letak Baroreseptor Arteri
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penapis minimum (min filter) – mengganti nilai pixel di tengah window dengan nilai minimum di dalam window. Penapis maksimum (max filter) – mengganti nilai pixel di tengah window

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian (Dharampal, dkk, 2012) peran orang tua berperan aktif dalam memberikan bimbingan tentang pendidikan menstruasi melalui

Kamus liii berhasil disusun temtama atas kepercayaan Pemimpin Pro-. yek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pu sat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Untuk itu,

 Walaupun terdapat banyak dialek di China yang sebutannya mungkin berbeza Walaupun terdapat banyak dialek di China yang sebutannya mungkin berbeza antara satu dengan yang lain

Sistem periodik unsur adalah sistem pengelompokkan unsur  Sistem periodik unsur adalah sistem pengelompokkan unsur  berdasarkan hukum periodik, mencakup periode dan

inovasi yang akan dibahas pada penelitian ini adalah penggunaan campuran minyak biodiesel dengan minyak solar yang digunakan untuk bahan bakar shuttle bus di CGK.. Bahan baku

Seperti yang dikatakan oleh Twelftree bah- wa pelayanan eksorsisme adalah penyembuhan yang dilakukan ketika setan atau roh jahat masuk dalam tubuh seseorang,