• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan Ajar Mata Kuliah pemerintahan nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahan Ajar Mata Kuliah pemerintahan nasional"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

MATA KULIAH

PEMERINTAHAN NASIONAL

Deskripsi Mata Kuliah :

Mata kuliah ini menelaah dan menjelaskan tentang bentuk-bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, tujuan dan fungsi pemerintahan, faktor lingkungan dalam penyelenggaraan pemerintahan, demokrasi desentralisasi dan otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan, lembaga dan birokrasi pemerintahan, hubungan pusat-daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, dibahas juga konsep reinventing government dan good governance.

Capaian Pembelajaran :

Setelah menempuh mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami dan mampu menjelaskan tentang pemerintahan nasional dengan berbagai problematikanya Rincian Kajian Mata Kuliah Pemerintahan Nasional :

1. Pendahuluan

2. Bentuk-bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan 3. Tujuan dan fungsi pemerintahan

4. Faktor lingkungan dalam penyelenggaraan pemerintahan

5. Demokrasi, desentralisasi dan otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan 6. Lembaga dan birokrasi pemerintahan nasional

7. Lembaga Legislatif (Parlemen: MPR, DPR, DPD), Eksekutif (Presiden dan Menteri-Menteri), Yudikatif (MK, MA, Pengadilan,dll)

8. Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah 9. Politik dan kebijakan pemerintahan

(2)

Daftar Pustaka :

Madison, James, The Federalist, The Modern Library, Random House Inc.

Friedrich, Carl, Trends of Federalism in Theory and Practice, (chapter 1,2), Frederick A Praeger Publishers, 1968.

Smith, Graham, Federalisme, Pilihan Masyarakat Majemuk, cetakan 1, Penerbit Solidaritas Indonesia,1999.

Teori Federalisme, kumpulan makalah studi kasus, Perpustakaan S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah.

Kramer, Jutta, Federalism and Civil Society, An International Sympusium, Nomos Verlogs gessellschaft Baden-baden, 1999.

Elazar, Daniel J, Exploring Federalism, The University of Alabama Press T uscaloosa, Alabama, 1987.

Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia.

(3)

BAHAN PENGANTAR DISKUSI (BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN)

BAB 1

PENDAHULUAN A. Pengantar

Secara umum pemerintahan diartikan sebagai perbuatan, cara, atau tindakan / urusan dari badan atau orang-orang yang memerintah. Pemerintahan juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau keputusan pemerintah dalam kerangka membangun dan menata kepentingan pelayanan publik, baik dalam bentuk produk perundang-undangan, maupun dalam bentuk program dan kegiatan pembangunan bagi masyarakat.

Pemerintahan Nasional dapat dipahami urusan dari sejumlah tugas dan fungsi baik secara vertikal maupun horisontal dalam suatu organisasi pusat atau nasional (negara) berdasarkan norma dan gagasan sistematis untuk mengatur, mengurus dan mewujudkan kepentingan rakyat. Dan untuk melaksanakan dan mewujudkan kepentingan rakyat dibutuhkan suatu wadah atau organisasi yang bernama negara. Dalam mendirikan sebuah negara, setidaknya diperlukan sejumlah syarat pokok antara lain : harus ada pemerintahan yang berdaulat, rakyat, wilayah dan pengakuan. Pemerintahan dalam arti luas, pada umumnya mencakup eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan dalam arti sempit adalah eksekutif sendiri, yakni kepala pemerintahan beserta kabinetnya.

(4)

1959. Dan selanjutnya dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memberlakukan kembali UUD 1945, yaitu memberi kesempatan sekali lagi bagi penggunaan sistem presidensial. Sedangkan menurut Inu Kencana Syafiie (1992) secara umum ada dua bentuk negara, yakni negara kerajaan dan negara Republik. Sedangkan sistem pemerintahan pada umumnya terdiri dari beberapa bentuk, yaitu :

1. Sistem Pemerintahan Parlementer, yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem pemerintahan parlementer bercorak Republik dan Kerajaan. Dalam sistem ini akan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap eksekutif oleh pihak legislatif. Dengan demikian parlemen diberikan kekuasaan yang besar agar eksekutif dapat memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah /eksekutif selaku perdana menteri bersama kabinetnya bertanggung jawab kepada parlemen. Contohnya Malaysia.

2. Sistem Pemerintahan Campuran, yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem pemerintahan campuran bercorak Desentralisasi dan Sentralisasi. Dalam sistem ini akan dipadukan sejumlah hal-hal terbaik dari sistem parlementer dan presidensial, dengan harapan dapat menciptakan pemerintahan yang lebih demokratis dan sejahtera bagi rakyat. Misalnya negara Indonesia dan Perancis.

3. Sistem Pemerintahan Presidensial, yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem pemerintahan presidensial bercorak Serikat dan Kesatuan. Dalam sistem ini presiden memiliki kekuasaan yang kuat, karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Oleh karena itu agar tidak menciptakan pemerintahan yang diktator dan otoriter maka diperlukan check and balance antar lembaga tinggi negara, seperti negara AS.

(5)

B. Klasifikasi Struktur Organisasi Negara dan Pemerintah

Sebelum mendalami materi ini, setidaknya perlu dijelaskan lebih awal secara eksplisit apa yang dimaksud dengan “negara”. Negara menunjuk pada suatu gejala historis, yaitu seperangkat institusi atau organisasi yang berinteraksi dalam suatu cara yang kurang lebih terkoordinasi di dalam suatu batas-batas wilayah yang ditetapkan. Secara ringkas dapat dirumuskan bahwa negara adalah suatu organisasi, yang mengontrol alat-alat koérsi yang utama didalam suatu wilayah tertentu, otonom, tersentralisasikan dan secara formal terkoordinasikan.

Dalam tradisi Anglo-Saxon, “negara” cenderung dianggap sebagai sinonim dengan “pemerintah”. Lain halnya dengan tradisi kontinental yang membuat perbedaan di antara “negara” sebagai istilah umum dan abstrak yang menunjuk pada institusi-institusi politik dan “pemerintah” sebagai salah satu unsurnya, yaitu cabang eksekutif, yang berdampingan dengan cabang-cabang yang lain: legislatif, yudikatif, birokrasi, dan militer.

Sejak zaman Yunani kuno, perdebatan yang serius telah berlangsung mengenai masalah pengklasifikasian negara menurut bentuk pemerintahannya. Cara yang paling mudah untuk membedakan bentuk-bentuk pemerintah itu adalah melalui kategori monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Tetapi perdebatan di sekitar pengklasifikasian itu lebih bersifat normatif dari pada empiris. Yang mereka persoalkan lebih banyak mengenai sisi baik dan sisi buruk dari suatu bentuk pemerintahan.Aristoteles, misalnya, kemudian tampil dengan sebuah skema tentang bentuk pemerintahan yang ideal dengan pasangannya yang buruk yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.1 Skema Bentuk Pemerintahan Bentuk / Corak

IdealNegara Pemerintah Bentuk Pembusukan

Monarki Satu Orang Tirani

Aristokrasi Sedikit Orang Oligarki

Politeia Banyak Orang Demokrasi

(6)

kompleks. Suatu pendekatan teoritis yang lebih objektif dan empiris, dan karena itu secara umum dapat diterima, adalah mengklasifikasikan negara dan pemerintahannya menurut dimensi khusus struktur organisasi negara. Setidaknya, ada tiga pendekatan yang masing-masingnya menyangkut dimensi penting struktur organisasi negara yang dapat dirumuskan dalam bentuk tiga pertanyaan (D. George Kousoulas, 1968):

1. Apakah kedudukan kepala negara turun temurun atau dipilih?Jawaban atas pertanyaan ini menerangkan apakah sebuah Negara merupakan bentuk negara monarki atau republic ?

2. Apakah eksekutif secara konstitusional bertanggung jawab terhadap legislatif atau tidak? Jawaban atas pertanyaan kedua ini menentukan bentuk pemerintahan negara itu parlemen atau presidensial ?

3. Apakah secara konstitusional ada pemisahan kekuasaan memerintah antara pemerintah pusat dan pemerintah regional atau tidak ?

(7)
(8)

BAB II

BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN

1. Bentuk Negara

A. Negara Federal vs Negara Kesatuan

Beberapa pertanyaan kunci yang patut diajukan dalam pembahasan materi ini adalah : pertama, Apa perbedaan antara negara kesatuan dan negara federal? dan kedua, sebutkan beberapa contoh negara kesatuan dan negara federal ? Dan salah satu pertanyaan lanjutan adalah ketika kita mulai membicarakan klasifikasi negara adalah : Apakah secara konstitusional ada pemisahan atau tidak kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah regional ? Jawaban atas pertanyaan itu menerangkan apakah negara yang bersangkutan termasuk jenis federal atau kesatuan. Klasifikasi yang dihasilkannya kita sebut bentuk negara. Semua negara modern di dunia dewasa ini niscaya tergolong ke dalam salah satu bentuk negara federal atau kesatuan. Dengan mengatakan hal ini tidaklah berarti bahwa semua negara federal dan semua negara kesatuan itu seragam. Pada kenyataannya, ada banyak ragam negara federal,sebagaimana juga ada banyak ragam negara kesatuan. Meskipun begitu tidak ada negara modern sekarang ini yang sama sekali tidak termasuk ke dalam kedua bentuk negara itu.Klasifikasi di atas sekaligus menetapkan sifat dasar negara federal,yaitu adanya pembagian kekuasaan secara konstitusional antara pemerintah pusat dan pemerintah regional, sementara pada negara kesatuan tidak ada pembagian kekuasaan seperti itu. Kedua sifat dasar ini perlu diklarifikasi lebih lanjut, yakni :

(9)

kekuasaan berjalan dari pemerintah regional kepada pemerintah pusat. Kekuasaan (seolah-olah) mengalir dari bawah keatas.

Kedua, pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah regional dijamin secara konstitusional. Artinya, pembagian kekuasaan itu tercantum dalam konstitusi, sementara delegasi kekuasaan pada negara kesatuan hanya diatur dalam undang-undang. Konstitusi federal dengan tegas mencantumkan kekuasaan atau wewenang yang diserahkan kepada pemerintah pusat, dan wewenang apa saja yang tersisa menjadi milik pemerintah regional. Sebaliknya, pada negara kesatuan, melalui undang-undang,pusatlah yang menentukan kekuasaan apa saja yang diserahkan kepada pemerintah regional dan setiap saat kekuasaan itu dapat dicabut atau diubah.Konstitusi tentu saja dapat diubah. Tetapi berbeda dengan undang-undang,prosedur perubahan konstitusi jauh lebih sukar.

Ketiga, dalam negara federal, sebetulnya tidak dikenal istilah pemerintah pusat, sebagaimana yang telah digunakan di atas. Berbeda dengan negara kesatuan yang memiliki “pemerintah pusat”, bentuk federal memiliki “pemerintah federal” atau “pemerintah nasional”. Jadi, jika negara kesatuan memiliki “pusat” kekuasaan, maka negara federal dapat dikatakan memiliki banyak “pusat”, yaitu unit-unit yang membentuk negara federal itu dan pemerintah federal itu sendiri. Prinsip politik yang menjiwai federalism adalah bagaimana koordinasi yang baik dapat berlangsung di antara pusat-pusat kekuasaan itu.

(10)

kekangan atau kekuasaannya. Di atas segalanya, kedua bentuk negara ini masih bertahan dengan keunggulan dan kekurangan masing-masing. Menurut Gavin Drewry (1995), label kesatuan berarti ketangguhan nasional dan kesatuan tujuan, khususnya dalam gelanggang internasional dan militer. Sementara label federalis menekankan suatu komitmen pada nilai-nilai demokrasi yang majemuk dan suatu kehendak untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan berbeda dari penduduk yang beragam, khususnya dalam kebijakan dalam negeri. Terlepas dari penilaian ini, negara kesatuan dianggap cocok dengan negara kecil dari segi wilayah. Dengan bentuk kesatuan, negara kecil dapat menghilangkan duplikasi kegiatan dan kemungkinan konflik antara berbagai tingkat pemerintah. Sebaliknya, negara federal dianggap sebagai metode memerintah yang ampuh bagi negara-negara besar dan multikultural,terutama untuk menanggulangi potensi-potensi konflik akibat fragmentasi teritorial dan kultural pada umumnya.

(11)

B. Federalisme vs Konfederasi 1. Federalisme

Perkataan federalisme sering disenapaskan dengan negara federal atau federation, selama ini diindonesiakan sebagai “federasi”. Tetapi sebetulnya federalisme dapat diibaratkan sebagai sebuah spesies yang terdiri dari berbagai genus (Daniel J. Elazar, 1995). Federation atau negara federal adalah spesis yang paling dikenal dari berbagai spesis lain, yang secara khusus akan dibicarakan lagi nanti. Jenis federalisme yang lain adalah confederation atau konfederasi adalah suatu situasi di mana beberapa negara berkumpul untuk menciptakan pemerintahan umum dengan tujuan terbatas yang berfungsi melalui negara-negara anggota yang tetap merupakan negara berdaulat penuh. Sebelum beralih ke bentuk federal, “Amerika Serikat” sebelumnya merupakan bentuk konfederasi. Patut dicatat,bahwa Swis, melalui konstitusinya, menyebut dirinya sebagai konfederasi tetapi kalau ditilik lebih dalam negara itu sebenarnya negara federal biasa.

Dewasa ini ada beberapa konfederasi supra nasional, yaitu Uni Eropa,Caribbean Community and Common Market (Caricom – meliputi Antiguadan Barbude, Bahamas, Barbados, Belize, Dominika, Grenade, Guyana,Jamaika, dll.), dan Commonwealth of Independent States (CIS – meliputiArmenia, Azerbaijan, Belarus, Georgia, Kazakstan, Moldeva, Ukraina,Uzbekistan, dll.)

(12)

yang merupakan saudara sekandung di mana Sultan Ternate yang paling kecil. Namun kemudian Kerajaan Ternate-lah yang menjadi pusat pemerintahan Konfederasi Maloko Kie Raha. Ke-4 kesultanan tersebut bersekutu dalam wadah konfederasi yang merupakan satu kerajaan Islam. Konfederasi tersebut dipahami sebagai satu kontrak sosial dari kumpulan interaksi dan didalam nilai, badan ini adalah satu misi moral. Pada perkembangannya kemudian hanya Kesultanan Ternate dan Tidore saja yang yang mampu melakukan ekspansi keluar Maluku Utara, contohnya seperti Tidore yang melakukan ekpansi ke Seram dan Papua serta Ternate yang sampai ke Indonesia bagian Tengah bahkan Philipina. Dalam perkembangan kesultanan selama tiga abad (dari abad XIII sampai abad XVI) Kesultanan Ternate merebut hegemoni di Maluku Utara dan kesultanan Jailolo, Tidore dan Bacan berada dibawah naungannya. Kesultanan Ternate mencapai masa jayanya dibawah pemerintahan Sultan Baabullah(1570-1583).

Perkembangan Federasi dari Masa ke Masa

Bentuk federasi paling tua dapat ditemukan di benua Eropa, namun konsep federasi baru muncul setelah dibentuknya federasi Amerika, ia dimunculkan sebagai bentuk tengah kontestasi negara-negara bagian. Amerika membentuk negara federasi pada akhir tahun 1787, ketika para pembentuk konstitusi Amerika memilih pengaturan politik bercorak federatif sebagai bentuk negara merdeka.

Pasca perang dingin, federasi muncul dan meluas sebagai tema penting. Revolusi federal sedang melanda dunia, demikian dikatakan Elazar, untuk menggambarkan hal di atas. Ini dikarenakan munculnya gerakan-gerakan nasionalis serta muncul, meluasnya ketegangan etnik. Di Eropa, federasi muncul untuk menegaskan identitas baik lokal maupun dalam kesatuan yang lebih luas dan sebagai negosiasi untuk memecahkan masalah politik dan kekuasaan pada masyarakat etno-regional. Di Afrika Selatan -- yang dibentuk hanya dalam waktu 24 jam setelah politik apartheid runtuh -- federasi dimaksudkan untuk melahirkan pemerintah yang lebih adil.

(13)

pengalaman Amerika Serikat. Atau sebagai proyek khusus menghadapi persoalan tertentu – seperti sejarah kehadiran federasi di sejumlah Negara untuk mengakomodasi keunikan, bahasa, misalnya, seperti terlihat dari pengalaman Papua, Aceh di Indonesia, Qubec di Canada, dsbnya. Pengalaman sejumlah tempat tersebut menunujukan adanya penerapan prinsip “desentralisasi asimetris” dengan diberikannya otonomi khusus. 2. Asal Muasal Federasi

Proses kehadiran federasi pun juga beragam. Federasi Jerman terbentuk karena perubahan konstitusi yang dilakukan oleh Sekutu ketika Jerman kalah perang melawan Sekutu tahun 1948. Federasi di India merupakan warisan kolonial (coloniallegacy), sejak awal India didesain sebagai negara federasi oleh Inggris. Di Amerika Serikat, federasi terbentuk sebagai kompromi antara kehendak konfederasi, bahkan pembentukan Negara merdeka dengan hasrat sentralisasi yang kuat. Di Uni Soviet, federasi terbentuk sebagai akibat dari perubahan konfigurasi politik menyusul tumbangnya regim feodalisme. Sementara di Spanyol, federasi terbentuk sebagai akibat perubahan konstitusi menyusul meninggalnya Franco sebagai symbol dari kekuatan politik militer-represif yang sentralistik.

Federasi berasal dari kata foedus yang berarti perjanjian. Johannes Althusius (1562-1638) dalam bukunya Politica (1603, 1610) memformulasikan konsep federalisme sebagai berikut:

On all levels the union (consociatio) is composed of the units of the preceding lower level -- the village was a federal of union of families, the town a union of a guilds, the province a union of a towns, villages, the kingdom or state a union of such provinces, and the empire a union of such states and free cities -- so that when we arrive at the top, the members of a state (regnum) neither individual persons nor families, guilds, or other such lower communities, but only the provinces and free cities

Berbeda dengan konsep Althusian yang melihat federasi sebagai kumpulan provinces dan free cities, konsep federasi Amerika memandang bahwa federasi merupakan kumpulan individu warga negara.

(14)

a) Ideologi pemusatan tanpa harus mempromosikan sentralisme, atau desentralisasi b) Doktrin penyeimbang, sebagaimana disebutkan Proudhon (bapak federasi

modern) 250 tahun lalu, hanya federasi longgar yang dapat memberikan solusi efektif terhadap masalah kunci dari organisasi sosio-politis rekonsiliasi antara kekuasaan dan kebebasan. Ia merumuskan Negara Federal ataupun federalisme sebagai:

 penghalang sentralisasi dan penyeragaman, sebaliknya menjadi pendorong distribusi kekuasaan dan penjamin keanekaragaman

 penakhluk autoritarianisme sekaligus karib demokrasi

 musuh ketertinggalan ekonomi sekaligus sahabat kemajuan ekonomi.  senjata pamungkas bagi ketimpangan sosial dan spatial sekaligus alat

mempromosikan keadialan sosial serta kesimbangan antar daerah.

Dicey, memperlebarnya dengan mengidentifikasi ide federal sebagai penuh dengan cita-cita mencapai keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, mencerminkan keinginan masyarakat untuk persatuan tetapi bukan kesatuan (union but not unity). Dalam konteks ini, ide federasi singkatnya adalah semacam kompromi yang ditunjang oleh gambaran saling kontrol antara kesatuan dan perbedaan, otonomi dan kedaulatan, nasional dan regional.

c) Proyek teritorial dan non teritorial dalam masyarakat multietnis.

3. Prasyarat Federasi

(15)

atau feeling ini bisa dibangun dengan adanya imajinasi – seperti diistilahkan Bennedict Anderson dengan imagine comunity-nya -- atau cita-cita bersama.

Ciri dasar federasi :

1. Negara bagian terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik nasional 2. Adanya sistem perwakilan wilayah di tingkat pengambilan keputusan nasional.

Jumlah wakil rakyat di Jerman untuk tiap negara bagian tidaklah sama, tergantung jumlah penduduk, kontribusi negara, sejarah. Bavaria adalah negara bagian dari Jerman yang paling banyak wakil rakyatnya, yaitu 5. Negara dengan kontribusi yang sedikit hanya memiliki wakil 2 atau 3 orang saja.

3. Keputusan masuk atau keluarnya negara bagian dalam suatu federasi dilakukan melalui mekanisme politik yang rumit.

4. Adanya kesatuan kekuasaan tertinggi yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa antar negara bagian, Supreme Court di Amerika contohnya. Dan ini adalah perbedaan fundamental bentuk negara federal dengan kesatuan, setiap sengketa diselesaikan melalui mekanisme hukum bukan secara politis.

5. Negara-negara bagian disusun dalam suatu tingkatan 6. Masing-masing negara bagian memiliki kostitusi sendiri 7. Adanya supremasi konstitusi

8. Ada distribusi kekuasaan federasi dengan negara bagian

(16)

Sehingga letak persoalannya adalah pada substansi dan prosedur pengelolaan kekuasaan negara, apakah ia dikelola mengikuti prinsip desentralisasi atau sentralisasi, bukan pada bentuk negara-federasi atau kesatuan.

Kropotkin, seorang teoritikus federasi, menyebutkan bentuk negara kesatuan adalah inkarnasi setan, dikotori kepentingan borjuis, para nasionalis yang anti segala hal berbau asing (xenopobhic). Ia merumuskan Negara federal sebagai “malaikat penyelamat”. Sejumlah ahli menyimpulkan rata-rata negara demokratis dan makmur adalah negara federal. Tetapi kesimpulan seperti ini akan menyesatkan. Karena kesimpulan semacam ini secara sengaja memilih sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman sebagai contoh kisah sukses negara federal. Sedangkan negara dunia ketiga seperti Indonesia dipilih secara sengaja sebagai representasi dari negara kesatuan.

Bekas negara Uni Soviet dan Yugoslavia adalah contoh federasi yang tidak demokratis dan tidak makmur secara ekonomi. Bahkan Duchacek menyebut negara-negara komunis tersebut sebagai federasi-federasi palsu. Di kawasan Asia Tenggara, Myanmar tetap menjadi negara otoriter dan terbelakang baik ketika berbentuk negara kesatuan maupun ketika masih berbentuk federasi antara tahun 1947 dan 1974. Brasil, salah satu negara di kawasan Amerika Latin, mengalami nasib yang sama. India adalah contoh negara federal yang gagal dari sudut ekonomi sekalipun berhasil dari sudut demokrasi.Tetapi sebutan palsu juga dapat diberikan pada negara kesatuan yang sentralistik. Lebih lagi, pelabelan palsu tidak sendirinya menggugurkan kenyataan bahwa bekas Uni soviet dan sejumlah negara di Eropa Timur lainnya adalah negara federal

(17)

meneliti jenis hak dan kebebasan budaya serta bagaimana hak dan kebebasan ini diterapkan secara sosial maupun spatial.

Apa yang disebut sebagai penyakit negara kesatuan yaitu sentralisasi dan penyeragaman bisa dengan mudah ditemukan dalam negara federal, sama mudahnya pada negara kesatuan, bekas Uni soviet adalah buktinya. Autoritarianisme juga bisa tumbuh subur di negara federal seperti di banyak negara Amerika Latin. Sementara ketimpangan antar kelompok dan daerah menjadi gejala di banyak negara, baik ia berbentuk federasi atau kesatuan.

Asumsi ancaman separatisme atau disintegrasi akan berlalu dengan diterapkannya bentuk negara federal lebih sebagai mitos ketimbang realitas. Walaupun Kanada selalu dirujuk sebagai salah satu contoh federasi yang stabil, Kanada hingga kini tetap dihadapkan pada ancaman keluarnya Quebec melalui referendum yang terus berulang. Padahal Kanada sudah memberlakukan prinsip “asimetris” dalam format federasinya, yaitu Quebec diberi hak istimewa lewat diterimanya penggunaan bi-lingual bahasa Inggris dan Perancis di seluruh sektor publik bahkan di lingkungan perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 40 orang.

Hal yang sama juga dialami Spanyol. Paska era kediktatoran Franco, pertengahan tahun 1970-an, Spanyol memutuskan untuk menjadi negara federal. Disamping untuk kepentingan demokrasi, langkah ini diyakini kan mengurangi hasrat warga Basque untuk menuntut kemerdekaan.Tetapi tetap saja, perubahan menjadi negara federal tidak mengurangi hasrat sebagian warga Basque untuk menuntut kemerdekaan. Gerakan separatis ETA, sejak akhir Desember 1999 bahkan kembali angkat senjata setelah 24 bulan diam untuk meprjuangkan kemerdekaan Basque dari Spanyol. Awal Maret 2001, sejumlah tokoh belia mereka yang tergabung dalam “Haika” (Raising up) ditangkap pihak kepolisian Spanyol. Sementara pemberontakan suku Karen di Myanmar masih sama intensnya saat ini dibandingkan ketika ia berbentuk federasi hingga tahun 1974.

(18)

kita simpulkan dengan penuh keyakinan adalah bahwa di bawah kondisi-kondisi yang belum bisa dipahami sepenuhnya, mungkin penguasa lokal bertindak lebih besar atau lebih kecil atau kurang ekonomis”.

Federalisme juga bukanlah hal yang statis, federalisme merupakan proses dan masih terus berproses. Bila mencermati evolusi federalisme Amerika Serikat akan diketahui bahwa federalisme di Amerika Serikat telah mengalami paling tidak 4 tahapan evolusi, dari “dual” federalism atau “state mercantilism” (1790-1860), “a centralizing” federalism (1860-1933), the new deals “cooperative” federalism hingga the “creative” federalism yang muncul belum lama ini.

Rujukan pada Amerika Serikat sebagai prototipe ideal federalisme – sebagaimana dikatakan Duchacek bahwa federasi yang ideal bila dapat disejajarkan dengan model Amerika -- mengaburkan fakta bahwa bentuk-bentuk federalisme sangat beragam. Data hingga tahun 1988 menunjukkan, sekitar 35% dari 185 negara didunia saat itu mengambil bentuk federasi. Tetapi bentuknya sangat bervariasi, yang mengambil bentuk federasi murni seperti Amerika Serikat (18 negara), federal arrangement, seperti Inggris (17 negara), associated states seperti Monaco terhadap Perancis (23 negara). Faktor sejarah, sosio kultural, sosio ekonomi, sosio politik, geografi etnik akan mempengaruhi bentuk sebuah negara.

Bentuk Federal

(19)

Masih dapat ditambahkan sebagai genus federalisme, yaitu associatestate yang secara nominal berdaulat tetapi secara konstitusional terikat dengan atau tergantung pada negara lain untuk tujuan-tujuan tertentu,misalnya Monaco dengan Prancis, Republik Palau dengan Amerika Serikat,dan San Marino dengan Italia. Yang terakhir condominium, yaitu negara yang secara bersama-sama diawasi oleh dua negara atau lebih. MisalnyaPrancis dan Spanyol atas Andorra.

Ciri-ciri Tambahan Negara Federal (Supremasi hukum, non centralisasi, ada kekuasaan judicial review yang dipegang oleh MA atau MK)

Ketika membandingkan negara federal dan negara kesatuan, telah dibahas ciri dasar negara federal dan beberapa ciri tambahan yang menyertainya. Untuk mengulangi, ciri dasar itu (istilah disesuaikan) adalah adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah nasional dan pemerintah unit-unit yang lebih rendah. Pembagian kekuasaan itu dijamin dalam konstitusi, maka ciri tambahan negara federal adalah supremasi konstitusi.

Sudah dikemukakan pula, bahwa negara federal tidak mengenal “pemerintah pusat”, seperti pada negara kesatuan. Jadi, non centralization merupakan ciri tambahan lain bagi bentuk federal.Di luar itu dapat ditunjuk pula sebagai ciri tambahan, yaitu adanya legislative dua-kamar dengan majelis federal yang kuat untuk mewakili wilayah-wilayah yang membentuk federasi itu. Wilayah atau unit yang membentuk negara federal diberi nama bermacam-macam, seperti negara bagian (di Amerika Serikat, India, Australia, Malaysia, dan Venezuela), provinsi (Kanada), canton (Swis), region atau wilayah (Belgia). Ciri lain adalah bersangkut paut dengan kekuasaan pengadilan untuk memutuskan jikaterjadi konflik antara pemerintah federal dan pemerintah daerah – yaitu,kekuasaan judicial review yang dipegang oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Berbeda degan negara kesatuan, kehadiran kedua lembaga ini mutlak bagi negara federal.

(20)

federalisme, menyebutkan enam prinsip dasar federalisme yaitu (1) tidak tersentralisasikan (noncentralization); (2)condong pada demokrasi; (3) membangun suatu sistem checks and balances;(4) bekerja melalui proses tawar-menawar terbuka; (5) mempunyai konstitusi tertulis; dan (6) adanya unit-unit yang pasti (fixed units).

Dikatakan bahwa demokrasi federal bersandar pada suatu sistem checks and balances. Negara harus disusun sedemikian rupa sehingga setiap institusi dicek/dikoresi dan diimbangi oleh institusi-institusi lain yang mempunyai kekuasaan konstitusional dan yang cukup otonom untuk menopang dirinya secara politik dan sosial. Sementara prinsip fixed units berhubungan dengandemarkasi atau batas pemisah dalam negara yang harus ditetapkan secarakonstitusional. Pemisahan dapat bersifat teritorial, consociational, ataukeduanya.

C. Negara Federal dari Segi Proses Pembentukannya

(21)

Hampir sama dengan Juan J. Linz (2001), Alfred Stepan (1999) menamai negara federal yang dihasilkan oleh proses pertama sebagai coming-together-federalism atau federalisme berkumpul-untuk bersatu. Sedangkan hasil dari proses kedua disebutnya sebagai holding-together-federalism atau federalisme mempertahankan-kebersamaan. Ditambahkan suatu federalisme jenis lain yang disebutnya putting-together-federalism atau federalisme memaksakan-kebersamaan yang tidak demokratis seperti USSR.

D. Negara Federal Simetris dan Asimetris

Negara federal juga dapat dibedakan dari segi apakah kompetensi atau wewenang unit-unit yang menyusun negara federal itu seragam atau tidak.Jika seragam, yang berarti semua unit lebih kecil menikmati kekuasaan yang setara dan mempunyai suatu hubungan serupa dengan pemerintah federal,maka negara federal itu disebut simetris. Sebaliknya, jika tidak seragam,yang berarti bahwa ada satu unit atau lebih yang diberi wewenang khususyang tidak diserahkan kepada unit-unit selebihnya, maka negara federal itu disebut asimetris. Jenis federacy, seperti yang telah dibicarakan ini adalah federalisme asimetris karena unit yang lebih kecil jelas mempunyai kedudukan yang berbeda dibandingkan dengan unit-unit lain dari negara induk (the federate power).

(22)

legislatif dan eksekutifnya sendiri, kecuali bahwa pemerintah komunitas Flander yang berbahasa Belanda juga bertindak sebagai pemerintah untuk region Flander.

E. Unitarisme (Kata Kunci: peranti asimetri, otonomi, otonomi khusus, kriteria unitarisme, masyarakat multicultural)

Berbeda dengan negara federal, bentuk unitarisme tidak mengenai pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah unit yang lebih rendah. Pemerintah pusat memegang kedudukan tertinggi dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan di seluruh negara tanpa adanya batasan konstitusi yang memberikan kekuasaan kepada unit-unit pemerintahyang lebih rendah. Dalam negara kesatuan pemerintah pusat dapat, dan biasanya melimpahkan kekuasaan kepada unit-unit yang lebih rendah. Namun pelimpahan itu tidak oleh konstitusi, melainkan melalui undang-undang yang sekurang-kurangnya di atas kertas, setiap saat dengan mudah dapat ditarik kembali. Jadi, bagaimanapun besarnya kekuasaan yang dilimpahkan, kekuasaan tetap sepenuhnya di tangan pusat. Sekadar untuk menegaskan kembali, maka dapat disimpulkan sebagai ciri tambahan unitarisme, yang bersumber pada ciri dasarnya, yaitu tidak adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, yang ada adalah adanya : (1) kekuasaan eksekutif dan legislatif yang terpusat dan (2)kekuasaan itu tidak dapat dibagi dengan unit yang lebih rendah. Kedua ciri tambahan itu oleh C.F. Strong—baginya, ini merupakan sifat penting negara kesatuan—disebut sebagai supremasi parlemen pusat dan (3) tidak adanya badan-badan berdaulat tambahan.

Ciri-ciri unitarisme yang disebutkan di atas tampaknya perlu diberi kualifikasi lebih lanjut. Dalam perkembangan kehidupan ketatanegaraan dewasa ini terlihat ada kecenderungan negara-negara unitaris untuk mengadopsi institusi-institusi independen, tidak terkecuali institusi-institusiyang aslinya ditemukan dalam presidensialisme yang federal seperti lembaga judicial review dan bank sentral yang independen-terutama jika diangkat sebagai ketentuan konstitusi, sedikit banyaknya akan mengikis supremasi parlemen, misalnya: dapat ditambahkan pula, negara-negara kesatuan yang multikultural dan multietnis, demi mempertahankan“kesatuan”nya seringkali harus memberi konsesi yang bersifat federal - dan hal ini berarti melemahkan unitarisme negara itu.

(23)

Semua negara yang dapat disebut sebagai unitaris di dunia satu sama lain mempunyai perbedaan yang sangat besar dipandang dari segi hubungan konstitusional dan institusional antara pemerintah pusat, regional, dan lokal. Negara-negara itu berbeda, misalnya, dari segi luasnya wewenang pemerintahan yang dilimpahkan dan pada tingkat mana bobot otonomi diberikan. Tetapi negara-negara itu juga dapat berbeda dalam banyak hal lain sehingga praktis sukar diklasifikasikan.Setiap negara kesatuan boleh dikatakan mempunyai keunikannya sendiri (Gavin Drewry, 1995). Prancis, misalnya, yang mempunyai tradisi unitaris yang sangat kuat, menggunakan jaringan “pengawas” (prefect) yang diangkat secara sentral untuk mengawasi pejabat daerah. Pada awal 1980-an terlihat adanya desentralisasi kekuasaan dari prefect ini kepada kekuasaan lokal tetapi tidak sampai pada tingkat mengubah sifat kesatuan Negara Prancis. Di sisi lain, Inggris memberi suatu variasi lain yang aneh. Dari Tahun 1920 sampai Tahun 1973 lingkungan khusus Irlandia Utara diakomodasikan dengan suatu susunan kuasi-federal sehingga provinsi itu mempunyai eksekutif dan legislatif yang setengah berjarak dengan kekuasaan besar. Sementara itu Skotlandia dan Wales merupakan bangsa di dalam bangsa – tunduk pada kekuasaan pemerintah Inggris dan Parlemennya tetapi dengan susunan administratif berbeda melalui kementerian teritorial. Seperti telah disinggung sebelumnya, Inggris juga mempunyai tiga federasi.

Bentuk Asimetri dalam Unitarisme

(24)

legislasi untuk hal-hal tertentu di Irlandia Utara, misalnya, mensyaratkan persetujuan Menteri Urusan Irlandia Utara dan Parlemen. Dengan demikian,dapat disimpulkan bahwa United Kingdom tetap unitaris betapapun besarnya wewenang khusus yang diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Meskipun begitu ada catatan kecil. Berbagai keputusan Westminster dalam soal ini sebetulnya lebih didorong oleh tuntutan masyarakat setempat sehingga pemberian status khusus itu dapat dipandang sebagai semacam perjanjian yang kedudukannya setingkat dengan konstitusi. Lebih lanjut, juga cukupberalasan untuk mengatakan apa yang disebut sebagai supremasi Westminster di sini, dalam banyak hal, lebih merupakan persetujuan proforma.

Pembahasan kasus Inggris di atas bertalian dengan batas-batas penerapan peranti asimetri dalam negara kesatuan. Dalam federalisme,penerapan peranti itu boleh dikatakan sesuai dengan logika federalisme, sungguhpun bukannya tak ada persoalan di situ, yaitu konflik antara hak-hak dan kesetaraan individu versus hak-hak dan nilai-nilai kolektif. Bagaimana jika dalam unitarisme? Sampai sejauh mana peranti asimetri itu dapat diterapkan dalam susunan ketatanegaraan unitaris yang biasanya dianggap menekankan keseragaman atau kesatuan dalam pemerintahan dan hukum? Pertanyaan paling pokok, yang juga berlaku dalam federalisme, sampai dimana otonomi kultural, misalnya, dapat “membelakangi” hak-hak individu yang diakui oleh konstitusi? Pertanyaan itu terlampau pelik untuk dijawab disini. Tetapi apapun jawabannya, satu hal yang pasti: prinsip asimetri merupakan peranti yang ampuh dan kadang-kadang diperlukan untuk menyelesaikan konflik dalam masyarakat multikultural.

(25)

Berkumpul untuk Mempertahankan dan Memaksakan Hidup bersama dalam kebersamaan yang penuh keragaman.

II. Bentuk & Sistem Pemerintahan

(26)

Sesuai dengan uraian di muka, segera dapat dirumuskan di sini bahwa“bentuk pemerintahan” berbicara tentang struktur kekuasaan negara dari segi relasi antara cabang-cabang pemerintahan yang ditentukan oleh konstitusi,khususnya relasi antara eksekutif dan legislatif. Dengan kata lain, relasi eksekutif-legislatif merupakan esensi dari “bentuk pemerintahan”. Relasi atau interaksi itu berbeda pada setiap negara yang tentu saja hanya dapat dipahami secara mendalam dengan mengkaji pula sistem kepartaian negara itu, termasuk sistem pemilihan yang dianutnya. Tetapi titik berat pembicaraan sekarang hanyalah pada ciri-ciri umum setiap jenis “bentuk pemerintahan” yang ada dalam praktek demokrasi di dunia.

Bentuk pemerintahan pada dasarnya menekankan relasi yang berbeda antara eksekutif dan legislatif dalam dua jenis bentuk pemerintahan: dalam hal eksekutif bertanggung jawab terhadap legislatif, dan karena itu tergantung pada, legislatif maka kita memperoleh pemerintahan parlementer, sedangkan sebaliknya kemandirian kekuasaan eksekutif terhadap legislatif merupakan ciri khas pemerintahan presidensial. Kedua jenis hubungan ini dapat dianggap sebagai bentuk dasar dalam sistem pemerintahan demokrasi. Hampir semua negara demokrasi di dunia boleh dikatakan cocok dengan salah satu di antara kedua bentuk dasar tadi : parlementer atau presidensial. Contoh klasik bentuk parlementer adalahInggris yang terkenal dengan sebutan model Westminster – disebut begitu,karena parlemen Inggris bersidang di gedung Istana Westminster. Contoh klasik bentuk presidensial adalah model Amerika Serikat, yang juga dapat disebut sebagai model Washington.

Di luar kedua bentuk dasar tadi, bentuk-bentuk antara juga dikenal yang dikategorikan sebagai bentuk campuran atau cangkokan karena mencampurkan atau mencangkokan parlementarisme dan presidensialisme.Sering disebut sebagai bentuk pemerintahan semi-presidensial. Secara sangat longgar, di bawah rubrik ini dapat dimasukkan Austria, Iceland,Irlandia, Prancis, Portugal, Sri Lanka, dan Finlandia. Yang melakukan pencangkokan secara “paripurna” adalah Republik Kelima Prancis dan karena itu dijadikan model bagi semi-presidensialisme.

(27)

ditinggalkan melalui Amandemen UUD ‘45, bentuk ini akan dibicarakanpula di bawah kategori semi-presidensialisme.

Suatu model lain yang diangkat oleh, dan boleh dikatakan penemuan,seorang ilmuwan keturunan Belanda Arend Lijphart, dikenal dengan nama model demokrasi consociational atau model konsensus. Model ini padadasarnya parlementer, dan memang negara-negara yang menerapkannya,yaitu Belgia, Austria, dan Swis, sebelumnya dengan begitu saja ditempatkandi bawah rubrik parlementer. Tetapi berbeda dengan model Westminster yang didasarkan pada prinsip mayoritas, model konsensus didasarkan pada prinsip powersharing – dalam hal ini, para elite secara sadar memilih kerjasama untuk mengimbangi pembelahan negara dan subkultur berbeda.

B. Beberapa Model Bentuk Pemerintahan 1. Parlementarisme

Sejarah parlementarisme bertalian erat dengan sejarah transformasi monarki-monarki di Eropa, khususnya di Inggris (baca: the United Kingdom). Di Inggris, proses transformasi itu berlangsung secara relative tenang, perlahan-lahan dan bertahap yang kemudian sampai pada bentuk parlementarisme yang dikenal seperti sekarang. Selain prosesnya evolusioner, sistem pemerintahan ini tidak bersumber dari suatu gagasan pemikir besar dan bukan pula hasil kesepakatan yang dituangkan dalam suatu konstitusi tertulis – bahkan Inggris hingga sekarang tidak mengenal konstitusi tertulis.

Dalam garis besarnya, proses transformasi itu berlangsung dalam tiga tahap, sekalipun peralihan dari satu tahap ke tahap yang lain tidak selalu tampak dengan jelas (Douglas V. Verney, 1963). Tahap Pertama : Pada tahap ini, sering disebut sebagai tahap monarki absolut, dimana raja memerintah secara mutlak dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keseluruhan sistem politik. Apa yang disebut pemerintah tidak lebih adalah sekretaris-sekretaris yang membantu raja dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jika kemudian terdapat semacam “majelis” hanyalah dimaksudkan untuk mengetahui pendapat umum dan untuk mencari dukungan, khususnya dukungan finansial bagi kebijakan luar negeri sang raja.

(28)

dari kekuasaan eksekutif raja. Untuk selanjutnya raja pun semakin tergantung pada suatu eksekutif dan pada kemauan baik majelis. Di Inggris, pada 1667 Raja Charles II memilih lima penasehat utama atas pertimbangan kemampuan mengontrol suara di Majelis Rendah. Di sini kita berada pada fase monarki konstitusional.

Tahap III : Tradisi menyeleksi penasehat-penasehat yang juga sebagai kepala-kepala administrator di antara para anggota majelis yang berpengaruh terus berlangsung dan akhirnya majelis mengambil alih tanggung jawab pemerintahan dan bertindak sebagai sebuah parlemen. Sementara itu sang raja kehilangan kekuasaan eksekutifnya yang diambil alih oleh para menteri yang menganggap majelis yang berdaulat. Para menteri semakin tergantung pada majelis dan berhenti ketika majelis menarik kepercayaannya. Pengangkatan Sir Robert Walpole pemimpin partai Whig sebagai menteri pertama pada 1721 di Inggris membuat preseden bahwa perdana menteria dalah pemimpin mayoritas. Monarki pun berubah menjadi monarki parlementer.

Beberapa ciri parlementarisme a) Peleburan Kekuasaan

(29)

eksekutif dan legislatif. Lagi pula, perlu disadari bahwa, dalam model Westminster, istilah parlemen dapat berarti luas, yaitu meliputi pemerintah, yaitu perdana menteri bersama kabinetnya. Jadi ungkapan parlemen berdaulat menunjuk kepada Parlemen secara keseluruhan, yang mencakup anggota-anggota pemerintah.

Kepala Negara terpisah dari Kepala Pemerintahan. Dalam pemerintahan parlementer “eksekutif” dipecah menjadi dua bagian, yaitu seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan raja dalam monarki atau presiden dalam republik bertindak sebagai kepala negara. Biasanya raja menduduki singgasananya melalui gelar yang diwarisi(di Malaysia, pada tingkat federal, Raja dipilih di antara raja-raja negara bagian),sementara presiden dipilih oleh parlemen atau parlemen plus.

Berbeda dengan perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen,kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat. Sering dikatakan bahwa kepala negara hanya menjalankan peran seremonial dan simbolik, tetapi sebetulnya kepala negara, khususnya raja-raja konstitusional, masih mempunyai prerogatif penting sungguhpun pada umumnya tidak lagi menggunakannya. Malah secara tak terelakkan kepala negara sering mengambil peran menentukan dalam suatu situasi krisis,seperti beberapa kali terjadi di Thailand.

Salah satu fungsi kepala negara adalah menunjuk (calon) kepala pemerintahan untuk menyusun kabinetnya. Tentu saja, dalam menjalankanfungsi ini, kepala negara terikat pada hasil pemilihan umum dan mesti menunjuk partai pemenang. Tetapi persoalannya tidaklah sesederhana itu dalam hal hasil pemilihan umum menunjukkan tidak ada partai yang memperoleh mayoritas mutlak. Situasinya semakin runyam jika yangdihadapi suatu sistem multi-partai yang terfragmentasi sehingga kepala negara terpaksa menggunakan kebijaksanaannya sendiri dalam menentukan(calon) kepala pemerintahan – meskipun pada akhirnya parlemen juga yangmemutuskannya.

b) Kabinet Bersifat Kolektif atau Kolegial

(30)

Para anggota kabinet secara bersama-sama atau sendiri-sendiri juga bertanggungjawab kepala parlemen – jadi, dalam parlementarisme dikenal pertanggungjawaban menteri.Dengan sifat kabinet yang kolektif itu, seorang perdana menteri lebih dianggap sebagai primus inter pares – orang pertama di antara sesame rekan.

Dalam prakteknya, seperti ditunjukkan oleh Margareth Thatcher,seorang perdana menteri yang kuat dapat berperilaku sebagai orang pertama di atas sesama rekan.

Prinsip bahwa kabinet, yaitu perdana menteri dan para menterinya,diperlakukan sebagai satu kolektivitas erat hubungannya dengan sejarah parlementarisme: penyerahan kekuasaan eksekutif yang monarkis kepada suatu dewan menteri (kabinet) berarti bahwa seorang pribadi tunggal, dalam hal ini raja, diganti suatu badan kolektif (Douglas V. Verney, 1963). Tetapi terlepas dari keterangan ini, sesungguhnya inner logic dari parlementarisme itu sendiri mengharuskan kabinet bersifat kolektif: seseorang dapat menjadi menteri bertalian dengan dukungan dalam parlemen, apalagi jika sang menteri juga seorang anggota parlemen.

c) Eksekutif Bertanggung Jawab kepada Legislatif

Secara khusus soal ini perlu dibicarakan tersendiri sebagai ciri khusus parlementarisme. Dengan tanggung jawab itu berarti bahwa eksekutif tergantung pada kepercayaan legislatif dan dapat dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya oleh suatu mosi tidak percaya legislatif dan pada gilirannya kepala negara menunjuk seorang (calon) perdana menteri baru.

Dalam suatu sistem multipartai dan eksekutif merupakan cabinet koalisi, dapat dibayangkan betapa mudahnya kedudukan pemerintah digoyahkan oleh suatu perpecahan dalam koalisi. Masalahnya jika kemudian ternyata suatu koalisi baru sukar terbentuk sehingga kekosongan pemerintahan berlarut-larut. Untuk mengatasi masalah ini, di Jerman diperkenalkan apa yang disebut “mosi tidak percaya konstruktif” yang mewajibkan setiap mosi sekaligus menyertakan kesepakatan koalisi baru.

(31)

kepemimpinanpartai dapat berubah. Selain itu tingkat otonomi anggota partai tetap adasehingga memungkinkan mereka sewaktu-waktu bersikap lain daripartainya.

d) Kepada Eksekutif Dapat Mengusulkan Pembubaran Legislatif

Jika kabinet dapat diturunkan oleh parlemen melalui mosi tidakpercaya, sebaliknya sebagai imbangan, dalam parlementarisme, perdanamenteri dapat merekomendasikan kepada kepala negara untukmembubarkan parlemen dan mengumumkan suatu percepatan pemilihanumum. Kekuasaan pemerintah untuk meminta pembubaran parlemenmerupakan salah satu ciri khas parlementarisme. Tetapi, bagaimanapun,pimpinan partai yang berkuasa harus mempertimbangkan untung rugi suatupemilihan umum yang dipercepat – yang biasanya memperhatikan hasiljajak pendapat umum.

Pembubaran parlemen itu sebetulnya berarti pula pembubaranpemerintah. Dalam suatu situasi pemerintah kehilangan dukungan diparlemen, pemerintah memilih salah satu di antara dua: mundur ataumeminta pembubaran parlemen. Tetapi pembubaran itu mencakup pulapemerintah – sungguhpun pemerintah masih dalam kedudukan demisionersebelum parlemen baru terbentuk. Dengan kata lain, situasi konflikeksekutif-legislatif diserahkan kepada para pemilih untuk menyelesaikannya.Partai yang Kalah Menjadi OposisiIstilah oposisi dan partai oposisi dalam pemakaian sehari-haridianggap bukan hukum parlementarisme. Tetapi dipandang dari segirancang-bangun peleburan kekuasaan, yang berhadapan dalam parlemenadalah antara partai yang berkuasa versus partai minoritas atau, dengan katalain, antara pemerintah versus partai oposisi. Situasinya berbeda denganlogika rancang-bangun pemisahan kekuasaan. Di sini yang berhadapanadalah institusi versus institusi, atau lebih tepatnya, institusi kepresidenanversus institusi legislatif.

(32)

diberi tempat di sisi kanan dan kiri pimpinan majelisdengan para pemimpin partai mayoritas dan para pemimpin partai oposisiduduk di bangku depan. Dalam menjalankan perannya, oposisi membentuk“kabinet bayangan” sebagai mitra-tanding kabinet dan sebagai persiapan jikatercipta peluang untuk mengambil alih kekuasaan.

2. Presidensialisme

Sejarah pemerintahan presidensial tidak dapat dilepaskan dari sejarah demokrasi di Amerika Serikat. Tetapi berbeda dengan sejarah parlementarisme yang merupakan hasil suatu evolusi, orang-orang Amerika menciptakan suatu sistem baru sebagai hasil suatu revolusi. Adalah penting untuk diingat pula bahwa presidensialisme Amerika tidak diciptakan, sepertihalnya parlementarisme Inggris, sebagai tanggapan terhadap feodalisme dan sejarah monarki. Para penyusun konstitusi Amerika, dengan menggunakan prinsip-prinsip demokratis, menciptakan suatu sistem sebagai tanggapan terhadap pengalaman buruk mereka sebagai jajahan. Mereka juga sedikit banyaknya turut diwarnai oleh kekhawatiran akan suatu tirani mayoritas yang membahayakan negara-negara bagian maupun kebebasan individu.

Dengan latar belakang seperti itulah model Washington lahir yang kemudian banyak ditiru bangsa-bangsa lain, khususnya di Amerika Latin.Bentuk pemerintahan ini adalah penemuan para delegasi dalam Konvensi Konstitusi Amerika yang berlangsung pada 1787. Sebagian besar delegasi mengagumi bentuk pemerintahan Inggris yang waktu itu boleh dikatakan mempraktekkan pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, danyudikatif. Ketika itu Inggris masih berada pada tahap kedua transformasi monarkial atau fase monarki konstitusional. Walaupun para delegasi itu berupaya menyamai kebajikan konstitusi Inggris, suatu monarki jelas bukan pilihan mereka. Menghadapi kebingungan dengan masalah eksekutif ini,mereka bergulat hampir dua bulan sebelum sampai pada pemecahan berupa bentuk pemerintahan presidensial yang dikenal dewasa ini (Robert A. Dahl,2000).

(33)

parlementer daripada presidensial melalui kerangka Virginia Plan. Rancangan konstitusiini memasukkan pemilihan “presiden” oleh legislatif nasional untuk jangka waktu tertentu. Konvensi sempat memungut suara sampai tiga kali dengan hasil mendukung usul itu. Tetapi akhirnya keputusan final Konvensi adalah menyerahkan pemilihan presiden kepada suatu electoral college.

Beberapa Ciri Presidensialisme a) Pemisahan Kekuasaan

Sering dikatakan, dan hal ini dianut oleh tidak sedikit ilmuwan, termasuk di Amerika Serikat sendiri, bahwa pemerintahan presidensial didasarkan pada prinsip dasar pemisahan kekuasaan atau separation ofpowers yang berbeda dan dihadapkan pada prinsip peleburan kekuasaanatau fusion of powers pada parlementarisme. Penamaan ini yang bersumber pada teori Montesquieu yang turut mengilhami para penyusun konstitusi Amerika Serikat masih perlu diklarifikasi. Dalam teori mungkin dapat dibayangkan suatu trias politica yang terpisah, tetapi dalam praktek di dalam masyarakat yang kompleks suatu pemisahan seperti itu merupakan suatu kemustahilan.

Dalam kehidupan politik nyata, berbagai cabang kekuasaan harusdikoordinasikan dan tidak terelakkan terjadinya tumpang tindih. Di AmerikaSerikat, presiden menjalankan kekuasaan legislatif ketika menandatanganiatau memveto rancangan undang-undang yang dikirim oleh Kongres.

Sebaliknya, Kongres menjalankan kewenangan eksekutif ketika meratifikasi perjanjian internasional dan mengkonfirmasikan pengangkatan pejabat. Contoh Kasus yang ironis : di daerah / provinsi NTT bahkan DPRDnya membantu menyalurkan dana Bansos yang kemudian menuai kritik dan masalah.

Selain itu kekuasaan Mahkamah Agung untuk menyatakan suatu undang-undang atau tindakan eksekutif sebagai inkonstitusional pada dasarnya merupakan perembesan ke dalam kegiatan legislatif dan eksekutif. Sebaliknya, sidang impeachment oleh Kongres berarti memasuki suatukekuasaan yudikatif.

(34)

merupakan sifat dasar parlementarisme. Pemisahan institusi ini mempunyai implikasi -implikasi,negatif maupun positif, terhadap bekerjanya sistem presidensialisme.

b) Kepala Pemerintahan Sekaligus Kepala Negara

Dalam presidensialisme tidak ada pemisahan antara kepala negaradan kepala pemerintahan seperti pada parlementarisme. Presiden sebagaikepala pemerintahan merangkap juga sebagai kepala negara. Mungkintimbul kesan bahwa jabatan rangkap presiden yang demikian itu setaradengan jabatan rangkap raja pada masa monarki konstitusional.Sesungguhnya ada perbedaan mendasar di dalamnya: pada monarkipraparlementer yang konstitusional, raja menjadi kepala pemerintahankarena ia kepala negara. Pada presidensialisme, justru sebaliknya. Aspekseremonial dari posisinya hanyalah suatu pencerminan dari prestisepolitiknya (Douglas V. Verney, 1963).

Penyatuan kedua jabatan itu, sedikit banyaknya, mengandung ambiguitas. Selaku kepala pemerintahan, seorang presiden merupakan wakil dari para pemilihnya, bahkan mewakili partainya yang telah mengantarnya ke dalam kekuasaan, sementara selaku kepala negara ia simbol negara yang seyogyanya berdiri di atas semua golongan. Tidak mudah untuk menggabungkan kedua peran itu dan tidak mudah untuk memastikan apakah presiden tidak menyalahgunakan perannya selaku kepala negara untuk kepentingan yang bersifat partisan.

c) Presiden Sebagai Jabatan Unipersonal

Prinsip eksekutif tunggal pada presidensialisme bukan saja ditandai oleh penyatuan jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan melainkan juga karena jabatan itu cenderung mempribadi (personalized). Meskipun dalam presidensialisme dikenal jabatan wakil presiden tetapi selamapresiden masih berfungsi, seorang wakil presiden biasanya tidak lebih dariseorang pembantu presiden seperti halnya dengan menteri. Bahkan bagiseorang menteri yang notabene ditunjuk dan tidak dipilih masih lebihmemiliki yurisdiksi tertentu dibandingkan dengan seorang wakil presidenyang dipilih.

(35)

prinsip ini. Dengan perkataan lain, seorang perdana menteri dengan kabinetnya hanyalah “orang pertama diantara sesama rekan”, sementara seorang presiden dengan para menterinya adalah “orang pertama di atas rekan-rekan”, bahkan ia seorang primus solus – “orang pertama yang utama”.

Menurut Douglas V. Verney (1963), perkataan “kabinet” adalah satudi antara beberapa istilah parlementer yang diambil di luar konteks olehorang-orang Amerika. Pemakaiannya sekadar untuk menggambarkan rapat-rapatPresiden dengan para Sekretarisnya, tetapi bukan suatu Kabinet dalamarti parlementer.

d) Legitimasi Ganda dan Masa Jabatan Tetap (belum)

Berbeda dengan parlementarisme yang bersandar pada legitimasidemokratis tunggal yang dimiliki oleh legislatif, presidensialisme memilikiapa yang disebut legitimasi demokratis ganda. Baik presiden, yang dipilih secara langsung atau secara populer (di Amerika Serikat melalui electoralcollege), maupun legislatif yang juga dipilih oleh rakyat, masing-masing memiliki legitimasinya sendiri. Dengan legitimasi terpisah ini, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baik presiden maupun legislatif dipilih untuk jangka waktu tertentu, maka keberadaan presiden tidak tergantung padalegislatif, dan sebaliknya, keberadaan legislatif tidak tergantung pada presiden. Dengan kata lain, berbeda dengan parlementarisme yang mengenal pertanggungjawaban eksekutif, dalam presidensialisme, presiden tidak bertanggung jawab terhadap legislatif. Dengan demikian, dalam presidensialisme, presiden tetap dalam jabatannya untuk jangka waktu tertentu secara konstitusional (di AmerikaSerikat, empat tahun), terlepas dari perubahan mayoritas dalam legislatif.

Dengan kata lain, presiden tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif, kecuali melalui impeachment untuk suatu pelanggaran hukum yang serius yangbiasanya melalui prosedur yang sangat rumit. Sebaliknya, presiden tidakdapat memaksa legislatif mendukung program-programnya dengan ancaman pembubaran parlemen. Berbeda dengan parlementarisme, presiden dapat membubarkan atau meminta membubarkan legislatif.

(36)

serupa dengan mayoritas legislatif,yaitu berasal dari partai yang sama, maka segala sesuatunya dapatdiharapkan berjalan lancar. Namun dapat terjadi bahwa mayoritas ituberbeda, dalam arti mayoritas legislatif dikuasai oleh partai “lawan”. Dalam hal ini tercipta apa yang disebut divided government atau pemerintahan yangterbelah yang sedikit banyaknya akan menyulitkan presiden dalam menjalankan tugas-tugasnya. Di Amerika Serikat, presiden diperlengkapi dengan hak veto untuk mengimbangi pengaruh mayoritas dalam legislatif. Dengan senjata itu presiden dapat menolak hasil legislasi (rancangan undang-undang) yang disodorkan legislatif dan mengembalikannya kepada legislatif. Untuk tetap memberlakukan hasil legislasi itu, legislatif memerlukan mayoritas duapertigasuara, suatu mayoritas yang tidak mudah mencapainya. Masalahnya, jika hasil pemungutan suara memenuhi syarat mayoritas tersebut dan presiden tetap bersikukuh dengan sikapnya, maka terciptalah suatu situasi deadlock atau gridlock, yang berarti kelumpuhan sistem. Konstitusi tidak menyediakan suatu cara untuk menyelesaikan kemacetan eksekutif-legislatif tersebut. Di Indonesia, konstitusi tidak memberikan hak veto kepada presiden. Tetapi dalam hal perundang-undangan pada umumnya, presiden mempunyai kedudukan setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam proses legislasi. Dalam soal ini tidak ada ancaman kemacetan. Hanya saja, dalam penyusunan anggaran penerimaan dan belanja negara, wewenang sepenuhnya di tangan DPR. Jadi, suka atau tidak suka, presiden harus menerima RAPBN yang disodorkan oleh DPR.

e) Alternatifnya kemacetan (Checks and Balances)

Di bagian lain telah dikemukakan bahwa rancang bangun presidensialisme cenderung menghadapkan institusi versus institusi, dan bukannya partai versus partai, seperti halnya dalam parlementarisme.

Kecenderungan ini merupakan akibat logis dari penerapan prinsip checksand balances (pengecekan dan perimbangan) antara institusi-institusi yangterpisah. Diuraikan secara terbalik, dalam presidensialisme, institusi-institusidengan sengaja dipisahkan agar institusi-institusi saling mengecek dansaling mengimbangi.

(37)

ditundukkan pada pengesahan Senat yang karenanya dapat meniadakan keputusan eksekutif. Selanjutnya,ada kekuasaan Mahkamah Agung untuk menyatakan pengundangan legislatif sebagai tindak konstitusional. Di lain pihak, dibawah konstitusi, pengangkatan hakim-hakim merupakan tanggung jawab eksekutif, yang biasanya tunduk pada nasehat dan persetujuan Senat. Maka dapat dikatakan bahwa prinsip checks and balances, dalam halini checks and balances antar institusi, merupakan ciri khas presidensialisme. Sejauh ini, prinsip tersebut berjalan baik-baik saja diAmerika Serikat, walaupun harus segera ditambahkan bahwa belakanganmodel Washington semakin ditantang oleh gejala divided government.Asumsi dasar mengenai sistem presidensial, tulis Giovanni Sartori (1997) adalah bahwa sistem ini kondusif bagi pemerintahan yang kuat dan efektif, tetapi asumsi ini berdiri di atas es tipis.

Persoalannya menjadi lebih parah tatkala presidensialisme dikawinkan dengan sistem multi-partai. Seperti terlihat di Amerika Latin, kombinasi ini menguatkan kecenderungan terjadi gridlock. Dan celakanya, tak ada jalan keluar yang konstitusional sehingga yang ditempuh biasanya adalah cara-carayang tidak demokratis.

3. Semi Presidensialisme

Menurut luar Rahman Tolleng, di luar kedua bentuk dasar, parlementer dan presidensial, terdapat bentuk cangkokan antara kedua bentuk dasar tadi yang disebut sebagai bentuk pemerintahan semi-presidensial. Bentuk pemerintahan ini sering digambarkan sebagai eksekutif dua kutub – sehubungan dengan adanya seorang presiden yang dipilih secara populer dengan masa jabatan tertentu dan tidak tergantung pada legislatif dan adanya seorang perdana menteriyang ditunjuk oleh presiden tetapi tergantung pada dukungan mayoritas dalam parlemen.

(38)

kepresidenan. Dalam kaitan ini, Maurice Duverger (Arend Lijphart, 2002) menggolongkannya ke dalam tiga kelompok :

1. Tiga negara dengan kepresidenan boneka, yaitu Austria, Irlandia, dan Iceland, yang praktek politiknya lebih parlementer;

2. Satu negara dengan kepresidenan yang maha kuasa, yaitu Prancis; dan

3. Dua negara dengan kepresidenan dan perdana menteri yang seimbang, yaitu Finlandia dan Portugal.

Republik Kelima Prancis,Semi-presidensialisme Prancis tidak dapat dilepaskan dari sejarah kegagalan parlementarisme Republik Keempat (1946-58) yang melambangkan bentuk pemerintahan yang tidak seimbang. Majelis Nasional, majelis rendah dari parlemen, memiliki suatu monopoli kekuasaan yang konstitusional. Pemerintah bergonta-ganti rata-rata sekali dalam enam bulan.Akibatnya bukannya demokrasi yang stabil melainkan kelumpuhan politikdan kemarahan publik. Ketika Republik Keempat pada akhirnya ditumbangkan di bawah pimpinan Charles de Gaulle, sang arsitek Republik Kelima, bandul pun bergerak ke arah ekstrem yang lain: Konstitusi Republik Kelimamendelegasikan kekuasaan lebih besar kepada presiden. Meskipun begitu,konstitusi tidak memilih presidensialisme murni. Di samping presiden yang dipilih langsung untuk jangka waktu tertentu berdiri pula seorang perdanamenteri atas tanggung jawab parlementer. Selain sebagai kepala negara, secara resmi kekuasaan presidendibatasi pada peran khusus, yaitu urusan luar negeri dan pertahanan,sedangkan peran pemerintah selebihnya berada di tangan perdana menteri dan kabinetnya. Sepintas lalu, pembagian kerja terlihat sederhana, tetapi hubungan-hubungan kekuasaan dalam realitas politik antara kedua kutub eksekutif ini jauh lebih rumit dan pelik. Kerumitan itu tersimpul dalam suatupertanyaan yang tidak mudah menjawabnya: Siapakah kepala pemerintahanyang sebenarnya?

(39)

atau menyerah kepada kenyataan. Dalam hal pilihan terakhir yangdiambil berlangsunglah apa yang disebut cohabitation atau hidup bersama (lebih tepatnya kumpul kebo) antara presiden dan perdana menteri. Dan dalam kasus ini sistem praktis bekerja sebagai parlementer.Kalau begitu, apakah sistem semi-presidensial layak disebut sebagai sintesa antara sistem parlementer dan presidensial? Maurice Duverger mengatakan tidak, dan sebagai gantinya ia menunjuknya sebagai perselang selingan antara fase presidensial dan parlementer (Giovanni Sartori, 1997).

(40)

konstitusi ini melalui Dekrit 5 Juli 1959, dalam periode demokrasi terpimpin maupun dalam periode Orde Baru, pelaksanaannya dilakukan secara otoriter. Sejauh ini tidak ditemukan bentuk pemerintahan di dunia yang menyerupai “semi-parlementarisme” UUD 1945 (sebelum amandemen).

Bagaimana para Founding Fathers sampai pada bentuk pemerintahan cangkokan yang unik seperti ini, barangkali menarik untuk dipelajari.Mungkin secara kebetulan saja bahwa Konvensi Konstitusi Amerika Serikat 1787 sebenarnya pernah mempertimbangkan untuk memilih model ini. Apayang disebut Rancangan Virginia, seperti telah dibicarakan pada bagian lain, memasukkan pemilihan presiden oleh legislatif nasional. Persoalan ini hanya sebagai persoalan akademis, karena melalui amandemen UUD 1945, system itu telah ditinggalkan dan Indonesia beralih kepada bentuk pemerintahan presidensial yang murni.

4. Consociationalisme / Konsensus

(41)

Beberapa model Consociationalisme a. Model Konsensus vs Model Mayoritas

Lijphart beranjak lebih lanjut untuk membedakan antara sistem politik majoritarian, yang secara logis didasarkan pada prinsip mengkonsentrasikan sebanyak mungkin kekuasaan di tangan mayoritas, dan sistem politikconsociational, yang didasarkan pada prinsip power sharing atau pembagian kekuasaan, penyebaran, dan pembatasan kekuasaan dalam berbagai cara.

Dalam analisis mengenai sejumlah negara (Lijphart 1984, 1999) menemukan sejumlah dimensi yang memisahkan model consociational dengan model Westminster. Lebih lanjut Lijphart (1999) membagi dalam dua kelompok dimensi yang membedakan kedua sistem, yang masing-masing terdiri atas lima karakteristik. Kelompok pertama, yang disebutnya sebagai dimensi eksekutif-partai, meliputi susunan kekuasaan eksekutif, sistem kepartaian dan pemilihan, dan kelompok kepentingan. Sementara kelompok kedua, disebut sebagai dimensi federal-kesatuan yang umumnya dihubungkan secara kontras antara pemerintahan federal dan kesatuan.Yang penting disajikan di sini cukup lima dimensi yang termasuk dalam kelompok pertama yang bertalian langsung dengan pokok pembicaraan, yaitu bentuk pemerintahan. Kelima perbedaan pada dimensi eksekutif-partai adalah sebagai berikut:

1. Konsentrasi kekuasaan eksekutif dalam kabinet mayoritas partai tunggal versus eksekutif berdasarkan power sharing atau pembagiankekuasaan dalam koalisi multi-partai yang luas.

2. Hubungan eksekutif-legislatif dengan eksekutif yang dominan versus keseimbangan kekuasaan antara eksekutif-legislatif.

3. Sistem kepartaian dwi-partai versus multi-partai.

4. Sistem pemilihan majoritarian dan disproporsional versus perwakilan yang proporsional.

5. Sistem kelompok kepentingan yang pluralis dengan persaingan yangmerupakan pertarungan bebas (free-for-all) di antara kelompok-kelompok versus sistem kelompok-kelompok kepentingan yang terkoordinasikandan “korporatis” yang ditujukan untuk kompromi dan kebersamaan.

(42)

Swis merupakan sebuah negara yang menerapkan secara penuh model demokrasi consociational. Swis adalah sebuah masyarakat yang sangat majemuk yang terbagi sepanjang beberapa garis pembelahan : suku, agama ,bahasa dan wilayah. Satu dan lain hal karena kemajemukan ini, selain menerapkan model konsensus bagi bentuk pemerintahannya, juga memilih federalisme (dalam konstitusi disebut konfederasi) bagi bentuk negaranya. Sebagai negara federal, kekuasaan dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah-pemerintah sebanyak 24 canton dan enam setengah canton.

Dalam banyak hal, status setengah-canton setara dengan canton, kecuali dalam hal jumlah kursi dalam Dewan Federal, eksekutif negara itu, dan bobot suara pada setiap amandemen konstitusi. Dalam kerangka federalisme,Swis juga termasuk negara yang sangat desentralistik di dunia.Kemajemukan itu juga terefleksi dalam sistem kepartaian Swis.Pembelahan agama memecah Demokrat-Kristen yang, terutama didukungoleh kalangan Katolik yang taat, dari Demokrat-Sosial dan Demokrat-Radikal, yang menarik sebagian besar dukungannya dari kalangan Katolikyang tidak atau jarang ke gereja dan dari kalangan Protestan. Pembelahan sosial ekonomi lebih lanjut memisahkan Demokrat-Sosial, terutama ditopang oleh kelas pekerja, dari Demokrat Radikal, yang mempunyai pendukung lebih banyak datang dari kelas menengah. Partai Rakyat Swis terutama kuat di kalangan para petani Protestan. Pembelahan bahasa tidak menyebabkan pemisahan dalam sistem kepartaian Swis, sungguhpun dukungan partai Rakyat Swis terutama datang dari kalangan berbahasa Jerman, dan ketiga partai besar merupakan aliansi yang secara relatif longgardi antara partai-partai canton yang mengandung pembelahan bahasa sebagai pembeda utama.

Ciri Prototipe Swis

a. Eksekutif berdasarkan Power Sharing.

(43)

1959 yang dimaksudkan untuk mempertahankan keseimbangan politik di Swis. Sebagai kriteria tambahan, komposisi ini harus sekaligusmencakup perwakilan kelompok-kelompok linguistik dalam perbandinganyang kasar: empat atau lima berbahasa Jerman, satu atau dua berbahasa Prancis, dan kerapkali seorang berbahasa Italia. Selain itu tiga canton harus selalu terwakili.

b. Dewan Federal mempunyai masa jabatan selama 4 tahun. Ketua dan Wakilnya dipilih di antara ketujuh anggota dengan ketua sebagai Presiden dan wakil ketua sebagai Wakil Presiden. Kedua jabatan itu tidak boleh dipegang dua kali berturut-turut, tetapi seorang mantan Wakil Presiden dapat dipilih sebagai Presiden pada periode berikutnya.

c. Presiden merangkapsebagai kepala negara. d. Keseimbangan Kekuasaan Eksekutif-Legilatif.

Berbeda dengan yang lain, model konsensus Swis sama sekali bukan parlementer. Dewan Federal tidak bertanggung jawab kepada legislatif. Jika usul pemerintah ditolak oleh legislatif, Dewan Federal atau anggota yang mengajukan usul itu tidak mundur. Permisahan kekuasaan ini menjadikan eksekutif maupun legislative lebih independen, dan hubungan di antara keduanya jauh lebih seimbang dibandingkan dengan hubungan kabinet-parlemen dalam model Westminster. Legislatif Swis terdiri dari dua kamar, yaitu Dewan Nasional yang dipilih langsung di antara partai-partai yang bersaing, dan Dewan Negara, yang merupakan utusan setiap Kanton, masing-masing sekitar 1 sampai 2 orang.

e. Perwakilan Proporsional.

Sistem multi-partai Swis yang telah dibicarakan di atas adalah sistem kepartaian tanpa satu pun partai yang dapat mendekati kedudukan mayoritas. Pada pemilihan 1995 untuk Dewan Nasional, lima belas partai memenangi kursi, tetapi bagian besar kursi ini, yaitu 162 dari 200, dipegang oleh keempat partai besar yang diwakili dalam Dewan Federal. Pemilihan dijalankan menurut sistem proporsional (PR) yang menjadi faktor kedua disamping faktor pembelahan sosial sebagai pendorong munculnya sistem multi-partai. Tujuan dasar penerapan sistem proporsional adalah untuk membagi kursi parlementer di antara partai-partai menurut proporsi suara yang mereka peroleh.

(44)

Tanpa disadari, sebetulnya consociationalisme sebagai suatu pendekatan juga merasuki kehidupan politik di Indonesia. Pada tingkat gagasan, dalam batas-batas tertentu, konsepsi Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) dan Kabinet Kaki Empat Soekarno juga dijiwai gagasan consociationalisme. Gagasan itu sendiri ditolak oleh sejumlah partai, khususnya Masjumi, karena tidak rela duduk semeja dengan PartaiKomunis Indonesia. Soekarno lalu memaksakan konsepsinya, dan dengan demikian praktek ini tidak dapat lagi disebut consociational.

Selain itu, walaupun sama sekali tidak sempurna, praktek reformasi sejak keruntuhan Soeharto telah memperagakan ciri-ciri consociational dalam berbagai bentuk susunan power sharing dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati (Leonard C. Sebastian, 2004). Kabinet masing-masing praktis bersifat koalisi yang mencakup semua partai besar.

Presiden SBY, sungguhpun ia seorang presiden yang dipilih langsung, tanpa kecuali juga menyusun kabinet atas dasar power sharing yang memasukkan banyak wakil-wakil partai. Kalau diamati, pada tingkat legislatif, di pusat maupun di daerah, pemilihan pimpinannya juga mengandung ciri-ciri consociational. Di daerah-daerah tertentu praktek consociationalisme tidaklah terlampau sukar menemukannya dalam penentuan komposisi pemerintahan.

III. Dampak Institusi (Presidensialisme & Parlementarisme) a) Perspektif 1 : Adam Przewarski et. al

Haruskah kita berharap bahwa demokrasi bertahan lebih lama dibawah satu sistem institusional dibandingkan dengan yang lain? Analisis kita terbatas pada sepasang ciri-ciri institusional, yang diringkaskan sebagai parlementarisme versus presidensialisme. Oleh karena itu disini kita menguji hipotesa Juan Linz, yang memberikan beberapa pertimbangan mengapa demokrasi parlementer terbukti lebih berusia lama dibandingkan dengan demokrasi presidensial.

(45)

peran resmi dalam politik dan besar kemungkinan tidak menjadi anggota legislatif, sementara dibawah sistem parlementer calon perdana menteri yang kalah akan menjadi pemimpin oposisi.

Alasan kedua kenapa demokrasi presidensial mungkin kurang dapat bertahan lama karena sistem demokrasi ini lebih mungkin menimbulkan kelumpuhan legislatif. Kelumpuhan seperti itu dapat berlangsung di bawah kedua sistem; di bawah parlementarisme ketika tidak ada koalisi mayorit

Referensi

Dokumen terkait

5 Pelatihan yang akan diberikan untuk ibu-ibu muda jalanan yang diberi nama pelatihan “ great mom great children ” dengan beberapa sesi yaitu Sesi 1: Mengenali tahap

Metode yang digunakan dalam pengembangan produk trainer dan modul adalah metode Research and Development (R&D), yaitu (1) tahap analisis potensi dan masalah, (2)

Metode yang digunakan dalam pengembangan produk trainer dan modul adalah metode Research and Development (R&D), yaitu (1) tahap analisis potensi dan masalah, (2)

Berdasarkan pencapaian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konstruktivisme dengan model Discovery Learning dapat meningkatkan pemahaman konsep dan

Analysis : Pada tahap ini peneliti mengawali dengan menganalisis silabus dan RKPS mata kuliah Menyimak untuk membuat kebutuhan di dalam pelaksanaan pembelajaran serta

Pada tahap akhir ini, dilakukan evaluasi terhadap bahan ajar yang telah coba diimplementasikan kepada mahasiswa. Bahan ajar juga akan divalidasi oleh ahli desain

Seluruh dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya khususnya seluruh dosen Jurusan Pendidikan Biologi yang selalu memberikan nasehat dan bimbingannya selama ini serta4. ilmu yang

5 Pelatihan yang akan diberikan untuk ibu-ibu muda jalanan yang diberi nama pelatihan “great mom great children” dengan beberapa sesi yaitu Sesi 1: Mengenali tahap