• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif 2 : Giovanni Sartor

B. Beberapa Model Bentuk Pemerintahan 1 Parlementarisme

III. Dampak Institusi (Presidensialisme & Parlementarisme) a) Perspektif 1 : Adam Przewarski et al

2. Perspektif 2 : Giovanni Sartor

Isu awal yang diangkat adalah mempertanyakan apakah parlementarisme dapat menolong ? Apakah sistem parlementer lebih unggul dari sistem presidensial? Dalam pandangan Sartori dikemukakan bahwa mengenai transisi dari sistem yang menyerupai

Amerika ke suatu sistem yang menyerupai Eropa atas dasar peringatan yang sederhana bahwa demokrasi parlementer tidak dapat berkinerja dalam setiap macamnya yang banyak jumlahnya—kecuali kalau dibantu oleh partai-partai yang cocok dengan parlementer, yaitu partai-partai yang telah tersosialisasikan (melalui kegagalan, usianya, dan berbagai insentif yang tepat) ke dalam organisasi yang secara relatif padu (cohesive)dan atau disiplin. Untuk mengingatkan kita, yang dikatakan di atas tidak selalu berlaku bagi sistem presidensial, dengan alasan karena kita tahu bahwa di bawah kondisi-kondisi pemerintah yang terbelah (divided government) kemacetan dapat dihindarkan justru oleh ketidak disiplinan partai. Sebaliknya, partai-partai yang disiplin merupakan syarat yang perlu bagi “bekerjanya” sistem parlementer. Dengan kata lain, dengan partai-partai yang tidak disiplin, sistem parlementer menjadi sistem majelis yangtidak bekerja.

Maka pertanyaannya : jika negara-negara Amerika Latin mengadopsi suatu sistem parlementer, akankah kinerja negara-negara itu menjadi lebih baik dibandingkan dengan sistem majelis dari banyak negara Eropa selama sampai tahun 1920-an dan 1930-an? Saya (Sartori) sangat meragukannya karena dengan jelas persoalannya bahwa bagian besar Amerika Latin tidak memiliki dan masih jauh untuk mendapatkan partai-partai yang cocok dengan system parlementer. Brasil benar-benar sesuai dengan kenyataan ini; dan karenaBrasil mempertimbangkan sejauh mengajukan suatu referendum, pada 1993,untuk pilihan parlementarisme, saya beralih sebentar dengan contoh Brasil.Boleh jadi tidak ada negara di dunia yang sekarang ini sebagai antipartai,baik dalam teori maupun dalam praktek, seperti di Brasil. Para politisi memperlakukan partai mereka sebagai barang sewaan. Mereka sering kali beralih partai, memberi suara yang menentang garis partai, dan menolak setiap jenis disiplin partai atas dasar bahwa kebebasan mereka untuk mewakili konstituensinya tidak dapat dicampuri. Jadi, partai benar-benarmerupakan entitas yang mudah berubah; dan karena itu presiden Brasil dibiarkan mengambang pada ruang vakum, di atas suatu parlemen yang tak mau patuh dan jelas tercabik-cabik (atomized). Dapatkah kita mengharapkan dengan lingkungan seperti ini bahwa peralihan ke suatu sistem parlementer akan menghasilkan partai yang padu, dan ini diperlukan karena dalam system yang baru itu partai-partai dibutuhkan untuk menopang suatu pemerintah yang berasal dari parlemen? Sesungguhnya ini

merupakan argumen para pencetus referendum (yang telah dikalahkan). Tetapi tidak ada bukti-bukti perbandingan dan juga historis yang mendukung harapan itu.

Dibandingkan dengan partai-partai Brasil, partai-partai Jerman selama periode Weimar merupakan “partai model”; namun fragmentasi partai-parta itu tidak pernah dapat diatasi dan kinerja parlementernya antara 1913-33tidak pernah mengalami perbaikan dan juga tidak memberi kemampuan memerintah. Tidak ada yang berubah dalam perilaku atau sifat pokok partai-partai selama Republik Prancis Ketiga dan Keempat. Usia rata-rata pemerintah selama masa empat puluh tahun dari Republik Ketiga (1875-1914) adalah sembilan bulan. Hal yang sama juga berlaku pada Italia sebelum-fasis. Persoalannya ialah bahwa keterpaduan dan disiplin partai(dalam pemungutan suara di parlemen) tidak pernah merupakan umpan balik (feedback) bagi pemerintah parlementer. Jika suatu sistem berdasarkan majelis, teratomisasikan, tidak mau patuh, yang bagaikan magma yang panasdi bawah permukaan, oleh kelembamannya sendiri sistem itu akan tetap sebagaimana adanya.

Saya tidak dapat membayangkan suatu system kepartaian yang berkembang ke dalam “sistem” yang benar-benar tersusun sebagai partai massa berbasis–organisasi yang kuat atas dasar pembelajarandi dalam parlemen. Metamorfosa atau perubahan bentuk dari system kepartaian yang tidak terstruktur menjadi terstruktur selalu dipicu olehtantangan dan penularan dari luar. Partai orang-orang terkemuka (party ofnotables) di masa lalu menghilang atau berubah arah sebagai tanggapan terhadap tantangan yang diciptakan partai-partai massa (sebagian besar antisistem)yang bercirikan ideologi dan semangat yang kuat. Semua unsur yang dahulu ada itu, sekarang tidak ditemukan di Brasil. Lagi pula, kredo dan retorika anti-partai yang merasuki negara itu menciptakan jenis partai yangcocok dengan sistem parlementer bukan saja mustahil, melainkan juga tidakdapat dibayangkan. Jadi persoalannya bahwa kultur dan tradisi politik Brasil sekarang ini menghidupkan partai-partai yang tidak cocok dengan system parlementer. Di bawah lingkungan seperti itu suatu percobaan parlementer yang menyebabkan Brasil keluar dari kekacauan ke dalam jenis pemerintahan parlementer yang efisien, menurut pendapat saya, menentang semua ketidak mungkinan.

Di lain pihak, di Amerika Latin, ada tiga negara penting yang diperkirakan mungkin menghasilkan—dari segi sistem kepartaiannya—suatu peralihan ke parlementarisme,

yaitu Chili dan kemudian Argentina dan Venezuela yang masing-masing memilik dua- partai. Chili mempunyai susunan multi-partai yang menyerupai Eropa di daratan. Akan tetapi, Chilijuga mempunyai masa lalu dengan “pluralisme yang terpolarisasikan,”dengan polarisasi kuat yang dibarengi dengan fragmentasi partai yang besar.

Atas latar belakang ini, apakah bijaksana bagi Chili untuk mengadop sisistem parlementer? Saya meragukannya. Jika orang-orang Chili memutuskan untuk meninggalkan sistem presidensialnya, mereka sebaiknya diberi nasehat yang baik, yang menurut pendapat saya, untuk mengupayakan suatu pemecahan yang semi-presidensial dan bukan parlementer. Argentina malahan suatu sistem presidensial dua-partai yang mendekati kemungkinan menikmati mayoritas yang tidak terpisah. Sebagai suatu pertanyaan yang menduga-duga, akankah Argentina memperoleh manfaat dari suatu transformasi parlementer? Sekali lagi saya meragukannya. Partai-partai Argentina bukanlah partai yang “kokoh”. Yang mempertahankan kebersamaan mereka dan menghasilkan penggabungan diri mereka adalah sistem presidensial, yaitu kepentingan dalam memenangi hadiah yang tak-dapat dibagi : kepresidenan. Jadi kita mengharapkan suatu susunan berbeda untuk menghasilkan suatu fragmentasi partai yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh Argentina. Selanjutnya Venezuela tampaksebagai satu-satunya negara Amerika Selatan yang mampu—atas dasar kedua partainya yang kuat dan disiplin —untuk mengambil resiko suatupercobaan parlementer. Tetapi pada 1933 sistem dua- partai Venezuela pecahberantakan. Oleh karena itu saya terdorong untuk menyimpulkan bahwakeberagaman parlementarisme yang sangat boleh jadi akan muncul dilintasan sebagian besar Amerika Latin bakal berupa bentuk majelis dengan kemungkinan yang terburuk.

Dalam sistem presidensial kinerja pemerintahan dinilai kurang baik sebagaimana dikemukakan Linz di negara-negara dengan pembelahan yang dalam dan dengan suatu sistem kepartaian terfragmentasi, adalah benar sekali. Tetapidapatkah negara-negara itu berkinerja lebih baik—dengan kondisi-kondisitetap serupa di bawah bentuk parlementer? Apabila faktor-faktor lain tidakberubah, saya pikir tidak.

Dokumen terkait