• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Hayati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Hayati

Menurut Peraturan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 tahun 2011, pupuk hayati yang menggunakan bakteri tunggal harus memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut.

Tabel 1. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Hayati Tunggal untuk Bakteri Hidup Bebas dan Bakteri Endofitik (Permentan, 2011)

Parameter

Standar Mutu Menurut Jenis

Bahan Pembawa Metode

Tepung/ Granul/ Cair Pengujian

Serbuk Pelet

1. Jumlah Bakteri ≥ 107 cfu/g ≥ 107 cfu/g ≥ 107 cfu/ml TPC**) 2. Fungsional :

a. Pelarut P & K Positif Positif Positif Media Pikovskaya b. Penghasil >0,0 >0,0 >0,0 Spektrofotometri

Fitohormon atau HPLC

c. Perombak bahan Positif Positif Positif Media agar CMC/

organik (dekomposer) Avicel/Guaicol/

Indulin

3. Patogenisitas Negatif Infeksi ke daun

Tembakau 4. Kontaminan:

E. coli

Salmonella sp < 103 MPN/g atau MPN/ml

MPN-durham dan uji lanjut pada media diferensial

5. Kadar Air (%)**) ≤ 35 ADBB

6. pH 5,0 – 8,0 pH H2O, pH meter

*) TPC dilakukan pada media spesifik untuk mikroba tersebut, TPC = Total Plate Count

**) Kadar air atas dasar berat basah MPN = Most Probable Number

15

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2018 hingga September 2019 di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan (BBRP2BKP), Slipi, Jakarta Pusat.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang diperlukan diantaranya kertas pH indikator, vorteks, timbangan analitik, laminar air flow (ESCO Fume Hood), shaking incubator, autoklaf (Hirayama HVA 85), colony counter, thermoblock, mikropipet 1-1000 µL, mikroskop cahaya (Olympus), microsentrifuge, microplate 96-well flat bottom, dan spektrofotometer UV-Vis (Spectronic® 20 Genesys TM).

Bahan yang diperlukan diantaranya biakan isolat P. fluorescens murni yang diperoleh dari koleksi kultur Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, limbah padat industri agar-agar (LIA) dari PT Agarindo Bogatama Tangerang, tepung ikan rucah koleksi BBRP2BKP, akuades, media Nutrien Agar (NA) (Oxoid), Nutrien Broth (NB) (Oxoid), Mandels & Reese, Pikovskaya, Aleksandrov, Plate Count Agar (PCA), parafilm, pewarna Gram, kongo merah, natrium klorida 0,9%, pereaksi dinitrosalisilat (DNS), pereaksi Salkowski, L-triptofan (Lift Mode), auksin (Sigma) dan glukosa.

3.3 Rancangan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor perlakuan. Faktor pertama adalah konsentrasi LIA yang terdiri atas 3 taraf, yaitu 1%, 2% dan 3%. Faktor kedua adalah konsentrasi tepung ikan yang terdiri dari 3 taraf, yaitu 0,1%, 0,2% dan 0,3%. Faktor ketiga adalah waktu inkubasi yang terdiri dari 6 taraf, yaitu hari ke-1, hari ke-3, hari ke-5, hari ke-7, hari ke-9 dan hari ke-11. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali dan sub ulangan sebanyak 3 kali. Rancangan penelitian dapat dilihat pada lampiran 1.

3.4 Cara Kerja

3.4.1 Peremajaan Isolat Pseudomonas fluorescens

Peremajaan isolat P. fluorescens dilakukan dengan menumbuhkan isolat pada media NB 100 mL yang diinkubasi pada shaker selama 24 jam, kemudian 1 µL isolat diinokulasikan pada media NA dan diinkubasi selama 24 jam pada inkubator suhu ruang. Setelah itu, isolat dari media NA yang telah diinkubasi diambil 1 ose dan diinokulasikan pada media NA untuk mendapatkan koloni tunggal P. fluorescens. Metode pembuatan media NB dan NA dapat dilihat pada lampiran 4.

3.4.2 Analisis Kemampuan Pseudomonas fluorescens sebagai Agen Pupuk Hayati 3.4.2.1 Kemampuan Selulolitik

Analisis aktivitas selulolitik dilakukan dengan metode pewarnaan dengan kongo merah 0,1% yang berperan sebagai indikator degradasi selulosa. Media yang digunakan adalah media Mandels & Reese. Metode pembuatan media tersebut dapat dilihat pada lampiran 4. Koloni tunggal dari isolat murni diambil sebanyak satu ujung ose, kemudian ditotol pada permukaan media padat 1% CMC pada cawan. Isolat diinkubasi pada suhu ruang selama 6 hari. Selanjutnya, kultur ditambahkan kongo merah 0,1% selama 15-30 menit kemudian dibilas dengan 1 M NaCl sebanyak 2-3 kali selama 10 menit. Adanya aktivitas selulolitik ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening pada media. Zona bening yang terbentuk menunjukkan daerah yang selulosanya sudah terdegradasi. Daerah yang terwarnai pada media agar menunjukkan selulosa yang tidak terdegradasi oleh isolat. (Mandels & Reese, 1957; Teather & Wood, 1982).

3.4.2.2 Kemampuan Pelarut Fosfat (P)

Analisis kemampuan pelarutan P dilakukan menggunakan media padat Pikovskaya dengan sumber P CaHPO4. 2H2O, untuk mengetahui kemampuan isolat dalam melarutkan fosfat. Metode pembuatan media tersebut dapat dilihat pada lampiran 4. Koloni tunggal isolat murni sebanyak satu ujung ose ditotol pada permukaan media Pikovsykaya. Isolat diinkubasi selama 3-6 hari. Zona bening yang terbentuk menunjukkan aktivitas isolat dalam melarutan P (Gupta et al., 1994).

17

3.4.2.3 Kemampuan Pelarut Kalium (K)

Analisis kemampuan pelarutan K dilakukan menggunakan media padat Aleksandrov dengan sumber K yang digunakan adalah KCl, untuk mengetahui kemampuan isolat dalam melarutkan K. Metode pembuatan media tersebut dapat dilihat pada lampiran 4. Koloni tunggal isolat murni sebanyak satu ujung ose ditotol pada permukaan media Aleksandrov. Isolat diinkubasi selama 3-6 hari.

Zona bening yang terbentuk menunjukkan aktivitas isolat dalam melarutan K (Shanware et al., 2014).

3.4.2.4 Kemampuan Produksi Auksin

Kemampuan mikroba dalam menghasilkan IAA dianalisis secara kualitatif menggunakan media NB dengan penambahan L-triptofan 0,1%. Media diinokulasikan dengan 1 µL isolat murni yang diperoleh dari kultur cair isolat yang berumur 24 jam. Kemudian, kultur diinkubasi selama 72 jam pada suhu 30°C di tempat gelap. Inokulan diambil sebanyak 1 mL untuk disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm pada suhu 4ºC selama 10 menit. Supernatan masing-masing 75 µL dihomogenkan dengan 150 µL pereaksi Salkowski, lalu diinkubasi di ruang gelap selama 25-30 menit. Perubahan warna suspensi menjadi merah mawar menunjukkan adanya produksi auksin (Gordon & Weber, 1951). Metode pembuatan pereaksi Salkowski dapat dilihat pada lampiran 5.

3.4.3 Analisis Pertumbuhan dan Aktivitas Pseudomonas fluorescens sebagai Agen Pupuk Hayati

Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk menganalisis kemampuan tumbuh dan aktivitas P. fluorescens sebagai agen pupuk hayati. Analisis ini dilakukan dengan melakukan modifikasi media Mandels & Reese (1957) terhadap jenis sumber karbon dan sumber nitrogen. Sumber karbon yang digunakan pada penelitian ini adalah LIA, dengan variasi konsentrasi 1%, 2% dan 3%. Sumber nitrogen yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung ikan, dengan variasi konsentrasi 0,1%, 0,2% dan 0,3%. L-triptofan ditambahkan pula pada media, berperan sebagai prekursor dalam produksi auksin.

Media Mandels dan Reese yang telah dimodifikasi dibuat dengan penambahan berbagai bahan berikut; 45 mL akuades, LIA 1%, tepung ikan 0,1%,

KH2PO4 0,03 g, MgSO4 0,015 g, NaCl 0,03 g, FeSO4 0,3 mg, MnSO4 0,3 mg,

NH4NO3 9 mg, glukosa 0,03 g, CaCl2 1,2 mg ke dalam erlenmeyer. Kemudian dilakukan sterilisasi. Selanjutnya, media yang sudah steril ditambahkan dengan 5 mL L-triptofan 0,1% dan 5 mL isolat murni P. fluorescens. Terakhir, media dikocok perlahan agar homogen. Pembuatan media untuk konsentrasi LIA 2% dan 3% serta tepung ikan 0,2% dan 0,3% dilakukan dengan tahapan yang sama.

Analisis diawali dengan menyegarkan isolat murni P. fluorescens pada media NB 50 mL selama ±24 jam menggunakan shaking incubator. Kemudian isolat dengan umur ±24 jam diinokulasi ke dalam setiap media perlakuan sebanyak 10% dari total volume media, yaitu 5 mL isolat dalam 50 mL setiap media perlakuan. Setelah itu, media dibungkus dengan plastik hitam untuk menghindari media dari kontak langsung terhadap cahaya. Selanjutnya, media diinkubasi dalam shaking incubator pada suhu 35⁰ C dengan kecepatan medium.

Analisis sampel pada setiap media perlakuan dilakukan pada hari ke 1,3,5,7,9 dan 11 terhadap beberapa parameter, diantaranya derajat keasaman (pH), kepadatan populasi P. fluorescens, aktivitas enzim selulase dan kadar glukosa, serta produksi IAA. Analisis dilakukan secara aseptis dengan pengambilan 3 mL dari setiap media perlakuan dan ±50 µL untuk pengukuran pH. Sebanyak 1 mL digunakan untuk analisis kepadatan populasi P. fluorescens dengan pengenceran ber-seri. Kemudian dihitung dengan metode Total Plate Count (TPC) pada media PCA. Sebanyak 2 mL sisanya disentrifugasi pada suhu 4⁰ C selama 10 menit dengan kecepatan 10.000 rpm. Supernatan yang diperoleh digunakan untuk analisis aktivitas selulase dan produksi auksin. Cara kerja yang dilakukan untuk analisis setiap parameter sebagai berikut.

3.4.3.1 Derajat Keasaman (pH)

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH indikator. Sampel diambil dari setiap media ±50 µL, kemudian diteteskan pada pH indikator, lalu dilihat perubahan warna pada pH indikator.

3.4.3.2 Kepadatan Populasi

Kepadatan populasi isolat P. fluorescens diukur dengan metode Total Plate Count (TPC) untuk memperkirakan jumlah sel bakteri setiap 48 jam selama

19

12 hari masa inkubasi. Perhitungan dengan metode TPC dilakukan dengan pengambilan 1 ml inokulum mikroba untuk diencerkan dalam 9 mL NaCl fisiologis (0,9%) steril, yang disebut dengan pengenceran ke 10-1. Kemudian hasil pengenceran tersebut dimasukkan ke dalam 9 ml NaCl fisiologis (0,9%) steril, yang disebut dengan pengenceran ke 10-2. Pengenceran dilakukan hingga 10-7 dengan cara yang sama. Setelah itu, dilakukan pencawanan 3 pengenceran terakhir (10-5,10-6, 10-7) dengan tujuan untuk menghitung jumlah koloni bakteri dengan menggunakan metode sebar pada media PCA dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. selanjutnya, koloni yang tumbuh diamati dan dihitung menggunakan colony counter. Jumlah koloni yang memenuhi persyaratan perhitungan mikroorganisme adalah 30-300 koloni. Persamaan yang digunakan untuk menghitung kepadatan populasi isolat P.fluorescens adalah sebagai berikut (Chasanah et al., 2013).

epadatan Sel ( m umlah koloni 1 Keterangan:

CFU /mL: Colony Forming Unit per millilitre (satuan internasional penghitungan kepadatan sel bakteri

F1: Faktor seri pengenceran FP: Faktor pengenceran pertama

3.4.3.3 Aktivitas Enzim Selulase dan Kadar Glukosa

Sebelum melakukan pengukuran aktivitas enzim selulase dilakukan pembuatan kurva standar glukosa dengan interval konsentrasi 100, 200, 300, 400, 500, 600, 700, 800, 900, dan 1000 mM. Masing-masing konsentrasi diambil 1 mL dan ditambahkan dalam 1 mL pereaksi DNS (Lampiran 5), kemudian dihomogenkan, lalu dipanaskan menggunakan thermoblock dengan suhu 95ºC selama 15 menit, selanjutnya didinginkan dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 540 nm. Kurva standar yang terbentuk dapat dilihat pada lampiran 6.

Pengamatan aktivitas enzim selulase dilakukan dengan metode Miller (1959) yang telah dimodifikasi. Inokulan diambil sebanyak sebanyak 1 mL untuk disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm pada suhu 4ºC selama 10 menit.

Kemudian, supernatan yang diperoleh diambil sebanyak 100 µL dan dilarutkan

dalam 100 µL CMC 1%, dikocok kuat dengan vorteks, dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 30°C dan ditambahkan dengan 200 µL DNS. Penghentian reaksi enzim dilakukan dengan pemanasan pada thermoblock pada suhu 100°C selama 15 menit, kemudian didinginkan. Selanjutnya, larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 540 nm.

Perlakuan kontrol dan blanko dilakukan secara bersamaan dengan prosedur yang sama. Enzim pada kontrol yang akan direaksikan dengan sampel telah diinaktivasi dengan pemanasan pada thermoblock selama 15 menit. Enzim pada blanko, dilakukan penggantian antara larutan enzim dengan akuades untuk direaksikan dengan sampel. Aktivitas enzim diukur pada setiap pengambilan sampel yang dilakukan, sehingga dapat diketahui waktu yang tepat untuk memproduksi enzim selulase.

Aktivitas selulase dinyatakan dalam satuan U/mL. Satu unit diasumsikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk memecah 1 µmoL selulosa menjadi gula pereduksi per menit pada kondisi pengujian. Kadar glukosa yang dihasilkan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 575 nm.

Absorbansi= ((As-Ab)-(Ak-Ab))

Nilai absorbansi yang diperoleh dimasukkan ke dalam persamaan yang diperoleh dari kurva standar glukosa. Selanjutnya, aktivitas selulase dihitung berdasarkan rumus berikut.

Aktivitas selulase(U ⁄mL)=

Keterangan:

As: Absorbansi sampel Ab: Absorbansi blanko Ak: Absorbansi kontrol V: volume enzim (0,1 mL) t: waktu inkubasi (30 menit)

BM: Bobot Molekul glukosa (180 Dalton).

3.4.3.4 Produksi Auksin

Sebelum melakukan pengukuran produksi auksin dilakukan pembuatan kurva standar auksin dengan interval konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, dan 100 ppm. Masing-masing konsentrasi diambil 1 mL dan ditambahkan dalam 1

kadar glukosa (mg/L) x1000 Vxtx BM glukosa

21

mL reagen Salkowski, kemudian dihomogenkan, lalu diinkubasi dalam ruang gelap selama 25-30 menit, selanjutnya diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 535 nm. Kurva standar yang terbentuk dapat dilihat pada lampiran 7.

Pengukuran produksi auksin dilakukan dengan mengambil inokulan sebanyak 1 mL untuk disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm pada suhu 4ºC selama 10 menit. Supernatan masing-masing 75 µL dihomogenkan dengan 150 µL reagen Salkowski, lalu diinkubasi di ruang gelap selama 25-30 menit.

Suspensi kemudian diukur nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 535 nm (Gordon &Weber, 1951).

3.5 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik. Analisis deskriptif dilakukan dengan pengamatan pembentukan zona bening pada kemampuan selulolitik, pelarut P, dan pelarut K. Analisis kemampuan isolat dalam menghasilkan auksin dilakukan dengan mengamati perubahan warna yang terjadi pada supernatan setelah diberi pereaksi dan diinkubasi selama ±30 menit.

Analisis statistik dilakukan pada parameter nilai pH, kepadatan populasi, aktivitas selulase dan produksi auksin. Tujuan dilakukannya analisis adalah mengetahui konsentrasi LIA dan tepung ikan serta waktu inkubasi optimum bagi bakteri terhadap keempat parameter tersebut. Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS 20 (Statistical Package for the Social Science). Analisis yang digunakan adalah Two-Way ANOVA (Analisis Variat Dua Arah) dengan tingkat kepercayaan 95% (α 0,05).

Nilai signifikansi ditentukan dengan taraf 5%. Signifikansi dengan nilai

<0,05 menunjukkan bahwa H0 diterima. Signifikansi dengan nilai >0,05 menunjukkan bahwa H0 ditolak. Nilai signifikansi ditentukan untuk mengetahui pengaruh nyata dari ketiga faktor perlakuan (variabel bebas) terhadap variabel terikatnya. Apabila terdapat perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan, akan dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5% untuk mengetahui perbedaan pengaruh setiap perlakuan.

Pengambilan keputusan apakah terdapat pengaruh variasi perlakuan dan waktu inkubasi terhadap nilai pH, jumlah koloni bakteri, aktivitas selulase, dan konsentrasi auksin dilakukan dengan menguji H0 dan H1 sebagai berikut.

Derajat Keasaman (pH) Konsentrasi LIA

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap nilai pH H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap nilai pH Konsentrasi Tepung Ikan

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap nilai pH H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap nilai pH Waktu Inkubasi

H0: Ada pengaruh waktu inkubasi terhadap nilai pH H1: Tidak ada pengaruh waktu inkubasi terhadap nilai pH Interaksi LIA dan Tepung Ikan

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang mempengaruhi nilai pH

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang mempengaruhi nilai pH

Interaksi LIA dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi yang mempengaruhi nilai pH

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi yang mempengaruhi nilai pH

Interaksi Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi nilai pH

H1: Tidak erdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi nilai pH

Interaksi antara LIA, Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi nilai pH

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi nilai pH

23

Kepadatan Populasi Pseudomonas fluorescens Konsentrasi LIA

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap kepadatan populasi P. fluorescens

H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap kepadatan populasi P. fluorescens

Konsentrasi Tepung Ikan

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap kepadatan populasi P. fluorescens

H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap kepadatan populasi P. fluorescens

Waktu Inkubasi

H0: Ada pengaruh waktu inkubasi terhadap kepadatan populasi P. fluorescens H1: Tidak ada pengaruh waktu inkubasi terhadap kepadatan populasi

P.fluorescens

Interaksi LIA dan Tepung Ikan

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

Interaksi LIA dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

Interaksi Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

Interaksi antara LIA, Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens

Aktivitas Selulase Konsentrasi LIA

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap aktivitas selulase H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap aktivitas selulase Konsentrasi Tepung Ikan

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap aktivitas selulase H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap aktivitas selulase Waktu Inkubasi

H0: Ada pengaruh waktu inkubasi terhadap aktivitas selulase H1: Tidak ada pengaruh waktu inkubasi terhadap aktivitas selulase Interaksi LIA dan Tepung Ikan

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang mempengaruhi aktivitas selulase

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang mempengaruhi aktivitas selulase

Interaksi LIA dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase

Interaksi Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase

Interaksi antara LIA, Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase

Produksi Auksin (IAA) Konsentrasi LIA

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap produksi auksin H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap produksi auksin

25

Konsentrasi Tepung Ikan

H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap produksi auksin H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap produksi auksin Waktu Inkubasi

H0: Ada pengaruh waktu inkubasi terhadap produksi auksin H1: Tidak ada pengaruh waktu inkubasi terhadap produksi auksin Interaksi LIA dan Tepung Ikan

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang mempengaruhi produksi auksin

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang mempengaruhi produksi auksin

Interaksi LIA dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin

Interaksi Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin

Interaksi antara LIA, Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi

H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin

H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan waktu inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin

26

4.1 Kemampuan Selulolitik Pseudomonas fluorescens

Selulosa adalah kandungan terbanyak dari limbah industri agar-agar yang akan dimanfaatkan sebagai substrat untuk pupuk hayati, yaitu mencapai 19,7-20,17%. Aktivitas selulolitik P. fluorescens perlu dianalisis untuk mengetahui apakah isolat tersebut mampu menghidrolisis selulosa yang terkandung pada limbah industri agar, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon bagi isolat dalam produk pupuk hayati untuk menghasilkan zat pemacu tumbuh dan sebagai agen biokontrol.

Gambar 3. Hasil uji kemampuan selulolitik isolat Pseudomonas fluorescens pada media CMC 1% yang dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali dalam 1 cawan petri; A) Koloni bakteri; B) Bagian yang tidak terwarnai yang menunjukkan selulosa telah terdergradasi ; a) Pengulangan 1;

b) Pengulangan 2; c) Pengulangan 3; C) Bagian yang terwarnai menunjukkan selulosa yang tidak terdegradasi

Hasil pengujian kemampuan selulolitik dinyatakan positif. Hasil ini memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk hayati pada Tabel 1, yaitu positif sebagai perombak bahan organik. Hasil ini ditandai dengan bagian yang tidak terwarnai kongo merah (zona bening) di sekitar koloni yang dapat diamati pada gambar 3. Bagian tersebut menunjukkan bahwa P. fluorescens memiliki kemampuan dalam mendegradasi CMC dengan cara menghasilkan enzim

A

B a

b

c

C

27

selulase. Enzim ini akan berikatan dengan molekul CMC dan memutus rantainya dan menjadi glukosa.

Hasil tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan Wilson (2011), yang menjelaskan bahwa enzim selulase memiliki sisi aktif yang terbuka. Bagian tersebut dapat berikatan dengan molekul selulosa secara acak pada titik yang dapat diakses pada sepanjang rantai selulosa. Ikatan ini akan membentuk beberapa potongan, kemudian terpisah dengan rantai. Hal tersebut menyebabkan penurunan viskositas CMC dan terhidrolisisnya CMC menjadi glukosa.

4.2 Kemampuan Pelarut Fosfat (P) Pseudomonas fluorescens

Hasil pengujian kemampuan pelarutan P dinyatakan positif. Hasil ini memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk hayati pada Tabel 1, yaitu positif sebagai pelarut P. Hasil ini ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni yang dapat diamati pada gambar 4. Bagian tersebut menunjukkan bahwa P.

fluorescens memiliki kemampuan dalam melarutkan CaHPO4 sebagai sumber P tidak terlarut pada media. Aktivitas tersebut dilakukan isolat dengan melarutkan kompleks Ca-P dan melepaskan PO43+

(fosfat) yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan.

Gambar 4. Hasil uji aktivitas pelarutan P isolat Pseudomonas fluorescens pada media Pikovskaya yang dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali dalam 1 cawan petri; A) Koloni bakteri; B) Zona bening yang terbentuk; a) Pengulangan 1; b) Pengulangan 2; c) Pengulangan 3

A

B a

b

c

Hasil tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan Singh et al. (2016), bakteri pelarut P mampu melarutkan P dengan memproduksi beberapa asam organik dan melakukan asidifikasi. Asam organik yang banyak diproduksi P.

fluorescens selama proses pelarutan adalah asam glukonat dan sedikit asam ketoglukonat, oksalat, malat, laktat, suksinat, format dan sitrat (Vyas & Gulati, 2009). Asam-asam tersebut merupakan hasil dari metabolisme bakteri melalui

fluorescens selama proses pelarutan adalah asam glukonat dan sedikit asam ketoglukonat, oksalat, malat, laktat, suksinat, format dan sitrat (Vyas & Gulati, 2009). Asam-asam tersebut merupakan hasil dari metabolisme bakteri melalui

Dokumen terkait